Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH USUL FIQIH

Tentang
PENGERTIAN USUL FIQIH DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN USUL FIQIH
Dosen Pengampu:
M.syekh ikhsan Saifudin ,M.H

Disusun Oleh:

1. Indah fatmawati
2. Ida nur Farida
3. Mujianto
4. Dhaifullah El Shirazzy Avrianto
5.Yulian Tasma
6.Evi Nugraini
7.Farkholid Ahmad Syafii

UNIVERSITAS ISLAM AN-NUR LAMPUNG


TAHUN AJARAN 2023/2024 M
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa yang telah menciptakan kita dan memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga penyusunan tugas ini dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi besar kita,
Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus dengan
agama yang benar dan sempurna, yaitu agama Islam.
Pada kesempatan kali ini, kami menyusun makalah untuk diajukan sebagai
tugas terstruktur mata kuliah Usul Fiqih dengan judul “Pengertian Usul Fiqih Dan
Sejarah Perkembangan Usul Fiqih” yang menjelaskan sedikit tentang proses
turunnya wahyu Al-Quran.
Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak M.syekh ikhsan
Saifudin,M.Hselaku dosen mata kuliah Usul Fiqih yang telah membimbing kami
dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah tugas ini disusun. Semoga bermanfaat bagi kita semua, dan
bagi kami khususnya selaku penyusun makalah. Menyadari makalah ini jauh dari
kesempurnaan, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari ibu
dosen agar kami bisa menjadi lebih baik untuk ke depannya. Amiin.

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan..............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A.Pengertian fiqh dan usul fiqh............................................................................3
B.Sejarah Perkembangan Fiqh Dan Usul Fiqh.....................................................5
BAB III PENUTUP..............................................................................................14
A. Kesimpulan....................................................................................................14
B. Saran..............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Fiqh yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Hadist Nabi,
ternyata mampu bertahan dan terus mengetahui kehidupan muslim, baik individu
maupun kelompok. Ushul fiqh juga merupakan suatu ilmu yang berisikan tentang
kaidah yang menjelaskan cara-cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya.
Bahasan tentang kaidah-kaidah kebahasaan ini penting mengingat kedua hukum
Islam, yaitu Al-Qur’an dan sunnah berbahasa arab, untuk membimbing mujtahid
dalam memahami al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam menetapkan
hukum tentu perlu mengetahui tentang lafal dan ungkapan yang terdapat pada
keduanya.

Fiqh telah lahir sejak periode sahabat, yaitu sesudah Nabi saw wafat, sejak
saat itu sudah digunakan para sahabat dalam melahirkan fiqh, meskipun ilmu
tersebut belum dinamakan ushul fiqh. Perkembangan terakhir dalam penyusunan
buku Ushul Fiqh lebih banyak menggabungkan kedua sistem yang dipakai dalam
menyusun ushul fiqh, yaitu aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah.

Keadaan seperti ini terus berlangsung dan akan terus pula diberikan
jawabannya oleh ilmu fiqh terhadap problem yang muncul sebagai akibat dari
perubahan sosial yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
kehidupan umat islam, perkembangan lembaga tidak hanya terjadi sebagai
aplikasi ajaran islam, tetapi juga timbul hanya sebagai interaksi umat islam
dengan kebudayaan lain. Karena didalam kehidupan bersama diperlukan pranata
yang dapat memelihara ketertiban dan ketentraman, termasuk pranata hukumnya.

Dalam sebuah penetapan sebuah hukum yang akan diberlakukan secara


umum, perlu diketahui dan juga menjadi sangan urgent untuk dapat memahami
apa saja unsur-unsur yang harus ada dalam penentuan tersebut. sebut saja salah
satunya adalah hukum itu sendiri, pada umumnya setiap orang pasti mengetahui
adanya hukum. Akan tetapi tidak menjamin mereka memahami apa makna
sesungguhnya dari hukum tersebut.

1
Selain itu masih banyak sekali komponen-komponen yang harus ada
dalam penentuan sebuah hukum, khususnya hukum syara’ diantaranya adalah
hukum, al-hakim, mahkum fiihi dan mahkum alaihi, serta apa saja dalil-dalil yang
dapat dipergunakan.
Oleh karena itu diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu
untuk dapat memahami komponen-komponen hukum syara’ beserta dalil-dalilnya
secara lebih ringkas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas di


makalah ini adalah:

1. Apa pengertian usul fiqih?


2. Bagaimana sejarah perkembangan usul fiqih?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan makalah ini adalah:

1. Agar mengetahui pengertian usul fiqih


2. Agar mengetahui sejarah perkembangan usul fiqih

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian fiqh dan usul fiqh


a. Pengertian Fiqh
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah,
karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah 1.
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan
membutuhkan pengerahan potensi akal2. Sedangkan secara terminologi
fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan
tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan
manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil
dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I
yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil
yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan
bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu
sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang
terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya
menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan
demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah
keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam
uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti
bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan
penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil penemuan
mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh
dan syariah memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di
dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada
kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu
1
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1
2
Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu ushul fiqh. Hal. 18

3
sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang
disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang
amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang
syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi
dan situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam
ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci tentang amaliah
manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil
pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.3

b. Pengertian Usul Fiqh


Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara
etimologi berarti “sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh itu adalahilmu yang
membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dlilnya yang
terinci. Atau dalam artian sederhana : kaidah-kaidah yang
menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-
dalilnya.4 Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh terdapat ungkapan
bahwa “mengerjakan salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya
mengerjakan salat itulah yang disebut “hukum syara’.” Tidak pernah
tersebut dalam Al-Qur;an maupun hadis bahwa salat itu hukumnya
wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan salat. Ayat Al-
Qur’an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil
syara’”. Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil
syara’ ada aturan yang harus menjadi pegangan. Kaidah dalam
menentukannya, umpamanya “setiap perintah itu menunjukkan wajib”.
Pengetahuan tentang kaidah merumuskan cara mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut dengan ‘Ilmu Ushul
Fiqh”. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul
fiqh dan fiqh adalah, jika ushul fiqh itu pedoman yang membatasi dan
menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam

3
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 5
4
Ibid. hal. 41

4
usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya.
Sedangkan fiqh itu hukum-hukum syara’ yang telah digali dan
dirumuskan dari dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.5

B. Sejarah Perkembangan Fiqh Dan Usul Fiqh

a. Sejarah Fiqh
Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqih kepada
beberapa periode yaitu :
1. Periode pertumbuhan
Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan
yang dibagi kepada 2 masa: 6
Pertama, ketika nabi masih ada di mekkah melakukan
dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan memberi
penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti dengan dakwah
terbuka. Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan sedikit
ayat ayat hukum yang di turunkan.
Kedua, sejak nabi hijrah ke Madinah (16 juli 622m). pada
masa ini terbentuklah Negara islam yang dengan sendirinya
memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur system
masyarakat islam madinah. Sejak masa ini berangsur angsur ayat
yang berisi hukum turun, baik karena suatu peristiwa
kemasyarakatan ataupun adanya pertanyaan pertanyaan yang
diajukan oleh masyarakat, atau wahyu yang di turunkan tanpa
sebab. Pada masa ini fiqih lebih bersifat praktis dan realis, artinya
kaum muslimin mencari hukum dari peristiwa yang betul betul
terjadi.

2. Periode sahabat
Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak nabi wafat)
sampai abad pertama hijriyah (kurang lebih 101 H)

5
Ibid.. Hal. 42
6
Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 14

5
Pada periode ini kaum muslimin telah memiliki rujukan
hukum syariat yang sempurna berupa Al Quran dan Hadist rasul.
Tetapi tidak semua orang memahami materi atau kaidah hukum
yang terdapat pada kedua sumber tersebut.
Karena : 7
 Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama
maupun karena masa atau pergaulan mereka yang tidak begitu
dekat dengan nabi.
 Karena belum tersebar luasnya materi atau teori teori hukum di
kalangan kaum muslimin akibat perluasan daerah.
 Banyaknya peristiwa baru yang belum pernah terjadi pada
masa Rasulullah saw yang ketentuan hukum nya tidak di
temukan dalam nash syariat.
Oleh sebab inilah sumber hukum pada masa sahabat ini
bertambah dengan ijtihad sahabat untuk menentukan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al Quran dan
Hadist.
Dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan perbedaan
pendapat di kalangan sahabat karena : 8
 Kebanyakan ayat Al Quran dan Hadist bersifat zhanny dari
sudut pengertiannya.
 Belum termodofikasinya hadis nabi yang dapat dipedomani
secara utuh dan menyeluruh.
 Lingkungan dan kondisi daerah yang dialami, persoalan yang
di alami dan di hadapi sahabat itu berbeda beda.

3. Periode Kesempurnaan
Perode ini disebut juga sebagai periode pembinaan dan
pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami
kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum
islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadist-
7
Ibid. hal. 15
8
Ibid. hal. 16

6
hadist nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al Quran,
kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul
fiqih.
Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan
ijtihad pada masa ini adalah karena meluasnya daerah kekuasaaan
islam, mulai dari perbatasan Tiongkok di sebelah timur sampai ke
Andalusia(spanyol) sebelah barat.
Kondisi ini yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir
besar dengan berbagai karya besarnya9, seperti Imam Abu Hanifiah
dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu
Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik
dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafi’i dengan kitabnya al-Umm
atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan
beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya
masing-masing.
Diantara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya
perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan
umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut: 10
 Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap
ilmu fiqh khususnya.
 Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-
diskusi ilmiah diantara para ulama.
 Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-
Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada
abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (wafat 68H) dan
muridnya Mujahid(wafat 104H) dan kitab-kitab lainnya.

4. Periode Kemunduran
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai
konflik politik dan berbagai faktor sosiologis lainnya dalam
9
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6
10
Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 18

7
keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari kekuasaanya.
Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya
untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan
oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan. Periode
Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu
ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang
mengakji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Al-Qur’an dan
hadist. Mereka puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat
yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke
dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian
mengantarakan umat islam terperangkap kedalam pkikiran yang
jumud dan statis.11

Beberapa faktor yang mendorong lahirnya sikap taklid dan


kemuduran adalah : 12
 Efek samping dari pembukuan fiqih pada masa sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang di tulis oleh
ulama-ulama sebelumya, baik itu persoalan yang benar-benar
telah terjadi atau yang diprediksikan akan terjadi memudahkan
umat islam pada masa ini untuk merujuk semua persoalan
hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu. Ketergantungan
seperti ini mematikan kreativitas, menumbuhkan sifat malas
dan hanya mencari yang mudah-mudah.
 Fanatisme mahab yang sempit
Setiap golongan pada masa ini sibuk mencari dalil
untuk menguatkan mazhabnya saja, berupaya menangkis setiap
serangan yang datang dari pihak lain dan berupaya membahas
serangan tersebut dengan kelemahan tersendiri. Akibatnya ,
mereka tenggelam dalam suasana chauvinisme yang tinggi,

11
Ibid. hal. 21
12
Ibid. hal. 23

8
jauh dari sikap rasionalits ilmiah dn berpaling dari sumber
hukum islam yang sebenarnya yaitu Al Quran dan Hiadist.
 Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Pada masa ini para penguasa mengangkat para hakim
dari orang-orang yang bertaklid, bukan para ulama mujtahid
seperti yang diangkat oleh penguasa-penguasa terdahulu.
Sehingga kehidupan taklid pada masa ini semakin subur.

5. Periode Kebangkitan kembali


Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan
kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli
sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul
ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M.
Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya
mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru
yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para
raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana
meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari
sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam
islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, sosial, dan
gerakan intelektual lainnya.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap
perkembangan fiqih. Banyak di antara pembaharuan itu juga
adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu
sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan
kembali kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para
ulamadi masa sahabat dan tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut
golongan salaf seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi Arabia,
Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-
Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan
lain sebagainya.13

13
Ibid. hal. 24

9
b. Sejarah Usul Fiqh
Secara garis besar perkembangan Ushul Fiqh melalui 3 periode
yaitu:
1. Zaman Rasulullah
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya
dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi,
Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum
kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW
menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh
permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul.
Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu
Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa
sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan
keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal
sewaktu beliau diutus oleh Rasul .14 Sebelum berangkat, Nabi
bertanya kepada Muadz:

‫َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َبَع َث ُمَع اًذ ا ِإَلى اْلَيَمِن َفَقاَل َكْيَف َتْقِض ي َفَقاَل َأْقِض ي ِبَم ا‬
‫ِفي ِكَتاِب ِهَّللا َقاَل َفِإْن َلْم َيُك ْن ِفي ِكَتاِب ِهَّللا َقاَل َفِبُس َّنِة َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َفِإْن‬
‫َلْم َيُك ْن ِفي ُس َّنِة َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َأْج َتِهُد َر ْأِيي َقاَل اْلَحْم ُد ِهَّلِل اَّلِذ ي َو َّفَق‬
‫َر ُسوَل َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلم‬

“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Mu’adz ke


Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal:
Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab:
akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi
bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?, ia
jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi

14
Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal.29

10
bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah
Rasul?, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku,
maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi).

Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa


sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi
nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika
terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka
pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,
kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut
tidak ditemukan maka dapat berijtihad.15

Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam


hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh
seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-
sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar
atau salah.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga


menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat.
Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang
batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. 16
Rasulullah SAW bersabda :

“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa,


apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak
batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan
puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).

Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa


Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan
hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang

15
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.11
16
Ibid. hal.11

11
yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak
batalnya puasa karena berkumur-kumur.17

2. Zaman sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar
dalam pembentukan hukum islam adalah para sahabat nabi.
Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 50
H. Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para
sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk
memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan
fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki
kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar
bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan
Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai
pada masa Rasulullah sendiri. Pada era sahabat ini digunakan
beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma
sahabat dan maslahat mursalah.18
Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan
musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan
hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli
dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya
diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan
kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat,
yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh
Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang
paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu),
yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk
mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk
menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa

17
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 330
18
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal 110

12
Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru
contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya
disamakan.

3. Zaman tabi’in
Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan
perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan
jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut,
bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain,
tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu
daerah. Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk
menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang
bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan
hukum dalam berijtihad.19

19
Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.32

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fiqh merupakan ilmu hukum syar’I yang praktis, berkaitan erat dengan
syariah Islam, dan digali melalui pemahaman mendalam serta analisis
mujtahid terhadap dalil-dalil tafsili. Selain itu, Fiqh memusatkan perhatian
pada hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah, yang diambil dari kitab-Nya,
yaitu syari’ah Islam. Seiring dengan itu, Usul Fiqh menjadi pedoman dalam
merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci, dengan melibatkan
kaidah-kaidah yang menjelaskan cara mengeluarkan hukum-hukum tersebut.
Perbedaan antara Fiqh dan Usul Fiqh terletak pada fokusnya; Fiqh menangani
hukum-hukum syar’I yang sudah dirumuskan, sementara Usul Fiqh lebih
berperan sebagai panduan dan metode merumuskan hukum dari dalil-dalil
syara’.
Sejarah perkembangan Fiqh dan Usul Fiqh terbagi menjadi beberapa
periode, mulai dari pertumbuhan, peran sahabat dalam menentukan hukum
Islam, kemudian periode kesempurnaan dengan intensifikasi pembukuan
hukum, disusul kemunduran akibat konflik politik, dan akhirnya periode
kebangkitan kembali dengan adanya gerakan pembaharuan. Pada masa
Rasulullah, sumber hukum Islam terdiri dari Al-Quran dan Assunnah, dengan
penerapan ijtihad dan qiyas. Zaman sahabat menandai kemunculan ijma
sahabat dan penggunaan ra’yu (nalar) dalam menjawab kasus-kasus baru.
Sementara itu, zaman tabi’in menghadirkan perdebatan dan pembentukan
kaidah-kaidah syari’ah untuk menetapkan hukum dalam berijtihad. Dengan
demikian, pemahaman mendalam tentang Fiqh dan Usul Fiqh serta perjalanan
sejarahnya memberikan landasan yang kuat dalam menerapkan hukum syar’I
Islam.

B. Saran
Disarankan agar pembaca aktif menggali pemahaman mendalam tentang
prinsip-prinsip hukum syar’I Islam. Dengan memahami Fiqh, pembaca dapat
menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan syari’ah, baik dalam
beribadah maupun tindakan lahiriah. Selain itu, penerapan Usul Fiqh dalam

14
pemikiran dan pengambilan keputusan akan memberikan landasan yang kuat
dalam menghadapi permasalahan yang kompleks dan kontemporer. Penting juga
untuk membangun keterampilan berijtihad yang bijaksana dan rasional, serta
mengedepankan semangat pembaharuan dalam memahami dan menegakkan
hukum Islam, sejalan dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, pembaca dapat
menjalani kehidupan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syar’I, memperkaya
spiritualitas, dan memberikan kontribusi positif dalam masyarakat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Aliddin Koto. 2004 Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Cet 3.

Dedi rohayana. 2006. Ilmu Ushul fiqih Pekalongan: STAIN Press.

Rachmat Syafe’I. 2015. Ilmu ushul fiqh. Pustaka Setia. Cet 5.

Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek. 2007. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka


Amani.

Zen Amiruddin. 2006. Ushul Fiqih. Surabaya: eL-Kaf. Cet 1.

16

Anda mungkin juga menyukai