Anda di halaman 1dari 18

NAMA :

NIM :

A. Sejarah Sosial
1. Pengertian
Menurut Kartodirdjo (1993: 50) yang mengartikan sejarah sosial
secara luas, menganggap setiap gejala sejarah yang memanifestasikan
kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok, dapat disebut sejarah
sosial.1
Dalam perkembangannya sejarah sosial mendapat konotasi yaitu
sebagai sejarah perjuangan kelas pada umumnya, dan berdekatan dengan
arti tersebut ialah sejarah sosial sebagai sejarah gerakan sosial, antara lain
mencangkup gerakan serikat buruh, gerakan kaum sosialis, gerakan kaum
nasionalis, gerakan emansipasi wanita, gerakan nati perbudakan dan lain
sebagainya. Gerakan sosial (social movement) sebagai gejala sejarah
senantiasa menarik karena di dalamnya terdapat proses dinamis dari
kelompok dari kelompok sosial yang dimobilisasi oleh tujuan ideologis,
terutama pada fase gerakan itu belum melembaga secara ketat sebagai
organisasi formal. Aspek prosesual juga sangat menonjol dalam sejarah
sosial seperti sejarah urban (kota) yang mencangkup proses urabanisasi,
mobilitas penduduk, kriminalitas, dan masalah sosial lainnya, sejarah
bisnis, rekreasi, kesenian, dan lain sebagainya.2
Sebagai pusat dinamika sosial, kota sudah barang tentu kaya raya
akan datanya. Sejarah Revolusi sudah barang tentu pada umumnya
berpusat di kota-kota. Gerakan massa berlokasi di kota pula. Banyak
sejarah sosial juga memuat segi struktural di samping segi prosesual.
Apabila proses-proses sosial melembaga pada fase tertentu dalam
pertumbuhannya, maka akan tampil strukturasi dan alhasil ialah

1
Tim Pengajar WSBM, Wawasan Sosial Budaya Maritim. (Makassar: UPT.MKU Unhas.
2011) h. 78
2
Vlekke, 2008 dalam Abd Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia. (Yogyakarta,
Penerbit Ombak.. 2013) h. 34
stratifikasi. Mengenai proses dan struktur atau segi prosesual dan segi
struktural sebenarnya ada di dalam sejarah sosial. Pada umumnya kedua-
duanya terdapat di dalamnya, lebih- lebih kalau yang dideksripsikan
menyangkut masalah perubahan sosial, mau tak mau kedua aspek akan
dijumpai secara silih berganti. Di mana dalam perubahan sosial banyak
inovasi terjadi sebagai dampak introduksi nilai, sistem, komoditi,
teknologi baru, sehingga proses penerimaan atau adaptasi terhadap
kehadirannya menuntut perubahan pola kelakuan. Proses pembudidayaan
atau pelembagaannya senantiasa makan waktu dan tidak jarang penuh
ketegangan, keresahan, konflik dan benturan, sehingga proses menonjol
atau segi prosesual dalam dekskripsi yang diutamakan.
Sebaliknya, dalam masa penuh kestabilan dan ekuilibrium sosial,
yang menonjol sudah barang tentu lembaga-lembaga sosial, seperti
negara, sistem pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan, pelayanan,
dan fasilitas, sehingga struktur yang nampak jelas.
Sebenarnya proses dan struktur terjalin erat satu sama lain. Dapat
dikatakan bahwa proses adalah aspek dinamis dari struktur, sedangkan
struktur adalah aspek statis dari proses. Proses sejarah senantiasa bergerak
antara keduanya, segi proses mengarah ke pelembagaan atau strukturasi,
sedang strukturasi adalah pengendapan proses sebagai institusi atau
lembaga. Sejarah deskriptif-naratif pada hakikatnya hanya memberi
gambaran segi prosesual, urutan kejadian, dan bagaimana perkembangan
peristiwa mewujudkan unit prosesual tertentu. Dalam sejarah konvensional
tidak dikenal uraian segi struktural secara eksplisit. Hal ini baru muncul
dalam sejarah baru dengan pendekatan ilmu sosial, di antaranya ada yang
disebut sejarah analisis struktural atau historical sociology (semacam
analisis sosiologis tentang masyarakat kuno, studi tentang golongan sosial
tertentu di masa lampau)
2. Ruang Lingkup Kajian
Seperti yang dijelaskan di atas, dalam pengertian sejarah sosial
selain meneliti masyarakat secara total atau global, tema-tema seperti
sebuah kelas sosial, peristiwa-peristiwa sejarah, institusi sosial maupun
fakta-fakta sosial seperti kemiskinan, kekerasan, kriminalitas dll, juga
merupakan bagian dari sejarah sosial (Kuntowijiyo, 1994: 33-34). Tulisan
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, “Pemberontakan Petani Banten 1888” yang
diterbitkan tahun 1984 barangkali merupakan sejarah sosial pertama yang
ditulis dalam historiografi Indonesia.3
Adapun manifestasi kehidupan sosial beraneka ragam, seperti
kehidupan keluarga beserta pendidikannya, gaya hidup meliputi pakaian
perumahan, makanan, perawatan kesehatan, segala macam bentuk
rekreasi, seperti permaianan, kesenian, olah raga, peralatan, upacara, dan
lain sebagainya. Dengan demikian, ruang lingkup sejarah sosial sangat
luas oleh karena hampir segala aspek hidup mempunyai dimensi sosialnya.
Lauer (1993: 6) memabagi tingkat kehidupan manusia dalam
kehidupan sosialnya dengan ruang lingkup sebagai berikut:4
a. Global → organisasi internasional, ketimpangan internaional →
GNP, data perdagangan.
b. Peradaban → lingkungan kehidupan peradaban atau pola perubahan
lain (misalnya evolusioner dan dialektika) → inovasi ilmiah, kesenian
dan inovasi lain-lain, institusi sosial.
c. Kebudayaan → kebudayaan material, kebudayaan non material →
teknologi, ideologi, nilai-nilai.
d. Masyarakat → sistem stratifikasi, struktur, demografi, kejahatan →
pendapatan, kekuasaan, dan gengsi, peranan, tingkat migrasi, tingkat
pembunuhan.
e. Komunitas → sistem stratifikasi, struktur, demografi, kejahatan →
pendapatan, kekuasaan dan gengsi, peranan, tingkat migrasi, tingkat
pembunuhan.
f. Institusi → ekonomi, pemerintahan, agama, perkawinan dan keluarga,
pendidikan → pendapatan keluarga, pola pemilihan umum, jemaah
3
Eric Hobsbawn. Primitive Rebels. (London: Routledge. 1972) h. 112
4
Fernard Braudel. The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip
II.Volume I & II. (London: Routledge. 1972) h. 89
gereja dan masjid, tingkat perceraian, proporsi penduduk di perguruan
tinggi.
g. Organisasi → struktur, pola interaksi, struktur kekuasaan,
produktivitas → peranan klik persahabatan, administrasi/tingkat
produksi, output per pekerja.
h. Interaksi → tipe interaksi, komunikasi → jumlah konflik, kompetisi
atau kedekatan, identitas keseringan dan kejarangan pertisipasi
interaksi.
i. Individu → sikap → keyakinan mengenai berbagai persoalan, aspirasi.
3. Contoh Kajian
Tulisan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo tentang “Pemberontakan
Petani Banten 1888”, merupakan salah satu tulisan tentang sejarah sosial
atu lebih spesifik lagi tentang suatu gerakan sosial. Kartodirdjo (1984: 25),
menganggap salah-satu pokok persoalan yang jelas-jelas memperlihatkan
saling ketergantungan yang aktual atau potensial antara sejarah dan
sosiologi adalah gerakan sosial. Sehingga menurutnya pemilihan atas
topik ini memberikan kesempatan yang luas untuk mengkombinasikan
kedua garis penyelidikan, namun tetap pendekatan historis yang lebih
diutamakan, sementara pendekatan sosiologis terbatas pada penggunaan
konsep-konsep sosiologis, baik sebagai kriteria selektif dalam penyusunan
data-data maupun dalam penyusunan tutunan historis.5
Pemberontakan tahun 1888 yang ditulis oleh Kartodirdjo ini,
seperti telah disebutkan diatas merupakan gerakan sosial (salah satu bahan
kajian sejarah sosial) yang terjadi di distrik Anyer di ujung barat laut Pulau
Jawa dealam jangka waktu yang relatif singkat, yaitu dari 9-30 Juli.
Namun, walaupun ruang lingkup penelitian ini, hampir seluruhnya hanya
mengenai gerakan sosial di Banten abad XIX saja, di 5 mana pembatasan
ini dilakukan dengan alasan agar penyelidikan ini akan lebih bermanfaat
jika terbatas pada satu daerah saja yang jelas batas-batasnya secara
geografis dan kultural. Dan tujuannya tidak hanya untuk melukiskan apa

5
Helius Sjamsudin. Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Ombak. 2012) h. 45
yang terjadi dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya hal
itu terjadi. (Kartodirdjo, 1984: 23)
Sementara itu Kartodirdjo (1984: 41), menjelaskan dalam studinya
ini pendekatan faktor sebagai pelengkap analisa proses, yang
memperbedakan tahap-tahap perkembangan menurut urutannya. Pada bab-
bab awal pendekatan proses diberi tekanan, sedangkan bab terakhir
membahas aspek analitis dari gerakan itu. Jadi model yang digunakan
dalam buku ini adalah naratif-analitis. Disiplin lain, seperti sosiologi,
antropologi sosial, ilmu politik, dan juga ekonomi berada pada kedudukan
yang lebih baik untuk menganalisa fenomena gerakan-gerakan sosial,
karena diharapkan dengan menggunakan pendekatan yang multi-
dimensional ini untuk memperkaya pembahasan historis masalahnya.
Namun unsur-unsur sosiologis sebagai salah satu ilmu bantu dalam tulisan
ini, nampaknya memainkan peran yang lebih dominan, spesialisasi dalam
sosiologi seperti sosiologi desa dan penjelasan sosiologi agama; konsep-
konsep sosiologi seperti perubahan sosial dan gejala-gejala yang
menyertainya-konflik sosial, mobilitas sosial, disorganisasi dan reintegrasi
sosial, yang berujung pada gerakan sosial dengan unsusr-unsur esensialnya
seperti tujuan, ideologi, kohesi golongan, organisasi dan taktik–digunakan
dalam tulisan ini untuk menganalisis tentang latarbelakang terjadinya
pemberontakan petani di Banten tahun 1888.

B. Sejarah Kebudayaan
1. Pengertian sejarah kebudayaan
Sejarah kebudayaan menurut Huizinga adalah usaha mencari
morfologi budaya studi tentang struktur. Ini berbeda dengan sosiologi,
yang melihat objeknya melalui paradigma, morfologi budaya melihat
gejala-gejala yang mempunyai makna yang jelas dalam dirinya. Setiap
detail mempunyai maknanya sendiri, tidak semata-mata sebagai ilustrasi
dari konsep umum. Kebudayaan sebagai struktur, sebuah bentuk.
Demikian juga, sejarah adalah bentuk kejiwaan dengan apa sebuah
kebudayaan menilai masa lalunya.
Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang hidup dan menjdai
serta dijadikan pedoman oleh masyarakat-masyarakat etnik yang ada
menyebar di berbagai pulau di Nusantara. Sejarah kebudayaan Indonesia
adalah riwayat kehidupan masyarakat manusia pada masa lampau beserta
keseluruhan tat kelakuan dan hasil kelakuan manusia dari masa ke masa
dalam satu wilayah yang dinamakan Indonesia.
Sejarah kebudayaan menurut Huizinga adalah usaha mencari
morfologi budaya studi tentang struktur. Ini berbeda dengan sosiologi,
yang melihat objeknya melalui paradigma, morfologi budaya melihat
gejala-gejala yang mempunyai makna yang jelas dalam dirinya. Setiap
detail mempunyai maknanya sendiri, tidak semata-mata sebagai ilustrasi
dari konsep umum. Kebudayaan sebagai struktur, sebuah bentuk.
Demikian juga, sejarah adalah bentuk kejiwaan dengan apa sebuah
kebudayaan menilai masa lalunya.6
Sejarah adalah ilmu, bukan mitologi atau roman. Pendapat dari
Huizinga bahwa sejarah perlu mencari hubungan-hubungan sehingga
realitas dapat dipahami. Dengan metode yang menggabungkan studi kritis
dengan subjektivisme, sejarahwan melihat fakta-fakta dengan usaha
mencari sinar matahari yang menembus detail-detailnya.
Burckhardt sebagai salah satu penulis klasik sejarah kebudayaan.
Burchardt menulis The Civilzation of the renaissance in Italy. Dari segi
metodologis, Burckhardt telah menunjukan bahwa sejarah kebudayaanya
telah mendahului bermacam jenis penulisan sejarah sesudahnya, dalam
setidaknya dua hal. Partama, pendekatannya singkronis, sistematis, tetapi
tanpa kesalahan kronologi dalam sajianya. Kedua, usahanya memperluas
bahan-bahan kajian sejarah kebudayaan dengan memberikan gambaran
tentang keseluruhan.

6
Fernard Braudel. The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip
II.Volume I & II. (London: Routledge. 1972) h. 34
Huizinga, sama dengan Burckhardt juga menekan
pentingnya general theme. Dalam tulisan yang secara khusus
membicarakan tugas sejarah kebudayaan. Tugas sejarah kebudayaan ialah
mencari pola-pola kehidupan, kesenian, dan pemikiran secara bersama-
sama. Tugas itu ialah pemahaman secara morfologis dan diskripsi dari
kebudayaan secara aktual dan konkrit, tidak dalam bentuk abstrak. Gambar
yang kongkrit itu disebut sebagai morfologi budaya, untuk
membedakannya dengan sekedar psikologi.
Sejarah kebudayaan menurut Josep H. Greenberg adalah bagian
dari sejarah umum, mengenai perkembangan historis bangsa-bangsa yang
belum mengenal tulisan, pada waktu sekarang dan masa lampu. Sejarah
kebudayaan hampir selalu dipelajari oleh para antropolog kebudayaan, jika
dalam keterangan ini termasuk ahli-ahli separti para arkeolog linguistik.
Difinisi ini menunjukan bahwa dalam prinsip tidak ada perbedaan yang
nyata antara sejarah seorang sejarahwan profesional dan sejarahwan
kebudayaan. Untuk membedakan dua sejarahwan itu dengan mengadakan
perbedaan antara penggunaan sumber-sumber dokumentasi tertulis sebagai
sumber utama atau satu-satunya sumber bukti yang diterima oleh
sejarahwan ahli, dengan bermacam-macam metode yang berdasarkan
dugaan (conjectural) yang dipergunakan oleh peneliti kebudayaan yang
belum mengenal tulisan.7
Jadi, tujuan sejarah kebudayan sesungguhnya tidak berbeda dari
tujuan sejarah Kovensional, terutam sejarah konvensional dipandang dari
aspek yang sangat umum dan tidak hanya sebagai sejarah politik, tetapi
sebagai sejarah dari segala aspek kebudayaan. Dan dapat ditambahkan,
tujuan utama ini, ialah mengenai perkembangan kebudayaan
membutuhkan keterangan (data) tertentu yang nonkebudayaan, seperti
perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan rasial, manusia sebagai hasil
dari mekanisme yang mengisolir perbedaan etnis yang sejajar, dan dugaan-
dugaan mengenai faktor-faktor demografis kuno. Maka perbedaan-

7
Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis. (Jakarta: Komunitas Bambu. TT) h. 22
perbedaan sejarah kebudayaan dan sejarah konvensional adalah suatu
perbedaan tingkatan bukan perbedaan jenis. Di karenakan sejarahwan
kebudayaan untuk sebagain besar harus percaya pada sumber-sumber
nondokumenter, ia akan berhadapan dengan kelompok-kelompok dan
bukan dengan perorangan, dan skala waktu akan kerap kali relatif daripada
positif.8
Sepertiga wilayah Indonesia terdiri dari bentangan perairan, mulai
dari laut hingga danau dan sungai. Secara khusus laut memiliki peranan
penting dalam dinamika politik dan masyarakat Indonesia. Dari sudut
pandang masa kini, laut tidak lagi dipandang sebagai pemisah daratan atau
pulau-pulau tetapi lebih sebagai pemersatu. Selain itu, laut merupakan urat
nadi penting dalam komunikasi antar tempat di nusantara.9
Dewasa ini di tengah-tengah persaingan ekonomi bangsa-bangsa
yang semakin menajam, konsep Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state) perlu dimantapkan untuk disebarluaskan dan
diperjuangkan di tingkat internasional. Sudah tahun 1957, ketika Deklarasi
Juanda dicanangkan, gagasan itu muncul. Deklarasi ini menyatakan bahwa
batas territorial atau kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah garis terluar dari batas pantai yang saling berhubungan dan tidak
ada celahnya. Gagasan ini merupakan jawaban terhadap pandangan Laut
Bebas yang menimbulkan anggapan perairan di seluruh dunia sebagai
common property.
Pada tahun 1980-an muncul gagasan Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE), yang memberikan kedaulatan kepada Negara kepulauan untuk
menggarap sumber daya maritimnya. Belitung termasuk dalam jajaran
pulau-pulau terdepan (Zuhdi 2006: 8). Kemudian, perhatian terhadap
Sejarah Maritim membawa perubahan besar dalam metodologi
Historiografi Indonesia. Sudut pandang Sejarah Indonesia bertambah

8
Tim Pengajar WSBM, Wawasan Sosial Budaya Maritim. (Makassar: UPT.MKU Unhas.
2011) h. 90
9
R.Z Leirissa dkk. Sejarah Perekonomian Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2012)
h. 13
dengan “sudut pandang dari laut.” Maksudnya, dinamika kelautan menjadi
bagian perubahan di Indonesia terutama yang “berlangsung di daratan.”
Dengan begitu, penulisan sejarah Indonesia menjadi lengkap dan
komprehensif. Dalam pemikiran Susanto Zuhdi (2006), seorang Guru
Besar Sejarah Indonesia di Universitas Indonesia, perspektif Tanah Air
perlu memperoleh pertimbangan dalam Historiografi Indonesia. Penulisan
Sejarah Maritim berawal dari karya A.B. Lapian (1987) yang
mengetengahkan trikotomi tipologi dalam konstelasi dan dinamika di laut,
sebagai Raja Laut, Bajak Laut dan Orang Laut.
2. Ruang lingkup kajian
Dalam beberapa ulasan isi buku yang merujuk dalam ruang
lingkup sejarah kebudayaan yaitu, penulis buku ini dapat memasukan 7
unsur universal budaya, sebagai berikut:10
a. Bahasa
b. Sistem teknologi
c. Sistem mata pencaharian
d. Organisasi sosial
e. Sistem pengetahuan
f. Religi
g. Kesenian
Dari tujuh unsur universal budaya ini, memberikan bukti bahwa
dalam  ruang lingkup kebudayaan sangat kongkrit. Sedangan dalam ilmu
sejarahnya buku ini sudah menjelasakan tentang periodesasinya secara
kronologis. Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, ialah
bangunan yang di susun penulis sebagai suatu uraian atau carita. Uraian
atau carita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-
fakta terangkaikan untuk mengambarkan sauatu gejala sejarah, baik proses
maupun struktur. Kasatuan ini menunjukan koherensi, artinya dari
berbagai unsur saling mempunyai hubuangan satu kesatuan. Fungsi unsur-
unsur itu saling menopang dan saling tergantung satu sama lain.

10
Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis. (Jakarta: Komunitas Bambu. TT) h. 56
Beberapa ulsan buku yang mengarah secara kronologis yaitu,
dijelaskan pada awal kehadiran  Belanda menjadi seorang pedangan
namun lambat laun Orang Belanda menjadi seorang penguasa. Pada masa
orang Belanda menjadi pedagang banyak didirikan gudang-gudang
(pakhuizen) sebagai tempat penyimpanan barang dangan  sakaligus
sebagai tempat penimbunan barang dangang seperti berupa rempah-
rempah, antara lain daerah Banten, Jepara, dan Yogyakarta, VOC
membangun gudang-gudang kemudian diperkuat dengan benteng
pertahanan sekaligus sebagai tempat tinggal, ini merupakan sebagai
penguat dalam persaingan perdangan-perdangan.
Pada masa Peterzoon Coen, yang hadir dalam di Batavia yang diawali
juga pembaguan Pakhuizen di tepi timur kali ciliwung. Di Batavia dibuat
kanal dan rumah tinggal dibagun sepanjang kanal, berderet-deret ini
mempunyai kesamaan dengan negari Belanda.
Tahun 1650 Batavia sudah menjadi kota benteng dangan luas kurang
lebih 150 hektar. Rumah tinggal pejabat, segala hal yang penting seperti,
uang, arsip, kekayaan lain disimpan dalam benteng. Pada masa berikutnya
banyak para pembesar tinggal di luar benteng diakibatkan dalam luar
benteng kondisi keamanan terjamin dan tidak adanya perlawanan dari
masyarakat sekitar, namun kegiatan pemrintahan, penerimanan utusan
bangsa asing, upacara resmi, pesta-pesta, dilaksanakan dalam benteng,
bahkan dalam benteng ini sebagai jantung kegiatan ekonomi kompeni.
Sebagai hasil kebudayaan yang dibawah dari Negari Belanda yang
diadopsi di negari jajahan.
Berkembangan pada masa Gubernur Jendaral Volekenier (1737-1741)
ini merupakan pejabat tertinggi yang terkahir tinggal di benteng. Para
pejabat VOC menmdirikan ruamah dengan taman yang luas yang disebut
dengan langdhuis yang mengkuti model Belanda pada abad
XVIII. Langdhuis ditempati oleh keluraga yang beranggotakan banyak
yang terdiri atas  keluraga inti dengan puluhan bahakan ratusan budak dan
gaya seperti ini disebut (landhuizen). Gaya hidup landhuizen ini tidak
dikenal di negara Belanda. Keterangan ini meguatkan bahwa salah satu
unsur dari 7 universal masuk dalam materi pembahasan.
Perubahan dalam segi lahan pemukiman orang Belanda kota berada di
hilir mulia masuk ke daerah pedalaman ini dikarekan beberapa faktor
yaitu, karena bermukin dihilir sungai kurang sehat. Pedalaman dianggap
lebih sehat, dengan pembangunan daerah pedalaman Belanda
mempertimbangkan kondisi alam dan menyesuaikan tuntutan hidup
dengan keadaan alam dan kehidupan sekelilingnya mengambil budaya
setempat.11
Pada tahun 1870 berlakunya politik Liberal dan di bukanya terusan
Zues, maka memberikan dampak tenaga kerja pendidik dari Belanda
semakin benyak beerdatangan keindonesia ini memberikan perluasan
dalam percampuran budaya. Organisasi semkin berkembang, indische ini
merupakan bentukan dari pribumi dengan orang Belanda berkerjasama,
antara lain Dauweas Deker, Tjipto Mangun Kusumo, dan Surwadi
Suryanigrat pada tahun 1912. Bahkan dalam karya seni dalam bidang
agama misal dilihat dari lampiran gambar Bunda Marai memakai sewek
yang khas orang jawa dan gambar-gambar wayang. Dalam segi bahasa
banyak bahasa Belanda yang du ucapkan dalam lidah jawa dan begitu juga
bahasa Jawa ada istilah-istilah tertentu yang tidak ada pada kosakat bahasa
Belanda, orang Belanda megucakapkan bahasa jawa dengan lidah orang
Belanda.
Jadi kebudayaan dan gaya hidup Indis, kata indis yang berasal dari
bahasa belanda “Nederlandsch Indie atau Hinda-Belanda. Kebudayaan
Indis adalah suatu fenomena historis, yaitu sebagai bukti hasil dari
kreativitas kelompok atau golongan masyarakat pada masa kekuasan Hidia
Belanda dalam mengahadapi tantangan hidup dan berbagai faktor yang
mengadopsi dalam budaya “Eropa- Jawa” mencakup seluruh aspek dari
tujuh unsur universal budaya seperti yang dimiliki oleh semua bangsa di

11
A. M Djuliati Suroyo, dkk, Sejarah Maritim Indonesia 1 (Semarang : Jeda, 2007) hlm.
206.
dunia. Kebudayaan indis ini mulai mengalami kesurutan ketika Hindia-
Beland runtun dan digantikan oleh masa pemerintahan Jepang.12
3. Contoh kajian
BUKU SEJARAH KEBUDAYAAN
Dalam bukunya: Djoko Soekiman.
Judul Buku: Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukung di
Jawa (abad XVII- Medio Abad XX)
Penerbit: Yayasan Bintang Harapan, Jogyakarta, 2000.
      Dalam ulasan buku ini membahas dalam beberapa hal yaitu, awal
kehadiaran orang Belanda, masyarakat pendukung kebudayaan Indis, gaya
hidup masyarakat Indis, lingkungan pemukiman masyarakat Eropa, Indis
dan Pribumi. Dari beberapa pokok landasan pemikiran dari penulis buku
tersebut, menyoroti  pencipta budaya dan hasil dari kebudayaanya.13

C. Sejarah Maritim
1. Pengertian sejarah maritim
Pentingnya penghampiran terhadap sejarah maritim sesungguhnya
bukan sekedar persoalan “keadilan historiografi”, tapi lebih daripada itu.
Indonesia sekarang lebih memosisikan diri sebagai negara agraris.
Diversifikasi makanan pun lebih berorientasi pada makanan agraris.
Aktivitas perekonomian dan komoditas perekonomian pun lebih
mengandalkan darat daripada laut. Padahal luasan wilayah Negara
Republik Indonesia itu hampir dua per tiganya adalah lautan.
Realitas lain menunjukkan gejala kritis dalam berbagai hal.
Misalnya saja berkurangnya luasan lahan sawah akibat dari perubahan
fungsi lahan tanah. Hal ini berimplikasi banyak, salah satunya adalah
potensi krisis pangan. Perbandingan ketersediaan lapangan kerja dengan
jumlah pencari kerja yang tidak seimbang. Hal ini berimplikasi pada terus

12
Fernard Braudel. The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip
II.Volume I & II. (London: Routledge. 1972) h. 112
13
Djoko Suyo & Sartono Kartodirdjo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial
ekonomi. (Jakarta: Aditya media. 1991) h. 56
meningkatnya angka pengangguran yang selanjutnya berpengaruh pada
peningkatan angka kriminalitas. Selain itu, potensi terjadinya disintegrasi
bangsa selalu menghantaui negeri ini.
Oleh karena itu, salah satu solusi mengatasi berbagai persoalan
bangsa adalah memberi perhatian yang wajar dan proporsional terhadap
sektor maritim. Bahkan ada yang mengusulkan agar Indonesia menjadi
negara maritim, bukan negara agraris lagi.
Bila hal itu disepakati maka untuk membangun negara bahari
diperlukan landasan budaya dan nilai bahari yang kuat. Untuk membangun
“Indonesia Baru” sebagai negara bahari peran sejarah maritim sangat
penting. Melalui pengkajian terhadap sejarah maritim diharapkan terjadi
penanaman nilai-nilai budaya bahari dan memperkuat integrasi bangsa.
Dikaitkan dengan kepentingan praktis, sejarah maritim dapat mengungkap
setidaknya dua persoalan. Pertama seberapa jauh nilai-nilai integrasi
bangsa ditanamkan dalam jiwa segenap generasi muda bangsa Indonesia.
Kedua adalah sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai budaya bahari kepada
segenap anak bangsa.
Terdapat dua istilah yang digunakan untuk melabeli sebuah negara
dilihat dari kondisi geografisnya. Pertama adalah negara pesisir atau
maritim; kedua adalah negara pedalaman atau agraris. Indonesia termasuk
negara maritim karena dilihat dari konstruksi kewilayahannya, yang terdiri
dari 17.000 buah pulau dan garis pantai sepanjang sekira 81.000 km.
Selain dari faktor geografis, dari faktor historis pun sejarah Indonesia
identik dengan sejarah maritim.
Kondisi Indonesia seperti itu sangat ironis jika dilihat realitas
lainnya yang sama sekali sangat berlawanan secara diametral dengan
karakter kemaritiman. Atau, dengan kata lain, realitas yang ada tidak
berkorelasi positif dengan sifat-sifat kemaritiman. Misalnya saja, contoh
sederhana: produktivitas ikan laut, prosentase penduduk sebagai konsumen
ikan laut, identifikasi masyarakat nelayan sebagai masyarakat miskin.
Belum lagi bila ditunjukkan contoh-contoh lain yang lebih serius. Tidak
sampai di situ, “pengasingan” terhadap dunia kelautan pun ternyata
dilakukan oleh ilmu sejarah.
Ketika kajian sejarah sudah mulai melepaskan diri dari hal-hal
yang bersifat konvensional pun dan beralih ke kajian sejarah melalui
pendekatan ilmu-ilmu sosial, tetap saja belum banyak mengubah nasib
sejarah maritime. Tema sejarah ini belum banyak dihampiri sejarawan.
Beberapa sejarawan yang punya perhatian besar terhadap sejarah maritime
adalah, hanya menyebut beberapa: F.A Sutjipto, A.B. Lapian, Susanto
Zuhdi, Gusti Asnan, Singgih Tri Sulistiyono, E.L.Poelinggomang, dan
sebagainya.14
Secara kelembagaan, saya kira, baru Program Studi Sejarah
Universitas Diponegoro yang secara serius mengembangkan penelitiannya
ke arah sejarah maritim. Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran
hampir belum memberi perhatian terhadap sejarah maritim.
2. Ruang lingkup kajian
Ruang lingkup Sejarah Maritim  sejauh ini masih merujuk pada
sejumlah studi yang telah dilakukan oleh para sarjana, yang berkaitan
dengan dunia kelautan, meliputi aspek perdagangan, pelayaran,
perkapalan, pelabuhan, dan perompakan. J. C. van Leur (1934)
menfokuskan kajiannya pada perdagangan awal di Asia Tenggara sampai
datangnya VOC. Menurutnya, pedagangan masa itu lebih bersifat
perdagangan barang-barang lux (mewah dan mahal). Volumennya kecil,
tetapi bernilai tinggi.15
Kapal-kapal yang digunakan berukuran kecil, karena memang
tidak memerlukan tempat yang luas dan besar dalam pengangkutannya.
Sarjana lain, Meilink-Roelofs (1962), mengatakan bahwa perdagangan
masa itu bersifat besar-besaran, ditandai pedagangan lada yang
memerlukan kapal besar.

14
Puryono,Sri. Mengelola Laut Untuk Kesejahteraan Rakyat. (Jakarta: Kompas Gramedia.
2016) h. 45
15
Tim Pengajar WSBM, Wawasan Sosial Budaya Maritim. (Makassar: UPT.MKU Unhas.
2011) h. 89
Pengaruh perdagangan bagi perkembangan masyarakat pesisir di
Nusantara meupakan fokus kajian O.W. Wolters. Menurutnya, munculnya
kerajaan-kerajaan awal di Asia Tenggara merupakan akibat dari reaksi
penduduk setempat yang diberikan kesempatan oleh pedagang asing ketika
menjalin perdagangan maritim.
Sementara itu, Kenneth R. Hall (1985) mengaitkan kemunculan
negara-negara awal di Asia Tenggara dengan perkembangan perdagangan.
Menurut Anthony Reid (1999), kedudukan pelabuhan sangat penting
dalam perdagangan maritim Asia Tenggara, terutama pada pola pelayaran
tradisonal yang memanfaatkan angin muson yang bertiup teratur sepanjang
tahun. Dari bulan April sampai Agustus, angin bertiup ke utara menuju
daratan Asia.
Sebaliknya, dari bulan Desember sampai Maret angin bertiup ke
arah selatan, yakni dari daratan Asia ke Samudera Hindia dan Laut Cina
Selatan. Pergantian muson ini secara langsung mempengaruhi route
pelayaran, juga perkembangan pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara.
Berkaitan dengan kegiatan pelayaran dan perdagangan, fenomena yang
tidak kalah pentingnya dalam kajian sejarah maritim adalah masalah
perompakan. Aktivitas ini, menurut Fernand Braudel (1976) dan Lapian
(2009), terkait erat dengan keadaan kemakmuran di suatu perairan.
Korelasi antara kegiatan bajak laut dengan perdagangan merupakan bentuk
awal dari perdagangan maritim. Dalam hal itu, kebutuhan akan
perdagangan yang semula berupa tukar- menukar barang timbul karena
kekurangan suatu barang tertentu di suatu tempat, sedangkan tempat lain
mempunyai surplus.16

3. Contoh Kajian

16
Vlekke, dalam Abd Rahman Hamid, 2013. Sejarah Maritim Indonesia. (Yogyakarta,
Penerbit Ombak.. 2008) h. 53.
Suku bangsa Ameng Sewang kiranya dapat dijadikan contoh untuk
mengenali pola kehidupan sosial budaya orang Laut secara keseluruhan.
Naskah-naskah lama menyebutkan bahwa orang Laut sudah lama hidup di
perahu mengelompok di daerah perairan dangkal, dan tidak pernah tinggal
di darat. Ada anggapan orang Laut bahwa darat adalah tempatnya orang
mati, sedangkan laut tempatnya orang hidup dan mencari kehidupan.
Sebuah laporan Belanda menyebutkan bahwa pada tahun 1668 sebuah
kapal Belanda yang merapat di Belitung, para awaknya diserang oleh
orang Ameng Sewang. Ini artinya, pada masa itu orang Ameng Sewang
telah mempunyai suatu kekuatan yang patut diperhitungkan.
Laut adalah tempatnya orang Laut hidup dan mencari kehidupan.
Kawasan perairan tempatnya mereka mencari kehidupan adalah Selat
Karimata, sebuah selat di antara Laut Tiongkok Selatan dan Laut Jawa.
Selat ini dikenal sebagai perairan yang ganas, terutama ketika angin
musim barat. Pada musim ini orang Laut tidak melaut. Mereka berlindung
di teluk atau di muara sungai yang terlindung dari angin dan ombak yang
ganas. Kadang-kadang sampai berbulan-bulan lamanya mereka berlindung
sampai musim kembali tenang.17
Suku bangsa Bajau adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan
Sulu, Filipina Selatan. Suku bangsa ini merupakan suku bangsa nomaden
yang hidup di laut, sehingga kerap disebut gipsi laut. Suku bangsa Bajau
menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku bangsa Bajau sejak ratusan tahun
yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah
Nusantara. Suku bangsa Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah.
Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara
(Filipina) pada zaman prasejarah. Suku bangsa Bajau yang sudah Islam ini
merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang
memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan
menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan

17
Vlekke, 2008 dalam Abd Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia. (Yogyakarta,
Penerbit Ombak.. 2013) h. 56
suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu Suku bangsa Bugis, Suku
bangsa Makassar, Suku bangsa Mandar.
Wilayah yang terdapat Suku bangsa Bajau, antara lain: Kalimantan
Timur (Berau, Bontang, dan lain-lain), Kalimantan Selatan (Kota Baru)
disebut orang Bajau Rampa Kapis, Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Pulau
Komodo). Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu
dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya
bekerja sebagai nelayan. Seperti Suku bangsa Bajau, Orang Laut kadang-
kadang dijuluki sebagai "kelana laut" atau “gipsi laut”, karena mereka
hidup berpindah-pindah di atas perahu.18
Termasuk juga Suku bangsa Laut adalah Suku Sekak. Merupakan
suku bangsa yang mendiami pesisir sepanjang pesisir utara Pulau Bangka.
Sebagian besar suku bangsa ini masih menganut kepercayaan animisme
dan dinamisme. Namun ada juga akhir-akhir ini yang sudah menganut
agama Islam dan Kristen. Ciri khas suku bangsa ini adalah mereka selalu
mendiami daerah pesisir pantai dan mata pencaharian mereka adalah
nelayan. Suku bangsa Sekak merupakan rumpun bangsa Melayu yang
mana bahasa dan dialek yang digunakan hampir mirip dengan bahasa
Melayu namun ada perbedaan yang cukup mencolok antara Suku bangsa
Sekak atau orang Sekak dibandingkan dengan orang yang mendiami Pulau
Bangka sekalipun warna kulit yang agak hitam. Kalau dilihat sepintas ada
kemiripan dengan suku bangsa-suku bangsa lain di Indonesia khususnya di
daratan Sumatera. Sekarang ini Suku bangsa Sekak tidak lagi merupakan
suku bangsa terasing karena mereka sudah beradaptasi dengan budaya-
budaya dari luar.

18
R.Z Leirissa dkk. Sejarah Perekonomian Indonesia. (Yogyakarta, Penerbit Ombak. 2012)
h. 78
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pengajar WSBM, 2011. Wawasan Sosial Budaya Maritim.


Makassar: UPT.MKU Unhas.

Vlekke, 2008 dalam Abd Rahman Hamid, 2013. Sejarah Maritim Indonesia.
Yogyakarta, Penerbit Ombak..

Eric Hobsbawn. 1972. Primitive Rebels. London: Routledge

Fernard Braudel. 1972. The Mediterranean and the Mediterranean World in the


Age of Philip II.Volume I & II. London: Routledge

Helius Sjamsudin. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis. Jakarta: Komunitas Bambu

Djoko Suyo & Sartono Kartodirdjo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia:


Kajian Sosial ekonomi. Jakarta: Aditya media

A. M Djuliati Suroyo, dkk, Sejarah Maritim Indonesia 1 (Semarang : Jeda, 2007)


hlm. 206.

Anda mungkin juga menyukai