Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

HUKUM ARBITASE
“Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari UU No 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen”

Disusun Oleh:
Mas Hayyu Asri S 1611140016
Fitria Handayani 16

Dosen :
Elman Johari, M.H.I

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KOTA BENGKULU
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
telah memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai
tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Hukum Arbitase. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan makalah
ini sangat diharapkan dari para pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Bengkulu, Juni 2020

Penulis

2i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan.................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Perlindungan Konsumen..................................................................... 3
B. Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.... 17
C. Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku Usaha............. 21

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................... 28
B. Saran.................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA

ii

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan antara produsen dan konsumen merupakan hubungan yang
bersifat ketergantungan produsen membutuhkan dan sangat bergantung atas
dukungan konsumen sebagai pelanggan, dan sebaliknya konsumen
kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi produsen, saling
ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan hubungan yang
bersifat terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa sesuai dengan
tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya
di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan
berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu,
globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi
telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi
barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga
barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri
maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi
konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk
memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena
tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen
menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah.
Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
sebesar- besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan,
serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat
kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan

1
oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat
bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan
kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha
adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal
seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan
konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perkembangan
dinamis dan terus menerus yang terjadi di bidang ekonomi banyak
menimbulkan permasalahan baru di bidang perlindungan konsumen.
Perlidungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh
karenanya harapan semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya.
Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan
dari berbagai dimensi yang satu sama lainnya mempunyai keterkaitan dan
saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimana Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen?
3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku Usaha?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Perlindungan Konsumen
2. Untuk mengetahui Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
3. Untuk mengetahui Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku
Usaha

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Dalam Undang-undang republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, konsumen didefinisikan sebagai “setiap
orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, oranglain, maupun makhluk yang lain
dan tidak untuk diperdagangkan.
Pendapat lain merumuskan bahwa konsumen adalah setiap
individu atau kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari
kepemilikan khusus, produk atau pelayanan dan kegiatan tanpa
memperhatikan apakah dia pedagang, pemasok, produsen pribadi atau
public, atau berbuat sendiri ataukah secara kolektif.
Terdapat beberapa ketentuan-ketentuan umum dalam undang-
undang mengenai perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut :
a. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
b. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat.
c. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang hukum.
d. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,
baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen.

3
e. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
f. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi
suatu barang atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap
barang atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan
g. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang kedalam daerah.
h. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan
didalam wilayah republik Indonesia.
i. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat adalah
lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah
yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
j. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
k. Badan penyelesaian sengketa konsumen adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen.
l. Badan perlindungan konsumen nasional adalah badan yang dibentuk
untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
m. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi barang perdagangan.
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian
hukum. Disamping itu perlindungan konsumen diselenggarakan bersama
berdasarkan lima asas yang sesuai dengan pembangunan nasional, yaitu :
a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.

4
b. Asas keadilan maksudnya agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan maksudnya perlindungan konsumen memberikan
keseimbangan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual.
d. Asas keselamatan dan keamanan konsumen, yaitu untuk memberikan
jaminan keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan dan pemakaian, serta pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum maksudnya agar pelaku usaha dan konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Dalam huruf d dari dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-
undang Nomor 8 tahun 1999 dinyatakan, bahwa untuk meningkatkan
harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran.,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha
yang bertanggung jawab. Atas dasar pertimbangan ini, maka perlindungan
konsumen bertujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat kosnumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang/jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan system perlindungan kosumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.

5
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perlindungan Konsumen
Dalam Undang-undang dan perlindungan Konsumen, yang
dimaksudkan dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Pada prinsipnya ada dua pihak yang terkait dalam perlindungan
konsumen itu, yaitu Konsumen sendiri dan Pelaku Usaha.
a. Konsumen
Kata konsumen merupakan istilah yang biasa digunakan
masyarakat untuk orang yang mengonsumsi atau memanfaatkan suatu
barang atau jasa. Selain itu sebagian orang juga memberi batasan
pengertian konsumen yaitu orang yang memiliki hubunganlangsung
antara penjual dan pembeli yang kemudian disebut konsumen. Secara
harfiah konsumen adalah orang yang memerlukan, membelanjakan
atau menggunakan; pemakai atau pembutuh.Adapaun istilah konsumen
berasal dari bahasa inggris yaitu consumer, atau dalam bahasa Belanda
yaitu consument.
Konsumen ialah setiap orang pemakai barang dan jasa yang
tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepentingan diri
sendiri,keluarga,orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.   Dengan demikian,Konsumen bisa orang-
perorangan atau sekelompok masyarakat maupun makhluk hidup lain
yang membutuhkan barang atau jasa untuk dikonsumsi oleh yang
bersangkutan, atau dengan kata lain barang atau jasa tersebut untuk
tidak diperdagangkan.

6
b. Pelaku Usaha
Pelaku Usaha adalah setiap orang atau perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakuikan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Repulik Indonesia, baik sendiri maupun sama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
Pelaku usaha menurut Pasal 1 UUPK adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yangdidirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi. Pelaku usaha disini dikatakan sebagai pihak yang
membuat barang, yang menggunakan jasa pelaku usaha periklanan
untuk mempromosikan barang melalui media periklanan. Pelaku usaha
meminta pelaku usaha periklanan untuk membuat iklan dari barang
yang dibuatnya sehingga konsumen tertarik untuk membeli barang
tersebut. Pelaku usaha yang beritikad baik, akan memberikan
informasi yang selengkap-lengkapnya kepada pelaku usaha periklanan
sehingga pelaku usaha periklanan tidak memberikan informasi yang
menyesatkan dan merugikan konsumen.
4. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak konsumen sebagaimana dikemukakan pada pasal 4 Undang-
Undang Perlidungan Konsumen antara lain:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.

7
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan.
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau  jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya. 
Kewajiban konsumen antara lain:
1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan.
2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa.
3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen.
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak Pelaku bisnis sebagaimana dikemukakan pada pasal 6
Undang-Undang Perlindungan Konsumen antara lain:
1) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang
diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik.

8
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukun sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa
yang diperdagangkan.
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Kewajiban Pelaku Bianis antara lain sebagai berikut :
1) bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif ; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan
konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang
membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
4) Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau
jasa yang berlaku.
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau
mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan
garansi .
6) Memberi kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang
diperdagangkan.
7) Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang
atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Dengan terbitnya Undang-Undang tersebut maka diharapkan
kepada para pelaku usaha untuk melakukan peningkatan dan pelayanan
sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Yang penting dalam hal

9
ini adalah bagaimana sikap produsen agar memberikan hak-hak
konsumen yang pantas di peroleh. Disamping itu juga agar konsumen
menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Disini dimaksudkan agar
kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajiban masing-
masing. Apa yang menjadi hak dari konsumen maka kewajiban bagi
produsen dan sebaliknya.
5. Sengketa Konsumen
Dalam Undang-Undang perlindungan konsumen memang tidak ada
dijumpai tentang definisi atau pengertian dari Sengketa konsumen. Namun
dalam beberapa pasal di tentukan adanya larangan bagi pelaku usaha yang
apabila dilakukan dapat merugikan konsumen. Larangan yang dilakukan
pelaku usaha inilah yang bisa menjadi sengketa konsumen.
Larangan bagi pelaku usaha yersebut ditentuken mulai pasal 8
sampai pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai
berikut:
           Pasal 8 (Delapan) :
a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
1) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut.
3) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
4) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
5) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana

10
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut.
6) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut.
7) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.
8) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.
9) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
10) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang dimaksud.
c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Pasal 9 (Sembilan) :
a. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

11
1) barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan
harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode
tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
2) barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
3) barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau
memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
4) barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
5) barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
6) barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
7) barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu.
8) barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
9) secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang
dan/atau jasa lain.
10) menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek samping tanpa
keterangan yang lengkap.
11) menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
b. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang
untuk diperdagangkan.
c. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang
melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau
jasa tersebut.
Selanjutnya mulai Pasal 10 sampai dengan pasal 17 UU Perlindungan
Konsumen, pelaku usaha tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/jasa yang untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai:

12
a) Harga atau tarif suatu barang/jasa,
b) Kegunaan suatu barang/jasa,
c) Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu
barang/jasa,
d) Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan,
e) Bahaya penggunaan barang/jasa.
b. Pelaku  usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral
atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan:
1) Menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu,
2) Menyatakan barang/ jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung
cacat tersembunyi,
3) Tidak berminat untukmenjual yang ditawarkan melainkan dengan
maksud untuk menjual barang lain,
4) Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau dalam
jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain,
5) Menaikkan harga atau tarif barang/jasa sebelum melakukan obral.
c. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau
mengiklankan suatu barang/ jasa dengan harga atau tarif khusus dalam
waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud
untuk melaksanakannya sesuwai dengan waktu dan jumlah yang
ditawarkan, dpromosikan atau diiklankan.
d. Pellaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang/jasa dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang/ jasa yang lain secara Cuma-Cuma dengan
maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana
yang dijanjikannya.
e. Perilaku usaha dilarang menawarkan,mempromosikan atau
mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan,dll.

13
f. Perilaku usaha dalam menawarkan barang/ jasa yang ditunjukkan
untuk perdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,
tidak diperkenankan atau dilarang untuk:
1) Tidak  melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang
dijanjikan,
2) Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa,
3) Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan,
4) Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang
dijanjikan.
g. Pelaku usaha dalam menawarkan barang/ jasa yang dilarang
melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat
menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
h. Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa melalui pesanan dilarang
untuk:
1) Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaiaan
sesuai yang dijanjikan,
2) Tidak menepeti atas suatu pelayanan atau prestasi..
9. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
1) Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan
dan harga barang/ tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang/
jasa,
2) Mengelabui jaminan/ garansi terhadap barang/jasa, memuat informasi
yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang/ jasa,
3) Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/ jasa,
4) Mengeksploitasi kejadian/ seseorang tanpa izin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan.
5) Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan.

14
6. Badan dan Lembaga Perlindungan Konsumen dan Swadaya
Masyarakat
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen
dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Yang berkedudukan di
Ibu Kot Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada
Presiden. (pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001
tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional).
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi
memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Untuk
melaksanakan fungsi tersebut Badan Perlindungan Konsumen Nasional
mempunyai tugas :
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perudang-
undangan yang berlaku dibidang perlindungan konsumen.
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen.
d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen ddan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada
konsumen.
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari
masyarakat, lembaga perlindungan swadaya masyarakat, atau pelaku
usaha.
g. Melakukan survey yang menyanngkut kebutuhan konsumen. (vide
Paasal 3ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang
Badan Perlindungan Konsumen nasional).
Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta

15
sekurang-kurangnya 15 orang dan  sebanyak-banyaknya 25 orang anggota
yang mewakili semua unsur, yaitu dari unsur :
a. Pemerintah
b. Pelaku Usaha
c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
d. Akademisi
e. Tenaga Ahli.
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, settelah dikonsultasikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Masa jabatan ketua
dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 tahun dan
dapat di angkat kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Persyaratan untuk bisa menjadi anggota Badan Perlindungan
Konsumen Nasional adalah:
a. Warga Negara Republik Indonesia
b. Berbadan sehat
c. Berklakuan baik
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan
konsumen dan,
f. Berusaha sekurang-kurangnya 30 tahun.
Keanggotaan badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena :
a. Meninggal dunia
b. Mengundurkan diri atas permintaan diri
c. Bertempat diluar wilayah NKRI
d. Sakit sacara terus menerus
e. Berakir masa jabatan sebagai anggota, atau
f. Diberhentikan.
Pengangkatan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
melalui tahapan sebagai Badan perlindungan konsumen Nasional berikut :

16
a. Menteri mengajukan usul calon anggota Badan Perlindungan
Konsumen Nasional yang telah  memnuhi persyaratan keangotaan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional kepada Presiden.
b. Calon anggota Badan perlidungan Konsumen Nasional
dikonssultasikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
c. DPR-RI memberikan penilaian dan pertimbangan terhadap calon
anggota Badan perlindungan Konsumen Nasional dan menyampaikan
hasilnya kepada Preiden.
d. Presiden mengangkat anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasional yang telah dikonsultasikan kepad DPR-RI.
Adapun Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah
yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi
kegiatan :
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi
barang dan jasa.
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya,
bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen.
c. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
d. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.

B. Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 53: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang
badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat
keputusan menteri.

17
Pasal 54:
(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan
penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
(2) (2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh
seorang panitera.
(3) (3) Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
(4) (4) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis
diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 55: Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan
putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah
gugatan diterima.
Pasal 56:
(1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan
badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2) (2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan
putusan tersebut.
(3) (3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen.
(4) (4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa
konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk
melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud
pada ayat

18
(6) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan
penyidikan.
Pasal 57: Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3)
dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat
konsumen yang dirugikan.
Pasal 58:
(1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
permohonan kasasi. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam BAB XI
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang Badan Penyelesaian
Kosumen (BPSK) ada 2 (dua) hal pokok yang dapat dikemukakan yaitu:
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen bukanlah suatu keharusan untuk
ditempuh konsumen sebelum pada akhirnya sengkata tersebut
diselesaiakan melalui lembaga peradilan. Walaupun demikian hasil
putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen memiliki suatu
daya hukum yang cukup untuk memberikan shock terapy bagi pelaku
usaha yang nakal karena putusan tersebut dapat diajadikan bukti
permulaan bagi penyidik. Hal ini berarti penyelesaian sengketa
melalui Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana menurut ketentuan Undang-Undang
yang berlaku
2. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen membedakan jenis
gugatan yang dapat diajukan ke Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) berdasarkan persona standi in judicio. Lembaga

19
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilaksanakan melalui
Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK) ini memang
dikhususkan bagi konsumen perorangan yang memiliki
perselisihan dengan pelaku usaha.
Penegakan hukum termasuk di dalamnya hukum hak asasi manusia pada
intinya adalah serangkaian kegiatan untuk menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengenjawatankannya dengan sikap dan tidak sebagai rangkaian penjabaran
nilai-nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian dalam pergaulan hidup. Penegakan hukum adalah tindakan
yang dilakukan secara tegas dan lugas, tetapi bersifat manusiawi berdasarkan
atas keadilan dan kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan
kepastian hukum termasuk meningkatkan tertib sosial yang dinamis.
Salah satu aspek penting dari penerapan suatu kaidah hukum adalah
penegakkan hukum (law enforcement). Suatu perangkat hukum baru dapat
dikatakan efektif apabila hukum tersebut dapat diimplementasikan dan
penerapan sanksinya dapat ditegakan apabila ada yang melanggarnya. Untuk
dapat ditegakkan maka di dalam perangkat hukum itu perlu ada suatu
mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu
ditegakan. Penegakan hukum pada intinya adalah serangkaian kegiatan
untuk menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan mengenjawatankannya dengan sikap dan tidak
sebagai rangkaian penjabaran nilai- nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup. Pasal 45
Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa
putusan yang diajukan majelis (BPSK) bersifat final dan mengikat. Dengan
demikian tugas dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
merupakan upaya untuk melakukan penegakan hukum di bidang perlindungan
konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang tentunya dapat membantu
memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi kedua belah pihak

20
apabila terjadi sengketa, sehingga bagi pihak konsumen yang dirugikan
memperoleh perlindungan hukum yang memadai.

C. Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku Usaha


Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan atau penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan
konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa
konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
mengatur mengenai Penyelesaian Sengketa. Pasal 45 menyatakan dalam ayat:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradila yang berada di lingkungan peradilan
umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur
dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau
oleh para pihak yang bersengketa.
Menurut Penjelasan Pasal 45 ayat (2): Penyelesaian sengketa konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap
diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak
yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah

21
penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku
usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian
sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45
Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah secara jelas
mengemukakan bahwa dalam penyelesaian sengketa, tidak ditutup
kemungkinan dilakukan penyelesaian secara damai oleh para pihak yang
bersengketa. Pada umumnya dalam setiap tahap proses penyelesian sengketa,
selalu diupayakan untuk menyesuaikan secara damai diantara kedua belah
pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan
oleh kedua pihak yang bersengketa (antara pelaku usaha dan konsumen) tanpa
melalui pengadilan ataupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat didalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Pengadilan ataupun Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang
terdapat didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Ada tiga pilihan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang berselisih
dalam menyelesaikan pertikaian di antara mereka. Dalam penyelesaian di
luar pengadilan dapat ditempuh melalui arbitrase dan konsiliasi yang
disepakati bersama atau bila tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi
wajib.18 Konflik adalah situasi (keadaan) di mana dua atau lebih pihak-pihak
memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan
dan di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai
kebenaran tujuannya masing-masing.
Konflik/perselisihan/percekcokan adalah adanya pertentangan atau
ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan
hubungan kerjasama. Dalam pengertian lain, konflik dapat dimaknakan
sebagai suatu kondisi di mana pihak yang satu menghendaki agar pihak yang
lain berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan yang diinginkan, tetapi pihak

22
lain menolak keinginan itu. Dengan demikian dapat ditarik unsur-unsur
dari konflik perselisihan/percekcokan tersebut adalah:
1. Adanya pihak-pihak (dua orang atau lebih);
2. Tujuan yang berbeda, yakni pihak yang satu menghendaki agar pihak yang
lain berbuat/bersikap sesuai dengan yang dikehendakinya;
3. Pihak yang lain menolak keinginan tersebut atau keinginan itu tidak
dapat dipersatukan.
Perselisihan memiliki beberapa bentuk seperti dijelaskan dalam Black Law
Dictionary, yakni conflicting evident, conflict of authority, conflict of interest,
conflict of law, conflict of personal law.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Pasal 46 menyatakan dalam ayat:
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d
diajukan kepada peradilan umum.
Menurut Penjelasan Pasal 46 ayat (1) huruf (b): Undang-undang ini
mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class
action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat

23
dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti
transaksi. Huruf (d): Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen.
Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan konsumen menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatakan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak terjadi atau tidak
terulangnya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Pasal 48
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Penyelesaian
Sengketa Konsumen melalui peradilan mengacu pada ketentuan peradilan
umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Perlindungan
Konsumen (UUPK) telah memberikan legitimasi terhadap keberadaan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Dalam Pasal 44
disebutkan bahwa:
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat.
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki
kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan
konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi
kegiatan:
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
b. hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam
c. mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
d. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
e. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
f. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
g. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat

24
h. terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Di Indonesia peran sebagaimana dimaksud UUPK tersebut, antara lain
telah dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sebuah
lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi perlindungan konsumen
yang sudah mengalami pasang-surutnya perlindungan konsumen di Indonesia.
LSM ini sudah terbiasa melakukan tugas-tugas pelayanan dan pendampingan
para korban, meskipun masih dirasakan sangat terbatas serta melakukan
pemantauan (monitoring) isu- isu konsumerisme. Konsumerisme, yaitu:
gerakan masyarakat konsumen di dalam memperjuangkan hak dan
kewajibannya dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
Konsumtif bermakna negatif, yaitu: mengkonsumsi barang dan jasa secara
berlebihan berdasarkan desakan psikologis semata (status sosial, iklan, dan
lainlain), dan tidak rasional.
UUPK merupakan salah satu kemajuan yang diperoleh melalui advokasi-
advokasi. Menurut Mansour Fakih, advokasi merupakan suatu usaha
sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya
perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental).
Semula di masa Orde Baru, advokasi selalu diberi makna sebagai usaha- usaha
maker kalangan anti kemapanan untuk merongrong pemerintah yang sah,
padahal makna sebenarnya tak seperti itu. Advokasi bukan suatu revolusi,
tetapi lebih merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran
dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang
terdapat dalam sistem yang berlaku. Pengertian advokasi di sini tidaklah
sekedar kegiatan beracara di peradilan (litigasi) yang dilakukan para
advokat/pengacara, melainkan sangat luas, dalam hal ini advokasi untuk
keadilan sosial (social justice), yaitu advokasi yang justru meletakkan korban
kebijakan sebagai subjek utama. Kepentingan para korban menjadi agenda
pokok dan penentu arah advokasi.

25
Pasal 1 butir 9 UUPK, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non- pemerintah yang terdaftar dan
diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan
konsumen.
Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1993 (GBHN 1993), Undang-
undang No.8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan
Pemerintah No.18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No.8 tahun 1985,
Instruksi Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 1990 tentang Pembinaan LSM,
dan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Sosial No. 78
tahun 1993 tentang Pembinaan Organisasi Sosial/ Lembaga Swadaya
Masyarakat. Ketentuan-ketentuan terkait itu dirujuk dalam Konsep Bahasan
Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Kemasyarakatan tanggal 10 Februari
1994, yang disusun dan dipersiapkan oleh Direktorat Pembinaan Masyarakat
pada Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri. Pokok-
pokok persoalannya telah disosialisasikan dalam Forum Komunikasi antara
Pemerintah dan LSM pada awal Februari 1994.24. Dalam perkembangannya
lebih lanjut, resistensi terhadap kegiatan-kegiatan filantropi yang dilindungi
UUPK ini semakin mengemuka setelah berlakunya Undang-Undang No.18
Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 No.49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
4282). Terutama Pasal 31 UU Advokat berikut ini “Setiap orang yang dengan
sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah
sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-
undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Pasal 47: Penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan
terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan. Menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 8

26
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 47: Bentuk jaminan yang
dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa
tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen
tersebut.
Pasal 48: Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu
pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 45. Tugas pokok dari pengadilan adalah menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Perkara- perkara tersebut haruslah perkara yang merupakan
kewenangannya. Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan
kompetensi absolut atau kewenangan mutlak lembaga peradilan adalah
wewenang lembaga pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam
lingkungan peradilan yang sama (pengadilan negeri, pengadilan tinggi,
mahkamah agung) maupun dalam lingkungan peradilan lain (pengadilan
negeri, pengadilan agama).25 Misalnya kewenangan pengadilan umum
(negeri) adalah memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama
segala perkara perdata dan pidana (Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986).
Menurut Pasal 1 ayat (9) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981
dinyatakan bahwa mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang ini.

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak, kewajiban serta
perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan
kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat factor utama
perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah
kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta
kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang, pelaksana serta pengawas atas jalannya
hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar
memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan
konsumsi ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan
lancer tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang
memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka
dirugikan karena kesalahan yang yang diakibatkan dari proses produksi yang
tidak sesuai dengan standar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan
UU yang telah dibaut oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar
tercipta harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa
membahayakan konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan
tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa dan gugatan diajukan kepada peradilan umum. Penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai

28
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan
terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Tugas dan kewenangan Badan Penyelesian Sengketa Konsumen, yaitu
di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan. Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen
dilakukan melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi; konsultasi perlindungan
konsumen; pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; melaporkan
kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran undang- undang
konsumen; menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen. Putusan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat
konsumen yang dirugikan.

B. Saran
Penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha baik yang
dilakukan melalui pengadilan maupun di luar pengadilan hendaknya
dimanfaatkan oleh konsumen untuk memperjuangkan hak-hak konsumen yang
dirugikan. Oleh karena itu pihak konsumen harus mengadukan dan
melaporkan setiap bentuk pelanggaran hak-hak konsumen yang telah
menimbulkan kerugian agar pelaku usaha dapat melaksanakan tanggung
jawabnya.
Pelaksanaan tugas dan kewenangan Badan Penyelesian Sengketa
Konsumen, yaitu di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen
di luar pengadilan, memerlukan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kepada
pemerintah mengenai kasus-kasus pelanggaran hak-hak konsumen yang telah
diupayakan untuk diselesaikan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
perlu secara tegas dan efektif memberlakukan sanksi administrasi kepada
pelaku usaha yang merugikan konsumen dan merekomedasikan putusannya
sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melaksanakan tugas

29
penyidikan guna mengungkapkan pelanggaran konsumen yang telah
menimbulkan kerugian.

30
DAFTAR PUSTAKA

Kansil C.S.T, Kansil Christine S.T. 2004. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum


Dagang Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Siahaan, N.H.T. 2005. Hukum Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta :


Panta Rei.

Abdullah, Juaedi. 2010. Aspek Hukum Dalam Islam. Kudus : Nora Media


Enterprise.

Asyhadie, Zaeni. 2014. Hukum Bisnis dan Pelaksanannya di Indonesia. Jakarta :


PT.Raja Grafindo Persada.

Djakfar, Muhammad. 2009. Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi


Perundangan Nasional dengan Syari’ah. Yogyakarta : PT. LKIS Printing
Cemerlang.

31

Anda mungkin juga menyukai