Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KELOMPOK DOSEN PENGAMPU

Studi Hadis Syahruddin Siregar, M.Ag

MAKALAH

“HADIS AHAD”

KELOMPOK 5

Kus Karmila (11970523474)

Marthania Megyandri Irsal (11970524730)

Nanda Maysarah (11970520765)

ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN 2020/1442H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Atas
Berkat dan rahmatnyalah kami bisa menyelesaikan tugas Makalah ini dengan
Tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akademik Pendidikan
Kewarganegaraan. Adapun topik yang dibahas didalam makalah ini adalah
berjudul “Hadis Ahad”.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Syahruddin Siregar,


M.Ag. sebagai dosen pembimbing yang telah memberi kami tugas makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah berkontribusi
untuk tersajinya makalah ini.

Kami berharap makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.


Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mnegharapka kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
1. Pengertian Hadis Ahad........................................................................................6
2. Pembagian Hadis Ahad........................................................................................6
1. Hadis Masyhur....................................................................................................6
2. Hadis Aziz...........................................................................................................8
3. Hadis Garib.........................................................................................................9
3. Kehujjhan Hadis Ahad........................................................................................9
4. Pandangan ulama terhadap hadis Ahad...........................................................10
BAB II.............................................................................................................................12
PENUTUP.......................................................................................................................12
A. Kesimpulan.........................................................................................................12
B. Saran...................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hadis dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh
mayoritas kaum muslimin dari berbagai mazhab Islam sebagai sumber ajaran
Islam, karena dengan adanya hadis dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas,
rinci dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadis-hadis yang tercantum dalam
berbagai kitab hadis yang ada berasal melalui proses penelitian ilmiah yang rumit,
sehingga menghasilkan kualitas hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya.
Implikasinya, telah terdapat berbagai macam kitab hadis yang sering kali dijumpai
keaneka ragaman redaksi (matan hadis) dan sanadnya, karena diantara kolektor
hadis tersebut memakai kriteria dan standar masing-masing. Disinilah letak
pentingnya pembelajaran hadis agar dapat diketahui bagaimana hadis tersebut
diteliti dan lebih dari itu bagaimana meneliti sehingga dapat diketahui tata cara
dengan benar pemakaian hadis sebagai dasar amalan.

Jadi dengan adanya studi hadis, umat Islam dapat mengetahui hadis yang
Shahih, Hasan, Dha’if dan hadis-hadis palsu. Sebab tidak semua hadis itu boleh
diamalkan dan dijadikan sebagai dasar hukum yang baik. Setelah Nabi wafat,
banyak orang-orang yang membuat hadis-hadis palsu untuk kepentingan
golongannya atau untuk menjatuhkan penguasa. Artinya hadis-hadis diciptakan
untuk kepentingan politik semata.

Dengan adanya studi hadis, umat dengan mudah mendapatkan hadis-hadis


yang diperlukan sebagai sumber hukum yang sah setelah Al-Qur’an. Begitu juga
umat Islam dengan mudah membedakan antara lafaz Al-Quran dengan lafaz hadis,
karena sering sekali terjadi akhir-akhir ini yang hadis dikatakan Al-Quran,
sebaliknya Al-Quran disebut hadis.

Dalam makalah studi hadis ini penulis akan membahas Hadis Ahad, yang
diawali dari pengertian hadis ahad, macam-macam hadis ahad dan contohnya,
pendapat ulama tentang hadis ahad dan analisis historis kemunculannya. Semoga
makalah ini bermanfaat buat diri penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadis Ahad
2. Apa saja pembagian Hadis Ahad
3.Bagaimana kehujjhan Hadis Ahad
4. Bagaimana pandangan ulama terhadap hadis Ahad
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Hadis Ahad
2. Mengetahui apa saja pembagian Hadis Ahad
3. Mengetahui kehujjhan Hadis Ahad
4. Mengethui bagaimana pandangan ulama terhadap hadis Ahad
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadis Ahad

Kata ahad berarti satu, khabar al-wahid adalah suatu berita yang disampaikan
oleh satu orang.1 Menurut istilah ilmu hadis, hadis ahad berarti “Hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.”2

Ulama lain mendefinisikannya dengan “hadis yang sanadnya shahih dan


bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi SAW), tetapi kandungannya
memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qat’i atau yakin3”.

Dari dua definisi di atas ada dua hal yang harus digaris bawahi yaitu: pertama,
dari sudut kuantitas periwayatnya, hadis ahad berarti berada di bawah kuantitas
hadis mutawatir, kedua, dari sudut isinya, hadis ahad memberi faedah zhanni
bukan qat’i. kedua hal inilah yang membedakannya dengan hadis mutawatir.

Kedua definisi di atas dikemukakan oleh para ulama yang membagi kuantitas
hadis kepada dua, yaitu mutawatir danahad. Sedangkan ulama yang membagi
kuantitas hadis kepada tiga, yaitu mutawatir, masyhur, dan ahad, memberikan
definisi hadis ahad dengan definisi yang berbeda. Menurut mereka, hadis ahad itu,
ialah :

‫ما رواه الواحد أواإلثنان فأكثر مما لم تتوفر فيه شروط المشهور او المتو اتر‬

“Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, atau dua orang, atau lebih, yang
jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur, atau hadis mutawatir”.4

2. Pembagian Hadis Ahad

Pembagian hadis ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz dan gharib.

1. Hadis Masyhur
Kata masyhur dari kata syahara, yasyharu, syahran, yang berarti al-ma’ruf
baina an-nas (yang terkenal, atau yang dikenal, atau yang populer di kalangan
1
Muhammad ash-Shabbaq, Al-Hadits an-Nabawi; Mushthalahuh Balagatuh, ‘Ulumuh, Khutub,
Mansyurat al-Maktab al-Islami, t.t., 1392H/1972M, h.21
2
Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushalah al-Hadits, Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, Beirut, t.t. h. 2
3
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mabahits al-Kitab wa as-Sunnah min ‘Ilmi, Mahfud li
Jami’ah, Damsyik, h. 17-18
4
Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits; ‘Ulumuh wa Musthalahuh, Dar al-Fikr, Beirut,
1989 M/1409 H, h. 302
sesama manusia). Dengan arti kata di atas, maka kata “hadis masyhur”, berarti
hadis yang terkenal. Berdasarkan arti kata ini, di antara ulama ada yang
memasukan ke dalam hadis masyhur “segala hadis yang populer dalam
masyarakat, meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali, dengan tanpa
membedakan apakah memenuhi kualitas shahih atau dha’if”.5

Kata masyhur ini secara bahasa telah diserap ke dalam bahasa Indonesia
dengan utuh. Dalam penggunaannya sehari-hari, baik dalam ragam tulis maupun
ragam lisan, kata ini digunakan secara baku.

Berdasarkan pendekatan kebahasaan seperti di atas, maka dikalangan para


ulama terdapat beberapa macam hadis yang terkenal di kalangan ulama tertentu.
Tanpa memperhatikan apakah jumlah kuantitas sanad nya memenuhi syarat ke
masyhur annya atau tidak, misalnya hadis yang berbunyi :

) ‫نَهَى َرسُوْ ُل هللا ص م ع َْن بَي ِْع ْال َغ َرر (رواه المسلم‬

“Rasulullah SAW melarang jual-beli yang di dalamny;a terdapat tipu daya”.6

Secara terminologis, hadis masyhur didefinisikan oleh para ulama dengan


beberapa definisi yang agak berbeda-beda, sebagaimana dibawah ini.

Menurut satu definisi, disebutkan sebagai berikut:

‫ما له طرق محصورة بأكثر من إثنين ولم يبلغ حد التواتر‬

“Hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak
sampai kepada batas hadis yang mutawatir.” 7

Dari definisi di atas dapat dikatakan, bahwa periwayat hadis masyhur


jumlahnya dibawah hadis mutawatir. Artinya, jumlah periwayat pada hadis ini
banyak, akan tetapi dari jumlah tersebut belum sampai memberikan faidah ilmu
dharuri, sehingga kedudukan hadisnya menjadi zhanni. Hadis ini dinamakan
masyhur karena telah tersebar luas kalangan masyarakat.

Ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa hadis masyhur menghasilkan


ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi
yang menolaknya tidak dikatakan kafir.

Dari sudut kualitasnya, hadis masyhur ada yang shahih, ada yang hasan,
dan ada yang dha’if. Hadis masyhur yang shahih, artinya hadis masyhur yang
memenuhi syarat-syarat ke-shahih-annya; Hadis masyhur yang hasan, artinya
hadis masyhur yang kualitas periwayat di bawah hadis masyhur yang shahih;
5
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996, h. 137
6
Muslim, Abu al-Husain bin al Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid I, Dar al-
Fikr, Bairut, 1412 H/1992 M, h. 3
7
Nur ad-Din ‘Atar, Manhaj an-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadits.,Dar al-Fikr, Beirut, 1979, h. 409
sedang hadis masyhur yang dha’if, artinya hadis masyhur yang tidak memiliki
syarat-syarat atau yang kurang salah satu syaratnya dari syarat hadis shahih.

Sebagaimana layaknya hadis ahad, hadis masyhur yang shahih dapat


dijadikan hujah. Sebaliknya, hadis masyhuryang dha’if atau yang gair ash-shahih,
niscaya tidak dapat dijadikan hujah. Di antara contoh hadis masyhur yang shahih
ialah:

)‫من أتى الجمعة فليغتسل (رواه الجماعة‬

“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan salat jum’at hendaknya ia mandi”8

2. Hadis Aziz
Kata ‘Aziz dari kata ‘azzu, yang berarti qalla (sedikit) atau nadara (jarang
terjadi). Bisa juga berasal dari ‘azza, ya ‘azzu yang berarti qawiya atau isytadda
(kuat). Arti lainya bisa juga berarti syarif (mulia atau terhormat) dan mahbub
(tercinta). Maka hadis ‘Aziz dari sudut pendekatan kebahasaan, bisa berarti hadis
yang mulia, hadis yang kuat, atau hadis yang sedikit, atau yang jarang terjadi.

Secara terminologis, hadis ‘Aziz didefinisikan :

“Hadis yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang periwayat diterima dari dua
orang pula”.9

Dengan definisi di atas, menunjukkan bahwa apabila dalam salah satu


thabaqahnya kurang dari dua periwayat hadis tersebut bukan termasuk hadis
‘Aziz. Sebab, jumlah minimal para periwayat untuk hadis ‘Aziz, adalah dua
orang. Dengan definisi itu juga menunjukkan, apabila ada satu atau dua
thabaqahnya yang memiliki tiga atau empat orang periwayat, hadis tersebut masih
termasuk ke dalam kelompok hadis ‘Aziz, jika pendapat thabaqah-thabaqah
lainnya hanya terdapat dua orang perawi saja. Sebab hadis ‘Aziz tidak
mengharuskan atau mensyaratkan adanya keseimbangan antara thabaqah-
thabaqah-nya.

Sebagaimana hadis masyhur, hadis ‘Aziz terbagi kepada shahih, hasan,


dan dha’if. Pembagian ini tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-
ketentuan atau syarat-syarat yang berkaitan dengan kualitas ketiga kategori
tersebut. Jika hadis tersebut memenuhi syarat keshahihannya, maka itu berarti
hadis ‘Aziz yang shahih. Kemudian, jika kualitas ke dhabith-annya kurang, hadis
itu berarti hadis ‘Aziz yang hasan, dan jika syarat-syarat atau salah satu syarat
kesahihannya tidak terpenuhi, maka hadis itu berarti termasuk hadis ‘Aziz yang
dha’if.

8
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari bihasyiah as-Sindi, Jilid II,
Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nubhan wa Auladuh, h. 2,3,5 dan Muslim, Jilid III, h.2
9
Ibnu Hajar al-Asqalani, Nubhah al-Fikr, h. 32
Diantara contoh hadis ‘Aziz, adalah:

)‫ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه و والده و ولده والناس أجمعين (رواه بخارى و مسلم‬

“Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada
dirinya, orang tuanya, anaknya dan semua manusia.” (H.R. Bukhari dan Muslim)10

3. Hadis Garib
Kata garib dari garaba, yagrubu, yang menurut bahasa berarti munfarid
(menyendiri) atau ba’id an wathanih (jauh dari tanah airnya). Bisa juga berarti
asing, pelik, atau aneh. Maka kata hadis garib secara bahasa berarti hadis yang
menyendiri atau yang aneh.11

Secara terminologis, ulama ahli hadis, seperti Ibn Hajar al-Asqali


mendefinisikan hadis garib, sebagai berikut:

ِ ْ‫َما يَتَفَ َّر ُد بِ ِر َو ايَتِ ِه َش ْخصٌ َوا ِح ٌد فِ ْي أَيِّ َمو‬


‫ض ٍع َوقَ َع التَّفَرُّ ُد بِ ِه ِمنَ ال َّسنَ ِد‬

“Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam


meriwayatkannya, dimana saja penyendirian itu terjadi”12

Tempat-tempat penyendirian dimaksud bisa jadi pada awal, tengah-tengah,


atau akhir thabaqahnya. Dengan kata lain, bisa jadi pada thabaqah sahabat,
thabaqah tabi’in, thabaqah tabi’ at-tabi’in, atau thabaqah sesudahnya.

3. Kehujjhan Hadis Ahad

Menurut Imam Syafi’i hadis ahad atau hadis khashshah dalam istilah beliau,
dapat dijadikan hujjah jika memenuhi beberapa hal sebagai berikut:13

a. Rangkaian periwayat (sanad) harus bersambung sampai pada Nabi


saw
b. Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya pengamalan
agamanya (baik agamanya), ia harus dikenal sebagai orang yang
jujur dalam menyampaikan riwayat dan khabar.
c. Perawi hadis meriwayatkan dari orang yang biasa meriwayatkan
sama dengan huruf yang didengarnya
d. Tidak meriwayatkan bi al-ma’na , periwayat tersebut tidak
mengetahui pergeseran makna hadisnya, sehingga orang tersebut
tidak mengetahui barangkali ia mengalihkan halal kepada haram.

10
Bukhari, jilid I, h. 8 dan Muslim, Jilid I, h. 49
11
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, op.cit, h. 145
12
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuhbah al-Fikr,
13
https://islam6236.blogspot.com/2015/03/kehujjahan-hadis-ahad.html
Apabila ia menyampaikan hadis sesuai hurufnya, maka tidak ada
lagi alasan kekhawatiran mengubah hadis
e. Orang yang meriwayatkan kuat hafalannya (apabila ia
meriwayatkan dari hafalannya) dan akurat catatannya (apabila ia
meriwayatkan dari kitabnya). Apabila ia menghafal satu hadis
tidak berbeda dengan hadis yang telah diriwayatkan orang lain,
yaitu orangyang lebih kuat hafalannya.
f. Orang yang meriwayatkan tidak boleh seorang mudallis yang
menuturkan dari orang yang ditemuinya tentang hal yang tidak
pernah didengarnya, serta ketika meriwayatkan sesuatu dari Nabi,
tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang terpercaya.

4. Pandangan ulama terhadap hadis Ahad

Para ahli hadis berbeda pendapat tentang hadis ahad, pendapat tersebut adalah:

1. Segolongan ulama seperti Al-Qasayani, sebagai ulama dhahiriyah dan


Ibn Daud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis
ahad.
2. Jumhur Ulama Ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberikan faedah
dhan. Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui
kesahihannya
3. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala
bidang.
4. Sebahagian muhaqqiqih menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib
diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat dan hudud,
namun tidak digunakan dalam urusan aqidah.
5. Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak menghapuskan suatu
hukum dari hukum-hukum Al Quran.
6. Ahlu Zhahir (Pengikut Daud Ibn Ali al-Zhahiri) tidak membolehkan
mentakhsiskan umum ayat-ayat Al Quran dengan hadis ahad.14

Selanjutnya status dan hukum hadis masyur menjadi bagian dari hadis ahad.
Hukum hadis masyur tidak ada hubungannya dengan sahih atau tidaknya suatu
hadis, karena diantara hadis masyur terdapat hadis yang mempunyai status sahih,
hasan atau dhaif dan bahkan ada maudhu’ (palsu). Akan tetapi, apabila suatu hadis
masyur tersebut berstatus sahih, maka hadis masyur itu hukumnya lebih dari pada
hadis ‘Aziz dan garib.

Di kalangan Ulama Hanafiyah, hadits masyur hukumnya adalah zhann,


yaitu mendekati yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi, karena
14
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis
kedudukannya tidak sampai pada derajat mutawatir, maka tidaklah dihukumkan
kafir bagi orang yang menolak atau tidak beramal dengannya.

Selain hadis masyur yang dikenal secara khusus di kalangan ulama hadis,
sebagaimana yang telah dikemukakan definisinya diatas dan disebut dengan
masyur al-ishthilahi, juga terdapat hadis masyur yang dikenal di kalangan ulama
lain selain ulama hadis dan di kalangan umat secara umum. Hadis masyur dalam
bentuk yang terakhir ini disebut dengan al-masyur gaira isthilahi yang mencakup
hadis-hadis yang sanadnya terdiri dari satu orang periwayat atau lebih pada setiap
tingkatannya atau bahkan yang tidak mempunyai sanad sama sekali.

Hadis masyur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
tiga orang perawi atau lebih. Contohnya adalah hadis yang berasal dari Anas r.a.
dia berkata :

Artinya : “Muhammad ibn Al-Fadil menceritakan Muhammad ibn Ja’far


menceritakan kepada kami Ibrahim ibn Yusuf menceritakan kepada kami An-
Nadir ibn ‘Asy’ast menceritakan bahwa sanya Rasulullah SAW bersabda : tidak
akan masuk surga kecuali orang yang mempunyai rasa kasih sayang. Para sahabat
bertanya : Wahai Rasulullah, kami semua mempunyai rasa kasih sayang . Beliau
bersabda : (yang dimaksud) bukanlah kasih sayang salah seorang diantara kamu
terhadap dirinya sendiri saja, akan tetapi rasa kasih sayang terhadap semua
manusia. Dan tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap semua manusia dan
tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap mereka kecuali Allah Ta’ala.” (HR.
Bukhari)15

15
Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari
BAB II

PENUTUP
A. Kesimpulan

Kata ahad berarti satu, khabar al-wahid adalah suatu berita yang disampaikan
oleh satu orang. Menurut istilah ilmu hadis, hadis ahad berarti “Hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.” Ulama lain mendefinisikannya dengan
“hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi SAW), tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak
sampai kepada qat’i atau yakin.

Pembagian hadis ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz dan gharib.
status dan hukum hadis masyur menjadi bagian dari hadis ahad. Hukum hadis
masyur tidak ada hubungannya dengan sahih atau tidaknya suatu hadis, karena
diantara hadis masyur terdapat hadis yang mempunyai status sahih, hasan atau
dhaif dan bahkan ada maudhu’ (palsu). Akan tetapi, apabila suatu hadis masyur
tersebut berstatus sahih, maka hadis masyur itu hukumnya lebih dari pada hadis
‘Aziz dan garib.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka
penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad ash-Shabbaq, Al-Hadits an-Nabawi; Mushthalahuh Balagatuh,


‘Ulumuh, Khutub, Mansyurat al-Maktab al-Islami, t.t., 1392H/1972M, h.21

Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushalah al-Hadits, Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah,


Beirut, t.t. h. 22

Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mabahits al-Kitab wa as-Sunnah min


‘Ilmi, Mahfud li Jami’ah, Damsyik, h. 17-18

Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits; ‘Ulumuh wa Musthalahuh, Dar al-


Fikr, Beirut, 1989 M/1409 H, h. 302

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996, h. 137

Muslim, Abu al-Husain bin al Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim,


Jilid I, Dar al-Fikr, Bairut, 1412 H/1992 M, h. 3

Nur ad-Din ‘Atar, Manhaj an-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadits.,Dar al-Fikr, Beirut, 1979,
h. 409

Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari bihasyiah as-
Sindi, Jilid II, Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nubhan wa Auladuh, h.
2,3,5 dan Muslim, Jilid III, h.2

Anda mungkin juga menyukai