Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH FIQH DAN USHUL FIQH SERTA KEDUDUKANNYA

Mata Pelajaran: Epistemologi Islam

Dosen Pengampu:

Helmy Fauzy Ahmad, S.E., M.H.

Disusun oleh:

Akbar Miftahul Shalis

Muhammad Afif Aseva

Muhammad Hisyam Hariri

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

TAHUN 2023M/1445H
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seorang muslim memiliki kewajiban untuk beribadah dan memenuhi perintah


Allah. Bentuk ibadah yang paling mudah dijumpai adalah yang tertera pada rukun
Islam, yaitu syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Tiap dari bentuk ibadah ini
mempunyai rukun dan syarat yang dapat berbentuk gerakan, atau ucapan tertentu
agar ia dapat dinyatakan sah. Kita dapat menjumpai thaharah (wudhu, tayammum,
dll.) yang harus dilakukan sebelum sholat ditunaikan, yang mana ia bukanlah
bagian dari sholat itu sendiri. Namun begitu, ia tetap menjadi syarat sah sholat.
Dalam wudhu, tidak semua air dapat digunakan untuk bersuci, terdapat beberapa
syarat agar air tersebut dinyatakan sah untuk berwudhu. Semua perkara ini telah
disusun dalam satu ilmu yaitu ilmu Fiqh.

Ilmu Fiqh tidak hanya membahas tentang ibadah saja, bahkan dalam
berinteraksi dengan sesama manusia. Bagaimana perilaku seorang muslim dalam
jual beli, sewa menyewa, atau perilaku mereka terhadap tetangga, dalam
pembagian warisan, dsb. Telah tercantum dalam ilmu Fiqh. Ilmu Fiqh telah
menjadi pedoman dari kegiatan muslim, dari ia bangun hingga ia tidur kembali,
karena cakupannya adalah seluruh kegiatan manusia. Namun, penjelasan suatu
kegiatan itu dinyatakan wajib atau tidaknya; atau boleh atau tidak
diperbolehkannya bukan cakupan dari ilmu Fiqh. Terdapat ilmu lain yang
mendampingi ilmu Fiqh dalam menyatakan bahwasannya suatu kegiatan muslim
itu diperbolehkan atau diwajibkan, yaitu ilmu Ushul Fiqh.

Ilmu Ushul Fiqh merupakan ilmu yang mendasari atau menjadi hukum akan
suatu kegiatan yang tertera dalam ilmu Fiqh. Sholat lima waktu adalah hukumnya
wajib; hal ini dapat dijumpai dalam ilmu Fiqh namun penyebab atau dasar dari
diwajibkannya sholat lima waktu merupakan kajian dari ilmu Ushul Fiqh. Selain
itu, dengan Ushul Fiqh para ulama dapat menemukan suatu hukum dari kegiatan

1
atau hal yang belum dapat dijumpai dalam al-Qur’an, Sunnah atau Ijtihad, yaitu
dengan mengikuti kaidah-kaidah yang dituangkan di dalamnya oleh ulama-ulama
terdahulu. Dalam makalah ini, pembahasan kami akan tertuju kepada sejarah dari
ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, serta kedudukan ilmu Ushul Fiqh bagi ilmu Fiqh.

B. Rumusan Masalah

Berikut ini adalah permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah ini:

1. Bagaimana proses perkembangan ilmu Fiqh?


2. Bagaimana proses perkembangan ilmu Ushul Fiqh?
3. Apakah hubungan antara ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Fiqh

Kata Fiqh berasal dari kosakata dalam bahasa Arab, faqiha – yafqahu –
Fiqhan yang berarti mengetahui atau memahami/pemahaman. Maksud dari kata
pemahaman di sini adalah pemahaman tentang agama Islam, seperti memahami
ayat-ayat yang mengandung hukum akan suatu perkara yang tercantum dalam al-
Qur’an. Dengan begitu, ulama bukan membuat suatu hukum, akan tetapi
mengutip dari apa yang mereka dapatkan dalam al-Qur’an lalu menetapkannya.1

Dalam banyak literatur diterangkan bahwa maksud dari Fiqh sendiri adalah
ilmu tentang hukum-hukum syariah praktis yang didapatkan melalui dalil-dalil
secara terperinci, atau dalam bahasa Arabnya dikenal:

‫العلم باألحكام الشرعيّة العمليّة املكتسب من أدلّتها التفصيليّة‬

Sesuai dengan pengertian di atas bahwa Fiqh adalah ilmu yang mengatur perkara-
perkara yang bersifat praktis (dapat diamalkan/dilakukan/dikerjakan). Maka
dalam perkara keyakinan bukan menjadi cakupan dalam ilmu Fiqh.2

Fiqh dan syariat merupakan dua hal yang berbeda. Istilah Fiqh merupakan
sesuatu yang baru diketahui oleh umat muslim, sedangkan syariat sudah ada lebih
dulu. Ruang lingkup syariah lebih luas daripada Fiqh, karena segala yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia, baik melalui al-Qur’an atau melalui nabi
merupakan syariat. Dengan begitu, Fiqh merupakan salah satu dari pembahasan
dalam syariat di samping akidah, dsb.3

1
Dr. Hafsah, M.A., Pembelajaran Fiqh, (Bandung: Citapustakan Media Perintis, 2016)
Hal. 3
2
Dr. Agus Muchsin, M.Ag., Ilmu Fiqih: Suatu Pengantar Dialektika Konsep Klasik dan
Kontemporer, (Yogyakarta: Jusuf Kalla School of Government, 2019) Hal. 189-190
3
Ibid., Hal. 1

3
Jika dilihat dari konsep yang tertera dalam ilmu Fiqh, yaitu menjelaskan
hukum-hukum dari perkara yang terjadi dalam hidup seorang muslim, maka Fiqh
sendiri sudah ada semenjak Nabi Muhammad SAW. masih hidup. Hal ini
dikarenakan awal mula adanya atau ditetapkannya hukum dari suatu perkara
diterangkan oleh Nabi sendiri semasa hidupnya dan dapat dipahami bahwa Nabi
hanya menyampaikan syariat dari Allah, bukan membuatnya.4

Dr. Noor Harisudin dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam pengkajian


sejarah Fiqh setidaknya ada enam periodisasi yang ditetapkan oleh seorang ahli
Fiqh Mesir, Muhammad Khudari Bek, yaitu periode risalah, periode Khulafaur
Rasyidin, periode awal pertumbuhan Fiqh, periode keemasan, periode tahrir,
takhrij dan tarjih, serta periode kemunduran Fiqh. Tetapi, keenam periode ini
terdapat penambahan oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa, seorang ahli Fiqh Suriah;
yaitu periode ketujuh, periode kodifikasi Fiqh.5 Berikut adalah penjelasan singkat
dari masing-masing periode:

1. Periode Risalah

Sesuai dengan namanya, periode ini berlangsung selama masa


hidup Rasulullah SAW. Sumber hukum pada masa ini hanya dua, yaitu al-
Qur’an dan sunnah Rasul. Pada masa ini, Fiqh lebih menjurus kepada
penjelasan Rasul atas suatu perkara yang terjadi. Periode ini dibagi
menjadi dua, pertama, periode Mekah; yang kebanyakan penyampaiannya
adalah tentang keyakinan, dan kedua, periode Madinah; pada periode
inilah mulai banyak hukum-hukum yang ditetapkan dalam berbagai aspek
kehidupan.6

2. Periode Khulafaur Rasyidin

Periode ini berlangsung semenjak kepemimpinan umat muslim


dipegang oleh Abu Bakar ash-Shidiq hingga turunnya Ali bin Abi Thalib.

4
Ibid, Hal. 4
5
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., Pengantar Ilmu Fiqih, (Surabaya: Pena Salsabila,
2013) Hal. 133
6
Ibid, Hal. 133-134

4
Pada masa ini, sumber hukum mengalami pengembangan, yaitu terdapat
ijtihad dari para sahabat di samping perkara yang sudah jelas tertera dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dampak dari perluasan wilayah yang
dilakukan semasa Khulafaur Rasyidin adalah bertambahnya jumlah
pemeluk agama Islam. Perbedaan kultur dari para pemeluk agama Islam
menimbulkan banyak permasalahan yang belum tertera secara jelas dalam
dua sumber hukum sebelumnya, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Di sinilah
ijtihad mulai digencarkan untuk memecahkan perkara-perkara tersebut. 7
Dengan diterapkannya ijtihad, maka hukum-hukum yang ditetapkan
bersifat terbuka, dan realistis dengan fenomena yang terdapat kala itu.8

3. Periode Awal Pertumbuhan Fiqh

Pada masa ini, timbul dua aliran dalam penentuan hukum.


Pertama, aliran yang menggunakan akal (ra’yun) yang digagas oleh Ibnu
Mas’ud di Irak. Alasan timbulnya gagasan ini adalah karena masyarakat
muslim Irak bukan muslim asli saja seperti yang terdapat di Makkah dan
Madinah, akan tetapi mereka telah berbaur dengan masyarakat Persia.
Demi kemaslahatan bersama, maka tidak bisa sepenuhnya berpedoman
kepada al-Qur’an dan sunnah, dan dianggap diperlukannya akal dalam
melakukan analisis pertimbangan hukum dari suatu perkara.9

Kedua, aliran yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan sunnah,


bertempat di Makkah dan Madinah, dan yang bertugas untuk menjawab
persoalan Fiqh di sana adalah Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Dua
kota besar ini merupakan tempat Nabi hidup, sehingga memungkinkan
banyak sahabat yang mengetahui hadis-hadis Nabi tentang perkara yang
mereka jumpai dalam kehidupan. Hal inilah yang menyebabkan mereka
disebut sebagai ahlul hadits, sedangkan yang mengikuti perkembangan
akal disebut sebagai ahlur ra’yi.10 Pada hakikatnya, periode ini
7
Ibid, Hal. 134-135
8
Dr. Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi, & Implementasinya di
Indonesia, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2018) Hal. 37
9
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., Op. cit., Hal. 135
10
Ibid, Hal. 136

5
berlangsung semenjak zaman ekspansi yang dilakukan oleh Khulafaur
Rasyidin, dan berakhir pada dinasti Umayyah.11

4. Periode Keemasan

Pada periode inilah keempat mazhab besar Fiqh lahir. Bermula dari
zaman Umayyah hingga Abbasiyah, para ulama ahlul hadits dan ahlur
ra’yi menjadi semakin kritis seiring berkembangnya permasalahan dalam
kehidupan umat muslim. Terlebih oleh dinasti Abbasiyah, keilmuan benar-
benar diutamakan, agar seluruh kegiatan benar-benar berlandaskan pada
syariah. Salah satu dari mazhab yang lahir pada zaman ini adalah mazhab
Maliki yang dipelopori oleh imam Malik bin Anas; dan karangan beliau
yang terkenal pada saat itu adalah al-Muwattha’. Pertentangan terjadi
antara dua golongan fuqaha dari ahlul hadits dan ahlur ra’yi, dan berakhir
damai dengan fuqaha ahlur ra’yi membatasi akan pendapat dalam
menggunakan akal sehingga dapat diterima oleh ahlul hadits.12

5. Periode Tahrir, Takhrij dan Tarjih

Pada masa ini, ulama yang berijtihad mulai berkurang, karena


mayoritas yang hidup pada masa ini lebih tertuju kepada mengomentari,
memperjelas, dan mengulas pendapat dalam mazhab imam mereka. Oleh
karena itu, pada zaman ini mulai mengalami kemunduran, dan banyak
terjadinya fanatik terhadap mazhab; berjuang untuk mempertahankan
pendapat mazhab masing-masing.13 Bila terjadi perbedaan pendapat, bukan
menyelesaikan sebagaimana ulama sebelumnya menyelesaikan masalah
dengan kaidah Fiqh, melainkan menyebabkan suatu pertentangan.
Literatur yang dijumpai pada saat itu hanyalah penjelasan, terjemahan dari
karya tulis yang sudah ada sebelumnya. Berkurangnya inovasi ulama
untuk mengembangkan permasalahan Fiqh yang ada juga salah satu
permasalahan.14
11
Dr. Ali Sodiqin, Op. cit., Hal. 39
12
Prof. Dr. Noor Harisudin, M.Fil.I., Op. cit., Hal. 138-139
13
Ibid, Hal.
14
Dr. Ali Sodiqin, Op. cit., Hal. 43-45

6
6. Periode Kemunduran Fiqh

Periode ini tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya, karena


periode sebelumnya dapat dikatakan sebagai langkah awal dari
kemunduran Fiqh itu sendiri. Periode ini berlangsung di masa
kekhalifahan Islam terakhir yaitu dinasti Turki Utsmani, Mustafa Ahmad
az-Zarqa menyebutkan beberapa tanda konkrit yang terjadi pada masa ini.
Pertama, pembukuan fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan sebelumnya.
Kedua, posisi penguasa mulai diterapkan sebagai penetap hukum, seperti
pemberhentian kegiatan pasar walaupun di dalamnya sah-sah saja meurut
syariat, akan tetapi dengan pertimbangan tertentu dapat diberhentikan.
Ketiga, kodifikasi hukum,15 yang akan kami bahas pada periode
selanjutnya.

7. Periode Kodifikasi Fiqh

Sejak masa dinasti Turki Utsmani hingga sekarang, upaya untuk


mengumpulkan hukum masih berlangsung. Bukan hanya dalam masalah
ibadah saja, tetapi kodifikasi hukum ini mengaitkan dengan aspek
kehidupan dari suatu daerah, seperti mencari suatu hukum Islam untuk
menjadikan panduan dalam kitab hukum dari pertahanan di suatu daerah,
atau dalam membuat undang-undang juga berkaitan dengan pemilihan ayat
atau hukum Fiqh tertentu berdasarkan dengan mazhab tertentu juga. Pada
masa Turki Utsmani, kitab hukum tersebut telah disusun dan dikenal
dengan majalah Al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang dapat kita jumpai sekarang
seperti kitab hukum perdata.16 Di samping itu, muncul beberapa tokoh
gerakan pembaharuan Fiqh, seperti Hasan al-Banna, Muhammad Abduh,
dsb. Yang mencoba untuk kembali sebagaimana penerapan Fiqh
sebelumnya, yaitu tidak mengedepankan mazhab tertentu atau fanatic
terhadapnya.17

15
Prof. Dr. Noor Harisudin, M.Fil.I., Op. cit., Hal. 140-142
16
Ibid, Hal.
17
Dr. Ali Sodiqin, Op. cit., Hal. 48

7
B. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Ushul Fiqh merupakan salah satu ilmu terapan di antara ilmu-ilmu


berbasis syariah lainnya. Ia diambil dari dua kata, yaitu Ushul dan Fiqh. Ushul
merupakan kata jamak dalam bahasa Arab, tunggalnya adalah al-ashlu yang
berarti asas, dasar, pondasi, atau landasan. Maka Ushul dapat diartikan sebagai
dasar-dasar atau asas-asas.18 Sedangkan Fiqh, sudah dibahas pada pembahasan
sebelumnya, bahwa Fiqh adalah suatu ilmu dengan hukum terapan yang
didapatkan melalui dalil-dalil yang terperinci. Apabila digabungkan, maka Ushul
Fiqh berarti landasan dari hukum-hukum terapan yang memiliki dalil-dalil yang
terperinci. Oleh Dr. Moh Bahrudin dalam bukunya, Abdulwahab Khallaf,
ilmuwan Mesir menyatakan bahwa Ushul Fiqh adalah:

‫يتوص ل إىل إستفادة األحكام الشرعية العملية املكتسب من أدلتها‬


ّ ‫العلم بالقواعد و البحوث اليت‬
‫التفصيلية‬

Yang berarti pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang


digunakan untuk menemukan hukum-hukum syarak suatu perbuatan yang
diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.19

Adapun ulama yang terkenal dalam bidang ini adalah imam Syafi’i. Akan
tetapi, sebenarnya Ushul Fiqh sendiri sudah mulai berkembang sejak zaman para
sahabat, yaitu setelah wafatnya Nabi. Hal ini dikarenakan, dengan wafatnya Nabi,
maka Allah menyampaikan bahwa agama Islam telah sempurna, dan dengan
begitu para sahabat melakukan ijtihad untuk menemukan hukum dari perkara-
perkara baru yang belum mereka jumpai semasa Nabi hidup. Dan dengan ijtihad
itulah Ushul Fiqh mulai diterapkan. Namun pada masa itu, Ushul Fiqh hanya
dikenal sebagai ilmu pengetahuan, belum menjadi terapan.20 Ushul Fiqh
digunakan sebagai ilmu terapan ketika ekspansi terjadi, dan permasalahan di
18
Dr. Moh. Bahrudin, M.Ag., Ilmu Ushul Fiqh, (Lampung: Penerbit Aura, 2019) Hal.
19
Ibid, Hal. 4-5
20
Ibid, Hal. 12

8
daerah yang baru dibebaskan belum dapat dijumpai secara akurat dalam al-Qur’an
dan sunnah. Maka ulama pada masa tersebut tidak langsung menetapkan hukum
berdasarkan dua sumber hukum tersebut, melainkan merumuskan dan
mengadakan musyawarah (ijma’) terlebih dahulu dengan ulama lainnya. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadi kesimpangan dengan berbagai macam etnis
masyarakat.21

Hingga pada masa tersebarnya ulama menjadi ahlul hadits dan ahlur ra’yi,
mayoritas dari ulama tersebut merupakan murid dari sahabat-sahabat Nabi. Pada
masa ini, kerap dijumpai permasalahan yang ada diselesaikan bukan dengan nash
asli dari al-Qur’an atau sunnah, melainkan dengan istinbath, atau mengambil inti
dari suatu nash asli dan mencari persamaan dengan fenomena yang terjadi. Akan
tetapi, pada masa ini pula pemalsuan hadits mulai bermunculan. Maka sangat
penting untuk mengetahui sanad atau silsilah dari perawi hadits tersebut agar
dapat dinyatakan sebagai hukum syar’i.22

Metode-metode dalam penetapan hukum ini sangat beragam. Hingga


Imam Muhammad Idris bin Syafi’i membukukan metode-metode tersebut. Ia
melihat metode imam-imam sebelumnya, dan para sahabat, lalu menyatukannya
dengan mengklarifikasi kelemahan dan keunggulan dari masing-masing. Kitab
tersebut bernama ar-Risalah, berisi kumpulan metode tadi. Walaupun belum
lengkap, namun isi dari buku ini sudah sangat membantu. Semenjak itu,
pembukuan Ushul Fiqh selalu mengalami pengembangan. 23 24
Selain itu terdapat
tiga aliran dalam penulisan Ushul Fiqh, yaitu al-Mutakallimin (Syafi’iyah);
berprinsip membangun Ushul Fiqh murni, tanpa ada masalah keagamaan, fuqaha
(Hanafiyah); yang banyak dipengaruhi oleh masalah Fiqh, dan aliran gabungan
dari keduanya; mengaitkan kaidah Ushul Fiqh ke dalam permasalahan Fiqh.25 26

21
Ibid, Hal. 14-15
22
Ramli, S.Ag., M.H., Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Nuta Media, 2021) Hal. 11-12
23
Ibid, Hal. 13
24
Dr. Moh. Bahrudin, M.Ag., Op. cit., 20-21
25
Ibid, Hal. 18-19
26
Ramli, S.Ag., M.H., Op. cit., Hal. 14-16

9
C. Keterkaitan Antara Fiqh dan Ushul Fiqh

Dua pembahasan di atas telah menjelaskan mengenai pengertian dasar dari


Fiqh dan Ushul Fiqh. Sedikit yang dapat dikutip bahwasannya Ushul Fiqh yang
bertugas sebagai pondasi, juga menjadi semacam alat dalam penentuan Fiqh.
Ulama menggunakan ilmu Ushul Fiqh untuk memastikan bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan kebenaran.27

Oleh Ridwan Hamidi disebutkan bahwa Ushul Fiqh memiliki persamaan


dengan logika bagi filsafat. Tugas logika adalah menghindarkan penggunanya dari
kesalahan dalam menelaah filsafat. Hal itu disebabkan filsafat merupakan suatu
ilmu yang rumit. Bagitupun dengan Fiqh, yang berpedoman pada al-Qur’an dan
sunnah. Dua sumber tadi didasari oleh bahasa Arab, tentu sulit bagi non-Arab
mengartikan atau menemukan hukum yang konkrit darinya. Imam Syafi’i sebagai
peletak dari ilmu Ushul Fiqh dengan begitu dapat dipermisalkan dengan
Aristoteles yang meletakkan dasar epistemologi Barat.28

27
Dr. Ali Sodiqin, Op. cit., Hal. 27
28
Ridwan Hamidi, Epistemologi Islam: Telaah Bidang FIqih dan Ushul Fiqih, dalam
Prosidig Seminar Nasional: Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum (Surakarta, 2015) Hal. 450-
451

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsumen adalah seseorang yang menggunakan barang/jasa yang ia temui


pada kesehariannya untuk dimanfaatkan baik untuk diri sendiri, keluarga, atau
makhluk hidup lainnya. Istilah konsumen diambil dari bahasa Inggris yaitu
consumen dan bahasa Belanda yaitu konsument. Namun, dalam Undang-undang,
istilah ini baru digunakan pada saat ditetapkannya UU tentang Perlindungan
Konsumen pada tahun 1999. Sebelumnya, banyak istilah yang digunakan dengan
makna yang hampir sama dengan konsumen seperti pengguna.

Perlindungan konsumen merupakan peraturan atau sistem yang dibuat untuk


memastikan adanya hukum yang memberi perlindungan kepada konsumen.
Tujuan utama dari hukum ini sendiri adalah memastikan kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa bagi kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen. Ada dua aspek yang disediakan dalam perlindungan
konsumen, yaitu perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan
kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati dan perlindungan
terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen.

Adapun prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen, menurut Zulham


dalam bukunya terdapat tiga prinsip, yaitu pertama prinsip tanggung jawab atas
kesalahan atau kelalaian, yaitu apabila dalam proses produksi, seorang produsen
didapati lalai dalam kegiatan sehingga menghasilkan produk yang kurang baik;
kedua tanggung jawab berdasarkan wanprestasi, yaitu apabila dalam produk
tersebut terdapat ketidaksesuaian yang dijumpai oleh konsumen, seperti jumlah isi
produk yang tidak sesuai dengan berita produk yang disebarkan; dan ketiga
tanggung jawab mutlak, yaitu bahwasannya produsen benar-benar harus
memastikan produk yang diedarkan memang layak untuk dikonsumsi. Selain itu,
POJK juga menunangkan prinsip dalam perlindungan konsumen, yaitu

11
transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan
data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa
konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, M.Ag., Dr. Moh. 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Lampung: Penerbit Aura.
Hamidi, Ridwan. 2015. "Epistemologi Islam: Teah Bidang Fiqih dan Ushul
Fiqih." Prosiding Seminar Nasional: Pengembangan Epistemologi Hukum
445-457.
Harisudin, M.Fil.I., Prof. Dr. M. Noor. 2019. Pengantar Ilmu Fiqh. Surabaya:
Penerbit Pena Salsabila.
Muchsin, M.Ag., Dr. Agus. 2019. Ilmu Fiqih: Suatu Pengantar Dialektika Konsep
Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Jusuf Kalla School of Governmernt.
Ramli, S.Ag., M.H. 2021. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Penerbit Nuta Media.
Sodiqin, Dr. Ali. 2012. Fiqh dan Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi, dan
Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Beranda Publishing.

13

Anda mungkin juga menyukai