“Sejarah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh, Periodesasi Fiqh dan Ushul Fiqh ”
Dosen Pengampu :
Abdul Karim lubis,. M.A
Disusun Oleh :
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah dan Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh .................................... 2
2.2 Objek kajian Ushul Fiqh dan Fiqh ............................................................ 3
2.3 kegunaan Ushul Fiqh dan Fiqh ................................................................. 4
2.4 Aliran-aliran Ushul Fiqh ........................................................................... 4
2.5 Periodisasi Embrio Ushul Fiqh ................................................................. 5
2.6 Periodesasi Perkembangan Fiqh Ilmu Fiqih .................................. 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui sejarah dan perkembangan
Fiqh dan Ushul Fiqh, dan Periodesasi Fiqh dan Ushul Fiqh
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Muhammad Abu Zarah, Tarik al-mazahib al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al- Arabi,1996,
hal.245.
menggunakan metode istislah yang berlandaskan pada methode maslahah al-
mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil mendukung atau
menolaknya, tetapi mendukung pemeliharaan tujuan syari’at. Misalnya
menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf (naskah al Qur’an).
Pada periode tabi’in, metode istinbath ini semakin jelas dan meluas seiring
dengan meluasnya daerah islam yang berimplikasi munculnya berbagai persoalan
baru yang membutuhkan jawaban. Situasi ini mendorong kalangan tabi’in yang
mendapatkan pendidikan dari generasi sahabat mengkhususkan diri untuk
berfatwa dan melakukan ijtihad. Pada masa ini, menurut Abu Sulaiman, terjadi
perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan
sebagai hujjah (dalil hukum) dan perbedaan pendapat tentang jiwan ahli Madinah
apakah dapat dipegang sebagai ijma’.
Metode ijtihad semakin jelas lagi pada periode Muhammad bin Idris al-
Syafi’i (150-204 H), pendiri mazhab Syafi’i. Upaya pembukuan ini sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman saat itu. Perkembangan ilmu
pengetahuan ini mulai berlangsung pada masa Harun al-Rasyidi (145 H-193 H)
dan puncaknya pada masa al- ma’mun (170 H-281 H). Dalam situasi inilah imam
Syafi’i tampil menyusun buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian
dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Munculnya kitab
ini merupakan fase awal perkembangan ushul fiqh sebagai suatu disiplin ilmu.2
2
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.
4
fih, mahkum ‘alaih. Bahkan secara khusus persoalan ijtihad, syarat dan kriteria
orang yang dapat melakukan ijtihad pun menjadi lapangan kajian Ushul fiqh.
Sedangkan objek kajian fiqh adalah semua perbuatan mukallaf yang
berkaitan dengan hukum syara’. Dengan kata lain, seorang faqih dalam studinya
akan membahas tentang seluk beluk hukum sholat, puasa, haji, zakat, jual beli,
sewa menyewa, pernikahan, waris, wakaf, jinayat dan hukum-hukum lain yang
ada hubungannya dengan tindakan mukallaf.3
3
Dahlan , Abd. Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.
5
3. Aliran Muta’akhirin adalah aliran yang menggabungkan kedua sistem yang
dipakai dalam menyusun ushul fiqh oleh aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah.
Ulama-ulama muta’akhirin melakukan tahqiq terhadap kaidah-kaidah
ushuliyah yang dirumuskan kedua aliran tersebut, lalu mereka meletakkan
dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada
furu’ fiqhiyah.4
4
Karim A, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997.
6
Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW,
semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada Beliau. Meskipun
satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat
Beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat
atau tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW.
Hal ini karena Rasulullah SAW adalah satu-satunya pemegang otoritas
kebenaran Agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada Beliau.
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan
hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai
alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru
dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam
rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa
Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara lain berkaitan dengan ketentuan
urutan penggunaan sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari ushul
fiqh, misalnya dapat dilihat dari informasi tentang dialog antara Rasulullah
SAW dan Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke
Yaman. “ketika Rasulullah SAW bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman,
beliau bertanya: “ bagaimana kamu memutuskan bila suatu kasus
diajukan kepadamu? Ia menjawab: “saya akan putuskan berdasarkan
kitab Allah” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam
kitab Allah? ia menjawab: “ saya yakan putuskan berdasarkan sunah
Rasulullah SAW ” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya
dalam kitab Allah maupun sunnah Rasulullah?Ia menjawab: “saya akan
berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.” beliau berkata sambil
menepuk dada Mu’az : “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan
taufiq utusan Rasulullah kepada apa yang di ridhai Rasul itu.”
Para sahabat Rasulullah SAW selain karena kedekatan mereka kepada
Beliau, mereka juga menimba banyak pengalaman dari Beliau dan
memahami secara mendalam pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga
7
karena mereka sendiri memiliki pengetahuan bahasa arab yang sangat
baik. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika
Rasulullah SAW wafat mereka telah dapat melakukan ijtihad untuk
mengatasi masalah kekosongan hukum atas peristiwa-peristiwa baru yang
terjadi yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam
Alqur’an dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan
memahami ayat-ayat Alqur’an dan maksud sunnah untuk melakukan
pengembangan hukum Islam, terutama melalui metode qiyas.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi
persoalan hukum ialah menelusuri ayat-ayat Al qur’an yang berbicara
tentang masalah tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam Al
qur’an maka mereka mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam
sunnah pun tidak ditemukan barulah mereka berijtihad.
3. Periode Tabi’in
Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada
masa ini, bersamaan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana
pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan
adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban , ilmu
pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-
kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal sama sekali pada
masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-kasus
hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa
hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman
dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu
mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-
Musayyab (15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil
pula Alqamah bin al-Qais (w. 62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di
samping para ahli hukum lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli
hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama
dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada
8
itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan
rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah,
fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan
oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan
memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu,
sebagian ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara
berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan kemudian
menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi
memiliki ‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih
cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat dari segi
kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam
prinsip-prinsip syara’.
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini,
terutama timbul karena perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi
dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah
merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil
hukum yang bersifat pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal
lahirnya dua aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran
Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama,
dan aliran fuqaha’ atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di
Irak.5
5
Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.
9
1. Periode pertumbuhan
Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa
bulan yang dibagi kepada 2 masa :6
Pertama, ketika nabi masih ada di mekkah melakukan
dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan
memberi penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian
diikuti dengan dakwah terbuka. Masa itu berlangsung
kurang lebih 13 tahun dan sedikit ayat ayat hukum yang di
turunkan.
Kedua, sejak nabi hijrah ke Madinah (16 juli 622m).
pada masa ini terbentuklah Negara islam yang dengan
sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum untuk
mengatur system masyarakat islam madinah. Sejak masa
ini berangsur angsur ayat yang berisi hukum turun, baik
karena suatu peristiwa kemasyarakatan ataupun adanya
pertanyaan pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat,
atau wahyu yang di turunkan tanpa sebab. Pada masa ini
fiqih lebih bersifat praktis dan realis, artinya kaum
muslimin mencari hukum dari peristiwa yang betul betul
terjadi. Sumber hukum pada periode ini adalah Al Quran
dan Hadist.7
2. Periode sahabat
Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak nabi wafat)
sampai abad pertama hijriyah ( kurang lebih 101 H )
Pada periode ini kaum muslimin telah memiliki rujukan
hukum syariat yang sempurna berupa Al Quran dan Hadist
rasul. Tetapi tidak semua orang memahami materi atau
kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber tersebut.
Karena :
6
Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 14
7
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6
10
1. Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan
yang sama maupun karena masa atau pergaulan
mereka yang tidak begitu dekat dengan nabi.
2. Karena belum tersebar luasnya materi atau teori teori
hukum di kalangan kaum muslimin akibat perluasan
daerah.
3. Banyaknya peristiwa baru yang belum pernah terjadi
pada masa Rasulullah saw yang ketentuan hukum nya
tidak di temukan dalam nash syariat.8
4. Oleh sebab inilah sumber hukum pada masa sahabat ini
bertambah dengan ijtihad sahabat untuk menentukan
hukum suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan
hukumnya dalam Al Quran dan Hadist.9
3. Periode Kesempurnaan
Perode ini di sebut juga sebagai periode pembinaan dan
pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih islam
mengalami kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan
pembukuan hukum islam dilakukan dengan intensif, baik
berupa penulisan hadist-hadist nabi, fatwa para sahabat
dan tabi’in, tafsir Al Quran, kumpulan pendapat imam-
imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqih
Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan
ijtihad pada masa ini adalah karena meluasnya daerah
kekuasaaan islam, mulai dari perbatasan Tiongkok di
sebelah timur sampai ke Andalusia(spanyol) sebelah barat.
Kondisi ini yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir
besar dengan berbagai karya besarnya10
8
Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal. 15
9
Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 16
10
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6
11
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam sejarah islam, fiqh sebagai hasil ijtihad para ulama lebih dahulu
populer di kalangan umat islam dan di bukukan dalam sistem tertentu
dibandingkan dengan ushul fiqh. Pemikiran tentang ushul fiqh telah ada pada
saat perumusan fiqh. Para sahabat yang melakukan ijtihad melahirkan fiqh
secara praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, meskipun
belum tersusun dalam satu disiplin ilmu.
Objek kajian Ushul Fiqh dan Fiqh
Objek kajian Ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ kulli yang melaluinya
digali hukum syara’. Dalam ushul fiqh juga dibahas mengenai lafal aam,
khas, mutlak, muqayyad, qathi’, zanni, amar, nahi, dan sebagainya.
3. Kegunaan utama ushul fiqh adalah untuk mengetahui kaidah-kaidah yang
bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengannya untuk diterapkan
pada dalil-dalil tafsili (terperinci) sehinggan dapat diistinbathkan hukum
syara’ yang di tunjukkannya.
1. Aliran Syafi’iyyah atau sering dikenal pula dengan sebutan aliran
Mutakallimin (ahli kalam).
2. Aliran Hanafiyyah yang bnyak dianut oleh ulama mazhab Hanafi. Dalam
menyusun ushul fiqh, aliran ini banyak mempertimbangkan masalah-
masalah furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka.
3. Aliran Muta’akhirin adalah aliran yang menggabungkan kedua sistem
yang dipakai dalam menyusun ushul fiqh oleh aliran Syafi’iyyah dan
Hanafiyyah.
4. Periodisasi Embrio Ushul Fiqh ada 3 periode, yaitu periode Nabi, periode
sahabat, dan periode tabi’in
5. Periodesasi Perkembangan Fiqh
- periode pertumbuhan
- periode sahabat
13
- periode kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
14