Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HAKIKAT FIQIH

Dosen Pengampu : Muhisom,M.Pd.I

Disusun Oleh :
Kelas 1 J
Kelompok1

1. Tegar Arif Saputra (2111100133)


2. Muchlisin Saputra (2111100255)
3. M. Abi Rahmat Hid (2111100256)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
DAFTAR ISI

 JUDUL

 DAFTAR ISI

 PENDAHULUAN

 PENGERTIAN ILMU FIQIH

 SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FIQIH

 OBJEK ILMU FIQIH

 DALIL DAN SUMBER ILMU FIQIH

 PEMBAGIAN HUKUM FIQIH

 KETERKAITAN ILMU FIQIH DENGAN ILMU LAINNYA

 KESIMPULAN

 DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN

Ilmu fiqih adalah salah satu ilmu keislaman yang hingga kini cukup berkembang,
hal ini terbukti dengan kekayaan warisan khazanah klasik yang dimilikinya hingga
maraknya berbagai kegiatan atau forum kajian ilmu fiqih seperti bahts al-masâil
fiqhiyah yang dilakukan lembaga dan ormas-ormas Islam maupun lembaga-
lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Namun yang tampaknya perlu
mendapat perhatian khusus adalah munculnya kesan kuat dalam masyarakat,
bahwa Islam yang mereka pahami adalah fiqih itu sendiri, karena ia menyajikan
aturan dan rambu-rambu hukum yang jelas sehingga dapat mereka jadikan
pegangan. Ini mengindikasikan kedudukan fiqih sebagai sebuah ilmu sering belum
dapat dimaknai secara proporsional, sehingga cenderung tidak dibedakan mana
ajaran dasar Islam yang bersifat absolut, dan mana ajaran fiqih yang bisa
berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan dinamika sosial.
Bertolak dari fenomena tersebut, tulisan sederhana ini mencoba menguraikan
tentang apa hakekat ilmu fiqih dan apa obyek kajiannya? Masalah ini sangat urgen
untuk dibahas, disatu sisi agar kita dapat lebih memiliki pemahaman yang benar
tentang dimensi ontologi fiqih, dan di sisi lain untuk melihat sejauh mana fiqih
dapat dipandang sebagai ilmu sesuai kriteria dalam filsafat ilmu.

PENGERTIAN FIQIH
Fikih terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa
(etimologi) berasal dari lafal faqiha(‫)فقه‬, yafqahu(‫)يفقه‬, fiqhan(‫ )فقها‬atau yang
bermasdar ‫فعال‬،‫يفعل‬،‫ فعل‬yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian
fiqh secara istilah (terminologi) adalah ilmu membahas tentang hukum- hukum
syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci. Tepatnya pada abad ke-
II telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan madhab-madhab yang
tersebar di kalangan umat Islam. Yang pertama yaitu Abu Hanifah ( yang
memberikan pengertian fiqih sebagai berikut; 7.‫ حقوقمىا ا بيمن علمن‬V‫ وحقىحتيم‬Definisi
ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu akidah, syari'ah dan akhlak tanpa ada
pemisahan di antara aspek-aspek tersebut.
Pada masa imam Syâfi'i8 (150-204H/767-822M), para ulama’ Syafi’iyyah
memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini karena ilmu fiqih cukup
berkembang seiring tuntutan kebutuhan masyarakat dalam memperoleh jawaban
atau kepastian hukum. Di antara definisi tersebut adalah sebagai berikut, “Ilmu
yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para
mukallaf yang digali dari dalil- dalil yang jelas (terperinci).”
Pengertian fiqih yang dikemukakan tersebut lebih spesifik dari pada yang
diketengahkan oleh definisi fiqih pada masa sebelumnya, yaitu dengan
memunculkan term ahkam, af’aal al-mukallafin, dan istinbat yang tentunya hal ini
penting dalam mengngkap hakikat dari ilmu fiqih.
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring berkembangnya berbagai disiplin
keislaman yang mengharuskan pembidangan secara tegas terhadap fiqih, para
ulama mulai memunculkan pengertian yang spesifik megenai ilmu fiqih. Al-Said
al-Juraini sebagaimana dikutip oleh Nazar Bakry mengemukakan pengertian ilmu
fiqih sebagai berikut; “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
amaliyah dan diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang
diperoleh dengan jalan ijtihad dan membutuhkan penalaran dan taammul”.
Pengertian yang dikedepankan oleh al-Said al-Juraini lebih spesifik daripada
pengertian yang sebelumnya, yaitu dengan menyebutkan al-ahkam, al-syar’iyyah,
al-‘amaliyyah, istinbat, ijtihad, nadhor.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, Zainuddin al- Malibary salah satu ahli
fiqih syafi’iyyah memberikan definisi yang hampir serupa dengan dengan
pengertian said, namun pengertian ini lebih spesifik lagi, yaitu:
‫حقعلن ب ألحك م حقشرعن ة حقعولن ة حقوكتسب ها أدق ته حقتفصنلن ة‬

Kata " dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa hal-hal


yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata "hukum", seperti zat, tidaklah
termasuk dalam pengertian fiqh. Sedangkan penggunaan kata " " dimaksudkan
bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang berasal dari Allah sebagai pembuat
syari’at atau tepatnya disandarkan kepada-Nya.
Kemudian kata “al-‘amaliyyah” itu menunjukkan bahwa ilmu fiqih itu sifatnya
praksis (pengamalan), artinya bahwa fiqh itu hanya menyangkut perbuatan
manusia yang bersifat lahiriyah, yang berarti masalah i’tiqodiyah (keimanan)
seperti tetapnya sifat qudroh bagi Allah,
tidak termasuk dalam lingkup fiqh. Kemudian kata “ mengandung
pengertian bahwa fiqh itu hasil penggalian dan penemuan mujtahid atas ketentuan
yang belum secara eksplisit disebut dalam nash. Dengan demikian mengecualikan
ilmunya Allah yang sifatnya adalah dhorury. Kata " " dalam definisi tersebut
menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih dalam penggalian
dan penemuannya. Karena itu ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang
mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fiqh, karena ia
hanya taqlid (mengikuti) saja.
Kemudian kata “ " itu menunjukkan akan dalil-dalil yang
digunakan fuqaha’ itu adalah dalil yang jelas (terperinci). Semisal cara
pengambilan hukum wajib pada sholat yang berasal dari ayat “aqimu al- sholat”.
Kata “aqimu” adalah amar yang dilalahnya (penunjukannya) adalah ke hukum
wajib, jadi hukum sholat adalah wajib.
Dengan demikian fiqih akan mengarahkan terhadap suatu perbuatan itu bisa
dihukumi wajib, haram, sunnah, makruh ataupun mubah, yang disebut dengan
hukum taklifi (hukum yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf). Ataupun
mengarahkan pada hukum wad’i, yakni hukum yang tidak ada hubungannya
dengan perbuatan mukallaf, seperti tenggelamnya matahari adalah tanda masuknya
kewajiban sholat Maghrib.
Dengan memahami beberapa pengertian yang dikemukakan beberapa tokoh di atas
nampak jelas bahwa hakikat ilmu fiqih meliputi hal-hal sebagai berikut; (1) fiqih
adalah ilmu tentang hukum syara', (2) fiqih membicarakan 'amaliyah furû'iyyah
mukallaf (3) pengetahuan tentang hukum syara' didasarkan pada dalil terperinci,
(4) fiqih itu digali dan ditemukan melalui ijtihâd.
Berdasar atas rumusan tersebut, memang fiqih disebut sebagai ilmu, meskipun ada
yang berpendapat bahwa “fiqih” tidaklah sama dengan “ilmu”. Karena ilmu harus
bersifat koheren, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan. Bahkan kadang
didefinisikan secara ketat, ilmu haruslah empiris dan memiliki nilai kepastian.14
Sementara fiqih adalah sesuatu yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan dzonnya,
sedangkan ilmu haruslah tidak bersifat dzonniy. Namun demikian, karena dzon
dalam fiqh itu dipandang cukup kuat, maka ia mendekati ilmu. Apalagi ukuran
ilmu pada masa-masa itu belumlah sedetail dan serumit saat ini. Jadi dengan
demikian ilmu fiqih bisa dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Kemudian ketika ilmu fiqih dikaitkan dengan hakekat sesuatu dalam perspektif
filsafat, maka termasuk dalam wilayah ontologi. Pembahasan tentang ontologi
sebagai dasar ilmu ini berusaha untuk menjawab "apa", yang menurut Aristoteles
merupakan The Fisrt Philosophy, yang membahas esensi benda. Dapat juga
dinyatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita
ingin tahu, atau suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dengan demikian
ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.16 Kemudian
jika dikaitkan dengan hakekat fiqih, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan
mengenai definisi fiqih dari beberapa tokoh yang selanjutnya ditelaah sesuai
dengan kaidah filsafat ilmu.
Bertolak dari definisi fiqih yang telah dikemukakan oleh beberap tokoh ilmu fiqih
di atas dapat disimpulkan bahwa hakekat ilmu fiqih adalah ajaran-ajaran Islam
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang diperoleh melalui penggalian
atau istinbat dari dalil-dalil syraa’ oleh ahli fiqih.

Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih

Dalam sejarah yurisprudensi Islam, fiqih memiliki sejarah yang panjang. Dr Abdul
Wahab Khallaf (w. 1956 M) membagi periodisasi perkembangan fiqih dalam tiga
babak. Periode pertama saat Nabi Muhammad saw masih hidup, periode kedua
pada masa sahabat saat Nabi sudah tiada, dan periode ketiga pada masa tabi’in,
tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid. Tiap-tiap periode memiliki dinamika
yurisprudensinya masing-masing. Sebelum menjelaskan tiap-tiap periodenya, ada
baiknya penulis paparkan definisi fiqih menurut para ulama dan ruang kajiannya
dalam Islam. Dengan begitu, kita akan tahu wilayah kajiannya. Imam Abdul
Mu’ali al-Juwaini (w. 1085 M), seorang guru besar Madrasah Nizamiyyah, atau
biasa disebut Imam Al-Haramain, dalam Al-Waraqat mendefinisikan fiqih sebagai
berikut, ‫ معرفة األحكام الشرعية التي طريقها اإلجتهاد‬Artinya, “Mengetahui hukum-hukum
syari’at melalui metode ijtiad.” (lihat Syarah Mahalli atas Al-Waraqat, hal. 26).
Dari definisi di atas, Imam Jalaluddin al-Mahalli mencontohkan, diantanya:
mengetahui hukum wajib dalam niat wudhu, hukum sunah pada shalat witir, niat
malam hari untuk berpuasa Ramadhan adalah syarat wajib, dan lain sebagainya.
Semua hukum tersebut diketahui dengan jalan ijtihad oleh para ulama. (lihat
Syarah Mahalli atas Al-Waraqat, hal. 26) Lebih detail lagi, Imam Mahalli dalam
Syarah Jam’ul Jawai’, mendefinisikan Fiqih sebagai berikut, (‫أي )و الفقه العلم باآل حكام‬
‫بجميع النسب التامة (الشرعية) أي المأخوذة من الشرع المبعوث به النبي الكريم (العملية) أي المتعلقة بكيفية‬
‫ (المكتسب) ذلك العلم من أدلنها‬.‫عمل قلبي أ غيره كالعلم بأن النية في الوضوء واجبة و أن الوتر مندوب‬
‫التفصيلية لألحكام‬. Artinya, “Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syari’at Nabi
Muhammad saw yang bersifat aplikatif, baik berkaitan dengan pekerjaan hati atau
fisik, seperti mengetahui hukum wajib atas niat wudhu dan hukum sunah atas
shalat witir. Pengetahuan itu harus diusahakan (bukan otomatis) melalui dalil-dalil
parsial” (lihat Syarah Imam Mahalli atas Jam’ul Jawami, hal. 71-74). Dalam kitab-
kitab ushul fiqih, para ulama membedakan ruang kajian antara fiqih dan ushul
fiqih. jika Fiqih lebih fokus ke hukum-hukum parsial yang diketahui melalui
ijtihad Berbicara Fiqih, berarti tidak lepas dari pembahasan hukum Islam. Menurut
Abdul Wahab Khallaf (w. 1956 M), salah seorang ulama pakar ushul fiqh dari
Mesir, dalam sejarahnya, fiqih terbagi menjadi tiga periode. (lihat Abdul Wahab
Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 15-16) Periode pertama adalah pada masa Nabi
Muhammad saw masih hidup. Pada dasarnya, hukum atas suatu perbuatan sudah
terbentuk sejak zaman Rasulullah, sejak pertama kali Islam itu hadir; karena Islam
sendiri sejak awal sudah bermuatan akidah, akhlak, dan hukum atas perbuatan
manusia. Pada periode ini, Rasulullah lah yang menjadi satu-satunya rujukan fatwa
umat Islam. Hukum-hukum fiqih saat itu terdiri hari hukum Allah dan rasul-Nya
dengan acuan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, tidak mungkin terjadi selisih
pendapat hukum saat itu. Karena memang hanya ada satu pemegang otoritas
hukum, yaitu Rasulullah saw. Periode berikutnya (kedua) adalah pada masa
sahabat Nabi. Rasulullah sudah tidak ada. Bagaimanapun, problematika sosial akan
terus berkembang dan, tentu, hukum Islam tidak bisa lepas dari hal ini. Pada
periode ini banyak persoalan-persoalan agama muncul yang tidak ditemui pada
saat Nabi hidup hidup. Otomatis, para sahabat melakukan ijtihad, memutuskan
perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum syari’at, dengan tetap mengacu
pada hukum periode pertama. Sehingga produk hukum pada saat itu terdiri dari
hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya yang
bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijtihad sahabat. Pada periode ini ini juga
belum ada kodifikasi fiqih secara khusus. Periode ketiga, yaitu periode tabi’in,
tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid (abad kedua dan ketiga Hijriyah). Pada
periode ini bukan hanya periodisasi yang menjadi faktor perkembangan hukum
fiqih semakin kompleks, tetapi juga karena semakin luasnya kekuasaan Islam dan
banyaknya pemeluk Islam dari penjuru dunia dengan pluralitas sosio kultur dan
geografis. Tentu, masalah yang dihadapi umat Muslim, terutama para imam
mujtahid, lebih serius. Pada akhirnya, semua itu mendorong para imam mujtahid
untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum syara’ atas semua
peristiwa yurisprudensi Islam serta membuka bahasan dan pandangan baru bagi
mereka. Ketetapan hukum pada periode sebelumnya tetap menjadi acuan periode
ini. Pada periode ketiga ini, hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan
rasul-Nya, fatwa dan putusan para sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad
mereka, yang bersumber dari al-Qur’an, hadits, ijtihad para sahabat, dan ijtihad
para imam mujtahid. Barulah pada periode ini terjadi kodifikasi hukum Islam yang
dipelopori oleh Imam Malik bin Anas (w. 795 M) dalam kitabnya yang berjudul
Al-Muwattha atas permintaan Khalifah al-Manshur (w. 775 M) (khalifah kedua
Bani Abbasiyah). Kitab ini berisi hadits-hadits dan fatwa para sahabat, tabi’in,
serta tabi’ tabi’in yang valid (sahih) menurut Imam Malik. Kitab ini dijadikan
landasan hukum fiqih oleh penduduk Hijaz. Berikutnya, Abu Yusuf (w. 798 M),
pengikut mazhab Imam Abu Hanifah (w. 797 M), menyusun beberapa kitab fiqih
yang kemudian menjadi rujukan negeri Irak. Disusul oleh Imam Muhammad bin
al-Hasan as-Syaibani (w. 189 H), yang juga pengikut mazhab Imam Abu Hanifah,
menyusun kitab Zahir ar-Riwayah as-Sittah yang kemudian dikomentari oleh
Imam Syamsul A’immah al-Sarkhusy (w. 490 H) dengan kitabnya Al-Mabsuth,
yang menjadi rujukan fiqih mazhab Hanafi. Setelah itu disusul oleh Muhammad
bin Idris as-Syafi’ (w. 820 M) atau yang dikenal dengan Imam Syafi’ menulis kitab
fiqih yang diberi judul Al-Umm di Mseir. Kitab ini menjadi pijakan dalam fikih
mazhab Syafi’i.
OBJEK ILMU FIQIH

1. ObJek Material
Syafi’i Karim mengemukakan, dengan mengetahui ilmu fiqih seorang mukallaf
akan dapat mengetahui mana yang diperintahkan untuk dikerjakan dan mana pula
yang dilarang untuk mengerjakannya. Dan mana yang haram mana yang halal,
mana yang sah mana yang batal, dan mana pula yang fasid.
Adapun hasil pembahasan tersebut atau mahmul-nya adalah salah satu dari hukum
lima, seperti “perbuatan ini wajib”. Kelima hukum tersebut yang dimaksud adalah
hukum taklifi berikut; Ijab (wajib), nadb (sunah), tahrim (haram), karahah
(makruh), dan ibahah (mubah).
Pernyataan yang diungkapkan oleh Syafi’i Karim tersebut mengisyaratkan bahwa
obyek dari pembahasan ilmu fiqih adalah semua ajaran-ajaran yang terdapat dalam
agama Islam. Hal ini sebagaimana pernyataan Fuad Ihsan, bahwa obyek material
adalah obyek yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau obyek yang
dipelajari oleh suatu ilmu.
Untuk lebih jelasnya dalam mengetahui obyek material ilmu fiqih adalah dengan
memahami hakekat ilmu fiqih sebagaimana telah dikemukakan oleh tokoh ilmu
fiqih di atas, bawa ilmu fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang aturan-aturan
agama yang berhubungan dengan segala perbuatan mukallaf. Maka, dari sini dapat
dipahami bahwa obyek material atau dari ilmu fiqih adalah ajaran-ajaran Islam
itu sendiri, yakni penjelasan-penjelasan syara’ itulah yang menjadi sasaran
pembahasan dari ilmu fiqih.
Dengan demikian, yang menjadi sasaran atau obyek dari ilmu fiqih adalah semua
ajaran-ajaran Islam yang juga dibahas atau menjadi obyek bahasan selain ilmu
fiqih. Karena obyek formal adalah obyek kajian dari disiplin ilmu tertentu yang
belum bisa dijadikan sebagai pembeda antara satu bidang atau disiplin ilmu dengan
ilmu yang lain. Misalnya seperti obyek material berupa “ajaran agama”.
Ajaran agama di samping menjadi obyek material dari ilmu fiqih ajaran agama
juga menjadi obyek kajian dari ilmu yang lain, misalnya ilmu tasawwuf dan ilmu
kalam. Adapun yang dapat membedakan antara satu disiplin ilmu dengan yang lain
adalah obyek formal dari masing- masing disiplin ilmu tersebut, karena obyek
formal dari tiap-tiap ilmu pasti tidak akan sama.

2. ObJek Formal
Objek formal adalah sudut pandang dari mana subyek menelaah obyek
materialnya. Setiap ilmu pasti memiliki obyek formal supaya dapat dibedakan
antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain.19 Setelah diketahui obyek
material dari ilmu fiqih adalah ajaran Islam, maka ajaran Islam dari aspek apanya
yang dikupas atau dibahas oleh ilmu fiqih itulah yang menjadi obyek formalnya.
Mengenai hal ini Imam Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Asywadie Syukur
mengemukakan, ilmu fiqih adalah;
Dengan melihat penjelasan mengenai pengertian ilmu fiqih yang dikemukakan
oleh imam Syafi’i tersebut dapat dipahami bahwa ilmu fiqih merupakan ilmu yang
membahas tentang ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Dengan demikian obyek formal ilmu fiqih yang merupakan aspek dari obyek
formal yang dikaji oleh subyek adalah ajaran-ajaran Islam yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf. Jadi, ajaran Islam yang tidak berkaitan dengan
perbuatan mukallaf tidak menjadi bahasan dari ilmu fiqih. Ajaran agama yang ada
hubungannya dengan perbuatan mukallaf inilah yang membedakan antara ilmu
fiqih dengan ilmu lainnya.
Melalui pembahasan mengenai fiqih dalam sudut pandang filsafat ilmu ini tampak
jelas bahwa fiqih adalah satu disiplin ilmu yang memiliki kebenaran sebagaimana
ilmu pengetahuan yang lain. Hal ini juga memberikan pembuktian bahwa fiqih
bukan hanya produk pemikiran semata, namun fiqih merupakan tatanan kehidupan
sekaligus ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Sebagai salah satu disiplin ilmu yang memiliki kebenaran ilmiah, ilmu fiqih
memiliki bidang atau obyek bahasan, baik obyek material maupun obyek formal.
Obyek material adalah obyek yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu
atau obyek yang dipelajari oleh suatu ilmu tersebut.
Dengan bertolak dari hakikat ilmu fiqih, maka obyek material ilmu fiqih adalah
ajaran-ajaran Islam. Sedang obyek formal adalah sudut pandang dari mana sang
subyek menelaah obyek materialnya, yang dengan obyek formal tersebut ilmu fiqih
akan berbeda dengan ilmu yang lain. Jadi, obyek formal ilmu fiqih adalah semua
ajaran-ajaran agama Islam yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.

Dalil dan Sumber Ilmu Fiqih


Dalil merupakan suatu petunjuk yang dijadikan bukti dalam menetapkan suatu
hukum islam. Sedangkan sumber adalah asal(dalam segala arti). Maka dapat
diartikan sumber ilmu fiqih ialah asal utama dalam menetapkan suatu hukum
islam. Sumber-sumber Ilmu Fiqih:

1. Al-qur'an
Al-qur'an merupakan sumber hukum islam yang pertama. Al-qur'an merupakan
kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt. Kepada nabi Muhammad SAW melalui
perantara malaikat jibril. Al-qur'an memiliki penyusunan bahasa dan gaya sastra
yang tinggi. Sehingga itu menjadi bukti kuat bahwa ayat-ayat dalam Al-qur'an
merupakan wahyu Allah swt.

2. Hadis
Sumber hukum islam yang kedua yaitu hadis. Hadis merupakan seluruh perkataan,
perbuatan dan pengakuan nabi muhammad SAW. Perkataan nabi muhammad
SAW ialah suatu sabda yang beliau lantunkan dari lisan beliau sendiri kepada para
sahabat. Perbuatan nabi Muhammad saw ialah semua perbuatan yang beliau
lakukan. Misal beliau mengajarkan bagaimana cara sholat kepada para sahabatnya.
Contoh dari Al-qur'an dan hadis yaitu misal ayat al-qur'an "kerjakan sholat" dan
ditafsirkan dalam hadis menjadi " sholatlah kamu sebagaimana kamu melihatku
sholat".

3. Ijma'
Dalam bahasa arab ijma' berarti kesepakatan. Secara istilah ijma' merupakan suatu
kesepakatan mujtahid atau para ulama dalam menetapkan suatu hukum islam
berdasarkan Al-qur'an dan hadis dalam suatu peristiwa yang terjadi setelah nabi
muhammad saw wafat. Contohnya yaitu keharaman wanita muslimah kawin
dengan lelaki non muslim. Contoh lain yaitu shalat fardhu hukumnya adalah
fardhu 'ain.

4. Qiyas
Secara etismologi qiyas yaitu suatu perbandingan, sedangkan secara terminologi
qiyas yaitu menyamakan suatu peristiwa yang belum ada ketetapan hukumnya
(nash/dalil) dengan peristiwa yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya
persamaan illat.
Contohnya yaitu haramnya narkoba diqiyaskan kepada haramnya minuman keras
yang diharamkan didalam al-qur'an.( Qs: Al-maidah: 90)

Rukun dan Syarat Qiyas


1. Ashl: peristiwa yang sudah ada hukumnya, baik dari al-qur'an atau hadis
2. Furu': peristiwa yang sedang dicari hukumnya.
3. Hukum ashl: hukum yang sudah ditetapkan oleh nash
4. Illat: sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan dapat
dicapai dengan indra, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai.

Pembagian Hukum Fiqih


Pembagian hukum fiqih terdiri dari:

 Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdlah (khusus), yaitu hukum yang
mengatur ibadah manusia dengan Allah SWT seperti sholat, puasa, zakat,
dan haji.
 Hukum yang berkaitan dengan masalah muamalah, yaitu tentang hubungan
sesama manusia. Contohnya yaitu transaksi jual beli dan perserikatan
dagang.
 Hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga (al ahwal asy syakhsiyah)
seperti nikah, talak, rujuk, iddah, dan lain-lain.
 Hukum yang berkaitan dengan tindak pidana seperti zina, pencurian,
perampokan, dan masih banyak lagi.

KETERKAITAN ILMU FIQH DENGAN ILMU LAINNYA

A.Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Tauhid


Terdapat hubungan yang sangat erat antara Ilmu Tauhid dengan Ilmu Fiqh.
Demikian ini karena ilmu Tauhid mengarahkan objek kajiannya pada soal-soal
kepercayaan (aqidah) sedangkan Fiqh objek kajiannya adalah hukum-hukum
perbuatan lahiriyah mukallaf (al- ahkam al-amaliah). Jika objek ilmu tauhid adalah
soal ushul, maka objek ilmu fiqh adalah furu’. Sasaran Ilmu Tauhid hanya
menyangkut soal-soal furu’.

B.Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Tasawuf


Terkait dengan tasawuf, fiqh ibarat jasad dan tasawuf adalah ruhnya. Jasad tanpa
ruh adalah tidak dapat hidup. Sementara ruh tanpa jasad juga tidak bisa berfungsi
apa- apa. Keduanya harus saling melengkapi satu dengan lainnya. Sekadar
ilustrasi, fiqh tidak membahas ikhlas dalam sholat karena itu bahasan tasawuf. Fiqh
hanya membahas syarat dan rukun sholat apa saja –tidak peduli sholatnya
dilakukan dengan ikhlas atau riya’. Di sinilah letak kekurangan fiqh yang
semestinya harus dilengkapi dengan ilmu tasawuf.
Berkaitan dengan dua hal ini, tak heran jika Imam Malik mengatakan ‚Barang
siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa
bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan barang siapa
melakukan keduanya, berarti ia melakukan kebenaran‛.
Walhasil, Tasawuf dan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling
menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti disitu terjadi
kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa
fiqih, atau seorang ahli mengabaikan ilmu tasawufnya. Jadi, seorang ahli sufi harus
bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Sebaliknya,
seorang ahli fiqh harus berpegangan pada tasawuf agar ada kendali moralnya.

C.Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ushul Fiqh


Ilmu Fiqih merupakan produk dari Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh berkembang seiring
berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh. Ilmu fiqh akan bertambah maju jika ilmu Ushul
Fiqh mengalami kemajuan. Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu alat- alat yang
menyediakan bermacam-macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh
ketetapan hukum syara’ yang harus diamalkan manusia. Logikanya, kalau ilmu
alatnya maju, maka pastinya produknya –dalam hal ini fiqh-juga maju.

D.Hubungan Fiqh dengan Kaedah Fiqh (al-Qawa'id al- Fiqhiyyah)


Kaidah fiqh merupakan kaidah yang diambil dan digali dari diktum-diktum fiqh
secara induktif. Diktum fiqh yang sangat banyak ini memiliki kesamaan-
kesamaan sehingga dapat diambil kaidah umumnya yang membawahi diktum-
diktum fiqh tersebut. Kaidah ini jumlahnya sangat banyak. Misalnya kaidah: al-
umuru bi maqasidiha, an-naflu ausau minal fardli, al-yaqinu la yuzalu bissyakki,
dan lain-lain. Dari kaidah ini, kita dapat melakukan penggalian hukum yang lain
dengan cara ilhaq, menyamakan sebuah kasus yang telah ada hukumnya dalam
fiqh dengan kasus yang belum ada.

E.Hubungan Ilmu Fiqh dengan Falsafah Hukum Islam


Diakui atau tidak, ilmu Fiqh juga memiliki erat dengan falsafah hukum Islam.
Falsafah hukum Islam, secara objektif, berusaha mengungkapkan nilai-nilai,
hikmah- hikmah, manfaat dan kegunaan syariat bagi kehidupan manusia.
Sehingga, dalam implementasinya, kesadaran dan pengertian mendalam akan
dimiliki umat Islam dalam mengamalkan atau mempraktekkan hukum Islam.
Falsafah hukum Islam sangat menentukan dan menguatkan kesadaran hukum umat
Islam. Karena Falsafah Hukum Islam akan menuntun umat Islam untuk memahami
hikmah dan manfaat disyariatkannya sebuah hukum Islam. Sehingga, umat Islam
akan sadar dengan sendirinya dalam mengimlementasikan Syari’at. Dengan adanya
kesadaran hukum ini, implementasi fiqh dalam kehidupan umat Islam akan
semakin semarak. Begitupun, pelanggaran terhadap ketentuan dalam fiqh dapat
dieliminasi frekuensinya.

F.Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Tarikh Tasyri’


Ilmu tarikh memiliki tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan kemungkinan-
kemungkinannya masa yang akan yang akan datang. Untuk mengetahui bagaimana
ilmu fiqh di masa lalu, bagaimana sekarang dan bagaimana kemungkinan-
kemungkinannya pada masa yang akan datang bisa ditelusuri dari ilmu sejarah
Islam dan sejarah hukum Islam atau lebih dikenal dengan Tarikh al-Tasyri’.
Masa lalu dan masa sekarang memberikan data dan fakta. Dengan fakta ini dicari
latar belakangnya serta ditelusuri kandungan maknanya, sehingga ditemukan
benang merahnya yang merupakan semangat ajaran Islam pada umumnya dan
semangat ilmu fiqh pada khususnya berlaku sepanjang masa. Penerapan semangat
ajaran ini tentu akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang
dihadapinya karena kemaslahatan yang juga berubah-ubah sebagaimana bunyi
kaidah: takhtalifu al- maslahatu fihi bi thaghayyurul ahkam bi taghayyuril azminah
wal amkinah wal amkinah wal akhsasi wamin huna wujida al- ijtihadu. Perubahan
hukum bergantung pada perubahan waktu, tempat dan keadaan atau individu,
karena itu dibutuhkan ijtihad.
Demikianlah, apa yang dianggap sebuah maslahah di masa lalu bisa dianggap tidak
maslahah di masa kini. Sebaliknya, apa yang tidak dianggap maslahah pada masa
lalu bisa dianggap maslahah di masa sekarang. Di sinilah letak pentingnya tarikh
tasyri’ dalam hubungannya dengan fiqh.
G.Hubungan Ilmu Fiqh dengan Tafsir Ahkam
Untuk mendukung fiqh, maka dalil-dalil al-Qur’an menjadi sangat penting. Hanya
saja, memahami al-Qur’an langsung dari kitab al-Qur’an secara komprehensif
tidak mudah. Diperlukan tafsir yang merupakan penjelasan para ulama tentang
ayat-ayat al-Qur’an. Di sinilah, maka ilmu tafsir ahkam sangat urgen digunakan
sebagai penguat fiqh itu sendiri.
Tidak semua ayat al-Qur’an merupakan ayat ahkam. Dari 6666 ayat al-Qur’an,
menurut sejumlah ulama, hanya sekitar 600 ayat yang berkaitan hukum. Karena
itu, tafsir ahkam sangat penting digunakan sebagai dalil yang menopang diktum-
diktum fiqh, berikut cara dan logika istinbat hukumnya.

H.Hubungan Ilmu Fiqh dengan Hadits Ahkam


Selain tafsir ahkam, hadits ahkam juga merupakan dalil yang digunakan dan
berkaitan dengan ilmu fiqh. Hadits ahkam merupakan hadits-hadits yang berkaitan
dengan hukum Islam (fiqh). Demikian ini sangat penting karena tidak semua hadits
merupakan hadits ahkam. Sebagian hadits berisi motivasi beragama, nasihat-
nasihat, kisah dan sebagainya.
Secara praktis, hadits ahkam ini digunakan dalam kitab-kitab fiqh. Sebagaimana
diketahui, bahwa sebagian ulama menguatkan diktum-diktukm fiqh dengan hadits-
hadits ahkam yang mendasarinya sehingga dapat diketahui hukum fiqh yang
berkaitan dengan hal tersebut. Meski penulis tegaskan bahwa tidak semua kitab
fiqh disebutkan hadits ahkamnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tadi, dapat diambil kesimpulan secara harfiah, fiqih


berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Fiqh adalah salah satu
bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum
yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama
fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang
muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
Ruang lingkup fiqh dibagi kedalam beberapa kelompok yaitu: Ibadah, Thaharah,
Muamalat, Munakahat, Jinayat, Faraidh, Siyasat. Adapun fungsi dan tujuan Fiqh
diantaranya adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya, untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan
menjauhi larangan-Nya, agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar
sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan
tujuan. Selain itu, studi fiqih berfungsi juga untuk menanamkan nilai-nilai dan
kesadaran beribadah kepada Allah SWT sebagai pedoman mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat.
Fungsi fiqih :
Mempelajari fiqh berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai aturan
secara mendalam. Dengan itu kita tahu aturan-aturan secara rinci mengenai
kewajiban dan tangung jawab manusia terhadap tuhannya, hak dan kewajiban
dalam rumah tangga dan bermasyarakat mengetahui cara bersuci, shalat, zakat,
puasa.

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Hasbi, Fuad. Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1999.
_. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Al-Duraini, Fathi,
Muhammad. Buhûts Muqâranah fi al-Fiqh al-Islâmi.
Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.
Bakry, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta Utara: PT. RajaGrafindo Persada,
1993.
Fâris, Ahmad, Hasan, Abû. Mu'jam Maqâyis al-Lughah Jilid II. Mesir: Mustafa al-
Babi al-Halabi, 1970.
Ihsan, Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Karim, Syafi’i. Fiqih Ushul Fiqih untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Muhadjir, Noeng Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001.
Syukur, Asywadie. Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1990.
Syata, bakr, Abu. I’anah al-Tholibin. Surabaya: Dar al-Kitab al-Islami.
Suriasumantri, Jujun, S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998.
Suhardan, Dadang dan Suharto, Nugraha. Filsafat Administrasi Pendidikan, dalam
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan. Bandung:
Alfabeta, 2012.
https://islam.nu.or.id/post/read/129751/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqih
https://www.kompasiana.com/ludfiwahyudi5876/5fa48974d541df279e44dc03/dalil
-dan-sumber-ilmu-fiqih
https://kumparan.com/berita-hari-ini/ilmu-fiqih-sumber-dan-pembagian-
hukumnya-1v1081tvcGd/4

Anda mungkin juga menyukai