Anda di halaman 1dari 23

HUKUM KOMERSIAL

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Kelas A











Kelompok 8:
Lelyana Tanaya (221107871)
Hany Marcyta Rahman (221107917)
Iffah Zulfiah Budiarti (221107840)
Anisa Yusuf (221107901)
Lidiawati (221107995)

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
2013



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan nikmat hidup, akal budi,
dan pikiran ke pa da ki t a . Se ga l a puj i s yukur ka mi pa nj a t ka n kepa da
Tuha n YME, Keluarga, Sahabat, dan kita sebagai penerusnya, berkat Rahmat dan Seijin Tuhan
YME, kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah yang berjudul PERLINDUNGAN
KONSUMEN.
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak
akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih
banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu,
masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. kami berusaha menguraikan dan
menjelaskan tentang perlindungan terhadap konsumen. Pada penulisan makalah ini kita akan
membahas mengenai bagaimana perlindungan terhadap konsumen serta apa saja hak dan
kewajiban konsumen. Dalam makalah ini juga kami akan menjelaskan tentang prinsip ,asas-
asas dan tujuan perlindungan konsumen yang mungkin akan berguna bagi pembaca
khususnya mahasiswa atau mahasiswi dimasa yang akan datang.
Dalam pembuatan makalah ini kami tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Terutama dari Orang
tua tercinta, yang telah berusaha keras memberikan yang terbaik dengan doa, tenaga, dan pikirannya. Kami
menyadari bahwa laporan makalah ini masih banyak memiliki kekurangan dan kesalahan.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami mengharap saran dan kritik apabila
moderator / pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan demi perbaikan kami di
kemudian hari. Harapan kami mudah-mudahan laporan makalah ini dapat menambah wawasan sodara.













Daftar Isi

Halaman
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................ 2
1.3 Tujuan Pembahasan..................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pengertian Konsumen.................................................................. 3
2.2 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen....................................... 3
2.3 Perlindungan Konsumen.............................................................. 5
2.4 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen.................................. 7
2.4.1 Asas Perlindungan Konsumen...................................... 7
2.4.2 Tujuan Perlindungan Konsumen.................................. 8
2.5 Hak dan Kewajiban Konsumen................................................... 8
2.5.1 Hak-hak Konsumen...................................................... 8
2.5.2 Kewajiban Konsumen.................................................. 9
2.6 Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen.................................... 9
2.6.1 Bertanggung jawab Berdasarkan Kelalaian................. 9
2.6.2 Bertanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi........... 11
2.6.3 Tanggung jawab Mutlak.............................................. 12
2.7 Ketentuan dan Sanksi................................................................. 12
2.8 Antimonopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat...................... 13
BAB III PENUTUPAN............................................................................... 19
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 20







1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak
akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih
banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu,
masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Hak konsumen yang diabaikan oleh
pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas
saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkan
kepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara
langsung.
Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen
hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa
disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. Perkembangan
perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat telah
memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk
barang dan jasa yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan besar
didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang
sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa
dengan mudah dikonsumsi.
Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana memilih
barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran semua pihak,
baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan
konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen,
memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi,
mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa
diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan
berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk
mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik.
Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen
yang direncanakan adalah untuk meningakatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan

2

secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya
dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang perlu disadari oleh konsumen adalah mereka
mempunyai hak yang dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen sehingga
dapat melakukan sasial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah.
Dengan lahirnya undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
diharapkan upaya perlindungan konsumen di indonesia dapat lebih diperhatikan.
1.2 Rumusan Masalah
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), faktor utama yang menjadi
penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat
kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya
pendidikan konsumen.
Selain kurangnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-hak dan kewajibanya yang
terkait dengan tingkat pendidikannya yang rendah, pemerintah selaku penentu kebijakan,
perumus, pelaksana sekaligus pengawas atas jalanya peraturan yang telah dibuat sepertinya
masih kurang serius dalam menjalankan kewajibannya. Produsen yang yang mencari
keuntungan pun masih membandel dengan menghalalkan segala cara untuk memaksimalkan
laba yang diperoleh tanpa memperhatikan undang-undang yang berlaku serta keselamatan
konsumennya.
1.3 Metode Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode literatur kaji pustaka
terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah yang kami buat dan juga
bersumber dari beberapa artikel dari internet.





3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan
suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari
pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berstatus sebagai pemakai barang
dan jasa. Perlindungan konsumen merupakan upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2.2 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan
terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan
Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur
dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada
tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah
setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada
tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan
perlindungan adalah:
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1),
Pasal 27 , dan Pasal 33.
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3821

4

Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang
Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan
dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya
secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan
perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah
perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai
berikut :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001
tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota
Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.

5

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota
Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
2.3 Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen
disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk
melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan
harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya,
konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau
menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya
kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari benih
hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara
keduanya. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau
jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh
perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai
variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika
telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas
wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak
mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau

6

jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan
konsum Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan
pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang
lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-
besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian
standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen
akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi
landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran
pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan
yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial
merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar
kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara
integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan
usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong
iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam
menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di
samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya
tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini
dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu
pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan
hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun

7

manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik
Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
2.4 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan
yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis.
Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar
pijakan yang benar-benar kuat.

2.4.1 Asas Perlindungan Konsumen
Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 UU PK adalah:
Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga
tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.


Asas Keadilan
Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya
dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta
pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan

8

memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
2.4.2 Tujuan perlindungan konsumen

Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.

Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.5 Hak dan Kewajiban Konsumen
2.5.1 Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.
Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai
konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak
adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa
bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya
tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.

9

Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2.5.2 Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut;
2.6 Prinsip-Prinsip perlindungan konsumen
2.6.1 prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang
bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat
subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah
timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang
berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak
konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor

10

kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen
diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk
melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai
dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada
konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen). Dalam prinsip
tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat
responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
a. Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung
jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat
merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat,
yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan
konsumen. Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan
perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua
kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya
hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai tergugat.
Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang
yang tidak diketahui.
b. Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip
tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat
pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen
untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada
kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian
atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum
dengan produsen.

11

c. Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian
terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum
tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung
jawab yang tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan
kontrak.
d. Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian
adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan.
Modifikasi ini bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan
tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan
kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab
mutlak.

2.6.2 Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi

Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga
memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab
produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak.
Ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi
kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis
maupun lisan. Keuntungan bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah
penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada
upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen
telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen
tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian.
Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa
kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan
konsumen, yaitu :
Pembatasan waktu gugatan.
Persyaratan pemberitahuan.
Kemungkinan adanya bantahan.

12

Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal
maupun vertikal.
2.6.3 Prisip Tanggung Jawab Mutlak

Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini,
produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan
produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian,
ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada
umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas
antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip
tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang
cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau
tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum
tentang product liability adalah :
Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban
kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen
menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan,
bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
2.7 Ketentuan dan Sanksi
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

13

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Terdapat dua sanksi yang dapat dikenakan yaitu:
Sanksi Administratif
Sanksi Pidana
2.8 Antimonopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli adalahsuatu
bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Menurut UU No. 5 Tahun 1999
menyebutkan pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama, melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi. Menurut UU No. 5 Tahun 1999 persaingan tidak sehat adalah
persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.

A. Asas dan Tujuan
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum. Tujuan UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

B. Kegiatan yang Dilarang
1. Monopoli

14

Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau
nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok
sehingga harganya dapat dikendalikan.
2. Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang
pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
3. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan
demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
4. Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan
(kecurangan).
5. Posisi Dominan
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam pasar 1 angka 4 UU No. 5
Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan di mana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan, penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Mengenai jabatan rangkap, dalam pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa
seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang meragkap sebagai direksi atau
komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan itu :
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha;
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
7. Pemilikan Saham

15

Mengenai pemilikan saham, berdasarkan pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan
bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan
yang sama atau mendirikan perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut
mengakibatkan, antara lain :
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 %
pangsa satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha dan pelaku kelompok usaha
menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Penggabungan, Peleburan dan pengambilalihan
Sementara itu, pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha
berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan yang
bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam
menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan yang
akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang secara tegas
dilarang.

C. Perjanjian yang Dilarang
1. Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya
berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi
harga pasar. Dengan demikian, keadaan pasar yang tidak seimbang karena
dipengaruhi oleh sejumlah pembeli, dengan demikian, maka:
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama dan atau
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, apabila 2
atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Penetapan Harga
Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :

16

a. perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang
sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda
dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah
harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa
yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah
diperjanjikan.
3. Pembagian Wilayah
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga
perbuatan tersebut berakibat :
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain;
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau
jasa dari pasar bersangkutan.

5. Kartel
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang
bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,

17

dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan
atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan
tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
8. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung.
9. Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan
atau pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia
membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha
menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain :
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

18

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.

C. Sanksi
a. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian,
pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan
pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda
serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar
rupiah.
b. Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha
melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan
monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan
saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua
piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk
pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan
persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan
maksimal dua puluh lima miliar rupiah. Sementara itu, bagi pelaku usaha yang
dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai
dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
a. pencabutan izin usaha
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.




19

BAB III
PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan
hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak
atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada
konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta
kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan
UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena
yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen
untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga
dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai
mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai
dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh
pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta
harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa membahayakan
konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum.









20

DAFTAR PUSTAKA


Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2005. Perlindungan Hukum terhadap Tertanggung
dalam Penyelesaian Klaim Asuransi Menurut UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Hasil Penelitian Dosen Muda.

Miru, Ahmadi & Sutarman Yudo, 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2009. Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan
Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Fuady, Munir, 1999, Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan
Sehat), Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ginting, Ellyta Ras, 2001, Hukum Anti Monopoli I ndonesia (Analisis &
Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999), Cetakan Pertama, Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Maulana Insan Budi, 2000, Catatan Singkat UU No. 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai