Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FIQIH

“SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH”


“Sejarah Perkembangan Fikih Pada Masa Pembentukan”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih


Dosen Pengampu
Drs.Helmi Rustandi, M.Ag.

Disusun oleh:

Akhmad Marwazy 11230540000050

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JAKARTA 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Atas berkah Rahmat,Taufik dan Hidayah-nya penulis bisa
menyelesaikan Makalah dengan baik serta tepat waktu,Makalah ini untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Fiqih yang di Ampu Oleh Drs.Helmi Rustandi, M.Ag. dan juga untuk
mengetahui Sejarah perkembangan Hukum Fikih dari Masa Rasullah SAW sampai dengan
masa sekarang ini yang sudah lebih modern.

Karena Fiqih merupakan Sumber adanya Hukum islam pada zaman sekarang yang dimana
berkaitan dengan Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW dan sebagai sumber syariat-
syariat islam yang di terapkan pada masyarakat pada zaman sekarang ini, oleh karena itu kita
harus mengetahui sejarah berkembangnya Fiqih Tersebut.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Helmi Rustandi, M.Ag atas tugas
yang telah diberikan. Dengan tugas ini, ada banyak hal yang bisa penulis pelajari melalui
penelitian dalam makalah ini.

Oleh karena itu, Kritik serta Saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan Terimakasih kepada pihak yang sudah andil
dalam Menyusun Makalah ini, Atas perhatian serta waktunya kami ucapkan Banyak
Terimakasih.

25 September 2023

Pemakalah

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR........................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
2.1 Perkembangan Fikih Pada Masa Pembentukan...........................................................5
2.1.1 Periode Pertama........................................................................................................5
2.1.2 Periode Kedua.........................................................................................................15
2.1.3 Periode Ketiga........................................................................................................15
2.14 Periode Keempat......................................................................................................16
BAB III PENUTUP......................................................................................................................18

3.1 Kesimpulan................................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fikih menurut Bahasa berasal dari kata “Fiqh” yang berarti “Paham yang
mendalam”.Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahirlah,maka fiqih
berarti paham apa yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah At-
Tirmidzi menyebutkan, “Fiqih tentang sesuatu”,Bararti mengetahui batinnya sampai kepada
kedalamannya.
Secara definitif,Fiqih berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah
yang digali, ditemukan, dan dalil-dalil yang tafsili”.
Dalam definisi ini,Fiqih diibaratkan dengan ilmu karena fiqih itu semacam ilmu
pengetahuan.Memang fiqih itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan di atas,fiqih itu
bersifat zhanni.Fiqih adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhan-nya.1
Bila kita memahami pengertian fiqih itu sebagai hasil penalaran seorang ahli atas maksud
hukum Allah SWT yang berhubungnan dengan tingkah laku manusia, maka timbul
pertanyaan apakah fiqih itu sudah mulai pada zaman Rasulullah Muhammad SAW.masih
hidup?
Suatu hal yang nyata terjadai adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan
turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua
ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan
secara peraktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memeberikan penjelasan yang
mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah
SWT. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu
kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya, belum dalam bentuk petunjuk peraktis,
menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara peraktis. Nabi membverikan penjelasan dengan
ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi.2

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah fiqih itu sudah mulai pada zaman Rasulullah Muhammad SAW.masih
hidup?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Fiqih pada zaman Rasulullah Muhmmad SAW?

1.3 Tujuan

1
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1, Hal-3)
2
Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1,Hal-7)

4
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan Hukum
Islam atau disebut juga Fiqih pada zaman Rasulullah Muhammad SAW dan untuk
mengetahui fiqih di zaman Rasulullah SAW seperti apa

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MASA PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM, YAITU MASA


KERASULAN 611-623

Masa Pembentukan Hukum Islam ialah masa kenabian, Periode ini dapat dibagi dua,
pertama Periode Mekkah 611-620 H. Kedua Periode Madinah 620-623 H., ciri ciri periode ini
ialah pertama wahyu masih turun pada nabi dan ini adalah sumber hukum Islam pertama,
kedua nabi masih hidup dan Nabi aktif memberikan penjelasan tentang maksud al qur’an,
sehingga pada periode ini ada dua sumber pertama al Qur’an dan kedua Sunnah Nabi. Ajaran
yang turun melalu wahyu ialah, pada masa Mekkah, pertama ajaran tauhid, kedua ajaran
akhlak, pada periode madinah ajaran yang turun ialah ialah ajaran Syariat yang teridiri dari
ibadah, muamalah, munakahat dan Jinayat.

PERIODE PERTAMA
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di
tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah AlQur'an. Apabila ayat Al-
Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah
SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah
SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern
belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian
yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah
SAW.
Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari
nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun
kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori.
Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan
hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa
Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang
dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah
mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal
dari AlQur'an maupun dari sunnahnya sendiri.3
Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan sunnahnya
diperselisihkan para ulama.Ijtihad Adalah Proses penetapan hukum syariat dengan
menggunakan semua pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh, Perbedaan pendapat itu
berpangkal pada pemahaman QS.An-Najm(53) Ayat 3-4
3
Education Journal:Penelitian Ibnu Rusyd Kotabumi,2023.Vol 1(1,Hal-5)

5
٣ ‫َو َم ا َينِط ُق َع ِن ٱْلَهَو ٰٓى‬
٤ ‫ِإْن ُهَو ِإاَّل َو ْح ٌۭى ُيوَح ٰى‬
Artinya:
3. Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya.
4. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),

Ada ulama yang memahami ayat ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan
Nabi dalam usahanya memeberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar
wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat
Al-Qur’an yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah yang disebut
wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.4

Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada
kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad, Perbedaan pendapat para ulama itu adalah:

Pertama, jumhur ahli ushul berpendapat bahwa Nabi mungkin dan boleh berijtihad
sebagaimana berlaku pada manusia lainnya. Mereka menguatkan pendapatnya dengan dalil
sebagai berikut:

1. Allah SWT. telah menyampaikan pesan kepada Nabi sebagaimana juga berlaku pada
hamba-Nya yang lain. Allah mengemu- kakan contoh dengan beberapa kejadian yang pernah
terjadi dan menyuruh, hamba-Nya untuk mengambil ibarat atau perhatian atas kejadian
tersebut dengan Firman-Nya dalam surat al-Hasyr (59) ayat 2:

‫ُهَو ٱَّلِذ ٓى َأْخ َرَج ٱَّلِذ يَن َك َفُرو۟ا ِم ْن َأْهِل ٱْلِكَٰت ِب ِم ن ِد َٰي ِرِهْم َأِلَّو ِل ٱْلَح ْش ِرۚ َم ا َظَننُتْم َأن‬
ۖ ‫َيْخ ُرُجو۟ا ۖ َو َظُّنٓو ۟ا َأَّنُهم َّم اِنَع ُتُهْم ُحُصوُنُهم ِّم َن ٱِهَّلل َفَأَتٰى ُهُم ٱُهَّلل ِم ْن َح ْيُث َلْم َيْح َتِس ُبو۟ا‬
‫َو َقَذ َف ِفى ُقُلوِبِهُم ٱلُّر ْع َب ۚ ُيْخ ِرُبوَن ُبُيوَتُهم ِبَأْيِد يِهْم َو َأْيِد ى ٱْلُم ْؤ ِمِنيَن َفٱْعَتِبُرو۟ا َٰٓيُأ۟و ِلى‬
‫ٱَأْلْبَٰص ِر‬
Artinya: “Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-
kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah
yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-
4
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1, Hal-8)

6
orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.”

2. Nabi beberapa kali mendapat kritikan Allah atas tindakan yang dilakukannya. Umpamanya
firman Allah dalam surat al-Anfal (8): 67:

)٦٧: ‫َم ا َك اَن ِلَنِبي َأن َيُك وَن َلُه َأْس َر ى َح َّتى ُيْنِخ َن ِفي اَأْلْر ِض ( اَألنَقاَل‬

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi.”
Ayat ini mengkritik Nabi yang mengambil kebijaksanaan un- tuk menahan orang yang kalah
dalam Perang Badar sebagai ta- wanan, yang menurut saran beberapa orang sahabatnya
tawan- an itu harus dibunuh. Ternyata kemudian tawanan yang ditahan itu mendatangkan
kerugian kepada umat Islam.
Kritikan Allah dalam ayat ini menunjukkan bahwa tindakan Nabi membiarkan tawanan itu
adalah semata-mata hasil ijtihad Nabi, bukan berdasarkan wahyu. Kalau memang dari wahyu,
tentu Allah tidak akan mencela melalui wahyu yang menuntun Nabi da- lam berbuat. Allah
berfirman dalam surat at-Taubah (9): 43:

)٤٣ ‫َع َذ ا ُهَّللا َع ْنَك ِلَم َأِذ ْنَت َلُهْم َح َّتى َيَتَبَّيَن َلَك اَّلِذ يَن َص َد ُقوا (النوبة‬
“Semoga Allah memaafkanmu; kenapa kamu memberi izin kepada mereka sebelum jelas
bagimu orang-orang yang benar.”
Dalam ayat ini Allah memaafkan tindakan Nabi yang terlanjur membolehkan orang-orang
munafik untuk ikut perang Uhud, yang kemudian ternyata keikutsertaan mereka membawa
bencana kepada pasukan muslim. Ayat ini mengandung kritikan atas tindakan Nabi. Kalau
tindakan Nabi itu atas tuntunan wahyu, tentu tidak akan muncul kritikan itu. Hal ini menun-
jukkan bahwa kebijaksanaan Nabi yang mengizinkan ikutnya orang munafik itu dasarnya
adalah ijtihad.5

3. Sunah Nabi yang berbunyi:

‫ِإَّنَم ا َأْح ُك ُم ِبالَّظاِهِر َو ِإَّنُك ْم َلَتْح ِص ُم وَن ِإَلَّي َو َلَع َّل َأَح َد ُك ُم اْلَح ُن ِبُحَّج ِتِه ِم ْن َبْع ٍض َفَم ْن‬
‫ْأ‬
‫َقَض ْيُت َلُه ِبَش ْي ٍء ِم ْن َم اِل َأِخ يِه َفاَل َي ُخ ْذ ُه َفِإَّنَم ا َأْقَع ًة ِم َن الَّناِر‬
“Sesungguhnya aku menetapkan hukum berdasarkan apa-apa yang lahir, dan kamu minta
penyelesaian permusuhanmu kepadaku. Barangkali seseorang di antaramu lebih lihai dalam
beperkara dibandingkan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu berkenan
5
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1, Hal-10)

7
dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya
potongan api neraka.”

Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi sendiri terkadang memutuskan perkara yang
mungkin tidak betul secara materiil. Hal ini berarti tindakan itu semata didasarkan kepada
ijtihadnya, bukan dari wahyu.

Kedua, ulama kalam Asy'ariyyah, mayoritas ulama Mu'tazilah, Abu Ali al-Jubbai dan
anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara'. Alasan
mereka adalah:

a. Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4:

)٤-٣ ‫َو َم ا َيْنِط ُق َع ِن اْلَهَو ى ِإْن ُهَو ِإاَّل َو ْح ٌي ُيوَح ى (النجم‬


“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kernauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tidda lain hanya-lah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang muncul dari lisan Nabi adalah dari wahyu
dan tidak ada yang di luar wa- hyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada
ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.

b. Nabi SAW. berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara meyakinkan melalui
wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada
yang meyakinkan (qathi), maka tidak boleh menempuh yang tidak meyakinkan (zhanni). Di
samping itu, ijtihad hanya dapat dilakukan bila tidak ada nash; sedangkan selama Nabi masih
hidup, tidak mungkin nash itu sudah terhenti.

c. Sering terjadi Nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan
sahabatnya tentang sesuatu kasus. Dalam keadan demikian, Nabi menyuruh menunggu
sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat mem- berikan
jawaban dengan hasil ijtihadnya, tentu tidak perlu Nabi berlama-lama menunggu turun wahyu
untuk menjawabnya.

Ketiga, pendapat "jalan tengah" dari kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa Nabi dapat
saja berijtihad dalam masalah peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara'.
Kelompok ini menggunakan gabungan dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat
sebelumnya.

8
Bila diperhatikan ketiga pendapat tersebut beserta argumen masing-masing, kita cenderung
pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan Nabi itu dibimbing
wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan
menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari Nabi yang
sebagiannya dibimbing wahyu. Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka
hal itu muncul sebagai sunah Nabi yang wajib ditaati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi
adalah berdasarkan pada ijtihadnya.

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fiqh sudah mulai ada semenjak Nabi
masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan kesederhanaan kondisi masyarakat
Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh fiqh
Nabi dalam beberapa bidang hukum.6

Hukum Ajaran Tauhid

Dimasa Rasulullah ialah masa dimana masih menyusun peraturan-peraturan, untuk


menetapkan pokok-pokok akidah dan menyatukan ummat serta memperbaiki akhlakul
karimah ummat manusia yang masih jahil pada masa itu.
Masa ini para muslim kembali kepada Rasulullah sendiri untuk mengetahui dasar-
dasar agama dan hukum-hukum syari’ah. Mereka disinari oleh nur wahyu dan petunjuk-
petunjuk Al-Qur’an. Rasulullah menjauhkan para ummat dari segala hal yang menimbulkan
perpecahan dan perbedaan pendapat. Dan tidaklah di ragui oleh siapa lua pun bahwa
perdebatan dalam masalah akidah, adalah sebab utama perpecahan dan perbedaan pendapat
yang muncul didalam Islam itu sendiri.
Dizaman Rasul yang menjadi permasalahan pokok pada saat itu ialah
masalah qadar. Dan masalah ini menimbulkan banyak perselisihan pada masa itu hingga
ummat islam terpecah dan terbagi-bagi dalam beberapa kelompok partai.Ada yang menjadi
golongan Nasturiyah, ada yang menjadi golongan ya’qubiyah dan ada yang menjadi golongan
Milkaniyah.

Rasul melarang kita saling berbantah dalam masalah qadar. Suatau hari Nabi saw.
Menemui para sahabat yang sedang memperdebatkan tentang hal qadar. Maka itulah Nabi
saw berkata. “apakah dengan ini kamu diperintahkan? Apakah dengan ini Aku diutus? Aku
tugaskan dirimu supaya kamu jangan berbantah-bantahan pada qadar itu.”
Dari perkataan Nabi saw diatas memberitahu kepada kita bahwa islam melarang
ummatnya saling berbantah-bantahan tentang masalahqadar. Memang secara khusus dari
perkataan Nabi saw itu hanya ditujukan kepada sahabat yang sedang berdebat saat itu, tapi
perkataann itu mejadi sebuah aturan bagi ummat islam bahwa islam melarang perbantahan
sesama islam itu sendiri.

Yang melatar belakangi masalah berbantahan ini ialah, ummat islam pada saat itu
saling mempertahankan pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat yang mereka kutip dari
ahli-ahli kitab pada saat itu. Sehingga tidak dapat menyimpulkan titik temu diantara
pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran mereka itu, sehingga menimbulkan selisih
paham yang berujung pada sebuah perbantahan.
6
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1, Hal-11)

9
Untuk menyelesaikan perkara ini Nabi saw. menyuruh para sahabat agar bersifat
imbang terhadap pemikiran-pemikiran ahlu kitab, agar tidak membenarkan apa-apa yang
mereka beritakan dan tidak pula membantah mereka. Nabi saw. Bersabda:
“janganlah kamu membenarkan ahlul kitab dan janganlah kamu membantahnya. Dan
katakanlah : “kami telah beriman kepada Allah, kepada apa yang telah di turunkan kepada
kami dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu.” Tuhan kami dan tuhan kamu adalah
tuhan yang Esa, dan kami menyerah diri kepadanya.”
Dalam hadist Nabi saw tersebut mengandung arti agar kita bersipat netral terhadap
pendapat-pendapat ahlul kitab, guna untuk menghindari perselisihan yang kemungkinan besar
akan berhujung kepada sebuah perbantahan dan perpecahan didalam Islam. Apabila perlu
diadakan pertukaran pikiran, maka hendaklah dilakukan dengan cara yang paling baik dan
dengan sistem yang menghasilkan maksud. Dan Al-Quran menghadapkan akal kepada dalil-
dalil yang diperoleh dari alam sendiri, serta menghindari perdebatan yang menimbulkan
pertengkaran.

Hukum Ajaran Akhlak

Ajaran akhlak pada zaman Rasulullah sangat penting bagi umat Islam. Akhlak Nabi
Muhammad SAW adalah cerminan Al-Qur’an Rasulullah SAW pernah ditanya, "Perbuatan
apakah yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga?" Beliau menjawab,
"Bertakwa kepada Allah dan berbudi pekerti yang baik" (HR Tirmidzi).

Hal ini menunjukkan pentingnya akhlak mulia bagi seorang mukmin semata-mata
demi mendatangkan ridha dan cinta Allah SWT serta meraih cinta dari hamba Allah lainnya
di alam fana ini. Dalam konsep struktur ajaran Islam, akhlak menempati urutan kedua setelah
ajaran inti, yakni tauhid. Artinya, akhlak Islami seharusnya dijiwai oleh makna
laailaahaillallah. Sementara, syariah menempati urutan ketiga dari inti tauhid demikian.Oleh
karena itu,syariah dalam Islam harus dijiwai tauhid sekaligus akhlak.

Dengan demikian, perilaku umat Islam hendaknya sesuai syariat Islam, yang berintikan
akhlak dan berpusat pada tauhid. Dengan demikian, kita memandang manusia bukan hanya soal
jasmani, melainkan juga rohani manusia berasal dari pancaran cahaya Allah.

Diutusnya Rasulullah SAW ke muka bumi membawa risalah paling utama, yakni
innama bu'its tu li utamima makarimal akhlaq, yang intinya untuk perbaikan akhlak manusia.
Oleh karena itu, pengurus takmir masjid, khatib, mubaligh, dan dai sebagai pewaris ajaran Nabi
Muhammad SAW mengemban misi penting menerjemahkan akhlak sebagai perilaku sehari-
hari sebagaimana risalah kenabian. Peran itu sangat penting digembleng melalui masjid,
pesantren, dan perguruan Islam untuk melakukan gerakan perbaikan etika, akhlak, dan moral
guna menyelamatkan bangsa dari bahaya kehancuran.

Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata al- khuluq, atau al-khulq, yang secara
etimologis berarti (1)tabiat, budi pekerti, (2)kebiasaan atau adat, (3)keperwiraan, kesatriaan,
kejantanan, (4) agama, dan (5)kemarahan (al-gadab).

Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat di dalam jiwa, maka suatu
perbuatan baru disebut akhlak kalau memenuhi beberapa syarat. Pertama, perbuatan itu

10
dilakukan secara berulang-ulang. Bila dilakukan sesekali saja, tidak dapat disebut akhlak.
Kedua, perbuatan itu timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dulu sehingga
benar-benar telah menjadi suatu kebiasaan.

Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam sehingga setiap aspek dari
ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang
disebut akhlakul karimah. Hal ini antara lain tercantum dalam hadis Rasulullah SAW,
Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR Ahmad, Baihaki,
dan Malik). Pada riwayat lain Rasulullah SAW bersabda, Mukmin yang paling sempurna
imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya (HR Tirmizi).

Akhlak Nabi SAW disebut dengan akhlak Islam karena bersumber dari Alquran dan
Alquran datang dari Allah SWT. Karena itu, akhlak Islam berbeda dengan akhlak ciptaan
manusia (wad'iyah). Ayat Alquran paling sarat memuji Nabi Muhammad SAW adalah ayat
berbunyi, "Wa innaka la'ala khuluqin `azhim", yang artinya sesungguhnya engkau (hai
Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung.

Kata khuluqberarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan
khalqyang berarti ciptaan. Bedanya kalau kalau khalqlebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat
lahiriah dan fisikal, maka khuluqadalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.

Seorang sahabat pernah mengenang Nabi Muhammad SAW yang mulia dengan kalimat
kana rasulullah ahsanan nasi khalqan wa khuluqanbahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang
terbaik secara khalqdan khuluq. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW adalah manusia
sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun batiniah.

Kesempurnaan lahiriah beliau sering kita dengar dari riwayat para sahabat yang
melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah, misalnya, mendeskripsikan sifat-
sifat lahiriah beliau bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia yang sangat anggun,
yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama pada saat sempurnanya. Badannya tinggi
sedang.

Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan Alquran. Bahkan, beliau sendiri adalah
Alquran hidup yang hadir di tengah-tengah umat manusia. Membaca dan menghayati akhlak
beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan Alquran. Itulah mengapa Siti Aisyah
berkata akhlak Nabi adalah Alquran.7

Hukum Ajaran Ibadah


a. Shalat

7
Akhlak Rasulullah | Republika Online

11
Perintah melakukan shalat banyak sekali terdapat dalam Al- Qur'an dengan berbagai
cara dan berbagai bentuk. Tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan apa dan bagaimana
praktik shalat itu. Dalam keadaan begitu perintah shalat menurut apa adanya tidak mungkin
dilaksanakan. Nabi mengetahui maksud perintah Allah itu, karena itu Nabi menjelaskan
kepada umatnya dengan menggunakan sunah-Nya.
Nabi mengarahkan kata "shalat" itu kepada perbuatan tertentu dengan tindakan yang
berisi beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam
di hadapan para sahabatnya. Kemudian beliau berkata, "Inilah yang dengan shalat". Dalam
suatu hadis Nabi bersabda, dimaksud

‫َص ُلْو َك َم ا َر َأْيُتوِني ُأَص ِّل‬

“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku shalat.”

Penjelasan dengan ucapan muncul dalam hadis menurut riwayat tujuh perawi hadis dari Abu
Hurairah menurut lafaz Bukhari yang berbunyi:

‫ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى الَّص اَل ِة َفَأْس ِبَع اْلُو ُضوَء ُثَّم اْسَتْقِبِل اْلِقْبَلَة َفَك ِّبْر ُثَّم اْقَر ْأ َم ا َتَيَّس َر َم َع َك ِم َن‬
‫اْلُقْر آِن ُثَّم اَر َك ْع َح َّتى َتْطَم يَن َر اِكًم ا ُثَّم اْر َفْع َح َّتى تْعَتِدَل َقاِبما ُهَّم اْسُج ْد َح َّتى َتْطَم يَن‬
‫َس اِج ًدا ُهْم اْر َفْع َح َّتى َتْطَم يَن َج اِلًسا ُثَّم اْسُج ْد َح َّتى َتْطَم يَن َس اِج ًدا ُثَّم اْفَع ْل َذ ِلَك ِفي‬
‫َص اَل ِتُك ْم ُك ِلَها‬

Bila kamu akan melakukan shalat, berwudhu'lah; kemudian menghadaplah ke kiblat; maka
bertakbirlah; kemudian bacalah mana yang mudah di antara ayat-ayat Qur'an; kemudian
rukuklah sampai tenang; kemudian bangkitlah sampai lurus berdiri; kemudian sujudlah
sampai tenang, kemudian bangkitlah, sampai duduk dengan tenang, kemudian sujudlah
sampai tenang; kemudian lakukanlah yang demikian dalam seluruh shalatmu.8

Adapun mengenai waktu-waktu pelaksanaan shalat, muncul dalam beberapa ayat Al-Qur'an
pada tempat yang terpisah.

1. Surat ar-Rum (30): 17:

)۱۷ :‫َفُسْبَح اَن ِهللا ِح يَن ُتْم ُسوَن َو ِح يَن ُتْص ِبُحوَن (الروم‬
“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu
berada di waktu subuh.”

8
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1, Hal-12)

12
2. Surat al-Isra (17): 78:

)۷۸ : ‫َأِقِم الَّص اَل َة ِلُد ُلوِك الَّش ْم ِس ِإَلى َغ َس ق (اإلسراء‬


“Dirikanlah shalat dan sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”

3. Surat Hud (11): 114:

)١١٤ :‫َو َأِقِم الَّصالَة َطَرِفي الَّنَهاِر َو ُزَلها ِم َن الَّلْيِل (هود‬


“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian
permulaan daripada malam.”

4. Surat al-Baqarah (2): 238:

) ۲۳۸ :‫َح اِفُظوا َع َلى الَّص َلَو اِت َو الَّص اَل ِة اْلُو ْس َطى (البقرة‬
“Peliharalah segala shalat(mu) dan peliharalah shalat tengah hari.”
Dari keterangan ayat-ayat yang terpisah itu Nabi menyimpulkan bahwa shalat itu
dilakukan dalam 5 kali sehari semalam yang waktunya terpisah, yaitu: zuhur, ashar, maghrib,
isya dan subuh.9

b. Zakat
Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam Al-Qur'an dengan
berbagai cara dan bentuk yang sebagian besar di antaranya dirangkaikan dengan perintah
shalat. Menurut pemahaman lughawii, zakat itu berarti membersihkan, tumbuh, berkah dan
pujian. Kemudian Nabi mengarahkan penggunaan kata "zakat" itu untuk "pemberian tertentu
dari harta tertentu, menurut cara tertentu".
Bentuk perintah zakat dapat dilihat dalam contoh ayat di bawah ini:

)١٠٣ :‫ُخ ْذ ِم ْن َأْم َو اِلِهْم َص َد َقٌة ُتَطَهُر ُهْم َو ُتَز ِّك يِهْم َها (التوبة‬
Ambillah zakat dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikannya! (QS. at-Taubah/9: 103)

)٧-٦ ‫َو َو ْيٌل ِلْلُم ْش ِرِكْيَن اَّلِذ ْيَن اَل ُيْؤ ُتوَن الَّز َك اَة (فصلت‬
Neraka wail bagi orang-orang musyrik yang tidak membayarkan zakat. (QS. Fussilat/41: 6-7)
9
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1, Hal-13)

13
)١٤١ :‫ُك ُلوا ِم ْن َثَم ِرِه ِإَذ ا َأْثَم َر َو آُتوا َح َّقُه َيْو َم َحَص اِدِه (األنعام‬
Makanlah dari buahnya (yang bermacam itu) bila dia berbuah; dan berikanlah haknya (zakat)
pada waktu panen. (QS. al- An'am/6: 141)

Tentang apa yang dizakatkan, oleh siapa, berapa besar dan bagaimana caranya, tidak
dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an. Karena itu Nabi harus menggunakan nalarnya untuk
mengetahui maksud Allah dengan berpedoman kepada ayat-ayat yang sudah ada, kemudian
menjelaskannya kepada umat dengan sunah-Nya.10

C. Puasa
Perintah Allah yang menyuruh melakukan puasa banyak terdapat dalam Al-Qur'an
yang kadang-kadang beriringan dengan kewajiban shalat dan zakat. Kewajiban puasa secara
terpisah muncul dalam Firman Allah, surat al-Baqarah (2): 183-185:

183. ‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى اَّلِذ ْيَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُقْو َۙن‬
184. ‫َاَّياًم ا َّم ْعُد ْو ٰد ٍۗت َفَم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َّم ِر ْيًض ا َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِّم ْن َاَّياٍم ُاَخ َر ۗ َو َع َلى اَّلِذ ْيَن‬
‫ُيِط ْيُقْو َنٗه ِفْد َيٌة َطَع اُم ِم ْس ِكْيٍۗن َفَم ْن َتَطَّوَع َخْيًرا َفُهَو َخْيٌر َّلٗه ۗ َو َاْن َتُصْو ُم ْو ا َخْيٌر َّلُك ْم ِاْن ُكْنُتْم‬
‫َتْع َلُم ْو َن‬
185. ‫َش ْهُر َر َم َض اَن اَّلِذ ْٓي ُاْنِز َل ِفْيِه اْلُقْر ٰا ُن ُهًدى ِّللَّناِس َو َبِّيٰن ٍت ِّم َن اْلُهٰد ى َو اْلُفْر َقاِۚن َفَم ْن َش ِهَد‬
‫ِم ْنُك ُم الَّش ْهَر َفْلَيُص ْم ُهۗ َو َم ْن َك اَن َم ِر ْيًض ا َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِّم ْن َاَّياٍم ُاَخ َر ۗ ُيِر ْيُد ُهّٰللا ِبُك ُم اْلُيْس َر‬
‫َو اَل ُيِر ْيُد ِبُك ُم اْلُعْس َر ۖ َو ِلُتْك ِم ُلوا اْلِع َّدَة َو ِلُتَك ِّبُروا َهّٰللا َع ٰل ى َم ا َهٰد ىُك ْم َو َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرْو َن‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari
yang tertentu. Siapa yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, boleh ia
berbuka dan untuk itu ia harus menggantinya di hari-hari lain. Untuk orang yang sudah uzur
dan tidak mampu berpuasa, maka ia harus membayar fidiah dalam bentuk memberi makan
orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan
Ramadhan yang diturunkan padanya Al-Qur'an menjadi petunjuk bagi manusia dan
merupakan bukti petunjuk Tuban dan sebagai furqan (pemisah antara yang benar dan salah).
Siapa di antaramu yang telah menyaksikan masuknya bulan Ramadhan itu hendaklah ia
berpuasa. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan dan tidak melakukan puasa, hendaklah ia
melakukan di hari-hari lain. Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki
kesulitan. Hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa itu dan hendaklah kamu bertakbir
kepada Allah atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu; mudah-mudahan kamu
bersyukur.11

10
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1, Hal-17)
11
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,Jilid 1 (Bab 1, Hal-21)

14
PERIODE KEDUA
Masa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l
H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang
menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan
untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu
dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyara'at tidak
ditemukan di dalam Al-Qur'an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah
luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena
perbedaan budaya di masing-masing daerah. Dalam keadaan seperti ini, para sahabat
berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut
dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan
memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak
memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-
prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini
masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori.
Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat
kepada kasus lain secara teoretis.

PERIODE KETIGA
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal
pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para
sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-
masing sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk
setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud
(Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu
Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah.
Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan
keadaan masyara'at setempat. Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-
masing yang dikenal dengan para thabi'in. Para thabi'in yang terkenal itu adalah Sa'id bin
Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, ibrahiman-
Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasanal al-Basri (21H/642M-110H/728M) di Basra12

Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah
dalam fiqh Islam Madrasah alhadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu. Madrasah al-
hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah alHijaz dan Madrasah al-Madinah;
sedangkan Madrasah ar-ra'yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-
Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-
Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-
hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan
pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-
Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam
berijtihad.

12
Education Journal:Penelitian Ibnu Rusyd Kotabumi,2023.Vol 1(1,Hal-5)

15
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada
mereka terbatas, sedangkan kasuskasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam,
baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-
Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya
homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara'at yang relatif majemuk. Oleh
sebab itu, menurut Mustafa Ahmad azZarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak
menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan
pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh
sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian
mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis)dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi salah
satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah
dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas
persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah
fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa
datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra'yu (ar-ra'yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada
Al-Qur'an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama
Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra'yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak
muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama'ah
(imam yang empat).13

PERIODE KEEMPAT
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai
periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah
muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab
Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan
Madrasah ar-ra'yusemakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra'yu
dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar
fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena
ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan asySyaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal
sebagai Ahlurra'yu (Ahlulhadits dan Ahlurra'yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam
Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa'(buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi'i,
salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy Syaibani.
Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurra'yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan
mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad
Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi ra'yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik
temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fiqih pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai
menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah
Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di
13
Education Journal:Penelitian Ibnu Rusyd Kotabumi,2023.Vol 1(1,Hal-6)

16
pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab,
dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun
oleh Imam asy-Syafi'i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî
semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan
aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Oleh sebab itu, hukum
untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.14

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu
ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab
"Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui
14
Education Journal:Penelitian Ibnu Rusyd Kotabumi,2023.Vol 1(1,Hal.6-7)

17
proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Dalam pembicaraan dan
pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung
berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu
hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut,
pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan
menyimpan dari kaidahnya. Sejarah pembentukan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW
sampai zaman modern. Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh)
Islam, di kalangan ulama fiqIih kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya
yang terkenal adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen
Universitas Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas
Amman, Yordania).Periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad
Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at Tasyri' al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum
Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu:
1. Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2. Periode para sahabat besar;
3. Periode sahabat kecil dan thabi'in;
4. Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H

3.2 Saran
Makalah Ini jauh dari kata sempurna, Masih jauh dari kata sempurna, masih ada
kekurangan dari segi bahasa, tata penulisan, maupun beberapa dasar pendapat yang belum
tercantum karena terbatasnya kesempatan dan waktu dari penulis. Itu semua adalah
kekurangan penulis sebagai manusia biasa.
Maka,Untuk keperluan penulisan makalah yang akan datang, segala kekurangan yang
ada di makalah ini agar bisa terpenuhi dan menjadi makalah yang baik dan berlandasan teori
yang kuat. Makalah ini akan tetap menjadi sekedar tulisan ketika pembaca belum bisa
mengamalkan dan meneruskan pesan-pesan yang terkandung dalam makalah ini

18
DAFTAR PUSTAKA

Anita, D. (2023, Februari). Penelitian Iibnu Rusyd. Education Jurnal, 10. Dipetik januari 22, 2022

Syarifuddin, P. D. (2011). USHUL FIQH,Jilid 1 (1 ed., Vol. 1). Jakarta , DKI Jakarta, Indonesia: Kencana.

Drs. Helmi Rustandi, M.Ag. Materi Pembelajaran Tentang Sejarah Perkembangan Fiqh Islam
:Jakarta 2023.

19

Anda mungkin juga menyukai