Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ETIKA POLITIK ISLAM


“Teori-Teori Politik Barat, Etika, Moral dan Akhlak”

Disusun Oleh:
Yolanda Rama Destiani 1811150002
Neliya Denita Sari 1811150127

Dosen :
Ifansyah Putra, M.Sos

PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
BENGKULU
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Karya
Ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah ini jauh dari kesempurnaan,
Sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan di
masa yang akan datang. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca, Amin.

Bengkulu, November 2021

Penulis,

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan Masalah................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Teori-Teori Politik Barat.............................................................................. 3
B. Etika, Moral Dan Akhlak............................................................................. 8

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ......................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

ii
3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada umumnya manusia bergantung pada keadaan lingkungan disekitarnya yaitu
berupa sumber daya alam yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari.Sumber daya
alam yang utama bagi manusia adalah tanah, air, dan udara. Tanah merupakan tempat
manusia untuk melakukan berbagai kegiatan.Air sangat diperlukan oleh manusia
sebagai komponen terbesar dari tubuh manusia.Untuk menjaga keseimbangan, air
sangat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup banyak dan memiliki kualitas yang
baik.Selain itu, udara merupakan sumber oksigen yang alami bagi pernafasan
manusia. Lingkungan yang sehat akan terwujud apabila manusia dan lingkungannya
dalam kondisi yang baik.
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat
langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”.Artinya, manusia
melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran
etika.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat
manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral.Umat manusia kurang peduli
pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan
norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam
hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari
tanpa merasa bersalah.Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber
daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula
penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat
sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.
Perhatian yang serius itu semakin diperlukan terlebih dalam beberapa kasus
pembangunan, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indnesia, cenderung
bermetamorfosa menjadi “the development thet seek the economic profit for the
present without compromising the right of the people to get the good and clean
environment” atau pembangunan yang mengejar keuntungan ekonomis tanpa
memperhitungkan akibat atau dampak yang dapat merusak dan merampas hak
masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik dan bersih.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Teori-Teori Politik Barat?
2. Bagaimana Etika, Moral Dan Akhlak?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Teori-Teori Politik Barat
2. Untuk mengetahui Etika, Moral Dan Akhlak

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Politik Barat


Teori politik Barat seringkali dipahami dan dipelajari secara parsial atau
setengah-setengah. Baik dalam diskursus politik di tanah air maupun di kelas-kelas
ilmu politik di negara industrialis maju, pemikiran politik Barat seringkali direduksi
menjadi pengetahuan akan jargon-jargon belaka. Akibatnya, pemahaman  kita
menjadi jargonistik dan ahistoris, memakai istilah-istilah seperti ‘hak,’ ‘negara,’
‘kedaulatan,’ ‘kebebasan’ dan ‘kapitalisme’ tanpa memahami konteks historis dari
istilah-istilah tersebut.1
Di tengah-tengah kondisi tersebut, Ellen Meiksins Wood berusaha memberikan
analisanya tentang Pemikiran Politik Barat melalui perspektif sejarah sosial dari
Abad Renaisans hingga Abad Pencerahan. Buku ini, yang merupakan lanjutan dari
buku Wood sebelumnya, yaitu Citizens to Lords, membahas berbagai pemikiran
filsuf politik Barat, dari Machiavelli hingga Spinoza, dari Montesquieu hingga Locke
dengan meletakkannya pada konteks sosio-historis pembentukan negara,
perkembangan awal kapitalisme dan kelas borjuis, perebutan klaim kedaulatan,
hingga benturan dan dialektika antara faktor-faktor ideasional dan material.
Kali ini, Wood berusaha membongkar mitos “keterkaitan” antara modernitas,
kapitalisme, dan demokrasi. Menurut Wood, kapitalisme perlu dipahami sebagai
bentuk perkembangan unik dari fase perkembangan modernitas Barat. Wood juga
berpendapat bahwa secara historis, ada ketegangan yang tak terelakkan antara
demokrasi dan kapitalisme – sebuah ketegangan yang juga belum terselesaikan
hingga sekarang.2
Transisi Historis Peradaban Barat: Menuju Modernitas atau Kapitalisme
Wood membagi bukunya dalam delapan bab yang disusun kurang lebih secara
kronologis. Bab pertama membahas tentang debat-debat dalam transisi feodalisme ke
kapitalisme, metode penafsiran sejarah pemikiran politik Barat, dan pentingnya
sejarah sosial dalam membahas filsafat politik Barat. Bab kedua hingga ketujuh
masing-masing membahas tentang sejarah pemikiran politik mulai dari masa Negara
1
A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai. Cet. III; (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999) h. 67
2
Ritaudin Sidi. Etika Politik Islam. (Permatanet. Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan
Lampung. 2015) h. 122

3
Kota Renaisans, Reformasi Protestan, Kekaisaran Spanyol, Republik Komersial
Belanda, Absolutisme Perancis hingga Revolusi di Inggris. Di bab terakhir, Wood
kembali menegaskan argumennya tentang ketegangan antara modernitas, kapitalisme,
dan demokrasi serta implikasinya terhadap konteks sekarang ini.
Di bab pertama, Wood mengkritik dua tendensi dalam penulisan sejarah, yaitu
pendekatan posmodernis dan revisionis. Dalam berbagai debat tentang penulisan
sejarah, Wood menyadari bahwa ada sejumlah argumen yang menolak adanya sejarah
dan karenanya mempertanyakan apa yang disebut sebagai modernitas. Wood
mengritik tendensi tersebut karena menurutnya kesadaran historis itu penting untuk
memahami kondisi masa kini yang bisa jadi merupakan hasil dari suatu proses
sejarah yang panjang di masa lampau. Kesadaran akan proses dan konteks sejarah
inilah yang digunakan Wood untuk membedah sejumlah pemikiran filsuf Barat dan
meletakkannya pada konteks sosial di mana pemikiran-pemikiran tersebut lahir.
Namun, Wood juga mengingatkan kita akan satu hal: pentingnya memperhatikan
keragaman kondisi di tiap-tiap tempat dan perkembangan zaman. Sejumlah hal yang
perlu kita perhatikan dalam memahami sejarah sosial pemikiran politik Barat antara
lain adalah kondisi tatanan sosial di masing-masing tempat, pola hubungan antara
institusi kerajaan, kaum bangsawan, tuan tanah, dan rakyat (petani, kaum perempuan,
pekerja, dan lain sebagainya), perebutan klaim atas kedaulatan, definisi akan konsep-
konsep kunci dalam diskursus politik pada masa itu seperti ‘kebebasan,’ ‘rakyat,’
‘kedaulatan,’ dan lain sebagainya.3
Bab kedua dibuka dengan pembahasan akan latar belakang sejarah Negara-Kota
(City-State) di Italia. Di konteks Italia, sejumlah Negara-Kota Italia seperti Venesia
dan Firenze menjadi pusat perdagangan dan juga kota penghubung jaringan
perdagangan di Eropa pada masa itu. Namun, perlu diingat bahwa embrio kapitalisme
modern sudah berkembang di Italia. Faktanya, sebagian besar pendapatan para
penguasa seperti kaum bangsawan justru didapat dari kegiatan-kegiatan ‘ektra-
ekonomi’ (‘extra-economic’ factors) seperti pajak dari para petani penggarap dan
rakyat jelata serta fasilitas dan gaji dari jabatan negara. Kemudian, kota-kota seperti
Venesia dan Firenze, karena kemajuan ekonominya, juga menghadapi tantangan
militer dari negara-negara lain. Konteks inilah yang perlu dipahami dalam

3
Daud Silalahi. Hukum Lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkungan
Indonesia. (Alumni. Bandung. 2001) h. 45

4
menganalisa pemikiran Machiavelli, terutama dalam dua karya utamanya yaitu The
Prince dan The Discourses.
Di Bab ketiga, Wood memfokuskan pembahasannya kepada pemikiran dua tokoh
agama terkemuka di Eropa, Martin Luther dan John Calvin, dalam konteks Reformasi
Protestan dan tantangan terhadap kekuasaan Gereja Katolik pada waktu itu. Dalam
pemaparan kali ini, kita akan fokus kepada pemikiran Luther.
Martin Luther, sang reformer Protestan itu, berusaha menantang legitimasi Gereja
sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Menurut Luther, semua manusia, semua
orang beriman, memiliki kesamaan derajat di depan Tuhan. Luther mengakui bahwa
manusia memang cenderung akan tergelincir kepada perbuatan dosa, namun karena
kesamaan derajat manusia dan kasih sayang serta pengampunan Tuhan yang
universal, maka umat manusia akan diselematkan oleh Tuhan. Singkat kata, karena
semua manusia sama derajatnya di depan Tuhan dan berhak mendapatkan ampunan-
Nya, maka peranan Gereja sebagai perantara kehilangan legitimasinya. Inilah konsep
teologi Luther yang terkenal dan kontroversial itu.
Namun, ini baru sisi lain. Dalam kaitannya dengan hubungan antara Gereja,
mereka yang beriman, dan kekuasaan negara yang sekuler, Luther justru berpendapat
bahwa mereka yang beriman harus tunduk terhadap kekuasaan negara yang sekuler,
betapapun kejam dan sewenang-wenangnya kekuasaan negara, karena hanya dengan
negaralah sebuah ketertiban sosial dapat terwujud. Luther memang menyebutkan
bahwa orang-orang Kristen memiliki hak untuk melanggar aturan-aturan negara
tatkala kekuasaan negara itu menyimpang terlalu jauh dari ajaran Kristen, tetapi itu
tidak melegitimasi hak untuk memberontak terhadap negara tersebut – Luther justru
menganjurkan kaum Kristiani untuk menerima hukuman dari negara apabila mereka
menolak mematuhi aturan-aturan yang dianggap bertentangan dengan prinsip ajaran
Kristen. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, doktrin kesetaraan manusia di
hadapan Tuhan dan ketaatan manusia pada Tuhan ala Luther justru menjadi
justifikasi bagi berbagai pemberontakan petani di Eropa – suatu hal yang Luther
sendiri tidak menghendakinya.
Dalam bab ini, Wood juga mencoba membongkar persepsi populer akan tesis
Weberian tentang kapitalisme: bahwa ide-ide Protestanisme mempromosikan
perkembangan kapitalisme di Eropa. Meskipun Wood berbeda pendapat dengan Max
Weber mengenai perkembangan awal kapitalisme di Eropa, menurut Wood, Weber
sendiri tidak pernah mengatakan bahwa ide-ide Protestanisme per se lah yang

5
mendorong perkembangan kapitalisme. Menurut Wood, Weber mengakui bahwa
embrio berupa perkembangan politik dan ekonomi yang kondusif terhadap
perkembangan kapitalisme di Eropa sudah ada sebelum munculnya Protestanisme.
Ide-ide Protestan hanya menjadi katalisator  bagi perkembangan dan penyebaran
kapitalisme.
Bab keempat membahas tentang Kekaisaran Spanyol dan kolonialismenya. Para
pemikir dan filsuf politik di Spanyol pada waktu itu berusaha menjawab berbagai
permasalahan di seputar praktek kolonialisme Spanyol di Amerika Latin dan berbagai
macam dampaknya. Di satu sisi, perebutan klaim atas kekuasaan politik dan
keagamaan antara Kekaisaran Spanyol, kaum bangsawan dan pihak Gereja
mendorong Spanyol untuk memperluas Kekaisarannya. Ketergantungan ekonomi
Spanyol dengan berbagai sumber daya di tanah jajahannya seperti emas dan perak
juga semakin meneguhkan pentingnya kolonialisme bagi ekonomi Spanyol. Namun,
di sisi lain, Kekaisaran Spanyol juga memiliki kesulitan untuk menjustifikasi praktek
kolonialismenya terhadap bangsa Indian di Amerika Latin, yang menurut banyak
pemikir politik di Spanyol, juga memiliki peradaban yang sangat maju. 4
Dalam konteks inilah, berbagai pemikir dalam suatu aliran pemikiran yang
disebut sebagai Mazhab Salamanca (Salamanca School) berusaha menanggapi
berbagai dilema dalam praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme Kekaisaran
Spanyol. Mereka yang mendukung penjajahan Spanyol atas Amerika Latin
mencetuskan doktrin ‘Perang Adil’ (Just War) sebagai dalilnya. Perang Adil
berangkat dari asumsi bahwa Kekaisaran Spanyol memiliki misi untuk memajukan
peradaban manusia dan menyebarkan agama Kristen. Bangsa Indian di Amerika
Latin, betapapun majunya peradaban mereka, masih memeluk praktek-praktek
‘Pagan’ dan karenanya Kekaisaran Spanyol memiliki kewajiban untuk
‘menyebarkan’ agama Kristen dan membuat bangsa Indian menjadi ‘beradab’ –
melalui praktek-praktek seperti pemindahan agama secara paksa, perampasan tanah-
tanah adat bangsa Indian, dan eksploitasi tenaga kerja bangsa Indian di lahan-lahan
pertanian dan tanah-tanah kaum penjajah Spanyol di Amerika Latin. Sebaliknya,
mereka yang menentang praktek kolonialisme mengatakan bahwa sekalipun bangsa
Indian bukanlah orang Kristen dan karenanya kaum ‘Pagan’ atau ‘Kafir’ (Heretic),

4
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur`an . Cet. II; (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995) h. 166

6
peradaban Indian adalah peradaban yang maju dan karenanya Kekaisaran Spanyol
tidak memiliki hak untuk menjajah mereka.
Bab kelima membahas tentang Republik Belanda, kebijakan perdagangannya,
dan pengaruh dua hal tersebut pada tatanan dan pemikiran politik pada masa itu.
Pertumbuhan kota-kota di Republik Belanda menjadikannya sebagai pusat
perdagangan di Eropa pada masa itu. Bahkan, pertumbuhannya jauh lebih pesat
dibandingkan dengan berbagai Negara-Kota di Italia. Tetapi, aktivitas komersial di
Belanda berkembang pesat bukan karena aktivitas ekonomi kapitalis yang merespon
impuls pasar, namun karena akvitas ‘ekstra-ekonomi’ sebagai perantara perdagangan
(commercial mediators), alih-alih produsen (producers). Selain perdagangan,
berbagai aktivitas ‘ekstra-ekonomi’ yang lain adalah ekspansi militer, pajak yang
tinggi yang diperoleh dari rakyat, dan fasilitas yang tersedia untuk jabatan-jabatan
negara. Aktivitas-aktivitas komersial dan ‘ekstra-ekonomi’ di Belanda dan juga Italia
pada masa itu bukanlah akvititas ekonomi yang bersifat (proto-)kapitalis, karena
aktivitas-aktivitas ini pada dasarnya kurang merespon impuls pasar dan tidak
didorong oleh prinsip produksi yang kompetitif.
Bab keenam dan ketujuh membahas tentang sejumlah pemikir politik terkemuka
dalam konteks Absolutisme Negara di Perancis dan Revolusi di Inggris. Kontras
antara kondisi sosial-politik di Perancis dan Inggris dapat membantu kita memetakan
perbedaan corak pemikiran politik di antara kedua negara tersebut. Di Perancis,
terdapat ketegangan politik antara institusi negara atau monarki yang ingin
memperbesar kekuasaan absolutisnya versus kaum bangsawan dan tuan tanah yang
ingin melawan kecenderungan tersebut. Di Inggris, sebaliknya, terdapat institusi
negara yang sudah kuat sebagai hasil kompromi dan kerja sama antara pihak monarki
dan aristokrasi. Kemudian, di Perancis, kaum petani atau peasantry cenderung bebas,
dan meskipun para tuan tanah serta negara tetap berusaha untuk mengeksploitasi
kaum petani melalui pajak dan iuran, tuan tanah dan bangsawan di Perancis lebih
tertarik untuk memperkaya diri mereka melalui jalur ‘ekstra-ekonomi’ yang
disediakan oleh negara. Sebaliknya, di Inggris, sebagian besar tanah dikuasai oleh
para tuan tanah dan para bangsawan yang merespon impuls pasar, impuls komersial
di masa proto-kapitalisme. Persaingan antara para tuan tanah di Inggris dalam
memperkaya diri mereka membuat para tuan tanah berusaha menerapkan strategi
pertanian yang meningkatkan produktivitas dan efisiensi produk pertanian – suatu
strategi yang kemudian melahirkan kapitalisme agraria di Inggris.

7
Sejumlah pemikir dibahas di dua bab ini, mulai dari Montesquieu, Jean Bodin,
Rousseau, Hobbes, dan Locke. Namun kita hanya akan membahas Rousseau dan
Locke kali ini, sekaligus membongkar persepsi populer atas karya-karya mereka.
Rousseau yang seringkali dituduh memiliki kecenderungan totaliter dalam karya-
karyanya, justru merupakan pemikir yang paling berani menggugat kecenderungan
absolutisme negara di Perancis. Keunikan pemikiran Rousseau adalah analisanya
yang jeli akan negara absolutis di Perancis sebagai bagian dari dan bukan solusi atas
masalah eksploitasi terhadap rakyat terutama kaum petani penggarap. Meskipun
solusi yang diajukan oleh Rousseau jelas adalah sebuah solusi utopis – komunitas
petani yang bebas dari eksploitasi dan bebas menentukan proses produksi di antara
mereka sendiri – Rousseau merupakan salah satu pemikir pertama yang menyadari
persoalan eksploitasi dalam politik dan solusi atasnya. Sebaliknya, Locke, yang
seringkali dianggap sebagai pencetus egalitarianisme dan konsep ‘pemerintahan yang
terbatas’ (limited government) justru memiliki kecenderungan anti-demokratik. Ide
kepemilikan pribadi sebagai hak alamiah (private property as natural rights) justru
bersifat ahistoris, karena kepemilikan pribadi sesunguhnya merupakan produk sejarah
dan kreasi institusional manusia, dan cenderung memarginalkan sejumlah kelompok
masyarakat, seperti perempuan, pekerja, para petani penggarap dalam proses
demokrasi yang lebih luas dan popular, atas nama ‘pemerintahan yang terbatas.’.

B. Etika, Moral Dan Akhlak


1. Konsep Etika, Moral, dan Akhlak
Secara substansial etika, moral, dan akhlak memang sama, yakni ajaran
tentang kebaikan dan keburukan, menyangkut perikehidupan manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan, sesame manusia dan alam dalam arti luas. Yang
membedakan satu dengan yang lainnya adalah ikuran kebaikan dan keburukan itu
sendiri.5
a. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari kata 
"ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan” adalah segala sesuatu dimana dan
bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang

5
Abdurrahman.  Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. (Bandung: Citra Aditya
Bakti.  1990)  h. 89

8
menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis
dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.6
b. Pengertian Moral
Kata Moral berasal dari Bahasa Latin Moralitas, adalah
istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan
yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut
amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata
manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh
manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan
proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan
proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit
karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut
pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah
dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
c. Pengertian Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa arab “akhlaq” yang merupakan bentuk
jamak dari “khuluq”. Secara bahasa “akhlak” mempunyai arti budi pekerti ,
tabiat, dan watak. Dalam kebahasaan akhlak berarti budi pekerti, perangai
atau disebut juga sikap hidup adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan
buruk yang yang ukurannya adalah wahyu tuhan.
2. Perbedaan dan persamaan etika, moral, dan akhlak
Persamaan   
Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika, dan moral  yang dapat
dipaparkan sebagai berikut:
a. Pertama, akhlak, etika, dan moral mengacu kepada ajaran atau gambaran
tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangai yang baik.
b. Kedua, akhlak, etika, moral  merupakan prinsip atau aturan hidup manusia
untuk menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin
rendah kualitas akhlak, etika, moral seseorang atau sekelompok orang, maka
semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya.
c. Ketiga, akhlak, etika, moral  seseorang atau sekelompok orang tidak semata-
mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan,

6
A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai. Cet. III; (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999) h. 90

9
tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk
pengembangan dan aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan,
pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara tersu menerus,
berkesinambangan, dengan tingkat keajegan dan konsistensi yang tinggi.
Perbedaan
a. Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila sebagaimana
diuraikan di atas terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri
khas masing-masing dari keempat istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian
mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud: Akhlak merupakan istilah
yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Nilai-nilai yang menentukan
baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan
perangai dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran Allah.
Sementara itu, etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai,
dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika bersumber dari pemikiran
yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada intinya bersumber dari
akal sehat dan hati nurani. Etika besifat temporer, sangat tergantung kepada
aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya.
3. Macam-macam akhlak
Akhlak berasal dari kata bahasa arab “akhlak” yang merupakan jamak
dari “khuluq” dari bahasa arab yang artinya perangai, budi, tabiat dan adab.
Akhlak itu tebangi menjadi dua yaitu akhlak yang mulia atau akhlak yang terpuji
(akhlakul mahmudah) dan akhlak yang buruk atau akhlak yang tercela (akhlakul
mazmumah) .
Akhlak yang mulia, menurut imam al-ghozali ada empat perkara; yaitu
bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukan
kekuatan hawa nafsu), dan bersifat adil. Jelas beliau merangkumi sifat-sifat
seperti berbakti kepada orang tua dan negara, hidup bermasyarakat dan
bersilaturahmi, berani mempertahankan agama, senantiasa bersukur dan
berterima kasih, sabar dan ridha dengan kesengsaraan, berbicara benar dan
sebagainya.
a. Pengertian akhlak mahmudah (terpuji)
Akhlak mahmudah adalah perbuatan yang dibenarkan oleh agama (allah
dan rosulnya). Contoh : disiplin, hidup bersih, ramah, sopan santun, sykur

10
nikmat, hidup sederhana, rendah hati, jujur, rajin, percaya diri, kasih sayang,
taat, rukun,tolong- menolong, hormat dan patuh, sidik, amanah, fathanah,
tablig, tanggung jawab, adil, bijaksana, teguh, pendirian, drmawan, optimis,
qana’ah, tawakal, bertauhid, ikhlas, khauf, taubah, ikhtiyar, sabar, syukur,
tawadhu, husnuzhan, tasammuh, dan ta’awwun, berilmu, kreatif, produktif,
akhlak dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu, dan menerima tamu,
adil, ridha dan amal sholeh, persatuan dan kerukunan, akhlak terpuji dalam
pergaulan remaja, serta pengenalan tentang tasawuf. 7
Contoh-contoh akhlak mahmudah dalam pembahasan ini kami akan
menjabarkan akhlak mahmudah ysng meliputi ikhlas, sabar, syukur, jujur,
adil dan amanah.:8
1) IKHLAS
Kata ikhlas mempunyai beberapa pengertian. Menurut al-qurtubi,
ikhlas pada dasarnya berarti memurnikan perbuatan dari pengaruh-
perngaruh makhluk. Abu al-Qasyim Al-Qusyairi mengemukakan arti
ikhlas dengan menampilkan dari riwayat nabi SAW, “aku perna bertanya
kepada jibril tentang ikhlas. Lalu jibril berkata, “aku telah menanyanya
hal itu kepada allah,” lalu allah berfirman, “(ikhlas ) adalah salah satu
dari rahasiaku yang aku berikan kedalam hati orang-orang yang kucintai
dari kalangan hamba-hamba-Ku,”
Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan
kejayaan. Anggota masyarakat yang mengamalkan sifat ikhlas, akan
mencapai kebaikan lahir-batin dan dunia akhirat, bersih dari sifat
kerendahan dan mencapai perpaduan, persaudaraan, perdamaian serta
kesejahteraan.
2) AMANAH
Amanah secara bahasa bermakna wafa’ (memenuhi) dan wadhi’ah
(titipan) sedangkan secara definisi amanah berarti memenuhi apa yang di
titipkan padanya.hal ini didasarkan pada firman allah SWT:
“sesungguhnya allah memerintakan kepada kalian untuk mengembalikan

7
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan
dalam Konstituante. Cet. I; (Jakarta: LP3ES, 1985) h. 144
8
Ritaudin Sidi. Etika Politik Islam. (Permatanet. Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan
Lampung. 2015) h. 56

11
titipan-titipan kepada yang memilikinya, dan jika menghukum diantara
manusia agar menghukumi dengan adil...”(QS 4;58).
Dalam ayat lainnya, allah juga berfirman: “sesungguhnya kami telah
menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
mereka enggan memikulnya karena mereka khawatir akan
menghianatinya, maka dipikullan amanah itu oleh manusia. Sesunguh
manusia itu sangat dzolim dan bodoh...” (QS 33: 72).
3) ADIL
Adil berarti menempatkan/meletakan sesuatu pada tempatnya. Adil
juga tidak lain ialah merupakan perbuatan yang tidak berat sebelah. Para
ulama menempatkan adil pada beberapa peringkat, yaitu adil pada diri
sendiri, bawahan, atasan/pimpinan dan sesama saudara, “tiga perkara
yang menyelamatkan yaitu takut kepada allah ketika bersendiriaan dan di
khalayak keramaian, berlaku adil ketika suka dan marah, dan berjimat
cermat ketika susah dan senang, dan tiga perkara yang membinasakan
yaitu mengikuti hawa nafsu, terlampau bakhil, dan kagum seseorang
pada dirinya sendiri.” (HR. Abu syeikh).
4) Bersyukur
Syukur menurut kamus “Al-Mu’jamu al-wasith” adalah mengakui
adanya kenikmatan dan menampakannya serta memuji (atas) pemberian
nikmat tersebut. Sedangkan makna syukur menurut syar’i adalah:
menggunakan nikmat allah SWT dalam (ruang lingkup) hal-hal yang di
cintainya. Lawannya syukur adalah kufur yaitu dengan cara tidak
memanfaatkan nikmat tersebut, atau di gu nakan dalam hal-hal yang di
benci allah.
b. Pengertian akhlak mazmumah (tercela)
Akhlak mazmumah (tercela) adalah perbuatan yang tidak di benarkan
oleh agama (Allah dan RosulNYA ). Contohnya : hidup kotor, berbicara
kasar, bohong, sombong, malas, durhaka, khianat, iri, dengki, membangkang,
munafik, hasud, kikir, serakah pesimis, putus asa, marah, fasi dan murtad,
kufur, syirik, riya, nifaq, anaaniah, putus asa,ghalab, tamak. Takabbur, hasad,
dendam, gibah, fitnah, dan namimmah, aniaya, dan diskriminasi, perbuatan
dosa besar (septi mabuk- mabukan, berjudi, zina, mencuri, mengkonsumsi
narkoba) israf, tabzir. Contoh sifat mazmumah (tercela) yaitu :

12
1) IRI
        Iri adalah sikap kurang senang melihat orang lain mendapatkan
kebaikan atau keneruntungan. Sikap inio kemudian menimbulkan prilaku
yang tidak baik terhadap orang lain, misalya sikap tidak senang, sikap
tidak ramah terhadap orang yang kepadanya kita iri atau menyebarkan
isu-isu yang tidak baik. Jika perasaan ini di biarkan tumbuh di dalam
hati, maka akan muncul perselisihan, permusuhan, pertengkaran, bahkan
sampai pembunuhan, seprti terjadi pada kisah qobil dan habil. 9
2) Dengki
          Dengki artinya merasa tidak senang jika orang lain mendapatkan
kenikmatan tersebut cepat berakhir dan berpindah kepada dirinya, serta
merasa senang kalau orang lain mendapat musibah. Sifat dengki ino
berkaitan dengan iri. Hanya saja sifat dengki sudaah dalam bentuk
perbuatan yang berupa kemarahan, permusuhan, menjelek-jelekan,
menjatuhkan nama baik orang lain
3) Hasud
             Hasud adalah sikap suka menghasud dan mengadu domba
terhadap sesama. Menghasud adalah tindakan yang jahat dan
menyesatkan, karna mencemarkan nama baik dan merendahkan derajat
seseorang dan juga karena mempublikasikan hal-hal yang jelek yang
sebenarnya harus di tutupi. Jadi bahwa iri, dengki dan hasud itu adalah
suatu penyakit. Pada dasarnya iri yaitu perasaan tidak suka terhadap
kenikmatan yang dimiliki orang lain. Kemudian jika dibiarkan tumbuh,
iri hati akan berubah menjadi kedengkian. Penyakit kedengkian jika
dibiarkan terus akan berubah menjadi penyakit yang lebih buruk lagi
yaitu hasud.
4. Akhlak mahmudah melahirkan insan yang bertaqwa
Sifat mahmudah atau juga dikenal dengan akhlak terpuji ialah sifat yang
lahir didalam diri seseorang yang menjalani kebersihan jiwa dari sifat-sifat yang
keji dan hina (sifat mazmumah). Boleh di anggap seperti racun-racun yang boleh
membunuh manusia secara tidak di sadari dan sifat ini berlawanan edengan sifat
mahmudah yang senantiasa mengajak dan menyuruh manusia melakukan

9
Daud Silalahi. Hukum Lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkungan
Indonesia. (Alumni. Bandung. 2001) h. 12

13
kebaikan. Oleh karena itu, dalam islam, yang menjadi pengukur bagi menyatakan
sifat seseorang itu ada baik atau buruk adalah berdasarkan pada akhlak dan
perilaku yang dimiliki oleh seseorang.
Dalam mengamalkan sifat-sifat mahmudah atau etika hidup yan g murni,
ia merangkumi banyak aspek diantaranya :10
a. Akh;lak terhadapp diri sendiri, seperti menjaga kesehatan diri sendiri,
membersihkan jiwa dari pada akhlak yang buruk dan keji serta tidak
melakukan perkara-perkara maksiat.
b. Akhlak terhadap keluarga, seperti pergaulan dan komunikasi yang baik antara
suami istri, berbuat baik kepada ibu dan bapak, menepati janji, berlaku adil,
menjadi saksi yang benar dan sebagainya.
c. Akhlak dapat dibentuk dengan baik sekiranya kita benar-benar mengikuti
kunas-lunas yang disyariatkan oleh Allah dan rosul-NYA. Antara jalan
terbaik membentuk akhlak yang mulia ialah :
d. Mempunyai ilmu pengetahuan. Setiap mukmin perlu mempelajari apakah
yang di maksud dengan akhlak terpuji (mahmudah) dan tahu membedakan
dengan akhlak yang keji (mazmumah).
e. Menyadari kepentingan akhlak yang diamalkan. Ini karna akhlak merupakan
cemin diri bagi seseorang muslim dan membawa image islam, malahan daya
tarik islam juga bergantung kepada akhlak yang mulia.
f. Mempunyai keazaman yang tinggi, melalui keazaman yang tinggi dan kuat
sahalJalah jiwa seseorang dapat di bentuk untuk benar-benar menghayati
sifat-sifat yang mulia 
5. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan (Allah) dengan
cara mensucikan hati. Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Tuhan
malah dapat melihat Tuhan (al-Ma’rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa
Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh hati yang suci. Kalau
ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan mana yang buruk juga
bagaimana mengubah akhlak buruk agar menjadi baik secara zahiriah yakni
dengan cara-cara yang nampak seperti keilmuan, keteladanan, pembiasaan, dan
lain-lain maka ilmu tasawuf menerangkan bagaimana cara menyucikan hati , agar

10
Abdurrahman.  Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. (Bandung: Citra Aditya
Bakti.  1990)  h. 34

14
setelah hatinya suci yang muncul dari perilakunya adalah akhlak al-karimah.
Perbaikan akhlak, menurut ilmu tasawuf, harus berawal dari penyucian hati.
pendapat para sufi adalah dengan ijtinab al-manhiyyat, dan adaa al-
wajibat, serta adaa al-naafilat
Dalam kacamata akhlak, tidaklah cukup iman seseorang hanya dalam
bentuk pengakuan, apalagi kalau hanya dalam bentuk pengetahuan. Yang
“kaffah” adalah iman,ilmu dan amal. Amal itulah yang dimaksud akhlak . Tujuan
yang hendak dicapai dengan ilmu akhlak adalah kesejahteraan hidup manusia de
dunia dan kebahagian hidup di akhirat. Dari satu segi akhlak adalah buah dari
tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), dan istiqamah dalam hati pun
bagian dari bahasan ilmu tasawuf.”

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagaimana karya Wood yang sebelumnya, dapat dikatakan bahwa karya Wood
patut dijadikan rujukan bagi para pengkaji dan penggerak gagasan Kiri dan ilmu
sosial serta humaniora pada umumnya. Topik-topik yang dibahas Wood dalam
bukunya kali ini juga merupakan topik-topik besar yang perlu dipelajari bagi para
ilmuwan dan penggerak sosial, seperti persoalan negara, evolusi konsep kepemilikan
pribadi, implikasi sosial politik dari perkembangan sebuah ide, pertautan antara
hubungan tuan tanah dan kaum tani dengan ide-ide tentang kewarganegaraan dan
proses-proses politik, dan lain sebagainya. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai
penangkal atas mitos bahwa modernitas, nilai-nilai borjuis, kapitalisme, dan
demokrasi adalah hal-hal yang datang dalam satu paket.
Etika adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk dan yang menjadi
ukuran baik dan buruknya adalah akal karena memang etika adalah bagian dari
filsafat. Dan Moral adalah ajaran baik dan buruk yang ukurannya adalah tradisi yang
berlaku di suatu masyarakat. Serta, Akhlak dalam kebahasaan berarti budi pekerti,
perangai atau disebut juga sikap hidup adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan
buruk yang yang ukurannya adalah wahyu tuhan. Dari satu segi akhlak adalah buah
dari tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), dan istiqamah dalam hati pun
bagian dari bahasan ilmu tasawuf.”
Indikator manusia berakhlak (husn al-khulug) adalah tertanamnya iman dalam
hati dan teraplikasikannya takwa dalam perilaku. Aktualisasi akhlak adalah
bagaimana seseorang dapat mengimplementasikan iman yang dimilikinya dan
mengaplikasikan seluruh ajaran islam dalam setiap tingkah laku sehari- hari. Seperti
akhlak kepada tuhan, diri sendiri, dan sesama manusia.

B. Saran
Dan diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun
penyusun dapat menerapkan etika, moral dan akhlak yang baik dan sesuai dengan
ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.

16
DAFTAR PUSTAKA

A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999.

Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur`an . Cet. II; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995.

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam
Konstituante. Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1985.

Ritaudin Sidi. 2015. Etika Politik Islam. Permatanet. Fakultas Ushuluddin IAIN Raden
Intan Lampung.

Daud Silalahi. 2001. Hukum Lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkungan


Indonesia. Alumni. Bandung.

Abdurrahman. 1990. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. Citra Aditya


Bakti. Bandung.

17

Anda mungkin juga menyukai