Anda di halaman 1dari 25

1

KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK RUMAH


TANGGA SAKINAH PERSEPEKTIF HUKUM PERKAWINAN
ISLAM

Disusun Oleh :
Arma Fitriana
1711110013

Dosen :
Bobby Hariyanto, SH., M.H.I

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2019
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Proposal ini
dapat diselesaikan dengan baik..
Penulis menyadari bahwa Proposal ini jauh dari kesempurnaan, Sehingga
kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan di masa yang
akan datang. Dan harapan kami semoga Proposal ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi Proposal agar menjadi lebih baik lagi.
Akhirnya penulis berharap semoga Proposal ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca, Amin.

Bengkulu, Desember 2019

Penulis,

i
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5
D. Kegunaan Penelitian............................................................................. 6
E. Penelitian Terdahulu............................................................................. 6
F. Kerangka Teori..................................................................................... 7
1. Pengertian Kafaah........................................................................... 7
2. Landasan Hukum dan Ukuran Kafaah............................................ 10
3. Tujuan dan Pentingnya Kafaah dalam Perkawinan........................ 13
4. Kafaah Dalam Perspektif Imam Mazhab........................................ 14
G. Metode Penelitian................................................................................. 18
H. Sistematika Penulisan........................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

ii

i
1

KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK RUMAH TANGGA


SAKINAH PERSEPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM

A. Latar Belakang

Dalam Islam, setiap akan memulai perkawinan dianjurkan untuk diadakan

pinangan terlebih dahulu. Peminangan ini bertujuan, salah satunya, untuk

mengetahui apakah calon suami dan calon istri mempunyai tingkatan

keseimbangan atau kafa’ah dalam bahasa Arab. Tinjauan kafaah ini selalu

dilakukan agar perkawinan dapat dilakukan secara baik dan dapat lestari.

Kebiasaan yang terjadi dalam menilai kafaah ini dalam praktek di masyarakat

indonesia sangat relatif, karena dasar dan pedoman peninjauan bukan

berdasarkan Hukum Islam. Namun pada prakteknya, dasar pedomannya

adalah pertimbangan Hukum adat kebiasaan masyarakat setempat.

Sejak jaman dahulu hingga sekarang perkawinan merupakan kebutuhan

manusia. Oleh karena itu perkawinan, merupakan masalah yang selalu hangat

dibicarakan di kalangan masyarakat. Perkawinan juga mempunyai pengaruh

yang sangat besar dan luas, baik dalam hubungan kekeluargaan pada

khususnya maupun dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Adapun

hikmah dari perkawinan adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal

yang tidak diizinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada

kerusakan seksual.1

Perkawinan yang dalam istilah Agama Islam disebut “Nikah” ialah:

melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat dan
Undang- Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 48
2

pria dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah

pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk

mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih

sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang di ridhoi oleh Allah.2

Sedangkan arti perkawinan itu sendiri menurut Undang-Undang No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan adalah “ ikatan lahir bathin antara seorang pria

dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha

Esa”

Dafinisi di atas terlihat sangat menghargai dimensi keagamaan untuk misi

perkawinan. Namun dengan berkembangnya zaman sekarang ini, nampaknya

masih banyak dari kalangan masyarakat kita yang terus mementingkan pada

penilaian materi saja dalam menempuh perkawinan. Mereka lupa bahwa ada

aspek lain yang tidak dapat dihargai dengan nilai materi. Karena pada

umumnya mereka memandang pada aspek yang nyata saja dalam kehidupan

ini, maka akhirnya mereka lupa apa makna dan tujuan perkawinan itu.

Ada beberapa motivasi yang mendorong seseorang laki-laki memilih

seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan. Demikian

pula dorongan seorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan

hidupnya. Hal yang pokok di antaranya adalah: karena penampilan fisik

wanita/ pria, kekayaan, keturunan, agama dan kesuburan keduanya dalam

mengharapkan keturunan, kebangsawanan dan karena keberagaman.3


2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet.II (yogyakarta:
Liberty 1986), h.8
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.48
3

Pada zaman ini banyak dari kalangan masyarakat yang melupakan aspek

rohaniah dalam melakukan perkawinan. Mereka tidak lagi memandang aspek

agama dan akhlak sebagai modal utama dalam membina kehidupan rumah

tangga. Bahkan di antara mereka ada yang beranggapan bahwa kebahagiaan

berumah tangga hanya dapat dicapai apabila kedua belah pihak mempunyai

status yang sama walaupun beda dalam hal keyakinan.

Untuk melestarikan kehidupan berumah tangga, ada aspek yang sangat

menentukan dan perlu diperhatikan serta dipahami, yaitu aspek yang di dalam

ilmu fiqih disebut dengan kafaah. Kafaah sendiri mempunyai arti kesamaan,

serasi, seimbang. Sedangkan arti luas yaitu keserasian antara calon suami dan

istri, baik dalam agama, ahlak kedudukan, keturunan, pendidikan dan lain-

lain.

Dalam sebuah hadist diterangkan : Artinya : (Bangsa Arab)’Arab,

sebahagiannya sekufu bagi sebagian Orang Arab lainnya dan Mawalli sekufu

bagi mawalli lainnya (Riwayatkan oleh hakim).4

Berdasarkan hadist tersebut suami istri yang sederajat, sepadan atau

sebanding dalam perkawinan yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya,

sama kedudukannya, sebanding dengan tingkatan status sosial dan sederajat

dalam akhlak serta kekayaan. Tidaklah diragukan makna kesebandingan

kedudukan antara laki-laki dan perempuan menjaga keutuhan perkawinan

4
Alhafiz Ibn Mujar Asqolani Bulughul al-Maram, (Surabaya:T.tp, Indonsesia, T.th) h .215
4

Kafaah bisa menjadi faktor kebahagiaan hidup suami istri dan lebih

menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah

tangga.5

Mengetahui calon sangat penting dan bisa dijadikan pertimbangan

sebelum melangsungkan pernikahan. Calon suami istri bisa melihat apakah

ada kesekufuan atau tidak di antara mereka, baik sekufu dari segi agama,

akhlak, keturunan, kedudukan, pendidikan dan lain-lain.

Memang Islam tidak mengenal perbedaan antara manusia dengan manusia

lainnya, asalkan mereka Islam dan bertaqwa. Ketentuan itu sudah menjadi

ukuran kafaah dalam perkawinan, dengan alasan bahwa setiap muslim itu

bersaudara.

Untuk dapat terbina dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah,

mawaddah dan rohmah, Islam menganjurkan akan adanya kafaah atau

keseimbangan antara calon suami istri. Tetapi ini bukan sesuatu hal yang

mutlaq, melainkan suatu hal yang perlu diperhatikan guna terciptanya tujuan

pernikahan yang bahagia dan abadi. Karena pada prinsipnya Islam

memandang sama kedudukan ummat manusia dengan manusia yang lainnya.

Para imam mazhab di antaranya, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam

Ahmad dan Imam Hanafi, mereka banyak berbeda pandangan untuk

menentukan ukuran kafaah dalam perkawinan. Terdapat perbedaan di antara

para Imam Mazhab pada waktu menentukan apa saja yang menjadi ukuran

standar kesamaan antara calon suami dan istri.

5
Muhammad Thalib, Terjemah Fiqih sunnah Jilid 7, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1987), h. 36
5

Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk penulis teliti faktor-

faktor apa yang termasuk kategori kafaah menurut masyarakat Kota Bengkulu

dan apakah kafaah dalam perkawinan dapat membentuk keluarga sakinah.

Penulis tertarik untuk mengkaji fenomena tersebut dalam bentuk skripsi

dengan judul : “KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK RUMAH

TANGGA SAKINAH PERSEPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM

B. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan diteliti dan diuraikan dalam skripsi

ini adalah :

1. Bagaimana peranan kafaah dalam membentuk keluarga yang sakinah ?

2. Bagaimana pemahaman masyarakat Kota Bengkulu tentang konsep kafaah

dalam pernikahan ?

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini

yaitu :

1. Untuk mengetahui peranan kafaah dalam pembentukan keluarga sakinah

2. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat Kota Bengkulu tentang kafaah

dalam perkawinan
6

D. Kegunaan Penelitian

1. Pengembangan dan pengaktualisasian konsep kafaah dalam konteks

hukum perkawinan.

2. Sumbangsih kepada masyarakat dalam memberikan pemahaman tentang

pentingnya mencari pasangan yang sekufu dalam perkawinan.

3. Memberikan gambaran terhadap praktek nikah secara kafaah dalam tarap

pelaksanaannya di masyarakat.

4. Kegunaan akademik, untuk memenuhi satu syarat guna memperoleh gelar

S1 dalam bidang hukum Islam.

E. Penelitian Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang berada di perpustakaan Fakultas

Syariah dan Hukum dan perpustakaan utama, penulis menemukan sejumlah

skripsi yang membahas masalah kafaah. Karena tema-tema skripsi itu terlalu

luas, penulis hanya akan mereview skripsi yang secara khusus terkait dengan

bahasan skripsi penulis Daftar skripsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Umar, Eksistensi Kafaah Merupakan Upaya Menjaga Kemuliaan Dzat

Ahlul Bait. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Al-

Syakshiyyah (SAS). Fakultas Syariah dan Hukum 2004 Skripsi ini

membahas tentang kemuliaan Ahlul bait, dari segi pernikahan terhadap

wanita-wanita keturunan mulia-Syarifah yang akan dinikahi oleh seorang

laki-laki yang bukan dari keturunan Syarif. Dari beberapa pendapat imam

mazhab. Hasilnya adalah keturunan mulia Syarifah harus menjaga


7

keturunan Nabi Saw karena silsilah ini merupakan anugrah ilahi yang

tidak semua orang dapat memilikinya.

2. Ilyas, Studi Kritis Tentang Konsep Kafaah Dalam Perspektif Liberalisme

Hukum Islam, Perbandingan Mazhab Hukum (PMH). Fakultas Syariah

dan Hukum 2006 Skripsi ini membahas persepsi mahasiswa

JABODETABEK tentang kesamaan agama dalam perkawinan. Hasilnya

adalah mahasiswa masih sangat konservatif dalam menyikapi perbedaan

agama dalam perkawinan untuk memilih pasangan

3. Aulia, Ulfah Asep. Kafaah Dalam Perkawinan Menurut Masyarakat Desa

Sirna Rasa Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Bogor. Konsentrasi

Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Al-Syakshiyyah (SAS). Fakultas

Syariah dan Hukum 2007 Skripsi ini membahas tradisi masyarakat Desa

Sirna Rasa Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Bogor, dalam hal

perkawinan yang memiliki kesamaan dengan konsep kafaah.

F. Kerangka Teori

1. Pengertian Kafaah

Dari segi etimologi (bahasa) kafaah berasal dari bahasa Arab

yaitu : atau artinya: sama, semacam, sepadan. Jadi kafaah atau sekufu

itu artinya sepadan, sejodoh, seimbang sederajat.6 Dalam kamus

Al- munawwir kata kafaah disebutkan artinya: yang sama.7

6
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Penafsiran Al-Qur’an ), h. 378-379
7
Al-Munawwir, Kamus Arab indonesia (Jakarta, Pustaka Progresif, 2002) h. 1221
8

Disebutkan juga dalam Kamus Kontemporer Arab- Indonesia

karangan Ahmad Zuhdi Muhdor artinya: sama, persamaan dan

kesepadanan.8

Kafaah yang berasal dari bahasa Arab dari kata . berarti sama

atau setara, kata ini kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat

dalam Al-Qur’an dalam arti “sama”. Contoh dalam Al-Qur’an surat al-

khlash Ayat 4: yang berarti “tidak satupun yang sama dengan-Nya”

Kata kufu atau kafaah dalam perkawinan mengandung arti bahwa

perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafaah

mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam

perkawinan sifat tersebut harus ada pada laki-laki yang mengawininya.9

Kafaah dalam terminologi hukum Islam ialah mensyaratkan agar

seorang suami muslim mesti sederajat, sepadan atau lebih unggul

dibandingkan dengan istrinya, meskipun seorang perempuan boleh

memilih pasangannya dalam perkawinan. Ini bertujuan agar ia tidak kawin

dengan laki-laki yang derajatnya berada dibawahnya.10

Hasbullah Bakry menjelaskan bahwa pengertian kafaah ialah

kesepadanan di antara calon suami dengan calon istrinya setidak-tidaknya

dalam tiga perkara yaitu:

a. Agama (sama-sama Islam),

b. Harta (sama-sama berharta)

8
Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia, Cet II ( Yogyakarta: Yayasan
Ali Maksum, 1996 ), h.1511
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia h.140
10
Mona Siddiqui, Menyingkap Tabir Perempuan Islam, (Bandung: Nuansa, 2007), h 83
9

c. Kedudukan dalam masyarakat (sama-sama merdeka).11

Pengertian kafaah menurut istilah juga dikemukakan oleh M. Ali

Hasan yang mengartikan kafaah sebagai kesetaraan yang perlu dimiliki

oleh calon sumi dan istri, agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri

secara mantap dalam menghindari celaan di dalam masalah-masalah

tertentu.12 Di saat laki-laki hendak dipinang seorang gadis, maka

keluarganya pertama kali harus menyelidiki status sosial dan hartanya.13

Kafaah atau kufu berarti sederajat, sepadan atau sebanding. Yang

dimaksud kufu dalam pernikahan adalah laki-laki sebanding dengan calon

istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkatan sosial dan

sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafaah

adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal

agama, yaitu akhlak dan ibadah.14

Kafaah (persamaan atau derajat) itu adalah hak perempuan dan

walinya. Wali tidak bisa memaksa mengawinkan perempuan dengan orang

yang tidak sekufu kecuali yang bersangkutan ridha, demikian pula para

walinya. Maka si perempuan tidak boleh dikawinkan kecuali atas

persetujuan dengan para wali. Apabila perempuan dan walinya sudah ridha

maka perkawinannya boleh dilaksanakan. Sebab, persetuju akan

menghilangkan halangan untuk kawin.15

11
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta, UI PRESS, 1998), h. 159
12
M. Ali hasan , Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam.( Jakarta: Prenada Media,
2003), h. 33
13
Zaid Husein Ahmad, Terjemah Fiqhul Mar’atil Muslimah, (Jakarta, T.tp, 1995), h. 267
14
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) h. 50
15
Ibid., h. 24-25,
10

Penentuan kafaah itu merupakan hak perempuan yang akan kawin

sehingga bila dia akan dikawinkan oleh walinya dengan orang yang tidak

se-kufu dengannya, dia dapat menolak atau tidak memberikan izin kepada

walinya.16

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya sekilas menyebutkan

tentang kafaah dalam bab 10 tentang pencegahan perkawinan yaitu pasal

pasal 61: Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah

perkawinan kecuali tidak se-kufu karena perbedaan Agama atau ikhtilaful

al-dien.17

Oleh karena itu, hendaklah pihak-pihak yang mempunyai hak se-kufu

itu menyatakan pendapatnya tentang calon mempelai keduanya. Sebaiknya

persetujuan tentang sekufu itu oleh pihak-pihak yang terkait berhak

dicatat, sehingga dapat dijadikan alat bukti, seandainya ada para pihak

yang akan yang menggugat nanti.

2. Landasan Hukum dan Ukuran Kafaah

a. Landasan hukum

Konsep kafaah merupakan perwujudan dari kehidupan sosial

dalam berinteraksi di masyarakat, ketika akan memilih pasangan untuk

dinikahi. Pada dasarnya kafaah sudah diterapkan di masyarakat namun

dalam kafaah tidak diatur secara jelas mengenai batasan dan ukuran

ke-sekufuan seseorang. Namun demikian, kafaah tetap menjadi bahan

16
Abd Rahman Ghazaliy, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 140
17
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1992) h, 77
11

pertimbangan, sebab perkawinan merupakan penggabungan dua

keluarga.18

Sebelum melangsungkan perkawinan seseorang perlu

mempertimbangkan :

1) Adanya kesamaan status sosial, sehingga pada ahirnya perbedaan

dalam jenjang sosial dapat dijadikan aturan hukum. Tetapi Farhat J

Ziadeh, berpendapat bahwa kafaah tidak cukup kuat untuk

dijadikan aturan hukum.

2) Sumber-sumber kafaah berasal dari Imam-imam mazhab, yang

memunculkan kafaah dari kemapanan seseorang dalam

masyarakat. Para imam mazhab berpendapat bahwa kemapanan

diukur dari status sosial.

Tidak ada dalil yang secara jelas menyatakan bahwa kafaah

menjadi syarat yang wajib dalam perkawinan. Imam mazhab yang

empat (Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Malik) mempunyai kesamaan

pendapat bahwa kafaah tidaklah wajib. Namun dalam penyampaian

kafaah terdapat perbedaan dalam menjelaskan secara rinci. Rasul

bersabda :

Artinya : Dari Abu Hurairah, beliau berkata : Rasulullah SAW

bersabda “Apabila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama

dan ahlaknya, maka nikahkan dia kalau tidak kamu lakukan maka nanti

18
Farhat J. Ziadeh, h.503
12

akan menimbulkan fitnah dan kerusakan didunia…”. (Riwayatkan oleh

Ibnu Majah ).19

Dalam sebuah hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh

Imam Bukhari dan Muslim :

Artinya : Dari Abu Hurairah R.A berkata Rasul SAW “perempuan

itu dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, karena

keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya.

Jatuhkanlah pilihanmu karena agamanya, maka kamu akan

mendapatkan keberuntungan. (HR Al Bukhari dan Muslim).20

b. Ukuran Kafaah

Ulama berpendapat ukuran kafaah yaitu sikap hidup yang lurus dan

sopan bukan dari segi keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan lain

sebagainya. Jadi bagi laki-laki yang soleh, walaupun bukan keturunan

yang terpandang, maka ia boleh menikahi wanita manapun. Seorang

laki-laki pekerja rendah, boleh kawin dengan wanita kaya, asalkan

pihak perempuan rela.

Kafaah dipertimbangkan hanya pada pelaksanaan perkawinan dan

ketidak sederajatan yang terjadi kemudian tidak dapat mempengaruhi

kualitas perkawinan yang sudah terjadi. Maka jika seorang pria kawin

dengan seorang wanita dan kedua pasangan tersebut se-kufu namun

ternyata pria tersebut seorang pezina, ini tidak bisa menjadi alasan bagi

bubarnya perkawinan.
19
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Al-Syamilah (http://www. al-islam.com) juz,
VI, h. 105
20
Sahih, Bukhari, (Beirut, Dar El Fikr, 1991), jilid 9, h. 72
13

Anshori Umar dalam bukunya Fiqih Wanita mengatakan "Tak ada

perbedaan pendapat dalam mazhab Maliki, bahwa perawan yang

dipaksa ayahnya untuk kawin dengan laki-laki peminum khamar, atau

orang fasik, maka ia berhak menolak. Hakim perlu meninjau

perkawinan itu, lalu menceraikan kedua suami istri tersebut."

3. Tujuan dan Pentingnya Kafaah dalam Perkawinan

a. Tujuan kafaah

Kafaah berperan membentuk keluarga yang sakinah sesuai dengan

ajaran Islam. Dengan dipahami substansi kafaah merupakan langkah

awal untuk menciptakan keluarga yang sakinah.21

Kafaah juga bertujuan menyelamatkan perkawinan dari kegagalan

yang disebabkan perbedaan di antara dua pasangan. Pada akhirnya

dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam berumah tangga.

Kafaah sangat berperan sebagai penetralisasi kesenjangan, sebab

perbedaan berasal dari kehidupan manusia yang syarat dengan

kesenjangan status yang beragam. Keberadaan manusia yang hidup

berkelompok-kelompok dan bersuku-suku telah menelurkan butir-butir

perbedaan status dan martabat.22

b. Pentingnya kafaah

Kiki Sakinatul Fuad dalam tesis berjudul “Posisi Perempuan

Keturunan Arab Dalam Budaya Perjodohan”, yang mengutip dari

Zainal Abidin Al-Alawy berpandangan bahwa kafaah ini perlu


21
Abd Rahman Ghazaliy, Fiqih Munakahat. h. 97
22
Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafaah Syarifah, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), h. 27
14

mendapat perhatian dalam pernikahan sebagaimana para ulama

mengatakan untuk menolak datangnya aib juga untuk meneliti sesuatu

yang lima yakni Agama, peribadi, ketelitian, harta, dan akalnya.23

Farhat J. Ziadeh dalam artikelnya Equality in The Muslim Law Of

Mariage, menyatakan konsep kafaah bertujuan melindungi wanita dari

pernikahan yang singkat dan menjaga wanita dari rasa malu karena

perbedaan. Kafaah akan meredam gejala perceraian dan mewujudkan

kebahagiaan rumah tangga.

Kafaah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami-istri,

tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya dalam pernikahan. Karena

jika perkawinan tidak seimbang antara suami dan istri akan

menimbulkan problem berkelanjutan dan besar kemungkinan

menyebabkan terjadinya perceraian.24

4. Kafaah Dalam Perspektif Imam Mazhab

a. Pendapat Imam Hanafi

Kafaah diartikan sebagai kesepadanan antara laki-laki dan

perempuan dalam lima kriteria :

1) Nasab, Nasab dibagi menjadi dua golongan Arab dan Ajam,

sementara Arab terbagi kembali dalam dua golongan yaitu:

Quraisy dan non Quraisy. Seperti laki-laki Quraisy sekufu dengan

perempuan Qurasiy walupun berbeda kabilah,. Sementara

perempuan Arab non-Quraisy sekufu dengan laki-laki Arab dari


23
Kiki Sakinatul Fuad, “Posisi Perempuan Keturunan Arab Dalam Budaya Perjodohan”,
(Tesis, S 2 Universitas Indonesia, Depok, 2005), h.44
24
M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, Cet. II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 ), h. 147
15

kabilah manapun dan laki-laki Ajam tidak sekufu bagi perempuan

Quraisy.25

2) Islam, Orang Quraisy sekufu dengan sesamanya, agama tidak

menjadi masalah bagi orang Quraisy, seperti: orang tua seorang

lelaki muslim tidak beragama Islam, sedangkan orang tua

perempuan muslimah beragama Islam masih dikategorikan sekufu.

3) Kemerdekaan, Tidak ada masalah dalam hal kemerdekaan, karena

orang arab tidak boleh diperbudak. Sedangkan bagi orang ajam,

nasab yang berlaku hanya kemerdekaan dan keislamannya saja.

Lelaki yang merdeka dan memiliki ayah budak, tidak sekufu

dengan perempuan merdeka.26

4) Pekerjaan, Seorang laki-laki sepadan dalam hal pekerjaan dengan

keluarga perempuan dan ukuran kesepadananya adalah adat dan

tradisi yang berlaku di masyarakat.

5) Keagamaan, Keagamaan ini hanya berlaku bagi orang Ajam dan

Arab. Seperti orang fasik tidak sekufu dengan perempuan saleh

yang memiliki ayah saleh.

b. Pendapat Imam Syafi’i

Kafaah menurut mazhab syafi’i seperti di kutip Assegaf, adalah

persamaan dan kesempurnaan, persamaan ini terbagi kepada empat

kriteria :

25
Hasyim Assegaf, h. 46
26
Ibid, h. 47
16

1) Nasab, Orang ajam hanya berhak menikah dengan orang ajam,

orang Quraisy hanya berhak menikah dengan orang Quraisy.

Mazhab Syafi’i memiliki persepsi yang sama dengan mazhab

Hanafi tentang golongan tertinggi di masyarakat Arab.

2) Agama, Laki-laki harus sama dalam hal istiqamah dan kesucian.

Laki-laki yang fasik tidak sekufu dengan perempuan yang

istiqamah kecuali telah bertaubat, sementara laki-laki pezina tidak

kufu dengan perempuan yang suci meskipun laki-laki tersebut telah

bertaubat.

3) Kemerdekaan, Hanya berlaku pada pihak laki-laki dan tidak pada

perempuan, karena laki-laki dapat menikah dengan siapa saja baik

hamba atau sederajad.

4) Profesi, Laki-laki miskin yang pekerjaannya tergolong rendah tidak

sekufu dengan perempuan yang kaya, namun laki-laki yang miskin

dapat sekufu dengan perempuan yang kaya dengan syarat kerelaan

orang tua.

c. Pendapat Imam Hambali

Mendefenisikan kafaah dengan kesamaan dalam lima hal :27

1) Keagamaan, Laki-laki fasik tidak sekufu dengan perempuan suci

dan saleh

2) Pekerjaan, Laki-laki yang memiliki pekerjaan yang dianggap

rendah, dan hina tidak kufu dengan perempuan yang memiliki

pekerjaan yang mulia.


27
Ibid. h. 53
17

3) Harta, Laki-laki yang miskin tidak kufu dengan perempuan yang

kaya, karena berhubungan dengan mahar dan nafkah.

4) Kemerdekaan, Dalam hal kemerdekaan dibedakan antara budak

laki-laki dan perempuan, Karena laki-laki budak dianggap tidak

sekufu dengan perempuan merdeka.

5) Nasab, Laki-laki Ajam tidak sekufu dengan perempuan Arab.

d. Pendapat Imam Malik

Mazhab Maliki tidak mengakui kafaah dalam nasab kemerdekaan

dan harta, karena masalah kafaah dalam perkawinan hanya

berhubungan dengan dua hal yang menjadi hak bagi perempuan bukan

walinya yaitu :

1) Keagamaan : yakni muslim bukan fasik

2) Bebas dari aib : yang dapat membahayakan pihak perempuan.

Untuk lebih mudah memahami pandangan tentang definisi dan

unsur kafaah berdasarkan mazhab secara singkat dapat dilihat dalam

tabel 2.1.28

Tabel 2.1

Ringkasan Defenisi dan Unsur Kafaah Perspektif Imam Mazhab

MAZHAB DEFINISI KRITERIA

28
Kiki Sakinatul Fuad, h.33
18

Kesamaan, kesepadanan dan Keturunan, Islam,


Imam Hanafi kecocokan antara laki-laki dan Merdeka, Kesalehan,
perempuan Perkerjaan
Kesamaan dan kesepadanan Nasab Agama
dalam perkawinan yang Kemerdekaan
Imam Syafi’i menjadi aib apabila tidak Pekerjaan
menjalankan
Kesepadanan antara laki-laki Keagamaan, pekerjaan,
Imam Hambali dan perempuan dalam lima hal harta, kemerdekaan, dan
nasab
Kesepadanan dan kesamaan Keagamaan,
yang menjadi hak perempuan Tidak Memiliki aib yang
Imam Malik bukan walinya Membahayakan
Bagi pihak perempuan.

Data dari tabel di atas menunjukkan bahwa di antara para imam

mazhab yang empat banyak yang memiliki kesamaan pada definisi dan

unsur kafaah. ini semua bertujuan untuk menciptakan keluarga yang

sakinah.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik. Studi diawali

dengan menelaah bahan pustaka. Hasil telaah pustaka dijadikan sebagai

kerangka konsep dan landasan teori dalam operasi penelitian ini. Studi

kemudian menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian.

Untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan masalah yang

diangkat, maka penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan

metode deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor seperti dikutip Moleong,

metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data


19

deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang dan prilaku yang

diamati.29

Di samping itu, penulis juga menggunakan data kuantitatif, untuk

membuktikan serta memperkuat hasil penelitian kualitatif. Data kuantitatif

ini penulis memperoleh dari hasil angket yang penulis sebarkan di Kota

Bengkulu Bogor. Dalam penelitian, penulis lebih mendahulukan

pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data

Data penelitian ini dua jenis data, yaitu :

a. Data Primer

Data penelitian ini terutama diperoleh dari hasil wawancara dan

survei yang dilakukan oleh penulis terhadap masyarakat Kota

Bengkulu Bogor

b. Data Skunder

Data sekunder yang dalam hal ini bersifat pelengkap diperoleh dari

kantor Kota Bengkulu, Pengadilan Agama Bogor, Kantor Urusan

Agama Kemang, buku, majalah, dan koran yang membahas tentang

kafa’ah dalam perkawinan.

3. Populasi dan Sempel

Populasi studi ini adalah masyarakat Kota Bengkulu Kabupaten

Bogor yang telah menikah, penulis memilih responden yang sudah

menikah karena responden yang sudah menikah lebih memiliki

29
Lexy J, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Cet. XVII (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), h.3
20

pengalaman tentang kehidupan berumah tangga dan berusia minimal

tujuh belas sampai dengan tujuh puluh tahun sesuai dengan daftar nama

yang diperoleh dari kantor Kota Bengkulu terdaftar sebanyak 9.496 jiwa.

Penulis mengalami kendala dalam pencarian daftar orang, dikarenakan

data yang diperoleh sudah banyak berubah disebabkan data Kota

Bengkulu belum diperbaharui yang ada data tahun 2007, penulis

juga menemukan tidak sedikit responden yang tidak mengerti atau tidak

peduli akan sampel yang disebarkan. Namun pada akhirnya penulis dapat

memperoleh 100 responden yang dapat ditemui dengan cara exidentil.

Untuk sampel wawancara, penulis menggunakan pertimbangan

yang matang guna mendapatkan data yang akurat dan tepat.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik berupa

wawancara dan survei.

5. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif

yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis menjabarkan data-data

yang diperoleh dari hasil penelitian.

6. Teknik Penulisan

Sedangkan dalam penyusunan secara teknik penulisan semuanya

berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan


21

H. Sistematika Penulisan

Agar penulis menjadi lebih sistematis, maka tata uraian terbagi menjadi

lima bab dengan susunan sebagi berikut :

Bab I Pendahuluan yang didalamnya berisi latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu, Sistematika Penulisan.

Bab II Menguraikan tentang Tujuan teoritis. Bab ini memuat: Pengertian

kafaah, Dasar Hukum Kafaah dalam Perkawinan, dan Pendapat Para Imam

Mazhab Tentang Konsep Kafaah.

Bab III Memaparkan gambaran umum lokasi penelitian. Bab ini meliputi:

Kondisi Umum Kota Bengkulu, serta kondisi sosiologis dan kependudukan.

Bab IV Bab ini berisi tentang: analisis hasil penelitian. Bab ini memuat:

Profil responden, Sejarah Perkawinan, Pemahaman masyarakat Kota

Bengkulu tentang kafaah, Signifikasi kafa’ah dalam pernikahan, Praktek

kafaah dan Suasana keharmonisan dalam rumah tangga responden.

Bab V Adalah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.

Dalam bab ini, penulis membuat kesimpulan atas masalah yang telah dibahas

dan mengemukakan saran-saran sebagai solusi dari permasalahan-

permasalahan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqih


Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media,
2006),
22

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet.II


(yogyakarta: Liberty 1986),

Alhafiz Ibn Mujar Asqolani Bulughul al-Maram, (Surabaya:T.tp, Indonsesia,


T.th)

Muhammad Thalib, Terjemah Fiqih sunnah Jilid 7, (Bandung: PT. Al-Ma’rif,


1987)

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara


Penterjemah Penafsiran Al-Qur’an )

Al-Munawwir, Kamus Arab indonesia (Jakarta, Pustaka Progresif, 2002) h. 1221

Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia, Cet II (Yogyakarta:


Yayasan Ali Maksum, 1996)

Mona Siddiqui, Menyingkap Tabir Perempuan Islam, (Bandung: Nuansa, 2007)

Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta, UI PRESS, 1998)

M. Ali hasan , Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam.( Jakarta: Prenada
Media, 2003)

Zaid Husein Ahmad, Terjemah Fiqhul Mar’atil Muslimah, (Jakarta, T.tp, 1995)

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)

Abd Rahman Ghazaliy, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1992)

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Al-Syamilah (http://www. al-


islam.com) juz, VI,

Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafaah Syarifah,


(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000)

Anda mungkin juga menyukai