Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TAKHRIJ HADIST

DI
S
U
S
U
N
OLEH: KELOMPOK 8
MUTIA SAUMA
NADIA MUNAWWARAH

PRODI : HUKUM EKONOMI SYARI’AH

PEMBIMBING : MUHAMMAD FAZIL, M.Ag

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH


AL-HILAL SIGLI
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak
memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta salam semoga
tetap tercurahkan kepada junjungan kita, pemimpin akhir jaman yang sangat dipanuti oleh
pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah yang berjudul “Takhrij Hadist” ini sengaja dibahas karena sangat penting
untuk kita yang tinggal di jaman yang sangat maju ini untuk bisa membandingkan.
Selanjutnya, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada Bapak Muhammad Fazil, M.Ag selaku
Dosen mata kuliah untuk memberikan kritikan dan sarannya kepada kelompok kami agar
dalam penyusunan makalah ini lebih baik.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun umumnya
kepada semua pihak yang membaca makalah ini.

Sigli, 01 Oktober 2022


penyusun

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang...................................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Takhrij Hadist..................................................................................... 2
B.  Pentingnya Kegiatan Takhrij Hadist...................................................................... 3
C. Metode Takhrij Hadist...........................................................................................5

BAB III PENUTUP


A.  Kesimpulan........................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai sumber ajaran Agama setelah al-Quran, hadis memiliki kedudukan
yang sangat penting dalam Islam. Namun hadis tidak mendapat penjagaan dari Allah
secara langsung,tidak seperti al-Qur’an. Hal ini menyebabkan hadis banyak
diperdebatkan seputar keotentikannya,pasalnya banyak hadis-hadis palsu
bermunculan sejak masa awal Islam.Secara garis besar terdapat dua kajian pokok
dalam pembahasan ilmu hadis, yaitu: Persoalan otoritas hadis sebagai hujjah dalam
syari’at agama Islam dan kajian otentitasatau kualitas hadis (shahih atau tidaknya
hadis).
Sadar akan pentingnya hadis dalam Islam, ulamatelah melakukan
penyeleksian hadis dengan intensif. Tidak hanya itu, mereka juga merumuskan
pedoman-pedoman dalam menyeleksi hadis.Rumusan itu kemudian dikenal sebagai
’Ulumul Hadis (ilmu-ilmu hadis) yang digunakan para pengkaji hadis untuk
menentukan hadis yang sangat otentik dari Rasulullah (shahih) dan hadis yang lemah
(da’if) ataupun yang tidak valid sama sekali (maudhu’).
Takhrij hadis adalah salah satu perangkat ilmu hadis yang berfungsi sebagai
jembatan antara peneliti hadis dan sumber asli suatu hadis, sehingga dapat
menemukan hadis dalam berbagai redaksi dan sanad-sanadnya. Hanya dengan
redaksi (matan) hadis yang lengkap dan sanad dari berbagai jalur seorang peneliti
hadis dapat menyeleksi kualitas suatu hadis. Makalah ini merangkum pengertian dan
beberapa metode takhrij yang sering digunakan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian takhrij hadits?
2. Apa tujuan dan manfaat takhrij al-hadis?
3. Bagaimana metode takhrij manual?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhrij Hadits


Definisi at-takhrij ditinjau dari segi kedudukan bahasa, adalah bentuk
mashdardari kata“‫ تخريجا‬،‫ يخ ّرج‬،‫”خ ّرج‬dimana mempunyai dua makna dasar, yaitu (‫النّفاذ‬
‫ )عن الشّيء‬yang artinya menembus sesuatu dan (‫)إختالف لونين‬yang artinya perbedaan
dua warna1,Dalam kitab Ushul at-takhrij wa Dirasat al-Asanid kata at-takhrij
berdasarkan pengertianasal bahasanya ialah berkumpulnya dua hal yang berlawanan
pada satu tempat. Kata at-takhrij sendiri sering dimutlakkan pada beberapa macam
pengertian, seperti: (‫ )االستنباط‬mengeluarkan, (‫)التدريب‬melatih, (‫)التوجيه‬menghadapkan.2
Menurut istilah yang sering dikemukakan oleh ulama hadis, kata at-takhrij
mempunyai beberapa arti, yang pertama: Mengemukakan hadis kepada orang
banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah
menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh. Yang
kedua: Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh
para guru hadis, atau berbagai kitab, yang susunannya dikemukakan berdasarkan
riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan
menerangkan siapa periwayatnya dari penyusun dari para penyusun kitab atau karya
tulis yang dijadikan sumber pengambilan. Yang ketiga: Menunjukkan asal usul hadis
dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun
oleh para mukhorrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai
penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan). Yang keempat: Mengemukakan
hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab kitab hadis, yang
didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing masing serta
diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya. Yang kelima:
Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni
berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan
sanadnya masing masing.3

1 Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lugha, (Beirut: Daar al-Jail, 1411 H/1991 M), Jilid 2, h. 175
2 Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-
Maa’rif, 1991), h. 9
3M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), Cet
II, hal. 40

2
B. Pentingnya Tujuan Takhrij al-Hadis
Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu
kemestian bagi setiap Ilmuan yang berkecimpung dibidang ilmu-ilmu kesyariahan,
khususnya yang menekuni bidang Hadis dan ilmu Hadis. Dengan mempelajari
kaidah-kaidah dan metode Takhrij. Kebutuhan untuk men-Takhrij Hadis sangat
dirasakan ketika menyadari bahwa sebagian para penyusun kitab-kitab dalam bidang
Fikih, Tafsir, dan sejarah yang memuat Hadis-Hadis, namun tidak memuat Hadis-
Hadis tersebut secara sempurna; mereka kadang hanya meringkas Hadis-Hadis
tersebut pada bagian-bagian yang mereka perlukan saja, atau pada saat tertentu
mereka menuliskan lafal Hadisnya dan pada saat yang lain maknanya saja, bahkan
kadang ada yang menuliskan lafal Hadisnya namun tanpa menyebutkannya sebagai
hadis, karena telah masyhur.
Pentingnya Takhrij Hadis merupakan tujuan dilakukannya Takhrij Hadis.
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan Takhrij Hadis, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui asal usul riwayat Hadis yang akan diteliti.
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat Hadis yang akan diteliti.
3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau mutabi’ pada sanad
yang diteliti.
4. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para ulama tentang keshahihan
suatu Hadis.
5. Agar dapat menetapkan muttasil kepada Hadis yang diriwayatkan dengan
menggunakan ‘adawat al tahammul wal ada’
6. Agar dapat memastikan identitas para perawi, baik yang berkaitan
dengan kuniyah, laqob atau nasab dengan nama yang jelas.4
Sementara untuk manfaat Takhrij al-Hadis adalah :
1. Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dari suatu hadis
beserta ulama yang meriwayatkannya.
2. Menambah perbendaharaan sanad Hadis melalui kitab-kitab yang
ditunjuknya.

4. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h. 157-158

3
3. Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah
Munqathi’, Mu’dhal, atau lainnya.
4. Memperjelas hukum Hadis dengan banyak riwayatnya, seperti Hadis
dha’if melalui satu riwayat, maka dengan Takhrij kemungkinan akan
didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status Hadis tersebut kepada
derajat yang lebih tinggi.
5. Mengetahui pendapat-pendapat para Ulama sekitar hukum Hadis.
6. Memperjelas perawi Hadis yang samar, karena dengan adanya Takhrij
dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
7. Memperjelas perawi Hadis yang tidak diketahui namanya melalui
perbandingan diantara sanad-sanad.
8. Dapat menafikan pemakaian “an” dalam periwayatan Hadis oleh seorang
perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai
kata yang jelas kebersambungan sanad-nya, maka periwayatan yang
memakai “an” tadi akan tampak pula kebersambungan sanad-nya.
9. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin
saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya
sanad yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
11. Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu
sanad.
12. Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam sanad.
13. Dapat menghilangkan syadz yang terdadpat pada suatu Hadis melalui
perbandingan riwayat.
14. Dapat membedakan Hadis yang Mudraj dari yang lainnya.
15. Dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh
seorang perawi.
16. Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seoran
perawi.
17. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan
lafal dan yang dilakukan dengan makna saja.
18. Dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya Hadis.

4
19. Dapat  menjelaskan sebab-sebab timbulnya Hadis melalui perbandingan
sanad-sanad yang ada.
20. Dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui
perbandingan-perbandingan sanad yang ada.  

C. Metode Takhrij Manual


Kegiatan penelusuran sebuah Hadis tidaklah semudah yang kita bayangkan,
karena membutuhkan seperangkat kemampuan yang komprehensip terhadap sebuah
Hadis, sebagaimana yang diungkapkan oleh Syuhudi, bahwa kegiatan Takhrîj al-
Hadîs kepada sumber aslinya, tidaklah semudah, penelusuran ayat Alquran.
Penelusuran terhadap ayat Alquran cukup dipergunakan sebuah kitab kamus
Alquran, misalnya al-Mu’jam Mufahras Li alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, sedangkan
penelusuran terhadap Hadis Nabi terhimpun dalam banyak kitab dengan metode
penyusunan yang beragam.5 Dengan dimuatnya Hadis Nabi dalam berbagai kitab
Hadis, maka sampai saat ini, belum ada sebuah kamus yang mampu memberi
petunjuk untuk mencari Hadis yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada, tetapi
terbatas pada sejumlah Hadis saja, namun tidaklah berarti Hadis Nabi yang termuat
dalam berbagai kitab tidak dapat ditelusuri, untuk keperluan itu, lebih lanjut para
ulama Hadis telah menyusun kitab-kitab kamus dengan metode yang beragam.
 Adapun cara penggunaan metode tersebut adalah sebagai berikut:
1. Metode Takhrîj Melalui Lafal Pertama Dari Matan Hadis
Penelusuran hadis melalui metode ini dilakukan terhadap awal kata
dari matan hadis. Seorang mukharrij yang menggunakan metode ini haruslah
terlebih dahulu mengetahui secara pasti lafaz pertama dari hadis yang akan
ditakhrijnya, setelah itu barulah dia melihat huruf pertamanya pada kitab-
kitab takhrij yang disusun berdasarkan metode ini, dan huruf kedua, ketiga,
dan seterusnya. Contoh, apabila men-takhrij hadis yang berbunyi,

‫من غ ّشنا فليس منّا‬


Maka, langkah yang akan ditempuh dalam penerapan metode ini
adalah menentukan huruf-huruf yang terdapat pada lafaz pertamanya, dan
begitu juga lafaz-lafaz selanjutnya:

5  Muhammad Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi,.h 45.

5
a. Lafaz pertama dari Hadis di atas dimulai dengan huruf mim, maka
dibuka kitab-kitab Hadis yang disusun berdasarkan metode ini pada
bab mim.
b. Kemudian mencari huruf kedua setelah mim yaitu nun.
c. Berikutnya mencari huruf-huruf selanjutnya, yaitu ghain, syin, dan
nun. Dan demikianlah seterusnya mencari huruf-huruf hijaiyah pada
lafaz-lafaz matan Hadis tersebut.6
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan
kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan Hadis-
Hadis yang sedang dicari dengan cepat.
Akan tetapi, sebagai kelemahan dari metode ini adalah apabila
terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya sedikit saja, maka akan
sangat sulit untuk menemukan Hadis yang dimaksud.7 Contoh pada Hadis
berikut:

َ ْ‫اِذاَأتَا ُك ْم َم ْن تَر‬
ُ‫ضوْ نَ ِد ْينَهُ َو ُخلُقَهُ فَزَ ِّوجُوْ ه‬
Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadis tersebut

adalah iza atakum (‫ا ُك ْم‬jjjjjَ‫اَت‬ ‫)اِذا‬. Namun, apabila yang diingat

oleh mukharrij sebagai lafaz pertamanya adalah law atakum (‫ )لَواَتَا ُك ْم‬atau iza

ja’akum  (‫)اذاجا َء ُك ْم‬


َ , maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya
menemukan hadis yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafaz
pertamanya, meskipun ketiga lafaz tersebut mengandung arti yang sama.
Metode ini dapat dilakukan dengan bantuan sebagian kitab athraf
yang susunannya menurut urutan alphabet awal kata dari matan hadis. athraf
jenis ini misalnya adalah kitab mausu’ah athraf al hadis an nabawi al syarif
karya Zuglul. Metode ini juga dapat dilakukan dengan bantuan kitab-kitab
hadis yang masyhur seperti kitab al tazkirah fi ahadis al musytahirah karya as
Suyuti. Para ulama juga telah membuat kitab kunci yang berfungsi sebagai
kamus mencari hadis-hadis bagi kitab-kitab hadis tertentu. Seperti, kitab
miftah ash shahihain karya Muhammad al syarif ibn musthafa al tauqadi.
Kitab ini berfungsi sebagai kamus mencari hadis-hadis kitab shahih bukhari
6 Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, h 24-25.
7 Ibid, h 25.

6
dan muslim. Khusus untuk mempermudah penelusuran hadis-hdis musnad
imam ahmad ibn hanbal, shidqi Muhammad jamil al ‘aththar membuat
faharis imam ahmad dalam bentuk athraf yang disusun menurut urutan
alphabet awal matan.8
2. Metode takhrîj melalui kata-kata dalam matan Hadis
Penelusuran hadis dengan metode ini dapat dilakukan melalui satu
kata yang menjadi bagian dari teks atau matan Hadis, baik berupa isim, atau
fi’il. Kata ini hendaknya dipilih dari kata-kata yang jarang digunakan.
Semakin jarang penggunaannya semakin cepat penemuan hadis yang dicari.
Sebab semakin sedikit penggunaannya semakin kecil variabael kalimat yang
akan dipilih. Contoh:

‫إن النب ّي صلي هللا عليه وسلّم نهي عن طعام المتباريين ان يؤكل‬
ّ
Dalam pencarian Hadis di atas pada dasarnya dapat ditelusuri melalui

kata-kata naha (‫)نهي‬, yu’kal (‫)يؤكل‬, atau al-mutabariyaini (‫)المتباريين‬.


Akan tetapi dari sekian kata yang dapat digunakan, lebih dianjurkan untuk

menggunakan kata al-mutabariyaini (‫ )المتباريين‬karena kata tersebut jarang


adanya. Penggunaan kata tabara di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah
Sembilan) hanya dua kali.9
Beberapa keistimewaan metode ini adalah:
a. Metode ini mempercepat pencarian Hadis
b. Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi Hadis-
Hadisnya dalam beberapa kitab induk dengan menyebutkan nama
kitab, juz, bab, dan halamannya.
c. Memungkinkan pencarian Hadis melalui kata-kata apa saja yang
terdapat dalam matan Hadis.
Selain mempunyai keistimewaan, metode ini juga mempunyai
beberapa kelemahan diantaranya:
a. Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa arab beserta perangkat
ilmunya secara memadai, karena metode ini menuntut untuk mampu

8 Ramli Abdul Wahid, Kamus Lengkap Ilmu Hadis (Medan: Perdana Mulia Sarana, cet, 1,
2011) h 241.
9 Abdul Mahdi Thuruq Takhrij, h 60.

7
mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata dasarnya. Seperti kata
muta’ammidun mencarinya melalui kata ‘amida.
b. Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan shahabat yang
menerina Hadis dari Nabi saw. Karenanya untuk mengetahui nama
shahabat, harus kembali kepada kitab-kitab aslinya setelah men-takhrij-
nya dengan kitab ini.
c. Terkadang suatu Hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang
yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.10
Kitab yang terkenal menggunakan metode ini adalah al-Mu’jam al-
Mufharos li Alfazi Ahadis al-Nabawi oleh A.J. Wensinck. danMiftah Kunuz
al-Sunnah oleh pengarang yang sama diterjemahkan oleh Muhammad Fuad
Abd Baqi. Di dalam kitab ini penempatan kata kerja sesuai dengan urutan
huruf hijaiyah, yaitu, alif, ba’, ta’, dan seterusnya. Mengiringi setiap Hadis
dicantumkan nama-nama ulama yang meriwayatkannya di dalam kitab-kitab
hadis karya mereka. Selain itu, juga dicantumkan nama kitab dan babnya,
atau nama kitab dan no urut Hadisnya, atau juz kitab dan halamannya. Dalan
rangka efisiensi penyusunannya menggunakan kode-kode tertentu untuk
setiap kitab-kitab Hadis; dan penjelasan kode-kode tersebut dicantumkan
pada bagian dasar (bawah) dari setiap halamannya.11
Berikut ini keterangan kode-kode tersebut dan penjelasan mengenai
tempat Hadis di dalam masing-masing kitab:
‫خ‬ = Shahih al-Bukhari, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
‫د‬ = Sunan Abu Daud, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
‫ت‬ = Sunan Tirmidzi. mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
‫ن‬ = Sunan Nasa’I, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
‫جه‬ = Sunan Ibn Majah, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.

10 Ibid, h 60-61.
11 Nawir Yuslen, Metode Penelitian Hadis, h 27.

8
‫دي‬ = Sunan Ad Darimi, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
‫م‬ = Shahih Muslim, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
‫ط‬ = Muwathta’ Malik, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
‫حم‬ = Musnad Imam Ahmad, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
Semua kode-kode di atas berlaku pada seluruh juz dari kitab al-
Mu’jam al-Mufharos li Alfazi Ahadis al-Nabawi, kecuali pada juz pertama
mulai halaman 1 sampai dengan halaman 23 khusus untuk Ibn Majah dan
Ahmad Ibn Hanbal digunakan kode berikut:
‫ق‬ = Sunan Ibn Majah, mencantumkan tema dan nomor bab
terdapatnya Hadis.
‫حم‬ = Musnad Imam Ahmad, mencantumkan nomor juz dan
halaman terdapatnya Hadis.12
3. Metode takhrîj melalui perawi Hadis pertama
Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadis, baik,
perawi tersebut dari kalangan shahabat, bila sanadnya muttasil sampai kepada
Nabi saw. Atau dari kalangan tabi’in, apabila Hadis tersebut mursal. Langkah
pertama dalam metode ini adalah mengenal para perawi pertama dari setiap
Hadis yang hendak ditakhrij setelah itu barulah mencari nama perawi Hadis
yang dimaksud ke dalam kitab-kitab takhrij yang disusun berdasarkan nama
perawi pertama setiap satu Hadis, dan selanjutnya mencari Hadis-Hadis yang
tertera dibawah nama perawi pertama tersebut.
Keuntungan dengan metode ini adalah bahwa masa proses takhrij
dapat diperpendek; karena dengan metode ini diperkenalkan sekaligus nama
ulama Hadis yang meriwayatkannya beserta kitab-kitabnya.
Akan tetapi kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat digunakan
dengan baik, apabila perawi pertama Hadis yang hendak diteliti itu tidak
diketahui maka, hal ini merupakan kesulitan tersendiri untuk mencari Hadis

12 Ibid,h 27-28

9
diantara Hadis-Hadis yang tertera dibawah nama perawi pertamanya yang
kadang-kadang jumlahnya cukup banyak,13 metode ini dapat dilakukan
dengan menggunakan Kitab-kitab athraf dan musnad.
4.  Metode takhrîj berdasarkan tema Hadis
Untuk melakukan takhrij dengan metode ini terlebih dahulu disimpulkan
tema dari suatu Hadis yang akan di-takhrij, dan kemudian baru mencarinya
melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun dengan metode ini. Sering kali
suatu Hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian
seorang mukharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin
dikandung oleh Hadis tersebut: sebagai contoh Hadis berikut:14

‫الَ ِة‬j‫الص‬ ِ jَ‫س َشهَا َد ِة َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُ َوَأ َّن ُم َح َّمدًا َرسُولُهُ َوِإق‬
َّ ‫ام‬j ٍ ‫بُنِ َى اِإل ْسالَ ُم َعلَى َخ ْم‬
‫ت َم ِن استَطَا َع اِلَي ِه َسبِيال‬ ِ ‫ضانَ َو َحجِّ ْالبَ ْي‬ َ ‫َوِإيتَا ِء ال َّز َكا ِة َو‬
َ ‫صوْ ِم َر َم‬
Dibangun islam atas lima (fondasi), yaitu: kesaksian bahwa tiada
tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan
shalat, membayar zakat, mempuasakan bulan Ramadhan, dan menunaikan
haji bagi yang telah mampu.
Hadis di atas mengandung beberapa tema, yaitu iamn, tauhid, zakat,
puasa, dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut, maka Hadis di atas harus
dicari di dalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema itu.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini
sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema Hadis, sehingga apabila
tema dari suatu Hadis tidak diketahui, maka akan sulitlah untuk melakukan
takhrij dengan menggunakan metode ini.
Diantara keistimewaan metode ini adalah, bahwa metode ini hanya
menuntut pengetahuan akan kandungan Hadis, tanpa memerlukan
pengetahuan bahasa Arab dengan perubahan katanya, atau pengetahuan
lainnya. Metode ini juga mendidik ketajaman pemahaman Hadis pada diri
peneliti, memperkenalkan kepadanya maksud Hadis yang dicarinya dan
Hadis-Hadis yang senada dengannya.

13 Abdul Mahdi Thuruq Takhrij, h 78-79


14 Dalam Redaksi yang agak Bervariasi, Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Shahih Bukhari,
Juz 1, h. 8; Muslin, Shahih Muslim, Juz 1, h 32;Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Juz 4, h 275; dan Nasa’I,
juz 8, h 111-112.

10
Akan tetapi, metode ini tidak luput dari berbagai kekurangan,
terutama apabila kandungan Hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti,
sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak
mungkin diterapkan. Demikian juga, apabila pemahaman si mu-kharrij tidak
sesuai dengan pemahaman penyusun kitab, maka dia akan mencari Hadis
tersebut di tempat yang salah. Contoh, Hadis yang semula disimpulkan oleh
mu-kharrij sebagai Hadis peperangan, ternyata oleh penyusun kitab
diletakkan pada Hadis Tafsir.15
Diantara karya tulis yang disusun berdasarkan metode ini adalah kanz
al-ummal fi sunan al-aqwal wa al-af’al karangan al muttaqi al-Hindi, dan
kitab-kitab lainnya yang disusun berdasarkan tema tertentu dalam bidang
Fiqih, Hukum, Targhib dan Tarhib, Tafsir, serta Sejarah.16
5. Metode takhrîj berdasarkan status Hadis
Metode ini dapat memperkenalkan suatu upaya baru yang telah
dilakukan para ulama Hadis dalm menyusun Hadis-Hadis yaitu menghimpun
Hadis berdasarkan statusnya. Metode ini dapat dilakukan setelah mengetahui
keadaan hadis, sanad atau matannya. Misalnya sanad yang diteliti sudah
diketahui dha’if atau mursal. Hadis ini dapat dipriksa dalam kitab-kitab yang
menghimpun Hadis dha’if. Seperti, silsilah al ahadis adh Dha’ifah wa al
maudhu’ah karya Albani. Demikian juga halnya dengan hadis maudhu’ dicari
dalam kitab al maudhu’at karya ibn al Jauzi, dan kitab-kitab yang
menghimpun Hadis-Hadis Qudsi, Hadis Masyhur, Mursal, dan lainnya.
Seorang peneliti Hadis, dengan membuka kitab-kitab seperti di atas, dia telah
melakukan takhrij al-Hadis.17

BAB III

PENUTUP

15 Abdul Mahdi Thuruq Takhrij, h 122-123.


16 Ibid, h 123-125
17 Nawir yuslem, metodologi penelitian hadis, h. 32.

11
A. Kesimpulan
Takhrij al-Hadis adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengemukakan Hadis
pada orang banyak dengan menyebutkan para perawinya, mengemukakan asal usul
Hadis dan dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab Hadis sebagai
sumber asli dari Hadis, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan
dan sanad Hadis yang bersangkutan. Takhrij Hadis sangat dibutuhkan karena
sebagian para penyusun kitab-kitab dalam bidang Fikih, Tafsir, dan sejarah yang
memuat Hadis-Hadis, namun tidak memuat Hadis-Hadis tersebut secara sempurna;
mereka kadang hanya meringkas Hadis-Hadis tersebut pada bagian-bagian yang
mereka perlukan saja, atau pada saat tertentu mereka menuliskan lafal Hadisnya dan
pada saat yang lain maknanya saja, bahkan kadang ada yang menuliskan lafal
Hadisnya namun tanpa menyebutkannya sebagai hadis, karena telah masyhur.
Banyak tujuan serta manfaat dilakukannya takhrij Hadis, dan yang paling
utama adalah agar dapat dilakukan penelitian terhadap satu Hadis setelah
dilakukannya takhrij Hadis tersebut, agar dapat mengetahui kualitas dari Hadis yg
dimaksud. melakukan Takhrij Hadis haruslah mempunyai kitab-kitab pedoman
diantaranya, Usul al Takhrij wa dirasat al asanid oleh mahmud At Tahhan. Hushul
al-Tafrij bi ushul al Takhrij oleh Ahmad Ibn Muhammad Al Gharami diperlukan
juga bantuan kitab-kitab kamus mu’jam Hadis dan mu’jam para perawi Hadis
diantaranya, al-Mu’jam al-Mufharos li Alfazi Ahadis al-Nabawi oleh A.J.
Wensinck. Miftah Kunuz al-Sunnah oleh pengarang yang sama diterjemahkan oleh
Muhammad Fuad Abd Baqi.
Dalam melakukan Takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
1.    Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis.
2.    Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan. 
3.    Takhrij menurut rawi pertama.
4.    Takhrij menurut tema hadis.
5.    Takhrij menurut klasifikasi (status) hadis.

DAFTAR PUSTAKA

12
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Daar al-Jail, 1411 H/1991 M)

Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah


al-Maa’rif, 1991)

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang,


2007)

Bustamin, Dasar Dasar Ilmu Hadits,(Jakarta: Ushul Press, 2009)

Sulaiman, Noor. Antologi Ilmu hadis. palu: Gaung Persada Press, 2008

Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2002

Wahid, Kamus Lengkap Ilmu Hadis (Medan: Perdana Mulia Sarana, cet, 1, 2011)

Yuslem, Nawir. Metodologi Penelitian Hadis. Bandung: Cita Pustaka, 2008

13

Anda mungkin juga menyukai