SIYASAH DUSTURIYAH
“Pengertian Fiqh Siyasah Dusturiyah dan Ketentuan
Ketentuannya”
Disusun Oleh:
Welis Putri Utami
1811150097
Dosen :
Aneka Rahma. S.Sy., M.H
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
telah memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai
tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Siyasah Dusturiyah. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kebaikan makalah ini sangat diharapkan dari para pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
2i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 1
C. Tujuan.................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh Dusturiyyah............................................................... 3
B. Imamah, Hak dan Kewajibannya........................................................ 4
C. Rakyat, Statusnya, Hak-Haknya Dan Kewajibannya.......................... 6
DAFTAR PUSTAKA
ii
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu negara tentu tidaklah lepas dengan suatu pemerintahan. Suatu
pemerintahan tentu membutuhkan suatu kepala negara atau pemerintah.
Karena syarat-syarat berdirinya negara adalah ada pemerinthaan, rakyat, dan
ada wilayah. Pemerintah dan rakyat memiliki peranan yang sangat penting
dalam suatu negara karena keduanya lah yang menentukan arah negara
tersebut.
Suatu negara tentu membutuhkan aturan atau kebijakan untuk mengatur
suatu negara. Karena tanpa aturan yang jelas keadaan suati negara tentu akan
sangat kacau. Untuk itulah diperlukan adanya aturan-aturan atau kebijakan-
kebijakan untuk menata dan bentuk tanggung jawab pemerintah.
Berbagai kebijakan itulah yang akan dipelajari dalam fiqh dusturiyah.
Dimana dalam fiqh ini tidak hanya menjelaskan tentang pemerintah atau
khalifah saja tetapi mengenai hak-hak rakyat juga. Fiqh dusturiyah juga
menjelaskan tentang pembai’atan dalam suatu pemerintah dan bagaiamna cara
memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam. Kebijakan-
kebijakan pemerintah haruslah disesuaikan dengan kehendak rakyat. Agar
tidak terjadi perpecahan dalam umat.
Mengenai fiqh dusturiyah, imamah dengan hak dan kewajibannya, rakyat
dan hak-hak serta kewajibannya akan dibahas dalam makalah ini. Selain itu
juga ada lembaga lain yang dapat membantu pemerintah seperti wazir (para
menteri) serta Ahl al-hall wa al-aqd yang mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam memilih dan membai’at imam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Fiqh Dusturiyyah?
2. Bagaimana Imamah, Hak dan Kewajibannya?
3. Bagaimana Rakyat, Statusnya, Hak-Haknya Dan Kewajibannya?
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Fiqh Dusturiyyah
2. Untuk mengetahui Imamah, Hak dan Kewajibannya
3. Untuk mengetahui Rakyat, Statusnya, Hak-Haknya Dan Kewajibannya
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
B. Imamah, Hak dan Kewajibannya
1. Imamah
Kata-kata imam di dalam Al-Qu r’an baik dalam bentuk
mufrad/tunggal maupun dalam bentuk jamak atau yang di-idhofkan tidak
kurang dari 12 kali disebutkan. Pada umumnya,kata-kata imam
menunjukkan kepada bimbingan pada kebaikan,meskipun kadang-kadang
dipakai untuk seorang pemimpin suatu kaum dalam arti yang tidak baik.
Ada pun kata imamah di takrifkan oleh Al-mawardi adalah suatu
kedudukan/jabatan yang di adakan untuk menggantikan tugas kenabian di
dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia. (A.Djazuli 2003, 56).
Sedangkan imamah merupakan suatu kepemimpinan umum dalam
urusan agama dan duniawi, sebagai khilafah atau wakil dari Nabi SAW.
Al Mawardi berpendapat bahwa keimamahan diletakkan untuk
menggantikan posisi kenabian dalam memelihara agama dan politik
keduniaan (Rais, 2000: 85). Definisi lain di kemukakan oleh Al-Iji
imamah adalah negara besar yang mengatur urusan-urusan agama dan
dunia. Tetapi lebih tepat lagi apabila dikatakan bagwa imamah adalah
pengganti nabi di dalam menegakkan agama.
Keimamahan bukanlah hak pribadi, ataupun keistemewaan hak
yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok, melainkan suatu tugas yang
diemban. Jadi yang terpenting adalah pelaksanaan tugas-tugas yang
dimandatkan, bukan eksistensi seseorang atau beberapa orang. Akan
tetapi, definisi ini dari sudut lain, ada kesamaran yang mesti diperjelas,
karena jenis sistem pemerintahan yang dia inginkan tidak berbeda dengan
sistem-sistem pemerintahan yang lain, tidak menjelaskan bagaimana
kebijakannya dalam mengatur dunia.
Di kalangan syi’ah imamah adalah shahibul hak as-syar’iy,yang di
dalam undang-undang modern di katakan de jure baik yang langsung
memerintah ataupun tidak. Adapun lafal khilafah mula-mula menunjukan
kepada yang mempunyai kekuasaan dalam kenyataan,walaupun tidak
berhak. Dan pada masa sekarang di namakan de facto.
4
Kata-kata khalifah dalam Al-qur’an lebih menunjukkan kepada
fungsi manusia secara keseluruhan dari pada kepada seorang kepala
negara. Kata khalifah sebagai kepala negara adalah “pengganti” nabi di
dalam memelihara agama dan mengatur keduniawian. Dia tidak
maksum,tidak mendapat wahyu,tidak memonopoli hak dalam menafsirkan
agama. Dia adalah manusia biasa yang di percaya oleh umat karena baik
dalam menjalankan agamanya.
2. Hak-hak Imam
Al-Mawardi menyebut dua hak imam,yaitu hak untuk di taati dan
hak untuk di bantu. Akan tetapi dalam sejarah ternyata ada hak lain,yaitu
hak untuk mendapat imbalan dari harta baitul mal untuk keperluan
hidupnya dan keluarganya secara patut sesuai kedudukannya sebagai
imam.
Hak imam ini erat sekali kaitannya dengan kewajiban rakyat. Hak
untuk di taati dan untuk di bantu misalnya adalah kewajiban rakyat untuk
mentaati dan membantu seperti tersusun dalam Al-Qur’an dan juga hadis
tentang kata atau memberikan bantuan yang berbunyi “Wajib kepada
setiap muslim untuk mendengar dan taat kepada pemimpinnya baik dia
senang atau tidak senang selama pemimpin itu tidak menyuruh melakukan
maksiat. Apabila ia memerintahkan untuk melakukan maksiat maka tidak
perlu mendengarkan dan mentaatinya”. (A. Djazuli 2003, 61)
3. Kewajiban-kewajiban Imam
Islam sebagai agama amal adalah sangat wajar apabila meletakkan
focus of interest-nya pada kewajiban. Hak itu sendiri datang apabila
kewajiban telah di laksanakan secara baik. Bahwa kebahagiaan hidup di
akhirat akan di peroleh apabila kewajiban-kewajiban telah di laksanakan
dengan baik waktu hidup di dunia. Demikian pula dengan kewajiban-
kewajiban imam ternyata tidak ada kesepakatan di antara ulama menurut
Al-mawardi. Dan apabila di kaitkan dengan maqasidu syariah maka tugas
dan kewajiban imam tidak lepas dari beberapa hal.
5
C. Rakyat, Statusnya, Hak-Haknya Dan Kewajibannya
Dalam suatu negara, terdiri dari muslim dan non muslim, yang non
muslim ini ada yang di sebut kafir dzimi dan musta’min. Kafir dzimi adalah
warga non muslim yang menetap selamanya,serta di hormati tidak bleh di
ganggu jiwanya,kehormatannya dan hartanya. Sedangkan musta’min adalah
orang asing yang menetap untuk selamanya dan juga harus di hormati
jiwanya,kehormaatannya dan hartanya. Kafir dzimi memiliki hak-hak
kemanusiaaan,hak-hak sipil dan hak-hak politik. Sedangkan musta’min tidak
memiliki hak politik karena dia orang asing. Persamaanya keduanya sama-
sama orang asing.
1. Persoalan Bai’at
Bai’at adalah pengakuan mematuhi dan mentaati imam yang di
lakukan oleh ahl al-hall wa al-‘aqd dan di laksanakan sesudah
permusyawaratan. Informasi dari Al-Qur’an yang berkaitan dengan bai’at
ini adalah di dalam QS. Al-Fath: 10,QS. At-Taubat: 111,QS. Al-
Mumtahanah: 12.
Di dalam sejarah kita kenal bai’at aqobah yang pertama dan yang
ke dua. Sudah tentu pembai’atan ini dilakukan setelah terjadi
permusyawaratan penentuan seorang imam. Ada kemungkinan tidak
seluruh anggota ahi al-hall wa al-‘aqd membaiat imam. Keadaan demikian
harus di hindari sedapat mungkin,yaitu dengan jalan musyawarah untuk
mencapai kesepakatan.
Akan tetapi,apabila cara musyawarah tidak menghasilkan
kesepakatan maka imam dapat di bai’at oleh mayoritas ahlul halli wal
aqdi.
2. Persoalan Waliy Al-Ahdi: Sumber Kekuasaan dan Kriteria Imam
Imamah itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara:
pertama dengan pemilihan ahl-al-hall wa al-aqdi dan kedua dengan janji
(penyerahan kekuasaan imam sebelumnya). Cara yang kedua itulah yang
dimaksud dengan waliyul ahdi. Cara ini diperkenankan atas dasar:
6
1) Abu Bakar r.a menunjuk umar r.a yang kemudian kaum muslimin
menetapkan keimaman (imamah) umar dengan penunjukkan Abu
Bakar tadi.
2) Umar r.a menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu
syura yang kemudian disetujui/ dibenarkan oleh sahabat yang lain, jadi
dallamm kasus ini bukan menunjuk seseorang tetapi menyerahkan
pengangkatan khalifah kepada sekelompk orang (ahlu syara’ yang
berwenang)
Qadli Abu Ya’la menjelaskan bahwa wilayah al-ahd itu dpat pula
dilaksanakan kepada orang yang mempunyai hubungan nasab, baik garis
lurus keatas maupun garis lurus kebawah dengan syarat:
Orang ditunjuk itu memenuhi persyratan imam, karena imamah
tidaklah terjadi karena semata-mata penunjukan akann tetapi imamah itu
terjadi karena persetujuan kaum muslim.
Dari keterangan diatas daat disimpulkan bahwa seorang anak kholifah
dapat saja jadi khalifah, asal anak khalifah tadi memenuhi syarat sebagai
seorang khalifah serta pengangkatanya disetujui oleh setidak-tidaknya
mayoritas ahlul halii wal aqdi, tapi juga sebaliknya seorang yang tidak
punya hubungan dengan khalifah, dapat menjadi khalifah apabila dia yang
paling memenuhi persyaratan serta disetujui oleh ahlyl halli wal aqdi.
Tentang syarat-syarat imam, ternyata ada ulama yang sangat ketat
dalam memberikan syarat adapula yang memberi persyaratan longgar. Al
mawardi misalnya memeberikan tujuh persyaratan sbagai berikut:
1) Adil dengan segala persyaratannya (benar tutur katanya, dapat
dipercaya, terpelihara dari segala yang haram, menjauhi segala dosa
dan ha hal yang meragukan, memegang maru’ah.
2) Memiliki ilmu yang digunakan untuk ijtihad di dalam hukum dan
kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan.
3) Sehat pancaindranya baik pendengarany, penglihatan, lisannya agar
dapat digunakan sebagaimana mestinya.
7
4) Sehat anggota badannya dari kekurangan-kekurangan yang dpat
mengganggu geraknya
5) Kecerdasan dan kemampuan didalam mengatur rakyat dan
kemaslahatan.
6) Kebenaran dan punya tangggung jawab dan tabah di dalam
mempertahankan negara dan memerangi musuh
7) Nasab, imam itu harus keturunan Quraisy.
8) Tapi menurut Abu Ja’la al-Hanbali menyebut empat syarat, yaitu:
9) Haruslah orang Quraisy
10) Memiliki syarat-syarat seorang hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal,
berilmu, dan adil
11) Mampu memegang kendali di dalam masalah-masalah peperangan
siyasah, dan pelaksanakan hukuman.
12) Orang yang paling baik/ utama di dalam ilmu dan agama.
Dari peristiwa pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah di Tsaqifah
Bani Saidah, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya sebagai
berikut: (Djazuli, 2009: 75)
1) Khalifah dipilih dengan cara musyawarah diantara para tokoh dan
wakil umat.
2) Yang mengangkat khalifah adalah para wakil umat dan tokoh-tokoh
masyarakat. Jadi, sistem perwakilan sudah dikenal dan dilaksanakan
pada masa tersebut.
3) Di dalam musyawarah terjadi dialog dan bahkan diskusi untuk mencari
alternatif yang terbaik di dalam menentukan siapakah calon khalifah
yang paling memenuhi persyaratan.
4) Sedapat mungkin diusahakan kesepakatan, dengan tidak menggunakan
voting.
Rasyid Ridla berkaitan dengan perwakilan ini berkata, “Demikianlah,
di kalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan
kecerdasan di dalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta
mampu menyelesaikan masalah-masalah pertahanan dan ketahanan, serta
8
masalah-masalah kemasyarakatan dan politik. Itulah yang disebut dengan
ahlu syura atau ahl al-hall wa al-aqdi di dalam Islam (Djazuli, 2009: 76).
Al-Mawardi, menyebut orang-orang yang memilih khalifah ini dengan
ahlul ikhtiar yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: (Djazuli, 2009: 76)
9
3) Sultah Qadhoiyah (kekuasaan kehakiman) yang dipegang oleh para
hakim.
4) Sultah Maliyah (kekuasaan keuangan), yang dipegang oleh imam.
5) Sultah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat),
yang dipegang oleh ahlu syura’, ulama, dan fuqaha.
6) Persoalan Wuzarah (Kementrian)
Pada umumnya, ulama mengambil dasar-dasar adanya kementrian
(wuzarah) dengan dua alasan:
1) Firman Allah dalam surat Thaha: 29- 31, yang artinya: “Dan
jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku, yaitu Harun,
saudaraku. Teguhkanlah kekuatanku dengan dia, dan jadikanlah dia
sekutu dalam urusanku”. Berdasarkan mafhum aula, apabila wazir itu
diperbolehkan di dalam masalah-masalah kenabian, apalagi dalam
masalah imamah (Djazuli, 2009: 78).
2) Karena alasan yang sifatnya praktis yaitu, imam tidak mungkin
sanggup melaksanakan tugas-tugasnya di dalam mengatur umat tanpa
adanya naib (wazir).
3) Wazir terbagi menjadi dua macam, yaitu wazir tafwidl dan wazir
tanfidz.
Perbedaan dari keduanya yaitu terletak pada kewenangan yang dimiliki
oleh wazir tafwidl, yaitu: (Djazuli, 2009: 78).
1) Wazir tafwidl boleh ikut campur dalam peradilan,
2) Wazir tafwidl boleh mengangkat gubernur dan pejabat-pejabat tinggi
negara,
3) Dapat menjadi panglima tertinggi dan mengumumkan perang,
4) Mempunyai wewenang untuk menguasai harta negara dan
mengeluarkannya dari baitulmal.
Dari perbedaan tugas tersebut, ada persyaratan khusus bagi wazir
tafwidl, yaitu: (Djazuli, 2009: 79).
1) Wazir tafwidl haruslah orang yang beragama Islam,
2) Tahu tentang hukum-hukum Islam,
10
3) Tahu tentang strategi dan taktik perang dan tahu cara-cara mengurus
keuangan negara.
Adapun perbedaan kekuasaan yang dimiliki oleh imam dengan
wazir tafwidl adalah sebagai berikut:
1) Imam dapat menunjuk penggantinya, seperti yang dilakukan oleh Abu
Bakar, wazir tafwidl tidak bisa melakukannya.
2) Imam dapat meletakkan jabatan langsung kepada rakyatnya, wazir
tafwidl tidak bisa.
3) Imam dapat memecat orang-orang yang diangkat oleh wazir tafwidl,
dan wazir tafwidl tidak dapat memecat orang-orang yang diangkat oleh
imam.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa siyasah
dusturiyah merupakan penjelasan mengenai bagaimana pemerintah mampu
mengatur rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Fiqh
dusturiyyah ini membahas persoalan seputar imamah dengan hak dan
kewajibannya. Kemudian rakyat dengan status dan kewajibannya. Selain itu
dalam fiqh dusturiyyah juga menyangkut tentang lembaga pemerintahan
lainnya yang membantu pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya.
Imamah dan khilafah memiliki perbedaan. Menurut mazhab Syi’ah
keimamahan itu lebih spesifik daripada khilafah. Bagi mereka imam hanya
bermakna bahwa dia adalah pemilik hak legal yang padanannya dalam
konteks undang-undangmodern adalah de jure, sama adanya benar-benar
menduduki pemerintahan atau tidak. Adapun khalifah, pertama menunjuk
pemangku jabatan sebenarnya dan dapat saja bukan orang yang berhak, yang
istilahnya de facto.
Imamah dapat dipilih melalui dua cara yaitu pertama dengan pemilihan
ahl-al-hall wa al-aqdi dan kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan imam
sebelumnya). Ahl- al- hall wa al-aqdi merupakan kekuasaan tertinggi dalam
suatu pemerintahan dan memiliki wewenang untuk membai’at imam.
B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah
ini dan penulisan makalah dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Rais, Dhiauddin. Teori Politik Islam. 2000. Jakarta: Gema Insani Press
13