HAKIKAT FIQIH
Disusun Oleh :
Kelas 1 J
Kelompok1
JUDUL
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Ilmu fiqih adalah salah satu ilmu keislaman yang hingga kini cukup berkembang,
hal ini terbukti dengan kekayaan warisan khazanah klasik yang dimilikinya hingga
maraknya berbagai kegiatan atau forum kajian ilmu fiqih seperti bahts al-masâil
fiqhiyah yang dilakukan lembaga dan ormas-ormas Islam maupun lembaga-
lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Namun yang tampaknya perlu
mendapat perhatian khusus adalah munculnya kesan kuat dalam masyarakat,
bahwa Islam yang mereka pahami adalah fiqih itu sendiri, karena ia menyajikan
aturan dan rambu-rambu hukum yang jelas sehingga dapat mereka jadikan
pegangan. Ini mengindikasikan kedudukan fiqih sebagai sebuah ilmu sering belum
dapat dimaknai secara proporsional, sehingga cenderung tidak dibedakan mana
ajaran dasar Islam yang bersifat absolut, dan mana ajaran fiqih yang bisa
berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan dinamika sosial.
Bertolak dari fenomena tersebut, tulisan sederhana ini mencoba menguraikan
tentang apa hakekat ilmu fiqih dan apa obyek kajiannya? Masalah ini sangat urgen
untuk dibahas, disatu sisi agar kita dapat lebih memiliki pemahaman yang benar
tentang dimensi ontologi fiqih, dan di sisi lain untuk melihat sejauh mana fiqih
dapat dipandang sebagai ilmu sesuai kriteria dalam filsafat ilmu.
PENGERTIAN FIQIH
Fikih terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa
(etimologi) berasal dari lafal faqiha()فقه, yafqahu()يفقه, fiqhan( )فقهاatau yang
bermasdar فعال،يفعل، فعلyang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian
fiqh secara istilah (terminologi) adalah ilmu membahas tentang hukum- hukum
syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci. Tepatnya pada abad ke-
II telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan madhab-madhab yang
tersebar di kalangan umat Islam. Yang pertama yaitu Abu Hanifah ( yang
memberikan pengertian fiqih sebagai berikut; 7. حقوقمىا ا بيمن علمنV وحقىحتيمDefinisi
ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu akidah, syari'ah dan akhlak tanpa ada
pemisahan di antara aspek-aspek tersebut.
Pada masa imam Syâfi'i8 (150-204H/767-822M), para ulama’ Syafi’iyyah
memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini karena ilmu fiqih cukup
berkembang seiring tuntutan kebutuhan masyarakat dalam memperoleh jawaban
atau kepastian hukum. Di antara definisi tersebut adalah sebagai berikut, “Ilmu
yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para
mukallaf yang digali dari dalil- dalil yang jelas (terperinci).”
Pengertian fiqih yang dikemukakan tersebut lebih spesifik dari pada yang
diketengahkan oleh definisi fiqih pada masa sebelumnya, yaitu dengan
memunculkan term ahkam, af’aal al-mukallafin, dan istinbat yang tentunya hal ini
penting dalam mengngkap hakikat dari ilmu fiqih.
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring berkembangnya berbagai disiplin
keislaman yang mengharuskan pembidangan secara tegas terhadap fiqih, para
ulama mulai memunculkan pengertian yang spesifik megenai ilmu fiqih. Al-Said
al-Juraini sebagaimana dikutip oleh Nazar Bakry mengemukakan pengertian ilmu
fiqih sebagai berikut; “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
amaliyah dan diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang
diperoleh dengan jalan ijtihad dan membutuhkan penalaran dan taammul”.
Pengertian yang dikedepankan oleh al-Said al-Juraini lebih spesifik daripada
pengertian yang sebelumnya, yaitu dengan menyebutkan al-ahkam, al-syar’iyyah,
al-‘amaliyyah, istinbat, ijtihad, nadhor.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, Zainuddin al- Malibary salah satu ahli
fiqih syafi’iyyah memberikan definisi yang hampir serupa dengan dengan
pengertian said, namun pengertian ini lebih spesifik lagi, yaitu:
حقعلن ب ألحك م حقشرعن ة حقعولن ة حقوكتسب ها أدق ته حقتفصنلن ة
Dalam sejarah yurisprudensi Islam, fiqih memiliki sejarah yang panjang. Dr Abdul
Wahab Khallaf (w. 1956 M) membagi periodisasi perkembangan fiqih dalam tiga
babak. Periode pertama saat Nabi Muhammad saw masih hidup, periode kedua
pada masa sahabat saat Nabi sudah tiada, dan periode ketiga pada masa tabi’in,
tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid. Tiap-tiap periode memiliki dinamika
yurisprudensinya masing-masing. Sebelum menjelaskan tiap-tiap periodenya, ada
baiknya penulis paparkan definisi fiqih menurut para ulama dan ruang kajiannya
dalam Islam. Dengan begitu, kita akan tahu wilayah kajiannya. Imam Abdul
Mu’ali al-Juwaini (w. 1085 M), seorang guru besar Madrasah Nizamiyyah, atau
biasa disebut Imam Al-Haramain, dalam Al-Waraqat mendefinisikan fiqih sebagai
berikut, معرفة األحكام الشرعية التي طريقها اإلجتهادArtinya, “Mengetahui hukum-hukum
syari’at melalui metode ijtiad.” (lihat Syarah Mahalli atas Al-Waraqat, hal. 26).
Dari definisi di atas, Imam Jalaluddin al-Mahalli mencontohkan, diantanya:
mengetahui hukum wajib dalam niat wudhu, hukum sunah pada shalat witir, niat
malam hari untuk berpuasa Ramadhan adalah syarat wajib, dan lain sebagainya.
Semua hukum tersebut diketahui dengan jalan ijtihad oleh para ulama. (lihat
Syarah Mahalli atas Al-Waraqat, hal. 26) Lebih detail lagi, Imam Mahalli dalam
Syarah Jam’ul Jawai’, mendefinisikan Fiqih sebagai berikut, (أي )و الفقه العلم باآل حكام
بجميع النسب التامة (الشرعية) أي المأخوذة من الشرع المبعوث به النبي الكريم (العملية) أي المتعلقة بكيفية
(المكتسب) ذلك العلم من أدلنها.عمل قلبي أ غيره كالعلم بأن النية في الوضوء واجبة و أن الوتر مندوب
التفصيلية لألحكام. Artinya, “Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syari’at Nabi
Muhammad saw yang bersifat aplikatif, baik berkaitan dengan pekerjaan hati atau
fisik, seperti mengetahui hukum wajib atas niat wudhu dan hukum sunah atas
shalat witir. Pengetahuan itu harus diusahakan (bukan otomatis) melalui dalil-dalil
parsial” (lihat Syarah Imam Mahalli atas Jam’ul Jawami, hal. 71-74). Dalam kitab-
kitab ushul fiqih, para ulama membedakan ruang kajian antara fiqih dan ushul
fiqih. jika Fiqih lebih fokus ke hukum-hukum parsial yang diketahui melalui
ijtihad Berbicara Fiqih, berarti tidak lepas dari pembahasan hukum Islam. Menurut
Abdul Wahab Khallaf (w. 1956 M), salah seorang ulama pakar ushul fiqh dari
Mesir, dalam sejarahnya, fiqih terbagi menjadi tiga periode. (lihat Abdul Wahab
Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 15-16) Periode pertama adalah pada masa Nabi
Muhammad saw masih hidup. Pada dasarnya, hukum atas suatu perbuatan sudah
terbentuk sejak zaman Rasulullah, sejak pertama kali Islam itu hadir; karena Islam
sendiri sejak awal sudah bermuatan akidah, akhlak, dan hukum atas perbuatan
manusia. Pada periode ini, Rasulullah lah yang menjadi satu-satunya rujukan fatwa
umat Islam. Hukum-hukum fiqih saat itu terdiri hari hukum Allah dan rasul-Nya
dengan acuan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, tidak mungkin terjadi selisih
pendapat hukum saat itu. Karena memang hanya ada satu pemegang otoritas
hukum, yaitu Rasulullah saw. Periode berikutnya (kedua) adalah pada masa
sahabat Nabi. Rasulullah sudah tidak ada. Bagaimanapun, problematika sosial akan
terus berkembang dan, tentu, hukum Islam tidak bisa lepas dari hal ini. Pada
periode ini banyak persoalan-persoalan agama muncul yang tidak ditemui pada
saat Nabi hidup hidup. Otomatis, para sahabat melakukan ijtihad, memutuskan
perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum syari’at, dengan tetap mengacu
pada hukum periode pertama. Sehingga produk hukum pada saat itu terdiri dari
hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya yang
bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijtihad sahabat. Pada periode ini ini juga
belum ada kodifikasi fiqih secara khusus. Periode ketiga, yaitu periode tabi’in,
tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid (abad kedua dan ketiga Hijriyah). Pada
periode ini bukan hanya periodisasi yang menjadi faktor perkembangan hukum
fiqih semakin kompleks, tetapi juga karena semakin luasnya kekuasaan Islam dan
banyaknya pemeluk Islam dari penjuru dunia dengan pluralitas sosio kultur dan
geografis. Tentu, masalah yang dihadapi umat Muslim, terutama para imam
mujtahid, lebih serius. Pada akhirnya, semua itu mendorong para imam mujtahid
untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum syara’ atas semua
peristiwa yurisprudensi Islam serta membuka bahasan dan pandangan baru bagi
mereka. Ketetapan hukum pada periode sebelumnya tetap menjadi acuan periode
ini. Pada periode ketiga ini, hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan
rasul-Nya, fatwa dan putusan para sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad
mereka, yang bersumber dari al-Qur’an, hadits, ijtihad para sahabat, dan ijtihad
para imam mujtahid. Barulah pada periode ini terjadi kodifikasi hukum Islam yang
dipelopori oleh Imam Malik bin Anas (w. 795 M) dalam kitabnya yang berjudul
Al-Muwattha atas permintaan Khalifah al-Manshur (w. 775 M) (khalifah kedua
Bani Abbasiyah). Kitab ini berisi hadits-hadits dan fatwa para sahabat, tabi’in,
serta tabi’ tabi’in yang valid (sahih) menurut Imam Malik. Kitab ini dijadikan
landasan hukum fiqih oleh penduduk Hijaz. Berikutnya, Abu Yusuf (w. 798 M),
pengikut mazhab Imam Abu Hanifah (w. 797 M), menyusun beberapa kitab fiqih
yang kemudian menjadi rujukan negeri Irak. Disusul oleh Imam Muhammad bin
al-Hasan as-Syaibani (w. 189 H), yang juga pengikut mazhab Imam Abu Hanifah,
menyusun kitab Zahir ar-Riwayah as-Sittah yang kemudian dikomentari oleh
Imam Syamsul A’immah al-Sarkhusy (w. 490 H) dengan kitabnya Al-Mabsuth,
yang menjadi rujukan fiqih mazhab Hanafi. Setelah itu disusul oleh Muhammad
bin Idris as-Syafi’ (w. 820 M) atau yang dikenal dengan Imam Syafi’ menulis kitab
fiqih yang diberi judul Al-Umm di Mseir. Kitab ini menjadi pijakan dalam fikih
mazhab Syafi’i.
OBJEK ILMU FIQIH
1. ObJek Material
Syafi’i Karim mengemukakan, dengan mengetahui ilmu fiqih seorang mukallaf
akan dapat mengetahui mana yang diperintahkan untuk dikerjakan dan mana pula
yang dilarang untuk mengerjakannya. Dan mana yang haram mana yang halal,
mana yang sah mana yang batal, dan mana pula yang fasid.
Adapun hasil pembahasan tersebut atau mahmul-nya adalah salah satu dari hukum
lima, seperti “perbuatan ini wajib”. Kelima hukum tersebut yang dimaksud adalah
hukum taklifi berikut; Ijab (wajib), nadb (sunah), tahrim (haram), karahah
(makruh), dan ibahah (mubah).
Pernyataan yang diungkapkan oleh Syafi’i Karim tersebut mengisyaratkan bahwa
obyek dari pembahasan ilmu fiqih adalah semua ajaran-ajaran yang terdapat dalam
agama Islam. Hal ini sebagaimana pernyataan Fuad Ihsan, bahwa obyek material
adalah obyek yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau obyek yang
dipelajari oleh suatu ilmu.
Untuk lebih jelasnya dalam mengetahui obyek material ilmu fiqih adalah dengan
memahami hakekat ilmu fiqih sebagaimana telah dikemukakan oleh tokoh ilmu
fiqih di atas, bawa ilmu fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang aturan-aturan
agama yang berhubungan dengan segala perbuatan mukallaf. Maka, dari sini dapat
dipahami bahwa obyek material atau dari ilmu fiqih adalah ajaran-ajaran Islam
itu sendiri, yakni penjelasan-penjelasan syara’ itulah yang menjadi sasaran
pembahasan dari ilmu fiqih.
Dengan demikian, yang menjadi sasaran atau obyek dari ilmu fiqih adalah semua
ajaran-ajaran Islam yang juga dibahas atau menjadi obyek bahasan selain ilmu
fiqih. Karena obyek formal adalah obyek kajian dari disiplin ilmu tertentu yang
belum bisa dijadikan sebagai pembeda antara satu bidang atau disiplin ilmu dengan
ilmu yang lain. Misalnya seperti obyek material berupa “ajaran agama”.
Ajaran agama di samping menjadi obyek material dari ilmu fiqih ajaran agama
juga menjadi obyek kajian dari ilmu yang lain, misalnya ilmu tasawwuf dan ilmu
kalam. Adapun yang dapat membedakan antara satu disiplin ilmu dengan yang lain
adalah obyek formal dari masing- masing disiplin ilmu tersebut, karena obyek
formal dari tiap-tiap ilmu pasti tidak akan sama.
2. ObJek Formal
Objek formal adalah sudut pandang dari mana subyek menelaah obyek
materialnya. Setiap ilmu pasti memiliki obyek formal supaya dapat dibedakan
antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain.19 Setelah diketahui obyek
material dari ilmu fiqih adalah ajaran Islam, maka ajaran Islam dari aspek apanya
yang dikupas atau dibahas oleh ilmu fiqih itulah yang menjadi obyek formalnya.
Mengenai hal ini Imam Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Asywadie Syukur
mengemukakan, ilmu fiqih adalah;
Dengan melihat penjelasan mengenai pengertian ilmu fiqih yang dikemukakan
oleh imam Syafi’i tersebut dapat dipahami bahwa ilmu fiqih merupakan ilmu yang
membahas tentang ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Dengan demikian obyek formal ilmu fiqih yang merupakan aspek dari obyek
formal yang dikaji oleh subyek adalah ajaran-ajaran Islam yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf. Jadi, ajaran Islam yang tidak berkaitan dengan
perbuatan mukallaf tidak menjadi bahasan dari ilmu fiqih. Ajaran agama yang ada
hubungannya dengan perbuatan mukallaf inilah yang membedakan antara ilmu
fiqih dengan ilmu lainnya.
Melalui pembahasan mengenai fiqih dalam sudut pandang filsafat ilmu ini tampak
jelas bahwa fiqih adalah satu disiplin ilmu yang memiliki kebenaran sebagaimana
ilmu pengetahuan yang lain. Hal ini juga memberikan pembuktian bahwa fiqih
bukan hanya produk pemikiran semata, namun fiqih merupakan tatanan kehidupan
sekaligus ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Sebagai salah satu disiplin ilmu yang memiliki kebenaran ilmiah, ilmu fiqih
memiliki bidang atau obyek bahasan, baik obyek material maupun obyek formal.
Obyek material adalah obyek yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu
atau obyek yang dipelajari oleh suatu ilmu tersebut.
Dengan bertolak dari hakikat ilmu fiqih, maka obyek material ilmu fiqih adalah
ajaran-ajaran Islam. Sedang obyek formal adalah sudut pandang dari mana sang
subyek menelaah obyek materialnya, yang dengan obyek formal tersebut ilmu fiqih
akan berbeda dengan ilmu yang lain. Jadi, obyek formal ilmu fiqih adalah semua
ajaran-ajaran agama Islam yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.
1. Al-qur'an
Al-qur'an merupakan sumber hukum islam yang pertama. Al-qur'an merupakan
kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt. Kepada nabi Muhammad SAW melalui
perantara malaikat jibril. Al-qur'an memiliki penyusunan bahasa dan gaya sastra
yang tinggi. Sehingga itu menjadi bukti kuat bahwa ayat-ayat dalam Al-qur'an
merupakan wahyu Allah swt.
2. Hadis
Sumber hukum islam yang kedua yaitu hadis. Hadis merupakan seluruh perkataan,
perbuatan dan pengakuan nabi muhammad SAW. Perkataan nabi muhammad
SAW ialah suatu sabda yang beliau lantunkan dari lisan beliau sendiri kepada para
sahabat. Perbuatan nabi Muhammad saw ialah semua perbuatan yang beliau
lakukan. Misal beliau mengajarkan bagaimana cara sholat kepada para sahabatnya.
Contoh dari Al-qur'an dan hadis yaitu misal ayat al-qur'an "kerjakan sholat" dan
ditafsirkan dalam hadis menjadi " sholatlah kamu sebagaimana kamu melihatku
sholat".
3. Ijma'
Dalam bahasa arab ijma' berarti kesepakatan. Secara istilah ijma' merupakan suatu
kesepakatan mujtahid atau para ulama dalam menetapkan suatu hukum islam
berdasarkan Al-qur'an dan hadis dalam suatu peristiwa yang terjadi setelah nabi
muhammad saw wafat. Contohnya yaitu keharaman wanita muslimah kawin
dengan lelaki non muslim. Contoh lain yaitu shalat fardhu hukumnya adalah
fardhu 'ain.
4. Qiyas
Secara etismologi qiyas yaitu suatu perbandingan, sedangkan secara terminologi
qiyas yaitu menyamakan suatu peristiwa yang belum ada ketetapan hukumnya
(nash/dalil) dengan peristiwa yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya
persamaan illat.
Contohnya yaitu haramnya narkoba diqiyaskan kepada haramnya minuman keras
yang diharamkan didalam al-qur'an.( Qs: Al-maidah: 90)
Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdlah (khusus), yaitu hukum yang
mengatur ibadah manusia dengan Allah SWT seperti sholat, puasa, zakat,
dan haji.
Hukum yang berkaitan dengan masalah muamalah, yaitu tentang hubungan
sesama manusia. Contohnya yaitu transaksi jual beli dan perserikatan
dagang.
Hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga (al ahwal asy syakhsiyah)
seperti nikah, talak, rujuk, iddah, dan lain-lain.
Hukum yang berkaitan dengan tindak pidana seperti zina, pencurian,
perampokan, dan masih banyak lagi.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Hasbi, Fuad. Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1999.
_. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Al-Duraini, Fathi,
Muhammad. Buhûts Muqâranah fi al-Fiqh al-Islâmi.
Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.
Bakry, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta Utara: PT. RajaGrafindo Persada,
1993.
Fâris, Ahmad, Hasan, Abû. Mu'jam Maqâyis al-Lughah Jilid II. Mesir: Mustafa al-
Babi al-Halabi, 1970.
Ihsan, Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Karim, Syafi’i. Fiqih Ushul Fiqih untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Muhadjir, Noeng Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001.
Syukur, Asywadie. Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1990.
Syata, bakr, Abu. I’anah al-Tholibin. Surabaya: Dar al-Kitab al-Islami.
Suriasumantri, Jujun, S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998.
Suhardan, Dadang dan Suharto, Nugraha. Filsafat Administrasi Pendidikan, dalam
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan. Bandung:
Alfabeta, 2012.
https://islam.nu.or.id/post/read/129751/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqih
https://www.kompasiana.com/ludfiwahyudi5876/5fa48974d541df279e44dc03/dalil
-dan-sumber-ilmu-fiqih
https://kumparan.com/berita-hari-ini/ilmu-fiqih-sumber-dan-pembagian-
hukumnya-1v1081tvcGd/4