Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TASYRI PADA MASA RASULULLAH SAW

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Tarikh Tasyri

Dosen Pengampu: Najih Cholil, MH

Disusun oleh :

Sri Hartini (21.02.4024)

M Yusuf Adrian Rachman (21.02.4021)

Hilmi Sajidah (21.02.4015)

JURUSAN SYARI’AH

PRODI HUKUM EONOMI SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) BREBES


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah panjatkan kehadirat Allah SWT, dan tak lupa kita curahkan
salam serta shalawat pada Baginda Rasulullah SAW. Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
lah sehingga memberikan saya kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini yang
mengangkat pembahasan tentang Tasyri pada masa rasulullah saw.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan. Segala kritikan dan saran dari smeua pihak akan
menjadi pengalaman yang berharga bagi saya demi kesempurnaan makalah ini.

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................II

DAFTAR ISI............................................................................................................................III

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5

BAB II........................................................................................................................................6

PEMBAHASAN........................................................................................................................6

A. Pembentukaan Hukum Islam..........................................................................................6

B. Pembinaan Hukum Islam................................................................................................9

C. Sumber Hukum Islam pada Masa Rasulullah SAW.....................................................12

BAB III.....................................................................................................................................14

PENUTUP................................................................................................................................14

A. Kesimpulan...................................................................................................................14

B. Saran..............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasyri’ secara istilah adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui


hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta
peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Melihat dari makna Tasyri’ tersebut, maka
mucul sebuah permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah
agama (Islam) yang berada dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras
(Badui) dan masyarakat yang hidup penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta
belum memiliki sebuah aturan baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam
hal ini adalah Tasyri’.
Tentunya melihat kondisi tersebut, maka Allah mengutus Rasulullah sebagai
wasilah pertama untuk menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat
Islam (Tasyri’) ini tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini
berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah,
Khulafaurrasyidin, Tabiin dan seterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini, kami hanya
memaparkan tentang penegakan syariat Islam(Tasyri’) pada periode Rasulullah saja.
Tidak terlepas bahwa berbagai faktor sosial juga menjadi latar belakang turunnya Al-
Qur’an. Banyak hal-hal yang menjadi Asbabun Nuzulnya Al-Qur’an sebagai sumber
Tasyri’ periode Rasulullah ini. Akan tetapi bukan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an ini
diturunkan karena adanya Asbabun Nuzul. Kesesuaian tradisi dan al-quran juga
terlihat disana, akan tetapi bukan berarti Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tradisi
orang Arab, karena diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk seluruh umatnya.
Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan
fase Madinah. Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan Tasyri’
yang dibawa oleh Rasulullah ini. Karena corak kehidupan Mekkah dan Madinah
sangatlah jauh berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-hal yang
menyimpang dari aturan atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit
untuk menerima hal-hal yang baru dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama
kali ditanamkan dalam hati mereka adalah hal-hal yang menyangkut dengan
ketauhidan. Berbeda halnya dengan keadaan masyarakat Madinah yang sangat mudah

IV
menerima Islam, bahkan mereka menerima kedatangan Rasulullah dengan senang
hati. Sehingga pembentukan tasyri’ pada masa ini dirasa jauh lebih mudah dibanding
dengan fase Mekkah, dan pada masa inilah hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah,
tauhid dan sebagainya menjadi Tasyri’
Al-Qur’an dan Hadist pada periode ini menjadi sebagai sumber penetapan
Tasyri’, kemudian permasaalahan yang muncul adalah keterkaitan dengan ijtihad pada
masa ini, apakah ijtihad juga menjadi sumber Tasyri’ saat itu. Maka untuk lebih
lengkapnya akan kita bahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pembentukan Hukum Islam?


2. Bagaimana pembinaan hukum islam pada masa Rasulullah?
3. Apa saja yang menjadi landasan hukum islam periode Rasulullah?

V
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembentukaan Hukum Islam

Allah SWT. mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk menegakkan


syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini tidak berhenti setelah
Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari
periode Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan seterusnya. Adapun pada periode
Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah. Secara sosio
cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan Tasyri’ yang dibawa oleh
Rasulullah ini
1. Tasyri’ Periode Mekkah
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi
sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai
tauhid seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk
berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi
kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan.1
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah, karena akidah
merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya.2Sehingga bila
telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan
aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang Turun di
Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka
menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh
para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat
terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan
memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya
seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.

1
A.sirri, Mun’in, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal: 22
2
Khallaf, wahab khulasah tarikh tasyri’ islami, hal: 18

VI
Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal
pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh
makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri
(rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi,
agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada Amat-umat terdahulu yang
mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya. Pada masa ini
al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah
Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum
hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai,
darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode
Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan
masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Statu revolusi yang
menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan moral pada seluruh
dimensi kehidupan masyarakat.
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW
tidak diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor
diantaranya yatu : Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah
berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi.
Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid
juga banya ditolak oleh masyarakat Mekkah. Ajaran Islam mengecam perilaku
ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan
mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.1
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang
penting. Mekkah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia
selatan sampai utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah dan
afrika. Dan Mekkah adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor
tersebut sangat mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.3

2. Tasyri’ Periode Madinah


Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya,
jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu

3
Asghar ali engineer, asal-usul dan perkembangan Islam, hal: 59

VII
pemerintahan yang gilang gemilang.4 keadaan inilah yang mendorong perlunya
mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur perhubungan
antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula
perhubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun
perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan
masyarakat sebagai masyarakat percontohan oleh karena itu di periode madinah inilah
ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam)
Turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun social. Meskipun pada periode ini
Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat
legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah
diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang
tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan
etik.5
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu
disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan
yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok
pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat,
perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu
fiqih. Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-
peristiwa,
menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi
huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi
pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan
bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan
hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang
Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat
(wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang
dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka
melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal
tersebut benar menurut Nabi SAW.

4
Khallaf, Wahhab, Op.Cit, hal: 10

5
Zuhri, Muhammad hukum Islam dalam lintasan sejarah, hal: 13

VIII
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariat pada
periode ini.6:
1) metode Nabi dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam
Turun secara global nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu
wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya.
Seperti ketika nabi salat para sahabat melihat salat nabi dan mereka
mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
2) kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri ketika
mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula yang
disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada
kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah
masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
3) turunnya syariat secara bertahap (periodik). Maksudnya pembentukan kondisi
masyarakat yang layak dan Siap dan menerima Islam harus menjadi prioritas
yang diutamakan.

B. Pembinaan Hukum Islam

Dalam pembinaan hukum Islam telah dipelihara empat dasar (asas):


1. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Berangsur-angsur ini berlaku dalam masa tasyri’ dan berlaku pula dalam
macam-macam hukum yang disyariatkan. Hikmah dari berangsur-angsurnnya
masa turunnya hukum ialah agar secara bertahap mudah diketahui isi undang-
undangnya, materi demi materi, dan mudah dipahami hukum-hukumnya secara
sempurna, dengan berpijak kepada peristiwa dan situasi yang memerlukan
penetapan hukum.
Adapun tujuan hukum diturunkan dan disyariatkan secara berangsur-angsur
adalah agar segenap umat pada masa pertama memeluk agama Islam tidak
dibebani sesuatu yang menyusahkan, baik yang ingin dikerjakan maupun ingin
ditinggalkan, sehingga segenap umat bersedia menerima dan taklif. Sebagaimana
ketika Rasulullah ditanya masalah khamer dan judi, sedang keduanya termasuk

6
Op. Cit, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal: 24

IX
adat-istiadat yang kokoh dikalangan mereka. maka beliau menjawab mereka
dengan ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah: 219

۞ ‫َّاسۖ َواِثْ ُم ُه َمآ اَ ْكَب ُر ِم ْن‬


ِ ‫ك َع ِن الْ َخ ْم ِر َوال َْم ْي ِس ِرۗ قُ ْل فِ ْي ِه َمآ اِثْ ٌم َكبِْي ٌر َّو َمنَ افِ ُع لِلن‬
َ َ‫يَ ْس َٔـلُ ْون‬
ِ ‫ك يبيِّن ال ٰلّهُ لَ ُكم ااْل ٰ ٰي‬
ۙ‫ت ل ََعلَّ ُك ْم َتَت َف َّك ُر ْو َن‬ ِ ِ َ َ‫َّن ْف ِع ِه َماۗ َويَ ْسـَٔلُ ْون‬
ُ ُ َُ َ ‫ك َما َذا ُي ْنف ُق ْو َن ۗە قُ ِل ال َْع ْف َوۗ َك ٰذل‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada


keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".

Ayat tersebut tidak menjelaskan tuntutan untuk meninggalkannya, tetapi


disuruh untuk memahaminya terhadap perbuatan yang tidak banyak manfaatnya.
kemudian Al-Qur’an menjelaskan kepada mereka tentang shalat dalam keadaan
mabuk sehingga mereka tidak mengetahui apa yang mereka katakan. Allah
berfirman dalam surat an-Nisa: 43 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan.” Larangan ini tidaklah membatalkan kepada yang pertama
bahkan dia menguatkannya. Kemudian Al-Qur’an menjelaskan larangan sebagai
keputusan secara tegas kepada suatu hukum.

2. Mengefisienkan pembuatan undang-undang.


Disini hukum-hukum disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya sekedar menurut
kebutuhan-kebutuhan hukum yang diperlukan, serta merespon kejadian yang
mengharuskan adanya hukum. Hikmah pembinaan dari tasyri’ ini adalah untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan mewujudkan kemaslahatan, maka sebaiknya
pada tiap masa peraturan itu dibatasi sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan
zamannya, sehingga orang-orang yang terdahulu, kini, dan yang akan datang,
tidak menemukan kesulitan akibat peraturan-peraturan diluar kebutuhan dan
kemaslahatan mereka.
Diantara prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam syariat Islam ialah bahwa
hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan. Untuk itu segala binatang dan
benda atau perjanjian atau transaksi yang tidak disyariatkan hukumnya oleh dalil
syara’ adalah boleh. Atas dasar inilah maka dengan mengefisienkan undang-
undangpun tidak mendatangkan kesempitan. Permasalahan apapun yang tidak ada

X
peraturan undang-undangnya, maka hukumnya boleh berdasarkan ibahah
ashliyah(kebolehan menurut asal).

3. Memberi kemudahan dan keringanan.


Prinsip ini paling menonjol dalam perundang-undangan hukum Islam. Dalam
banyak hal, hukum-hukum itu tujuannya adalah memberi kemudahan dan
keringanan bagi para mukallaf. Dalam keadaan khusus dimana hukum ‘adzimah
mendatangkan kesulitan, maka disyariatkanlah hukum rukhshah (keringanan).
maka dibolehkanlah hal-hal yang terlarang ketika terjadi darurat, dan dibolehkan
meninggalkan perbuatan wajib jika untuk menunaikannya terdapat kesulitan.
Adanya paksaan, keadaan sakit, bepergian, khilaf, lupa, dan ketidaktahuan,
merupakan alasan untuk keringanan hukum.

4. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.


Bukti adanya prinsip ini adalah bahwa syari’ (pembuat undang-undang)
banyak memberikan ta’lil hukum dengan kemaslahatan manusia sebagai ‘illat
hukum. Syara’ menetapkan bahwa hukum-hukum yang ada berdasarkan ‘illat
akan berputar bersama ‘illatnya, yaitu adanya ‘illat menetapkan adanya hukum
dan tidak ada ‘illat meniadakan hokum. untuk ini Allah mensyariatkan sebagian
hukum, kemudian membatalkan dan menghapusnya, Karena kemaslahatan
mengharuskan perubahan yang demikian. Salah satu contohnya, mula-mula Allah
mewajibkan menghadap Baitul Maqdis ketika shalat, kemudian hukum ini
dihapuskan dan diganti dengan perintah menghadap Ka’bah ketika shalat.
Adanya penghapusan hukum, penggantian hukum, dan perubahan hukum,
menjadi bukti bahwa perundang-undangan dalam Islam ditetapkan untuk
kemaslahatan umat manusia. Untuk memeliharanya maka pembuat undang-
undang memperhatikan ‘urf (adat kebiasaan masyarakat diwaktu peraturan
berlaku) selama adat istiadat tersebut tidak merusak salah satu dasar dari pokok
agama. Oleh karena itu syari’ (pembuat undang-undang) memperhatikan adanya
kafa’ah (keseimbangan, kufu) dalam perkawinan, memperhatikan ‘ashabah dalam
hukum pewarisan dan perwalian, serta mewajibkan pembayaran diyat (denda).
Demi kemaslahatan umat manusia, maka perlu diperhatikan adat kebiasaan
serta hal-hal yang biasa dilakukan masyarakat setempat (lokal), selama yang

XI
demikian itu tidak berlawanan dengan pokok-pokok agama serta tidak
mendatangkan kemudharatan.7

C. Sumber Hukum Islam pada Masa Rasulullah SAW

Penentuan hukum pada periode Rasulullah SAW mempunyai dua sumber8, yaitu :
1. Wahyu Ilahi (Al-Quran)
Al-quran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
yang mengandung petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan ummat manusia. Dalam
bahasa “Fazlurrahman,9 Al-Quran adalah dokumen keagamaan dan etika yang
bertujuan praktis menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang
terdiri dari manusia-manusia saleh dan religius dengan keadaan yang peka dan
nyata akan adanya satu tuhan yng memerintahkan kebaikan dan melarang
kejahatan. Ketika terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum
dikarenakan suatu peristiwa, perselisihan, pertanyaan, permintaan fatwa, maka
Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW satu atau beberapa ayat al-
quran yang menjelaskan hukum yang hendak diketahuinya. Kemudian Rasulullah
menyampaikan kepada umat Islam apa-apa yang sudah diwahyukan kepada beliau
itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang yang wajib diikuti.
Ada karakteristik yang sangat menonjol dari al-quran yaitu, bahwa meskipun
al-quran diturunkan dalam ruang waktu tertentu, sebab tertentu, tetapi esensi
kalam tuhan tersebut adalah universal, sehingga mengatasi ruang dan waktu. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa sasaran alquran dan juga sebab turunnya adalah
“kemanusiaan(problematika kehidupan manusia), baik pada masa Nabi, masa kini
dan masa seterusnya.
2. Ijtihad Rasulullah (Sunnah)
Sunnah adalah sumber fiqih kedua setelah al-quran. Dalam terminologi
muhaddisin, fuqaha dan ushuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad, baik perkatan, perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana

7
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, (Marja Bandung: 2005) Cet-1, 19-25.
8
Khlallaf, Wahhab, terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, hal: 13
9
Op, Cit, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar hal:28

XII
al-quran, sunnah juga tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara
bertahap(periodik) mengikuti fenomena umum dalam masyarakat, atau lebih tepat
disebut mengikuti perkembangan turunnya syariat. Oleh karena itu dalam banyak
hal, kita akan melihat bahwa sunnah bertujuan menerangkan, merinci, membatasi
dan menafsirkan al-quran.
Ketika muncul sesuatu yang menghendaki peraturan, sedang Allah tidak
mewahyukan kepada Rasulullah ayat al-quran yang menunjukkan hukum yang
dikehendakinya, maka Rasulullah berijtihad untuk mengetahui ketentuan
hukumnya. Dan dengan hasil ijtihad itulah yang dipergunakan beliau untuk
memutusi hukum sesuatu masalah, atau memberi fatwa hukum atau menjawab
pertanyaan atau menjawab permintaan fatwa hukum. Dan hukum yang terbit dari
hasil ijtihad beliau itu juga menjdai undang-undang yang wajib diikuti. Setiap
hukum yang disyareatkan pada periode Rasulullah SAW itu sumbernya adalah
dari wahyu ilahi (al-quran) dan ijtihad Nabi (Sunnah).

BAB III

PENUTUP

XIII
Kesimpulan
Pada periode Rasulullah pembentukan tasyri’ terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Periode Makkah
Pada periode makiyyah Rasulullah lebih memfokuskan kepada pembentukan
Akidah dan moral masyarakat makkah yang bertolak belakang dengan kebiasaan
masyarakat mekkah pada masa itu. Contohya, kebiasaan masyarakat mekkah
menyembah berhala, berjudi, meminum khamer, membunuh bayi perempuan,
dan berzinah. Setelah diangkatnya Nabi Muhammad dan berdakwah secara
terang-terangan barulah terbentuk Hukum Islam yang mengajak masyarakat
mekkah untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan terdahulu, dan menyembah
kepada Allah SWT.
Ketika Rasulullah mengajak masyarakat makkah untuk menyembah Allah dan
meninggalkan kebiasaan nenek moyang terdahulu, terdapat perlawanan dari
masyarakat mekkah yang membenci ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad
sehingga Rasulullah berhijrah ke Madinah. Inti pembentukan Hukum pada
periode Makkiyah adalah membentuk akidah yang sesuai dengan ajaran Islam,
dan menyembah kepada Allah SWT.

XIV
b. Periode Madinah
Berbeda dengan periode sebelumnya pada periode madinah sudah banyak
masyarakat yang memeluk Agama Islam dan telah terbentuknya pemerintahan
yang tertata dengan rapih. Kemudian mendorong Tasyri’ sesuai dengan
perkembangan masyarakat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan,
baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah,
muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah,
peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih. Setelah pembentukan
Hukum maka munculah Pembinaan Hukum Pada Masa Rasulullah terdapat 4
dasar pembentukan Hukum Islam yaitu:
a. Berangsur-angsur dalam penetapan hukum.
b. Mengefisienkan Pembuatan Undang-Undang.
c. Memberi Kemudahan dan Keringanan.
d. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, serta
masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya
kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi
di masa yang akan datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat
memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.

XV
DAFTAR PUSTAKA

Asghar ali engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan
IKAPI.

Zuhri, Muhammad Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, 1996. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Sirri, Mun’in Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, 1995. Risalah Gusti.

Khallaf, Abdul Wahhab, Sejarah Hukum Islam, (Marja Bandung: 2005) Cet-1, 19-25.

Khallaf, Wahab Terjemahan Khulasah Tarikh Tasyri’ Islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani

XVI

Anda mungkin juga menyukai