Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU FIQIH

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok

Mata Kuliah: Ilmu Fiqih

Dosen Pengampu: Moh. Syakur, M.S.I.

Disusun oleh:

Sholahuddin (2204026058)

Muhammad Rionaldi Putra Irawan (2204026054)

Nadia Putri Amelia (2204026048)

Nazilah Nuril Farikhah (2204026080)

KELAS B-1

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah di Indonesia belakangan ini terjadi perbedaan pendapat mengenai itu


dan ini. Satu kelompok mengatakan ini bid’ah, tidak ada di zaman nabi seperti ini,
nabi tidak pernah mencontohkan seperti ini, dan sebagainya. Memvonis bid’ah
sesama. Pada akhirnya berpecahlah satu kelompok dengan yang lainnya. Lalu apakah
islam diturunkan untuk pepecahan? Lalu apakah syariat dijadikan sebagai ajang
berdebat dalam perbedaan pendapat? Sungguh perlu diketahui islam lahir dari sumber
hukum syariat yang satu, perintah Allah SWT.
Pada masa lalu, islam pada zaman Nabi Muhammad SAW mengalami
perkembangan yang pesat, tentu setelah melalui proses dakwah yang begitu
panjangnya. Namun seiring berjalannya waktu, islam menjadi mudah. Segala bentuk
aspek sosial, kehidupan dan politik sudah diatur dalam pasal-pasal yang bernama
syariat. Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk kala itu, sumber hukum ada pada
Al-Qur’an yang langsung turun pada itu, wahyu langsung turun, ketika ada perkara
sensitif. Misalnya ketika itu Nabi Muhammad SAW bersumpah tidak akan pernah
minum madu lagi, padahal madu itu adalah minuman yang halal. Sebabnya hanyalah
untuk menghendaki kesenangan istri-istrinya. Lalu teguran Allah muncul kepada Nabi
SAW dengan turunnya Surah At-Tahrim ayat 1 yang berbunyi:
Yaaa Ayyuhannabiyyu lima tuharrimu maa ahallallahu laka, tabtaghii mardhaata
azwajika,...(Q.S. At-Tahrim:1)
Dengan demikian, ilmu fiqih belum ada di zaman Nabi SAW, sumber ilmu
merujuk kepada baginda Nabi SAW melalui wahyu. Sepeninggal Rasulullah SAW,
zaman terus mengalami perubahan. Mulai dari budaya, tradisi, aspek sosial, politik,
serta ekonomi yang terus mengalami perubahan yang mengharuskan adanya
penyelesaian masalah hukum syariat yang berjalan sesuai undang-undang keislaman.
Para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para ulama seterusnya berijtihad, memecahkan
masalah hukum sesuai kaidah syariat yang dibawa oleh Rasul SAW yang dinamakan
ijma’ dan qiyas. Kemudian ada lagi masalah-masalah baru sehingga muncul porsi
ilmu baru bernama ushul fiqh. Patokan para ulama untuk berijtihad memecahkan
masalah hukum aktual sesuai perkembangan zamannya sampai saat ini. 1 Oleh karena
itu, betapa pentingnya kita untuk memahami asal mula kehadiran ilmu fiqih sebagai
hukum dinamis yang berkembang terus sesuai dengan zamannya. Sehingga
keberadaannya menjadi maslahat di tengah-tengah pergesekan pendapat hukum di
masyarakat, khususnya Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya ilmu fiqih?
2. Bagaimana perkembangan ilmu fiqih sampai sekarang?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui sejarah munculnya ilmu fiqih.
2. Mengetahui perkembangan ilmu fiqih sampai sekarang

D. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah Metode penelitian deskriptif melalui studi
pustaka (library search) seperti buku, jurnal, dan dari internet seperti artikel.

1
Fatkan Karim Atmaja, 2017, Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa, Mizan; Jurnal Ilmu
Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR, Vol. 5 No. 1, hal. 24.
BAB II

SEJARAH ILMU FIQIH DAN PERKEMBANGANNYA

A. Sejarah dan Perkembangan Fiqih

Perjalanan Fiqh dari masa Rasul SAW sampai modern terus berkembang sesuai
kebutuhan umat Islam. Hal ini menandakan bahwa fiqh adalah ilmu yang bersifat dinamis,
fleksibel, dan tidak terikat oleh zaman yang terus mengalami perkembangan. Oleh karena itu
perlu diketahui oleh setiap orang bahwa ilmu fiqih ini harus diformat dengan baik, sehingga
dapat mengurangi konflik dalam perbedaan antara kaum muslim. Tulisan ini memberikan
informasi warna perjalanan fiqh dari masa ke masa yang mengalami pasang surut.2

Dalam perkembangannya ilmu fiqih memiliki sejarah yang panjang. Banyak perbedaan
pendapat mengenai klasifikasi periode dalam perkembangan ilmu fiqih. Seorang ulama pakar
ushul fiqh asal Mesir, Abdul Wahab Khalaf membagi periodisasi perkembangan fiqih dalam
tiga periode. Periode pertama saat Nabi masih hidup, periode kedua saat Nabi sudah tidak ada
(zaman sahabat), dan periode ketiga pada masa tabi’in, tabi’tabi’in, dan para imam mujtahid. 3
Adapun yang membagi menjadi 4 periode4, 5 periode5, 6 periode, bahkan 7 periode6. Setiap
periode memiliki dinamika yurisprudensinya masing-masing.7 Tetapi semua pendapat tetap
sama, yaitu menjelaskan perkembangan fiqih dari awal risalah islam sampai kemuduran ilmu
fiqih sendiri. Namun perlu ditambahi di akhir, bahwa ilmu fiqih mengalami masa
perkembangannya di zaman modern. Hal ini ditandai dengan perkembangan Ilmu fiqih di
zaman ini. Berikut proses yang dilalui oleh ilmu fiqih dalam perkembangannya.

a. Periode Rasulullah SAW

2
Muzakir, Periodisasi Fiqh (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai Modern), Islam Futura,
Vol, VII, No. 1, Tahun 2008, hal. 25.
3
NU Online, Muhammad Abror, Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih, dibuat 29 juni 2021, (diakses
pada 20 Agustus 2022), https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqih-imQ0s
4
Nurul Asiya Nadhifah, Perkembangan Fikih Pada Masa Berakhirnya Madhhab, AL-HUKAMA:
The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 4, No. 1, Juni 2014. Hlm. 242.
5
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 1999), hlm. 31-32.
6
Republika, Agung Sasongko, ”Tujuh Periode Perkembangan Fikih”, dikutip pada 22 Agustus 2022,
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/10/20/nwildw313-tujuh-periode-
perkembangan-fikih
7
NU Online, Muhammad Abror, Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih, dibuat 29 juni 2021, (diakses
pada 20 Agustus 2022), https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqih-imQ0s
Terjadi 13 tahun sebelum hijrah sampai tahun ke-11 H . Masa inilah awal pertumbuhan
dan pembentukan fiqih atau dalam bahasa arab ‘ahdu insya wa takwin.8 Periode ini
dimulai sejak Nabi SAW masih hidup sampai beliau wafat.

Walaupun sebentar, hanya sekitar 22 tahun lebih beberapa bulan, periode ini sangat
berarti, dan memiliki kesan yang mendalam bagi umat muslim. Sumber titik luncur
pertama dalam pembentukan ilmu fiqih. Dimana nash-nash Al-Qur’an berasal dari beliau
SAW, dan begitu pula hadits-hadits. yang dari situlah kita bisa menyerap ilmu-ilmu
pengetahuan. Mashdarul hukm wal ‘ilm, sumber segala hukum dan ilmu. Kita bisa
membedakan yang halal, dan haram, menjadi petunjuk di kegelapan. Beliaulah sebagai
penerang dan cahaya. Menjadi oase di tengah kekeringan zaman.

Adapun pembagian masa pada periode ini. Yang pertama periode Makkah dan yang
kedua periode Madinah. Pada periode makkah berlangsung selama beliau berdakwah di
makkah. Mulai Nabi diutus menjadi Rasulullah SAW, beliau menyampaikan risalahnya
disana, membersihkan , menyucikan hati orang-orang Makkah, mendakwahkan mereka
agar tak mendekati berhala, beragam cacian beliau dapatkan, tetapi beliau tetap tabah
dan sabar. Perintah Allah mengantarkannya untuk berhijrah ke Madinah disitulah
berakhir sudah masa periode di Makkah. Di Periode Makkah ini berlangsung selama 13
tahun dan berlanjut pada fase Madinah.

Rasulullah berposisi sebagai amir, pemimpin agama dan sebagai pemimpin agama, yaitu
sebagai utusan Allah SWT.

Pada fase Madinah inilah masyarakat terbentuk, disamping membutuhkan perhatian


tentang pengaturan kehidupan mereka. Mulai dari segi ekonomi islam seperti jual beli,
hutang piutang, sampai ke ahwal syakhsiyah seperti pernikahan, wasiat dan sebagainya.
Segala aspek kehidupan itu membutuhkan hukum-hukum aturan yang bersumber dari
wahyu Allah SWT. Keberadaan Rasulullah SAW menata akhlak kehidupan mereka di
Madinah selama 10 tahun, mulai dari Nabi SAW hijrah menginjakkan kaki di Madinatul
Munawwarah, dan ketika itu namanya masih Yastrib sampai Rasulullah SAW wafat di
pembaringan terakhir kota Nabi itu (Madinah).

Tasyri’ pada masa Rasulullah SAW bersumber pada dua pokok wahyu ilahi, yaitu Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Senada dengan yang disampaikan Dr. Abdul Wahab Khalaf

8
Loc. cit
(w.1956 M), dalam kitabnya Ilmu Ushul Al-Fiqh menjelaskan bahwa pada masa periode
insya wa takwin hukum islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.9

Di samping itu, pada masa Rasulullah pun ternyata ijtihad sudah dilakukan oleh Rasul
dan para sahabatnya. Jika wahyu tidak turun tentang sebuah permasalahan atau
perdebatan sesuatu, maka ijtihad pun dilakukan. Dan tasyri’ ahkam ( penetapan hukum
islam) di masa itu dipegang oleh Nabi sendiri, maka Nabi SAW boleh menetapkan
sesuatu yang bukan dari wahyu, termasuk penetapan halal dan haram.

Di dalam ijtihad Nabi SAW boleh jadi benar, dan boleh jadi juga salah. Jika ijtihad
beliau salah, maka akan datang teguran oleh Allah berupa wahyu. 10

Cukup sebagai contoh perilaku Rasulullah SAW mendorong sahabatnya untuk berijtihad
terbukti dari cara Rasulullah bermusyawarah dengan sahabatnya, yaitu di kala Nabi
Muhammad SAW mengutus Muadz bin Jabal untuk menjadi hakim.di Yaman. Nabi
SAW bertanya: “Bagaimana engkau memutuskan perkara sedangkan tidak terdapat di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah?” Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad”. Kemudian
Nabi SAW menepuk bahu Muadz seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufik kepada utusan Rasulullah tentang sesuatu yang diridhai oleh
Rasulullah.”11

b. Periode Khulafaur Rasyidin


Periode Khulafaurrasyidin dimulai sejak Rasulullah SAW wafat. Bermula dari 11
Hijriyah dan berakhir pada 93 Hijriyah atau akhir abad pertama hijriah. Dari masa
Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq sampai Ali bin Abi Thalib. Dinamakan dengan “masa
sahabat besar” karena kekuasaan tasyri’ ahkam dipegang oleh para sahabat besar.
Diantara sahabat itu masih ada yang hidup sampai akhir periode ini (akhir abad pertama
hijriyah), yaitu Anas bin Malik (w. 93 H = 712 M).12

Dalam periode ini islam menyebar luas dari kota Madinah Al-Munawwarah ke segala
penjuru. Mulai dari Syiria, Irak, Mesir, Afrika, dan lain-lain. Seiring berkembangnya
zaman, timbullah permasalahan-permasalahan yang tidak dapat dirujuk kepada Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Akibatnya mulailah terbuka pintu-pintu istinbath (pengambilan
hukum) melalui dua wahyu Allah tersebut; Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dari situlah yang

9
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Indonesia: Al-Haramain, 2004), hlm. 15.
10
Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm. 40-42.
11
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 19.
12
Hasbi Ash Shiddieqy, Loc.Cit.
menjadi cikal bakal berdirinya pintu ijtihad.13 Sumber tasyri’(hukum) pada periode ini
adalah: 1) Al-Qur’an, 2) As-Sunnah, 3) Ijma’ para sahabat.14.

Para sahabat saat itu menjadi pemegang kekuasaan tasyri’ yang menjadi pemegang
badan legislatif di daerah masing-masing. Mereka semua berwenang menjadi pembuat
undang-undang hukum. Semuanya ada total 130 sahabat yang bertindak sebagai mufti
yang mendapat popularitas di kalangan masyarakat. Kepercayaan masyarakat saat itu
tertuang kepada para sahabat semuanya, dikarenakan keilmuannya yang bersumber
langsung dari Nabi SAW. Pemahaman para sahabat dalam berijtihad sebuah hukum
tasyri’ memang sangatlah matang dan sempurna. Karena mereka menyaksikan langsung
apa yang disampaikan oleh Nabi SAW. Mereka semua telah paham asbabunnuzul suatu
ayat dan memahami betul hadits Nabi.

Karena islam menyebar luas kala itu, begitu pula para sahabat. Maka di Makkah ada
Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Di Madinah ada Zaid bin Tsabit. Di Kufah ada Ali bin
Abi Thalib, di Bashrah ada Abu Musa Al-Asya’ari dan dan lain sebagainya. Para sahabat
dahulu melakukan ijtihad bersama di Madinah. Namun, setelah mereka menyebar ke
berbagai kota, maka ijtihad dilakukan perorangan.15

c. Periode Awal Pertumbuhan Ilmu Fiqh

Masa ini adalah masa hidupnya para sahabat kecil dan tabi’in besar. Masa yang
berlangsung selama pemerintahan Mu’awiyah (tahun 41 H – 132 H / 661 M – 750 M)
sampai awal abad ke-2 hijriyah.

Ciri khas dari periode ini adalah isu politik. Sampai ada istilah fiqih penguasa, yang
dimana kekuatan tasyri’ dipegang oleh penguasa. Masa ini terjadi ketika islam berpecah
menjadi tiga golongan: 1) Ahlussunnah wal jama’ah, 2) Syi’ah, 3) Khawarij.

Ketika itu para kaum muslimin berdebat mengenai siapa yang akan melanjutkan tampuk
kekhalifahan, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan selaku calon khalifah.
Maka Muawiyah pun naik tahta secara tidak patut. Meskipun begitu, politik di masa
pemerintahan Muawiyah ini sangatlah kuat. Pemerintahannya menganut sistem monarki.
Segala bawahan wajib patuh. Keturunannya Yazid juga dipilih menjadi khalifah juga
dengan jalur nepotisme, semua rakyat harus setia kepadanya. Hukum dipegang oleh

13
Ibid, hal. 42.
14
Ibid, hal. 45.
15
Ibid, hal. 43-44.
tangan pemerintah mutlak. Dari sinilah bentuk pemerintahan absolut. Tidak demokratis
seperti yang dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin sebelumnya.

Di masa Muawiyah timbul perlawanan antara hukum islam dengan kenyataaan hukum
yang berlaku. Sebagian khalifah memaksakan hukum menurut kehendaknya saja.
Muncul juga pada zaman Muawiyah ini periwayatan hadits-hadits palsu, gunanya untuk
memperalat kekuasaan, politik, dan lain sebagainya. Ini yang menyebabkan umat islam
berbeda-beda dalam pola berpikir, dan dalam mengambil jalan pikiran.

Peristiwa pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan tahun 41 hijriyah lalu merupakan saksi bisu berdirinya sekte-sekte aliran di tubuh
umat muslim. Antara umat muslim kebingungan siapa diantara dua orang tersebut yang
layak menduduki tahta khalifah. Dan ternyata, pergolakan politik pada masa-masa awal
pemerintahan Daulah Umayyah telah melahirkan aliran-aliran teologis yang membawa
pengaruh besar terhadap perkembangan fiqih hingga menghantarkan fiqih menuju era
kodifikasi dan munculnya para aimmah mazahib (para imam mazhab).16 Hikmah dari
perpecahan ini adalah sumbangan yang besar terhadap khazanah keilmuan umat muslim.
Walaupun memiliki jalan pikiran yang beda, umat muslim masih bisa beradaptasi
dengan keadaan yang mencekik. Mereka menetapkan hukum tidak hanya menggunakan
pijakan utama melainkan diiringi dengan akal syariat serta memerhatikan maslahat dan
menghindari mafsadat. Hal ini menandai bahwa syariat itu dinamis, akan selalu
berkembang seiring perkembangan zaman. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh
para sahabat pada zamannya, yaitu dengan berijtihad.

Islam yang saat itu berbeda-beda pandangan dalam menetapkan dasar-dasar hukum,
terbagi menjadi tiga kelompok ulama’, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Al-Kufah,
Madrasah Al- Madinah. Pada perkembangan selanjutnya Madrasah Al-Iraq dan
Madrasah Al-Kufah dikenal dengan sebutan madrasah al-ra’yi (aliran rasionalisme),
sedangkan Madrasah Al-Madinah dikenal dengan sebutan madrasah al- hadits (aliran
tradsionalisme).17 Selanjutnya penjelasan mengenai sebutan kalangan ulama yang ahlu
ra’yi (qiyas), dan ahlu hadits adalah:

1. Madrasah (Ahlu) Ra’yi


16
Izzul Fatawi, “Perkembangan Fiqih Pada Masa Daulah Umawiyah”, Vol. VIII No. 1 Januari –Juni, tahun
2015, hal. 114
17
Fatkan Karim Atmaja, Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa ke Masa, Mizan: Jurnal Ilmu Syariah.
Volume 5 No 1 Juni 2017, Hal. 29-30.
Mereka yang lebih banyak melakukan pengambilan hukum dengan cara rasional
disamping menggunakan nash-nash sebagai sumber. Menggunakan analogi (qiyas)
dalam menetapkan produk hukum. Mereka terbiasa menyikapi peristiwa dan
persoalan yang muncul, mereka juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum
terjadi dan menyimpulkan hukumnya.18 Contohnya dalam setiap kasus yang dihadapi
mereka mencari illatnya, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum
kasus yang dihadapi dengan kasus yang sudah ada nashnya. Mereka adalah para
tabi’in yang berada di Irak, diantara ulama yang termasuk golongan ini adalah
Ibrahim al-Nakha’i dan Alqamah ibn al-Qays.19

2. Madrasah (Ahlu) Hadits


Mereka adalah para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits Rasulullah
SAW, karena mereka dengan mudah melacak sunnah Rasulullah di daerah tersebut.
Rasulullah lama tinggal, dan membentuk lingkungan kemasyarakatan islami disana.
Dan penduduk Hijaz, khususnya Madinah lebih banyak mengetahui hadits dan tradisi
Rasulullah dibanding penduduk di luar Hijaz. Hijaz memang merupakan daerah yang
perkembangan budayanya dalam pantauan Rasulullah sampai beliau wafat. Di
Madinah sebagai ibukota Islam, beredar hadits Rasulullah yang lebih lengkap
dibanding daerah lain di manapun. Dan di masa ini tepatnya pada masa Umar bin
Abdul Aziz terjadi proses pembukuan hadis-hadis Nabi karena khalifah sangat
khawatir akan keberlangsungan hadis-hadis yang dipelajari akan punah dan hilang.
Adapun ulama yang termasuk diantara ahlu hadits Sa’id bin Al Musayyab, Ahmad
bin Hanbal.20
Kebanyakan ikhtilaf diantara mereka adalah karena perbedaan pendapat memutuskan
hukum fiqih. Yang selanjutnya akan menyebabkan fatwa ulama dari berbagai aliran.

d. Periode Keemasan

Periode keemasan ini dimulai dari awal abad ke-2 hijriyah sampai pertengahan abad ke-4
hijriyah. Selama 250 tahun ilmu mengalami perkembangan yang pesat, tidak hanya fiqih,

18
Izzul Fatawi, Perkembangan Fiqih Pada Masa Daulah Umawiyah, Volume VIII Nomor 1 Januari - Juni
2015, Hal. 115-116.
19
Loc.cit

20
Izzul Fatawi, Op.cit, hlm. 116
keilmuan lainnya juga berkembang secara drastis. Terjadi pada masa pemerintahan
Daulah Abbasiyah juga disebut dengan periode tadwin (pembukuan), karena ketika itu
timbul usaha pembukuan besar-besaran oleh para ulama pada zaman itu. Pada zaman itu
juga terjadi penerjemahan kitab-kitab Yunani kuno, Persia, Romawi dan sebagainya ke
dalam bahasa Arab. Tafsir-tafsir alquran, ulumul hadits, ilmu ushul fiqh, furu’ fiqh, itu
semua adalah warisan khazanah keilmuwan yang dilakukan oleh para mujtahid zaman
ini.

Tokoh-tokoh pemerintahan pada saat itu berupaya dalam proses peningkatan keagamaan
dan semangat ijtihad di kalangan ulama sangat tinggi. Muncul banyak tokoh ulama
mazahib, diantara yang paling terkenal ialah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Imam
Syafi’i, Imam Maliki. Sumber-sumber tasyri’ di masa ini adalah Al-Qur’an , As-Sunnah,
Al-Ijma’, dan Al-Qiyas (Al-Ijtihad dengan jalan qiyas tau dengan jalan istinbath yang
lain).21

e. Periode Taqlid

Dimulai pertengahan abad ke-4 hijriyah sampai pertengahan abad ke-7 hijriyah.
Semenjak pemerintahan Abbasiyah runtuh sampai abad ke-19. Keadaan kala itu islam
berpecah di beberapa wilayah. Setiap wilayah memiliki kekuasaan tersendiri, memiliki
pemerintah yang sendiri-sendiri. Hal itu membuat keadaan umat islam menjadi getir.

Hukum islam mengalami stagnasi (jumud), para ulama lebih sibuk dalam mengulas,
mengomentari, dan menjelaskan pendapat imam mazhab. Mereka kebanyakan membuat
mukhtasar (ringkasan kitab), dan syarah (penjelasan kitab). Kegiatan ijtihad diantara
ulama mulai menyurut, tidak seperti yang dilakukan oleh ulama pada masa sebelumnya

Jadi, hal yang dilakukan pada periode ini adalah tahrir, takhrij, dan tarjih yang berarti
upaya tiap - tiap mazhab mengomentari, menjelaskan,dan mengulas pendapat imam
mazhab.

Di lain sisi muncul pula ulama muqallidun, yaitu ulama yang menganggap produk
mazhab sudah final dan paripurna. Hal ini merupakan hal yang bodoh, disamping
perkembangan zaman, ilmu fiqih akan berkembang begitu dinamisnya. Ulama
muqallidun berijtihad hanya sebatas pada perilaku memuja-muja karya imam mazhab,

21
Hasbi Ash Shiddieqqy, Op.Cit, hlm.60.
serta mengkultuskannya dan bahkan sampai membawa umatnya sampai menuju sikap
berlebihan (fanatisme) terhadap produk mazhabnya.22

Tidak ada yang berani memegang hukum saat itu, karena hukum syariat saat itu
dijadikan lebih rendah daripada jabatan. Dan ada beberapa sebab yang menyebabkan
kejumudan ijtihad pada periode itu. Setidaknya ada tiga pengaruh besar yang
menyebabkan kebekuan para ulama mujtahid, yaitu:

1. Dinamika politik,
2. Campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman,
3. Kelemahan posisi ulama dalam menghadapi pemerintah. Karena pada saat itu ulama
masih terikat dengan penguasa negara.23

f. Periode Modern

Di pertengahan abad ke-18 masehi timbul reformasi dan melepaskan diri dari taqlid
dalam tubuh ummat islam. Gerakan ini dipelopori oleh:

1. Muhammad ibnul Abdul Wahhab (1703 – 1791)


Wahhab adalah seorang faqih bermadzhab Hambali. Di kota terakhir ia belajar
filsafat dan tasawuf ia melihat waktu itu ia banyak melihat orang-orang melakukan
bid’ah, khurafat, dan takhayul. Banyak orang melakukan tawassul kepada
waliyullah, atau sebagainya. Maka ia punn menyuarakan aksi untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Dari situlah ia memiliki pengikut yang dinamakan pengikut
wahabi.
Di dalam sikapnya yang skripturalis, ia mengikuti cara berpikir Ibnu Taimiyah, yang
banyak menggunakan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah. Tapi berkat pemikirannya,
kita dapat menghilangkan budaya taqlid kepada ulama terdahulu, dan aktif
melakukan sebuah ijtihad.
2. Jamaluddin Al-Afgani (1703-1762)
Jamaluddin Al-Afgani adalah ulama sekalikus ahli filsafat kelahiran Afghanistan. Ia
mencetuskan uraian pemikiran filsafat yang mematahkan paham materialisme kaum
barat. Sebenarnya ia hanya untuk ingin melindungi umat muslim dari pengaruh
ajaran barat yang mengintai dari segala arah. Tujuannya adalah agar umat muslim
bisa maju baik di bidang agama maupun dunianya.

22
Nurul Asiya Nadhifah, op.cit, hlm. 243.
23
Ibid, hal. 249.
Dia adalah seorang pemikir yang bisa memadukan antara dunia islam dan
perkembangan zaman. Ia memberi solusi atas umat muslim ke arah yang lebih baik
lagi.
3. Syekh Muhammad Abduh (1849-1905)
Lahir di Mesir, seorang pencetus gerakan reformasi Mesir Modern. Ialah yang
banyak memengaruhi gerakan islam di Indonesia, yaitu diantaranya Muhammadiyah
dan Persis.

Corak fiqih pada zaman ini adalah:

1. Studi karang mengarang.


Permulaannya ditandai dengan munculnya Al-Urwatul Wutsqo oleh Jamaluddin Al-
Afgani dan Muhammad Abduh, dan majalah Al-Manar oleh Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha yang menyebar ke penjuru dunia. Sampai sekarang dunia kepenulisan
masih terpelihara hingga kini.
2. Kodifikasi produk-produk hukum fiqih di pemerintahan. Usaha menghimpun,
menyusun kitab-kitab fiqih dan menerapkannya kepada sistem undang-undang tanpa
membatasi diri dengan suatu mazhab tertentu (mazahib muqaran). Upaya yang
dilakukan oleh pemerintahan turki utsmani adalah menerapkan proyek al-majallat
al-ahkam al-adliyyah (Himpunan peraturan hukum perdata). Menjelang abad ke-21
setelah lengsernya pemerintahan orde baru, Indonesia melakukan reformasi hukum
dengan mengintegrasikan hukum syariat islam pada undang-undang (formalisasi
hukum islam).24
3. Perguruan tinggi. Sistem mempelajari fiqih di masa ini adalah mengkaji secara
ilmiah melalui perguruan tinggi. Metodenya fiqh muqaran, yaitu dengan studi
perbandingan menentukan hukum yang lebih dekat dengan keadaan masyarakat di
negeri tu. Maka itulah yang diterapkan. Dengan memerhatikan maslahat terhadap
penetapan suatu hukum di negeri itu. Menyangkut-pautkan dengan fiqih mazhab,
mempertimbangkan atas hukum yang lebih cocok untuk diterapkan di negeri itu.
Tentu mengikuti fatwa-fatwa mutaddimin yang telah melakukan riset lebih lama
daripada kita sebagai mutaakhirin. Seperti studi kasus, dan menyangkut-bandingkan
dengan fatwa ulama mazhab tersebut. Misal di Indonesia menganut mazhab syafi’i ,

24
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Islam, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2018),
hal. 157-159.
maka solusi pemecahan hukumnya tentu dengan mempertimbangkan dengan ulama
syafi’iyyah juga.25
Metode studi seperti ini sudah diterapkan di beberapa negara seperti Universitas Al-
Azhar Kairo yang telah lama menetapkan pembelajaran seperti ini, Universitas
Islamabad Pakistan, Maroko, dan Indonesia juga sampai sekarang yang kita kenal
dengan UIN, IAIN, STAIN, serta negara-negara islam lainnya yang masih banyak
lagi.26
Diantara manfaat yang diperoleh dari melakukan studi di perguruan tinggi islam
adalah melahirkan ulama yang intelek. Meneruskan estafet perjuangan dan melek
akan realitas yang ada. Bukan hanya sekedar meraih nilai angka. Sejatinya, yang
paling inti dari pendidikan tinggi adalah pencarian pemahaman. Ilmu islam yang
dikembangkan di dalam studi modern, akan menyumbangkan esensi dari islam itu
sendiri. Generasi emas yang pernah lahir di ‘puncak gemilang’ Abbasiyah, akan pula
lahir dari generasi muda terpelajar perguruan tinggi.

25
Hasbi Ash Shiddieqqy, Op.Cit, hlm. 88-93.
26
Ibid.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan demikian kita temukan berbagai persoalan masyarakat, budaya, politik, semuanya
mencakup fiqih, dan selalu berkaitan. Fiqih akan selalu berkembang dalam dinamika zaman.
Tak bisa dipungkiri, hal-hal yang belum ada hukumnya bermunculan di masyarakat.
Pemecahannya ada di sikap para salaf saleh yang berjalan di atas ajaran Ahlus-Sunnah wal
Jamaah, tetap mencari jalan pertengahan, memerhatikan betul apa maslahat dan mafsadat-
nya.

B. Saran

Dari hal di atas perlu disinggung lagi tentang kemajuan peradaban di era digital ini. Ternyata
kemajuan itu ada pada peradaban. Kemajuan yang diiringi agama seperti zaman Abbasiyah.
Oleh karena itu, diharapkan para peneliti muda agar lebih mengkaji budaya sosial politik dan
mengintegrasikannya dengan fleksibilitas hukum fiqih.
DAFTAR PUSTAKA

Referensi dari buku:

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. (1999). Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra.

Djalil, Basiq. (2010). Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana.

Wahab Khalaf, Abdul. (2004). Ilmu Ushul Al-Fiqh. Indonesia: Al-Haramain.

Sopyan, Yayan . (2018). Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Islam. Depok: PT Raja
Grafindo Persada.

Referensi dari artikel jurnal:

Atmaja, Fatkan Karim. (2017). Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa ke Masa. Mizan:
Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 5 (1) Juni, hlm. 23-38.

Fatawi, Izzul. (2015). Perkembangan Fiqih Pada Masa Daulah Umawiyah. Lombok Barat:
Institut Agama Islam (IAI) Nurul Hakim, Vol. VIII (1), Januari - Juni, hlm.
111-125.

Muzakir. (2008). Periodisasi Fiqh (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai
Modern), Islam Futura, Vol. VII (1), hlm. 25-40.

Nadhifah, Nurul Asiya. (2014). Perkembangan Fikih Pada Masa Berakhirnya Madhhab,
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol.4 (1),
Juni, hlm 242-256.

Referensi dari internet:


Kompasiana.com, Lianingsari, “Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih serta Tahapan
Periodenya”, diperbarui 19 Oktober 2020, (diakses pada 20 Agustus 2022).
https://www.kompasiana.com/ikafais/5f97901165eaa17bdf4e9d62/sejarah-
perkembangan-ilmu-fiqih#:~:text=sejarah%20perkembangan%20ilmu
%20fiqih%20ini,dan%20ali%20bin%20abi%20tholib.
NU Online, Muhammad Abror, “Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih”, (diakses pada 20
Agustus 2022). https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-
ilmu-fiqih-imQ0s.

Republika, Agung Sasongko, ”Tujuh Periode Perkembangan Fikih”, (diakses pada 22 Agustus
2022).https://www.republika.co.id/berita/dunia/islam/khazanah/15/10/20/
nwildw313-tujuh-periode-perkembangan-fikih

Anda mungkin juga menyukai