Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH DAN FIQIH

Dosen Pembinbing:
Ust Emi Yasir, LC, M.A

Disusun Oleh:
Lisa Selian (210303139)
Listhia Izzaty (2103030334)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
2022

1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dalam waktu yang tidak lama.
Shalawat dan salam kami persembahkan ke pangkuan Nabi Muhammad SAW. yang telah
membawa manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulis berusaha menyelesaikan Makalah ini dengan sebaik-baik dan sesempurna
mungkin dengan harapan semoga Makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca. Tapi
bilamana ditemukan kekurangan dan ketidaksesuaian dalam penulisan kalimat maupun tata
bahasanya, sudi kiranya memberikan kritikan dan masukan untuk memperbaiki dan revisi pada
masa yang akan datang.

Banda Aceh, 18 Mei 2022

Peunyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 2
II.1.Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh dan Fiqih ............................................................. 2
II. 2. Aliran-Aliran Dalam Ushul Fiqh................................................................................ 9
II. 3. Perbedaan Antara Aliran-Aliran Ushul Fikih .......................................................... 11
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 14
Kesimpulan .................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 15

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi sarana
untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbutan manusia mengenai dalil-
dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa di
pisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat di umpama kan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-
dat dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.
Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu di kenal dan di
bukukan dibandingkan dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu peroduk telah ada maka tidak
mungkin tidak ada pabriknya.ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh.
Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai sejarah pertumbuhan dan
perkemkangan ilmu ushul fiqh sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul
fiqh itu ada.
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang
dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Dan di
masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada
Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau
saw. Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang.
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw, sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis.
Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Untuk itulah kami
membuat makalah ini agar para pembaca dapat memahami lebih jauh lagi tentang ushul
fiqh dan perkembangannya dimasa sekarang ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Periodisasi Ushul Fiqh pada Masa Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Imam
Madzab?
2. Bagaimana Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul
Fiqh?
3. bagaimana sejarah perkembangan ushul Fiqih dan Fiqih?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Periodesasi Ushul Fiqh pada Masa Nabi, Sahabat, Tabi’in dan
Imam Madzab.
2.Untuk Mengetahui Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya
Ushul Fiqh.

4
BAB II
PEMBAHASAN

II.1.Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh dan Fiqih

A. Fase Pertumbuhan (610-632 M)


Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman
Rasulullah SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu
pada abad ke-II H. Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunnah (Hadits). Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah menunggu turunnya
wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau
menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits
dan sunnah.1
Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama dengan ilmu ushul fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan
terlebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Tumbuhnya ilmu fiqh tentu ada metode yang
dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Metode ini tidak lain adalah ilmu ushul fiqh.
Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah
ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada saat menghasilkan fiqh-nya.
Namun, dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan. Masa inilah yang disebut fase
pertumbuhan (610-632 M), yang dimulai sejak Nabi diangkat menjadi Rasul sampai beliau
wafat. Masa ini dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekah dan periode Madinah.
a. Tasyri’ (proses perkembangan syariat) pada periode Mekah
Periode Mekah merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang
diturunkan adalah ayat-ayat akidah. Periode ini lebih terfokus pada proses penanaman
(ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasul-Nya, hari kiamat, dan perintah
untuk berakhlak mulia, seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji, dan manjauhi
kerusakan akhlak, seperti zina, pembunuhan, dan penipuan. Beberapa hukum syariat yang
turun pada periode ini juga dimaksudkan untuk mewujudkan revolusi akidah tadi. Dengan
kata lain, periode Mekah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem
kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu
revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial, dan moral pada
seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
b. Tasyri’ pada periode Madinah
Pada periode ini, turun ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum syariah dari semua
persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, atau
muamalat, seperti aturan jual beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas, hingga persoalan-
persolaan kriminalitas. Dengan kata lain, periode Madinah dapat pula disebut periode

1
www.staimtarate.ac.id

5
revolusi sosial dan politik. Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan
syariah pada periode ini, yaitu:
a. Metode Nabi Muhammd Saw dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal, syariat
Islam turun secara global. Rasulullah sendiri tidak banyak menerangkan apakah
perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya, dan lain sebagainya.
Ketika Rasulullah Shalat misalnya, para sahabat melihat Nabi dan menirunya tanpa
menanyakan syarat dan rukunnya.
b. Kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkan berperang pada bulan haji (QS Ali Imran: 218)
termasuk masalah-masalah ibadah dan beberapa hal yang menyangkut muamalat.
c. Turunnya syaruat secara bertahap atau periodic. Tahapan proses turunnya syariat ini
berbentuk dua hal. Pertama, tahapan dalam menetapkan kesatuan hukum Islam, seperti
shalat disyariatkan pada malam Isra’ Mi’raj (satu tahun sebelum hijriyah), azan pada tahun
pertama hijriyah, puasa, shalat ied, qurban, dan zakat pada tahun kedua, hukum waris pada
tahun ketiga dan seterusnya. Kedua, bahkan tahapan itu tidak sedikit terjadi pada satu
perbuatan. Misalnya, proses diharamkannya khamr. Bagi masyarakat sebelum Islam,
minum khamr adalah suatu kebanggaan, dan lambang kehormatan. Dalam kondisi seperti
ini akan sangat sulit untuk menghetikannya. Oleh karena itu, pada mulanya Al-Qur’an
mencantumkan suatu isyarat tersembunyi tentang kejelekan khamr. “Dan dari buah kurma
dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik”. Satu isyarat
bahwa khamr adalah rezeki yang tidak baik. Kemudian “Mereka bertanya kepadamu
tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaatnya.’ Ayat ini mengubah anggapan kaum muslimin yang mengira khamr sebagai
suatu kehormatan. Beberapa orang sudah meninggalkannya, tetapi ada juga yang masih
menyukainya, bahkan ada yang sempat mabuk ketika melakukan Shalat. Al-Qur’an
kembali menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat sedangakn
kamu dalam keadaan mabuk.”
Pada saat kehidupan masyarakat Madinah sudah mapan, yakni pada tahun keenam
hijriyah, dengan tegas Allah mengharamkan khamr dan menganggapnya sebagai
“perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan,” Dan proses turunnya syariat secara
periodik ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting, yaitu betapa pembentukan pondasi
masyarakat yang layak dan siap menerima Islam harus menjadi garapan utama dan pertama.
Aisyah ra juga pernah berkata: “Kalau saja yang pertama turun ‘jangan kamu minum
khamr’, maka mereka akan menjawab: ‘kami tidak akan meninggalkan khamr.”
Perlu ditambahkan, bahwa antara periode Mekah dan Madinah terjadi hubungan integral
dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Mannaul Qathan, dengan
menyitir ahli hukum Syatibi, mengatakan bahwa apa yang turun di Madinah tentu sudah
turun di Mekah, paling tidak dalam bentuk pemahaman. Ibarat mata rantai yang saling
berkaitan, tasyri’ pada periode Mekah dan Madinah mengajarkan suatu pelajaran yang amat
penting tentang bagaimana cara mengaintisipasi persoalan-persoalan baru yang bakal
muncul.
Turunnya ayat Al-Qur’an selama 23 tahun

6
Ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kurang lebih selama 23 tahun, pada umumnya
diturunkan untuk hal-hal berikut.
1) Memecahkan masalah yang dihadapi oleh Rasulullah dan umat Islam pada masanya.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang merupakan jawaban langsung
atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum Muslimin maupun kaum kafir.
Sebagai contoh QS. Al-Baqarah (2:217) merupakan jawaban atas pertanyaan tentang hal-
hal yang dilarang pada bulan haram, ayat 219 merupakan jawaban dari pertanyaan tentang
khamr dan judi, serta ayat 222 merupakan jawaban dari pertanyaan tentang haid.
2) Berkaitan dengan peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi selama era kenabian.
Misalnya surat An-Nur (24) ayat 6-9 adalah ayat yang turun terkait dengan kasus Hilal Ibn
Umayyah yang menuduh istrinya berzina tetapi tidak mampu menghadirkan empat orang
saksi.
3) Terjadi pentahapan dalam penurunan ayat Al-Qur’an, metode ini dipandang efektif.
Contoh proses pelarangan riba dengan empat tahap.
Rasulullah juga melakukan ijtihad dalam hal nash tidak ada. Dalam hal ini ada dua
kenyataan, yaitu:
a. Ijtihad Rasulullah dikonfirmasi oleh wahyu. Contohnya, Rasulullah melarang seseorang
menikah dengan bibinya. Dan larangan ini kemudian ditegaskan oleh wahyu An-Nisa ayat
24.
b. Ijtihad Rasulullah dikoreksi wahyu. Contohnya, Rasulullah pernah memutuskan
terjadinya perceraian dengan dzihar (ungkapan suami yang menyamakan istri dengan ibu
kandung atau mahramnya, seperti adik atau kakak perempuannya) yang dilakukan oleh Aus
bin Shamit kepada istrinya Khalwah binti Tsa’labah. Keputusan ini dikoreksi oleh surah
Al-Mujadalah ayat 1-3, bahwa dzihar tidak bisa menyebabkan terjadinya perceraian.
Metode legislasi Rasulullah
Rasulullah tidak pernah membuat kategori hukum, baik taklifi maupun wadl’l. Dalam
beberapa hal, Rasulullah meletakkan aturan tertentu tanpa menyebut rinciannya, sehinggan
Rasulullah sangat menganjurkan para sahabat untuk menggunakan akalnya tatkala mereka
harus memutuskan masalah, sementara tidak menemukan rujukannya di dalam Al-Qur’an
maupun saat tidak bertemu dengan Rasulullah. Hal ini dapat dilihat dari apresiasi
Rasulullah bahwa seseorang yang memutuskan sebuah masalah, jika ia benar akan
mendapatkan dua pahala dan jika ia salah maka akan mendapatkan satu pahala.2
Rasulullah sangat menghargai perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang telah
berani melakukan ijtihad. Misalnya, dalam kasus Bani Quraidzah, saat itu ada sekelompok
sahabat yang akan bepergian. Rasulullah berpesan agar melaksanakan Shalat Ashar ketika
sudah sampai di tempat yang dituju. Namun, ketika masih dalam perjalanan, waktu Shalat
Ashar telah tiba. Menyikapi hal tersebut, sahabat berbeda pendapat. Ada yang Shalat di
perjalanan dan ada yang Shalat ketika sampai di tempat yang dituju. Peristiwa tersebut
kemudian disampaikan kepada Rasulullah, dan Beliau diam tidak menyalahkan salah
satunya. Contoh lainnya adalah ketika dua orang sahabat berada dalam suatu perjalanan.

2
https;//bangkitmedia.com
7
Saat itu sudah tiba waktu Shalat Ashar, sedangkan di tempat mereka tidak ada air suci yang
dapat mereka gunakan untuk berwudhu, sehingga mereka memilih bertayammum dan
melaksanakan Shalat. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka dan di tengah
perjalanan mereka menemukan air suci yang dapat digunakan untuk berwudhu sedangkan
waktu Shalat Ashar belum berkahir. Salah satu sahabat memilih untuk berwudhu dan
mengulang Shalatnya, sedangkan sahabat yang satunya memilih untuk tidak mengulang
Shalatnya. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah dan beliau menjawab untuk sahabat
yang tidak mengulang Shalatnya “Shalat mu sudah mencukupi”, sedangkan untuk shaabat
yang memilih berwudhu dan mengulang Shalatnya, beliau berkata “Bagimu dua pahala”.
Rasulullah mengajarkan prinsip musyawarah dalam memutuskan suatu masalah.
Dalam kasus-kasus individu, Rasulullah membiarkan perbedaan pendapat terjadi. Tetapi
dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan umum, Rasulullah menganjurkan
musyawarah mufakat. Fenomena ini kelak dijadikan sebagai landasan ijma’.
Keadaan fiqh pada masa ini
Pada periode pertama ini, keadaan fiqh memang masih sederhana, berupa pengenalan
terhadap hukum-hukum Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Beberapa masalah,
peristiwa, situas, dan kondisi yang ditemui Nabi dan para sahabat yang dirujukkan pada
hukum-hukum Al-Qur’an akan sangat mendukung pernyataan ini. Memang beberapa
sahabat pernah mencoba mengangkat permasalahan “fiqh praktis” ketika tidak bersama
dengan Rasulullah, namun selain karena jarang terjadi, juga intensitasnya sangat kecil. Para
sahabat sangat jarang menanyakan suatu ketentuan hukum sehingga banyak perbuatan yang
saat itu hanya diterima tanpa mendapat penjelasan. Karena itu, kita dapat menyimpulkan
bahwa pada periode pertama ini keadaan fiqh lebih merupakan kerangka dasar untuk suatu
perumusan lebih lanjut.
B. Fase Perkembangan (632-661)
Kondisi objektif pada masa ini3
a. Merupakan fase sahabat, yang dikenal dengan fase pembentukan fiqh.
Periode ini bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir
ketika Mu’awiyah bin Abu Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada
periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah
Islam setelah wafatnya Nabi.
b. Secara historis merupakan masa Khulafaurasyidin
Pada periode ini, ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam
satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat dalam satu mushaf datang daru Umar bin
Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam
peperangan. Ide ini disampaiakan oleh Umar keapda khalifah Abu Bakar, dimana pada
mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide tersebut. Maka dari itu, beliau
menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-
pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit binatang, tulang-tulang, dan yang

3
Muhamad Abror-sejarahperkembanganilmuushulFiqihjum’at25juni2021
8
dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan oleh Abu Bakar, kemudian setelah beliau
wafat, mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar dan setelah Umar wafat disimpan
pada Hafsah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang
ada pada Hafsah kemudian menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan
membagikannya ke daerah-daerah Islam, yaitu ke Madinah, Mekah, Kufah, Basrah, dan
Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.
Ayat-ayat Al-Qur’an pada saat Nabi wafat telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar
dan belum disatukan. Nabi selalu meminta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang
menuliskan Hadits agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an. Disamping itu, Al-Qur’an
banyak dihafal oleh para sahabat, bahkan banyak sahabat yang menghafal keseluruhan
ayat-ayat Al-Qur’an. Akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadits dalam satu
mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama pada periode selanjutnya harus meneliti
keadaan perawi Hadits dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadits serta
muncul Ilmu Musthalah Hadits. Akibat lainnya adalah timbulnya perbedaan dalam
menanggapi suatu Hadits tertentu.
c. Wilayah Islam sudah semakin meluas, meliputi Syiria, Yordania, Mesir, Iraq, dan Persia.
d. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, menyebabkan terjadi perjumpaan
antara Islam dengan sistem, kultur, dan perilaku baru, dimana ketentuan hukum spesifiknya
tidak ditemukan dalam sumber hukum Islam yang ada.
e. Frekuensi ijtihad bertambah.
Sebab-sebab munculnya ijtihad
Pada masa ini, Islam telah menyebar luas, misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam, dan
Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-
adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan, dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam
dengan kebudayaan di luar jazirah Arab ini memunculkan berbagai masalah baru yang
menuntut adanya kepastian hukum, sementara wahyu sudah berhenti dan wafatnya
Rasulullah Saw menjadikan umat Islam tidak bisa bertanya langsung kepada beliau. Hal
ini mendorong pertumbuhan fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya, bahkan juga
mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya, kasis Usyur (bea cukai barang-barang
impor), kasus muallaf, dan lain-lain pada zaman Umar bin Khattab. Adapun cara berijtihad
para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya di dalam Al-Qur’an. Apabila tidak
ditemukan, dicari di dalam Hadits. Dan apabila juga ditemukan, barulah berijtihad dengan
bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka
bersepakat, terjadilah imja sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi
pegangan seluruh umat secara formal.4
Umar bin Khattab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu musyawarah yang
bersifat umum dan yang bersifat khusus. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan
para sahabat Muhajirin dan Ansar, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah
yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat

4
https;//journal.iainlangsa.ac.id
9
umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Masjid, apabila
terdapat permasalahan yang sangat penting.
Walaupun demikian, tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat
dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan
kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahanya kepada salah seorang sahabat
Nabi dan diberikan jawabannya. Para sahabat berijtihad dalam hal yang belum ada nash-
nya. Jadi, pada masa sahabat ini, sudah ada tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an, As-
Sunnah, dan Ijtihad. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’I dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat
pribadi.
Beberapa kejadian ijtihad di masa sahaba
1. Abu Bakar menerapkan surah ke-50 dalam penyerangan ke Syiria, yaitu
membiarkan pendududk Kristen menjalankan hukum dan adatnya sendiri.
2. Umar bin Khattab mengeluarkan muallaf dari golongan mustahik, dengan alasan
muallaf pada masa Umar tidak perlu lagi diberi bagian zakat dan tidak
memberlakukan hukuman potong tangan bagi pencuri.
3. Umar banyak mempertimbangkan keputusan hukumnya dengan
mempertimbangkan maqashid syari’ah.
4. Ali bin Abi Thalib menggunakan qiyas ketika memutuskan hukum peminum
khamr, yaitu diqiyaskan dengan hukuman pelaku qadzaf (menuduh zina).
Sejarah hukum Islam pada masa Khulafaurasyidin secara periodic terbagi menjadi 4,
yaitu periode Abu Bakar, periode Umar bin Khattab, periode Usman bin Affan, dan periode
Ali bin Abi Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman mengenai tasyri’ pada
masa ini adalah meskipun disebut periode Khulafaurasyidin, namun dalam prakteknya para
mujtahid hukum bukan hanya para Amirul Mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh
kibarus sahabat yang hidup pada masa ini juga sering berijtihad terhadap permasalahan
yang dirasa aktual dan dibutuhkan di antara umat Islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash Al-Qur’an, maka
digunakan hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, maka mereka mencari hukumnya di dalam Hadits. Namun
karena Hadits belum dibukukan, maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu
persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung
kapasitas Hadits yang dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapi masalah ini,
para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang Hadits yang
mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan
Hadits, maka mereka berijtihad dengan menggunakan ra’yu mereka sendiri-sendiri, yang
kemudian terciptalah Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma’, hingga akhirnya pada tahap
penelusuran substansi syari’at dengan menggunakan metode maslahah, yaitu mencari hal
yang maslahat bagi manusia secara umum.
C. Fase Formulasi dan Sistematisasi (661-950 M)
Secara politik, masa ini merupakan masa pemerintahan dinasti Umayyah dan dinasti
Abbasyiah. Masa ini wilayah kekuasaan islam sudah meluas sampai diseluruh jaziarah
Arab. Secara geografis, kota intelektual saat itu terbagi menjadi tiga kota, Iraq (terdiri dari
10
kuffah dan basrah), Hijaz (meliputi Makkah dan Madinah), dan Syiria. Iraq dan Hijaz
memiliki pengaruh besar terhadap pembenttukan fiqih dan ushul fiqih. Ciri khas yang
menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga
berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan peemikiran ini
tidak hanya pada bidang ilmu agama akan tetapi dalam bidanh ilmi pengetahuan umum
lainya.
Masa dinasti Abbasiyah menggantikan dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan
yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu
sangat besar sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang sangat pesat.
Pada masa dinasti Abbasiyah lah masa kejayaan intelektual yang hebat dalam sejarah islam.
Puncak keemasaan ilmu pengetahuan terjadi pada masa kepemimpinan khalifah Harun ar-
Rasyid. Perhatian khusus para khalifah terhadap para fuqaha dan mendorong mereka untuk
melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna mengahadapi persoalan sosial
dimasyarakat yang begitu komplesk. Perhatian penguasa Abbasiyah terhadap fiqih
misalnya pada pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid yang meminta kepada Imam Abu
Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan,
ketatanegaraan, dan pertanahan. Imam Abu Yusuf meemnuhi permintaan khalifah dengan
menyusun buku yang berjusul al-Kharaj. Kemudian pada masa khalifaj Abu Ja’far al-
Mansyur, ia juga meminta kepada Imam Malik untuk menulis sebuah buku kitab fiqh yang
akan dijadikan pegangan resmi pemerintahan dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah
Imam malik menyusun kitab nya yang berjudul al-Muwaththa’
Pada periode ini juga terjadi pertentangan antara ahl al-Hadits dan ahl ra’yi, sehingga
menimbulkan semangat ijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha
melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya madzhab-madzhab fiqih,
yatitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Upaya ijtihad ijtihad tidak hanya
dilakukan untuk keperluan praktis saja pada masa itu, melainkan juga membahas tentang
persoalan-persoalan yang munkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqih taqdiri
(fiqih hipotesis).
Dua Aliran besar di Kalangan Mujtahid
a. Madrasah ahl ra’yi
1. Berpusat di kuffah.
2. Banyak merujuk fatwa-fatwa dari sahavat Abdullah Ibn Mas’’ud dan Ali Ibn Abi
Thalib.
3. Berprinsip bahwa nash telah terbatas sementara kejadian terus muncul.
4. Peristiwa yang tidak ada nash nya harus dilakukan ijtihad dengan ra’yu.
5. Hukum syara’ selalu mengandung illat tertentu dan tujuan tertentu pula.
6. Produk fiqh banyak yang bersifat hipotesis, dan terkadang menciptakaun problem-
problem yang fiktif.
7. Tugas ulama adalah menemukan illat tersebut dan mengaplikasikanya dalam
peristiwa yang dihadapi.
8. Tokoh madrasah ahl ra’yu adalah Abu Hanifah.

b. Madrasah ahl al- Hadits


11
1. Berpusat di Hijaz, dengan tokohnya Said Musayyab al- Makhzumi
2. Banyak merujuk pada fatwa-fatwa dari sahabtat Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn
Umar, Aisyah binti Abu Bakar
3. Fiqih yang dihasilkan bersifat praktis, berdasarkan problem-problem aktual
4. Para tokohnya, Malik Ibn Anas, Muhammad Ibn Idris, Ahmad Ibn Hanbal, Daud
Az-Zahiri
5. Perbedaan antara madrasah ahl ra’yi dan ahl al- hadits

D. Fase Stagnasi (950 sampai akhir abad ke-19 M)


Periode ini dikenal dengan periode kemandekan dan kemunduran. Hampir tidak
ada lagi fatwa baru dikalangan ulama. Ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad
dikangan ulama. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah
dilakukan oleh imam madzhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqil
(mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada mujtahid yang berijtuhad, maka
ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip madzhab yang mereka anut. Artinya Ulama fiqh
tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-madzhabi (mujtahid yang melakukan
ijtihad berdasarkan prinsip yang ada pada dalam madzhabnya). Akibat dari tidak
adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, munculah sikap at-
ta'assub al-madzhabi (sikap fanatik buta terhadap satu madzhab) sehingga, setiap ulama
berusaha untuk mempertahankan madzhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqo
mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong
munculnya pernyataan tersebut.
1. Dorongan para penguasa kepada para hakim (qodi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu madzhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
2. Munculnya sikap at-ta'assub al-madzhabi yang berakibat pada sikap kejumudan
(kebekuan berfikir) dan taklid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan
murid imam madzhab.
3. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang
memudahkan orang untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku itu
sebagai rujukan bagi masing-masing madzhab, sehingga aktifitas ijtihad terhenti.
Ulama madzhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh
para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan
dengan merujuk pada kitab madzhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid
terhadap madzhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul
pula pernyataan haram melakukan talfiq.

II. 2. Aliran-Aliran Dalam Ushul Fiqh


Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak
berhenti, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan
ushul fiqh yang saat ini dikenal. Masing-masing aliran memiliki cara pandang yang
12
berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqih. Secara
umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin
(Syafi’iyyah) yang cenderung deduktif dan tekstual dan aliran fuqaha (Aliran
Hanafiyah) yang menekankan induktif dan kontekstual.5 Dari kedua aliran tersebut
lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
a. Aliran Mutakallimin
Aliran ini juga di sebut dengan Thariqah Syafi’iyah. Aliran ini juga disebut
dengan thariqah Syafi'iyah. Pendekatannya bersifat doktriner-normatif-deduktif.
Menurut aliran ini secara doktriner normatif setiap muslim harus mendasarkan aktivitas
hidupnya pada Al-Qur’an dan hadis.
Kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah, adalah kaidah-kaidah yang
digunakan ulama Ushul berdasarkan makna dan tujuan nas menurut kaidah-kaidah
kebahasaan Arab. Kaidah-kaidah ini dirumuskan oleh para ulama Ushul sebagai dasar
istinbath hukum dari Nash Al-qur’an maupun hadis. Kaidah ushuliyah ini berkaitan
dengan Amar, nahi, ‘am, khas, mutlaq, muqayyad, dan sebagainya.
Kaidah fiqhiyah adalah hukum-hukum yang berkaitan asas hukum yang dibangun oleh
Syar’i serta tujuan setiap tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyari’atanya. Kaidah
ini disebut juga dengan kaidah syar’iyah yang berfungsi memudahkan mujtahid
mengistimbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara dan kemaslahatan
manusia. Pembahasan kaidah ini meliputi lima asas, yaitu:
1. segala masalah tergantung pada tujuannya,
2. kemudharatan itu harus dihilangkan,
3. kebiasaan itu dapat dijadikan hukum,
4. yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan, dan
5. kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah ini di gali dari nash di teoritiskan menggunakan
hukum logika yang digunakan untuk mempermudah penemuan hakikat syara’,
sehingga memiliki kegunaan praktis untuk menjustifikasi masalah tanpa harus merujuk
langsung pada nashnya. Aliran ini berusaha menjadikan usul fiqh sebagai teori yang
independen, yang dapat diaplikasikan terhadap segala persoalan dan tidak terfokus pada
masalah fiqh saja. Tokoh dari aliran ini antara lain: Syafi'iyah, Malikiyah, Hanabilah
dan Jumhur mutakallimin. Kitab Ushul fiqih yang disusun menggunakan pendekatan
ini adalah:
1. Ar-risalah karya As-Syafi’i
2. Al-Mushtashyfa Karya Muhammad al-Ghazali
3. Al-Mu’tamad karya Abu Al-Husein Muhammad bin Ali al-Basri
4. Al-Burhan Fi Ushul al-Fiqh karya Imam al-Haramayn al-Juwaini

5
https;//suduthukum.com
13
5. Jam’u al-jawami karya Tajudin Abd al-wahhab al-subkhi Al Syafi'i.
b. Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama
madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak
diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka
berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para
muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Nama lain aliran ini adalah thariqah Hanafiyah yang dinisbahkan kepada tokoh
utamanya, yaitu ulama-ulama yang bernaung di bawah mazhab Hanafi. Dasar
pemikirannya adalah bahwa Al-Qur’an dan hadis memang mengandung kebenaran
mutlak namun pemahaman terhadap Nash adalah relatif sesuai dengan sifat relatif
manusia. Pendekatannya bersifat kontekstual yang bertumpu pada empiris-historis-
induktif.
c. Aliran Muta’akhirin
Aliran Metode ini merupakan gabungan antara Metode Mutakallimin dan
metode fuqaha. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasi kedua aliran
tersebut. Mereka memerhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-
dalil atas kaidah ini juga memerhatikan penerapannya terhadap masalah fikih far’iyah
dan relevansinya dengan kaidah-kaidah tersebut. Pemikiran yang diterapkan pada aliran
ini adalah dalam abad-abad itu muncul pula para ulama yang dalam pembahasannya
memadukan antara dua aliran tersebut, yakni dalam menetapkan kaidah,memperhatikan
alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan hukum-
hukum furu‘.
II. 3. Perbedaan Antara Aliran-Aliran Ushul Fikih
Untuk mengetahui lebih jelas dan mengenai perbedaan aliran mutakallimin
dengan aliran fuqaha, dapat dikaji melalui perbandingan yang dapat dilihat pada tiga
hal:6
1. Formulasi kaidah (al-Ta’sis)
Dalam memformulasikan kaidah ushul, mutakallimin berpegang pada pemahaman
ushlub bahasa, dalil-dalil syara’ dan dalil akal.Sedangkan golongan fuqaha kaidah
ushulnya, diangkat dari fatwa-fatwa ulama dengan jalan mengaitkan antara masalah-
masalah furu’ dengan kaidah-kaidah ushulnya.
2. Metodologi (al-Manhaj)
Dari segi metode aliran mutakallimin mempergunakan metode teoritis deduktif, dimana
teori itu dijadikan istinbath hukum.Sementara itu, metode aliran fuqaha adalah metode
aliran praktis (amali) yang berasal dari hasil penelitian hukum-hukum furu.Dengan
demikia, jelaslah perbedaan antara dua aliran ini.Sebab, ushul mutkallimin adalah

6
http;//digilib.uin-suka.ac.id
14
merupakan aturan-aturan istinbath (qawanin istinbath) yang bersifat menetapkan,
sedangkan ushul fiqih fuqaha bersifat ditetapkan oleh furu’, bukan menetapkan furu’.
3. Aspek Pemikiran (al-Tafkir)
Aliran mutakallimin, dalam sistematika pembahasannya, memulai pembahasan yang
bersifat kebahasaan, kemudian pembahasaan yang berhubungan dengan ilmu
manthiq.Terakhir, pembahasaan yang berhubungan dengan dalil-dalil
syara’.Sistematika semacam ini telah ditempuh oleh Al-Ghazali. Sedangkan aliran
fuqaha memulai dengan mengungkapkan dalil-dalil syara’, cara mengeluarkan hukum
dari dalil-dalinya (thuruq al-istismar), pemahaman tentang persyaratan ijtihad dan
terakhir tentang kedudukan mujtahid dalam ijtihad manusia. Cara ini ditempuh oleh
Fakhr al-Islam al-Bazdawi.7

7
https;//ojs.iainbatusangkar.ac.id
15
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara garis besar, perkembangan fiqh dan ushul fiqh terbagi menjadi 5 fase, yaitu fase
pertumbuhan (610-632 M), fase perkembangan (632-661 M), fase formulasi dan
sistematisasi (661-950 M), fase stagnasi (950 sampai akhir abad ke-19 M), dan fase
kebangkitan (akhir abad ke-19 sampai sekarang). Fase pertumbuhan dimulai sejak
Rasulullah Saw diangkat menjadi Rasulullah sampai beliau wafat, yang dibagi menjadi
2 periode, yaitu periode Mekah yang merupakan masa pembentukan tauhid dan ayat-
ayat yang turun adalah ayat-ayat yang banyak terkait dengan akidah, serta periode
Madinah, dimana ayat yang turun adalah ayat-ayat tentang pranata sosial. Turunnya
ayat-ayat Al-Qur’an selama 23 tahun untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi Rasulullah dan umat Islam. Dalam penetapan hukum, Rasulullah juga
melakukan ijtihad, dimana dalam hal ini terdapat 2 kenyataan, yaitu ijtihad Rasulullah
dikonfirmasi wahyu dan ijtihad Rasulullah yang dikoreksi wahyu.
Fase perkembangan (632-661 M) disebut juga fase sahabat dan fase pembentukan ushul
fiqh, yang secara historis merupakan masa Khulafaurasyidin. Pada masa ini wilayah
Islam semakin meluas meliputi Syiria, Yordania, Mesir, Iraq, dan Persia yang
menyebabkan terjadinya perjumpaan antara ajaran Islam dengan sistem, kultur, dan
perilaku baru, dimana ketentuan hukum spesifiknya tidak ditemukan dalam sumber
hukum Islam yang ada, serta wahyu sudah berhenti dan wafatnya Rasulullah
menjadikan umat Islam tidak bisa bertanya kepada beliau sehingga para sahabat
menempuh jalan ijtihad. Adapun karakter fiqh pada fase ini, yaitu bersifat realistis,
bersifat terbuka, mengedepankan musyawarah daripada pendapat pribadi dalam
menetapkan hukum, bersifat kreatif, dan khalifah sentris.
Dalam ushul fiqh, terdapat beberapa aliran, yaitu aliran mutakallimin, aliran fuqaha,
dan aliran muta’akhirin. Aliran mutakallimin pendekatannya berupa doktriner-
normatif-deduktif, bahwa setiap muslim harus mendasarkan aktifitas hidupnya pada Al-
Qur’an dan Hadits. Aliran fuqaha disebut juga sebagai aliran hanafiyah yang dasar
pemikirannya bahwa Al-Qur’an dan Hadits memang mengandung kebenaran yang
mutlak, namun pemahaman terhadap nash adalah relatif sesuai dengan sifat manusia.
Sedangkan aliran muta’akhirin merupakan gabungan antara aliran mutakallimin dan
aliran fuqaha dengan cara mengkombinasikan kedua aliran tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin, Ali. 2012. FIQH USHUL FIQH Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: Beranda Publising.
Hakim Azhari, Muhammad. 2014. “Sejarah Perkembangan dan Aliran-aliran dalam Ushul
Fiqh”. Diakses dari http://muhammadhakimazhari.blogspot.com/2014/04/sejarah-
perkembangan-dan-aliran-aliran.html pada 16 Mei 2022.
Miltasari, Tessa. 2017. “Fiqh Dan Ushul Fiqh Sejarahperkembangan Ushul Fiqh”. Diakses dari
http://tessaneechanekonomiislam.blogspot.com/2017/05/makalah-sejarah-perkembangan-
ushul-fiqh.html pada 16 Mei 2022.
Wafie, Ahmad. 2014. “Sejarah Dan Aliran Ushul Fiqh”. Diakses dari
https://wafieahmad.wordpress.com/2014/06/28/sejarah-dan-aliran-ushul-fiqh/ pada 16 Mei
2022.

17

Anda mungkin juga menyukai