Anda di halaman 1dari 19

Mengenal Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi al Hadis

Dosen Pengampu:
Dr Lutfi Hakim, M.Ag.
NIP. 197312252006041001

Disusun oleh:

1. Feby Kumala Esti 09040223040


2. Amor Maulidiyah Rizamzam Prasetya Putri 09010223004
3. Marsa Ariella 09040223044

PROGAM STUDI MATEMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil’alamin. Segala puji bagi-Mu ya Allah yang telah memberikan


rahmat dan hidayah-Mu kepada kami, sehingga kami dapat merampungkan makalah yang
berjudul “Mengenal Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad” ini tepat waktu.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammmad. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan selalu kepada Nabi Muhammad SAW, pendidik teladan seluruh
ummat, keluarga, para sahabat. Semoga kita dapat berjumpa dan mendapat syafaat darinya.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Studi al Hadis. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang topik Hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad bagi pembaca dan penulis.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kami mohon kritik serta saran yang membangun agar pembuatan makalah selanjutnya dapat
menjadi lebih baik.

Surabaya, 3 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

C. Tujuan ............................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 2

A. Pengertian Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad ................................................................. 2

B. Ciri-ciri Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad ..................................................................... 4

C. Syarat-Syarat Hadis ........................................................................................................ 7

D. Macam-Macam Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad ...................................................... 10

E. Hukum Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad .................................................................... 12

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 14

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 14

B. Saran ............................................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan umat Islam akan


pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agamanya. Hadis memiliki peran penting
dalam menjelaskan, melengkapi, dan menginterpretasikan ajaran-ajaran Al-Qur'an, serta
menjadi panduan hidup bagi umat Muslim. Dalam konteks ini, hadis dibagi menjadi dua
kategori utama, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Pemahaman yang mendalam terhadap hadis mutawatir dan hadis ahad menjadi
krusial dalam menentukan keabsahan suatu informasi dalam Islam. Hadis mutawatir
dianggap sebagai sumber yang memiliki tingkat kepastian yang tinggi, sementara hadis
ahad memerlukan penilaian lebih mendalam dan kritis. Oleh karena itu, pengetahuan
mengenai kedua jenis hadis ini menjadi sangat penting bagi umat Islam.
Dalam makalah ini, akan diuraikan secara lebih rinci tentang hadis mutawatir dan
hadis ahad, mencakup definisi, karakteristik, serta hukum keduanya. Diharapkan makalah
ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kedua jenis hadis ini.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut:


1. Apa pengertian Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad?
2. Bagaimana ciri-ciri Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad?
3. Bagaimana syarat-syarat hadis?
4. Apa saja macam-macam Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad?
5. Bagaimana hukum Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini sebagai berikut:


1. Mengetahui pengertian Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
2. Mengetahui ciri-ciri Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
3. Mengetahui syarat-syarat hadis.
4. Mengetahui macam-macam Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
5. Mengetahui hukum Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad

a. Hadis Mutawatir
Mutawatir secara kebahasaan adalah Isim Fail dari kata Al-Tawatur, yang
berarti At-Tatabuk, yaitu berturut-turut, berturut-turut antara yang satu dengan yang
lain. Menurut istilah ulama hadis, Mutawatir berarti hadis yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang mustahil mereka untuk berbuat dusta.1
Dari berbagai defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah
hadis yang memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang
banyak dengan jumlah yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat
untuk melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut.2
Kata sejumlah orang dalam pengertian hadis mutawatir di atas menunjukkan
jumlah yang tidak dibatasi dengan bilangan, tetapi dibatasi dengan jumlah yang secara
rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta atau lupa secara secara
serentak.3
Dalam ilmu Hadis, maksudnya ialah hadis yang diriwayatkan dengan banyak
sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu
untuk berdusta mengadakan hadis itu.4
Hadis mutawatir tidak perlu lagi diteliti shahih, hasan, atau dhaifnya sama
seperti al Quran yang semuanya adalah mutawatir. Karena, hadis mutawatir hukumnya
maqbul (diterima). Bahkan, walaupun perawi-perawinya tidak tsiqah (terpercaya).
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadis
mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas
rawi-rawinya telah mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat
dusta. 5
Hadis mutawatir sudah pasti shahih, sehingga tidak dibahas lagi dalam ilmu
isnad/musthlalh hadis, karena ilmu hadis membahas siapa perawinya, orang Islam, adil,
dhabith ataukah tidak, bersambung sanadnya dan lain-lain. Adapun yang perlu dikaji
dalam hadis mutawatir adalah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan itu sudah

1
Budi Suhartawan, Muizzatul Hasanah, “MEMAHAMI HADITS MUTAWATIR DAN HADITS AHAD,” E-
Jurnal.Stiqarrahman.Ac.Id Vol. 3 No. 01, no. DIRAYAH : Jurnal Ilmu Hadis (Oktober 2020).

2
cukup atau belum, perawinya berdusta atau tidak, baik berdusta secara bersama atau
secara sengaja, demikian pula keadaan yang melatarbelakangi berita tersebut, terutama
apabila jumlah perawi banyak atau sedikit. Karena, hadis mutawatir sudah
dikategorikan sebagai hadis shahih maka sepatutnya untuk diamalkan. Baik yang
berhubungan dengan akidah, ibadah maupun muamalah.6
b. Hadis Ahad
Kata ahad pada hadis yang dinamakan hadis ahad memiliki arti satu. Adapun,
khabar ahad berarti kabar yang disampaikan oleh satu orang saja karena berdasarkan
namanya. Oleh karena itu, hadis ahad adalah hadis yang hanya disampaikan oleh satu
orang saja. Selain itu, disebut dengan hadis ahad karena perawinya tidak memenuhi
jumlah minimal persyaratan sebagai hadis mutawatir. Hadis ahad berarti tidak
mencapai tingkat pada hadis yang mutawatir.

Angka satu pada arti dari hadis ahad memberikan arti bahwa hadis ini hanya di
riwayatkan oleh seorang perawi. Satu itu juga memberi penjelasan bahwa hadis ahad
diriwayatkan oleh perawi yang sangat sedikit tidak seperti hadis mutawatir. Klasifikasi
ini tidak menghasilkan dua hadis yang berbeda, tetapi juga menghasilkan perbedaan
pandangan di kalangan ulama. Adapun aspek yang diperhatikan oleh ulama mengenai
hadis ahad ini, yakni aspek ontologis dan juga aspek epistemologis.

Hal yang di sorot oleh ulama mengenai aspek ontologis hadis ahad ini adalah
bahwasanya hadis ahad ini dapat memberikan informasi secara transenden sehingga
menghasilkan informasi atau pengetahuan yang apriori. Selain itu, pada aspek
epistemologis mengenai hadis ahad ini adalah apakah mengamalkan hadis ahad
dikarenakan kebenarannya atau karena hadis ahad ini benar maka diamalkan.

Menurut ulama ahli hadis, hadis ahad berarti hadis yang jumlah perawinya tidak
mencapai jumlah minimal persyaratan baik satu, dua, tiga, atau seterusnya. Namun,
keadaan seperti itu biasanya sudah ada sejak dari perawi awal hingga akhir.
Kesepakatan jumhur ulama mengenai ini menjelaskan bahwa hadis ahad merupakan
hadis yang memenuhi ketentuan maqbul sebagai hadis. Hadis ahad dapat digunakan
sebagai pegangan hukum dan amal, namun tidak dapat digunakan dalam urusan i’tikad
dan keyakinan.

3
B. Ciri-ciri Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad

a. Hadis Mutawatir
Fu'ad Abdul Baqi dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim menyebutkan sejumlah
kriteria dari hadis mutawatir, sebagai berikut:2
1. Diriwayatkan banyak perawi. Para ahli hadis berbeda pandangan perihal jumlah
minimal perawi hadis mutawatir ini. Abu Thayyib berpendapat paling sedikit empat
orang perawi, sedang Syaikh Mahmud ath-Thahhan menyebut 10 orang.
2. Memiliki tingkat konsistensi yang tinggi dalam rincian antara satu riwayat dengan
riwayat lainnya, menunjukkan keabsahan informasi yang disampaikan.
3. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
4. Jumlah banyak orang yang meriwayatkannya ini ada pada semua tingkatan
sanadnya.
5. Menurut adat, mustahil para perawi sepakat untuk berbohong lantaran mereka
berada di negeri atau bangsa yang berbeda.
6. Sandaran hadis ini dilakukan menggunakan pancaindra, misal pendengaran atau
penglihatan. Sehingga kalimat hadisnya seperti "kami mendengar.." atau "kami
melihat.." Jika penyandaran hadis berlandaskan akal perawi maka tidak disebut
sebagai hadis mutawatir.
Jika melihat ciri-cirinya di atas, terdapat ulama yang menyebut keberadaan
hadis mutawatir tidak ada sama sekali. Tetapi Syaikh Manna Al-Qaththan berkata lain.
Menurutnya hadis mutawatir itu ada, tetapi jumlahnya tak cukup banyak bila dibanding
hadis ahad.
Ada perbedaan di antara para ulama tentang batasan jumlah periwayat. Menurut
salah seorang ahli ushul dari golongan Mu’tazilah, Abu Al-Husayn Muhammad Ibn ‘Ali
Ibn al-Tayyib (w. 426 H), berpendapat bahwa di antara persyaratan mutawatir adalah
hadis yang diriwayatkan lebih dari empat orang.3 Nuruddin Itr berpendapat bahwa
jumlah periwayat itu tidak dibatasi dengan bilangan. Pembatasannya secara rasional,
prinsipnya mereka tidak mungkin (mustahil) sepakat untuk berdusta atau lupa secara
serentak.4 Begitu pula al-Ghazali, menurutnya, membicarakan masalah jumlah
periwayat tidak ada acuan yang pasti karena sangat berkaitan dengan kebiasaan dan

2
Azkia Nurfajrina et al., “Mengenal Hadits Mutawatir: Ini Arti, Ciri, Jenis Dan Contohnya,” n.d.
3
“M. Abdurrahman, Op. Cit., 172,” n.d.
4
Nuruddin Itr, “Ulum Al-Hadits 2,” Terj. Mujiyo, Cetakan Pertama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994),
n.d.

4
alasan (indikator; qarinah) yang diperlukan masing-masing ulama. Artinya walaupun
riwayat itu tidak banyak, tetapi hadis itu sudah meyakinkan, maka sudah termasuk
mutawatir.5 Pendapat inilah yang disahihkan oleh para ahli hadis.6 Sementara di lain
pihak, sebagian ulama cenderung membatasi jumlah bilangan tersebut. Ada yang
berpendapat, jumlah yang layak untuk menilai suatu hadis dapat dikatakan mutawatir,
mencapai 70 orang. Ada juga yang 40 orang, 12 orang, atau bahkan ada yang cukup 4
saja.7

Table 1.Batasan jumlah periwayat dalam hadis mutawatir menurut berbagai versi

Versi Berbagai ulama Ibn al-Thayyib Al-Suyuthi Al-Ghazali;


Nuruddin Itr; Ahmad
‘Umar Hashim
Jumlah Bervariasi: 4, 5, Lebih dari 4 Lebih dari 10 Tidak pasti, yang
Periwayat 7,10, 12, 20, 40, penting meyakinkan
50, 70, 313, dll.

b. Hadis Ahad

Hadis ahad merupakan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Secara singkat,
Hadis ahad merupakan hadis yang tidak memenuhi syarat sebagai Hadis mutawatir.
Hadis ahad ini terdiri dari tiga macam yaitu Hadis mahsyur, Hadis aziz dan juga Hadis
gharib.
Hadis ahad berfaidah zhan, yaitu adanya persangkaan terhadap keshahihan
penisbatan hadis tersebut dari sisi penukilannya. Karena hadis ahad tidak mencapai
tingkatan jazm (pasti) sebagaimana hadis mutawatir, oleh karena itu masih
mengandung kemungkinan kesalahan, lupa, keliru dalam periwayatan, dari para
perawinya atau sebagiannya. Namun faidah zhan bertingkat-tingkat, sehingga
terkadang hadis ahad justru bisa berfaidah ilmu apabila terdapat qarinah (indikasi) yang
menguatkannya, dan menjadi syahid (saksi) atasnya sehingga menghapus kemungkinan
untuk salah, lupa, dan keliru dalam periwayatan.8

5
“M. Abdurrahman, Op. Cit., 172.”
6
Ahmad, “Umar Hashim, Op. Cit,” 144AD.
7
“Nuruddin Itr, Op. Cit., 196-7. Bandingkan Pula Dengan M. Abdurrahman, Op. Cit., 172, Yang Mengatakan
Bahwa Ada Ulama Yang Menyebutkan 5, 20, 40, 70, Dan 313 Periwayat.,” n.d.
8
“Perbedaan Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad,” Kumparan.Com, n.d.

5
Wajib mengamalkannya, apabila hadis tersebut dalam hal syariat, dan wajib
membenarkannya apabila hadis tersebut dalam hal aqidah. Hal ini berlaku apabila hadis
ahad tersebut berstatus shahih atau hasan.
Imam Abu Hanifah mensyaratkan dalam mengamalkan hadis ahad/ khabar
wakid dengan beberapa syarat:9
1. Perawi tidak menyalahi apa yang diriwayatkannya, tetapi kalau menyalahinya,
maka yang dikuti pendapatnya, bukan riwayatnya. Sebab apabila mengikuti perawi
yang menyalahi riwayatnya, berarti perawi itu mendapatkan keterangan
hadis/riwayat itu sudah mansuh.
2. Hal yang diriwayatkan itu bukan masalah umum bahwa sebab masalah umum
bahwa seharusnya diriwayatkan oleh orang banyak.
3. Riwayat tersebut tidak bertentangan dengan qiyas atau suatu kejadian yang tidak
terdapat nashnya ke dalam kejadian lain yang terdapat nasnya dan hukumnya telah
ditetapkan karena adanya kesamaan di antara sebab terjadinya (‘ilah) dua kejadian
tersebut.

9
Ismail Nawawi, 2012.

6
C. Syarat-Syarat Hadis

Hadis merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Oleh sebab
itu, hadis selalu digunakan sebagai pedoman pengambilan dasar hukum setelah al-Qur’an.
Namun, pada kenyataannya tidak semua hadis dapat dijadikan acuan utama sebagai
pedoman sumber hukum dikarenakan kehujjahannya.
Kehujjahan hadis atau yang berarti sebagai bukti bahawa hadis tersebut benar
memiliki bagaimana tingkat baik buruk kualitasnya sebagai hadis. Lafal hujjah secara
etimologi berarti argumentasi, alasan, petunjuk ataupun keterangan sedangkan secara
terminologi hujjah merupakan alasan yang digunakan untuk emnggambarkan sebuah
kebenaran perkara yang tidak lain adalah dari hadis itu sendiri. Meski begitu, tidak semua
hadis memiliki tingkatan kebenaran yang sama. Akibatnya, ada beberapa tingkatan hadis
yang ada yakni hadis shahih, hadis hasan, serta hadis dhaif. Berikut adalah penjelasasn dari
tiga hadis tersebut.
a. Hadis Shahih
Kata shahih menurut bahasa diambil dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa
shihhatan wa shahan, yang artinya adalah sah ataupun benar. Oleh karena itu, maksud
dari hadis shahih secara bahasa adalah hadis yang benar dan sah. Dalam mencapai
keshahihannya dari hadis, maka terdapat berbagai aspek yang harus dipenuhi agar hadis
dapat disebut dengan hadis shahih.
1. Diriwayatkan oleh perawi yang adil
Adil yang dimaksud disini adalah adil bahwa perawi dapat meninggalkan
yang di larang oleh Allah swt serta mlaksanakan apa yang di perintah oleh Allah
pula. Selain itu, perawi harus terhindar dari dosa besar maupun kecil serta mampu
memiliki akhlak yang terpelihara di samping ketentuan lainnya seperti muslim,
berakal, baligh, dan tidak fasik.
2. Ke-dhabith an perawinya sempurna
Dhabit secara bahasa memiliki arti kuat, kokoh, cermat, serta terpelihara.
Maksud dari ke-dhabith an perawi yang sempurna adalah bahwa perawi tidak boleh
orang sembarangan. Orang sembarangan yang dimaksud disini adalah orang yang
tidak kuat hafalannya ataupun tidak cerdas. Alasan dari persyaratan itu adalah agar
hadis yang diterima maupun di riwayatkan tidak mudah hilang atau dilupakan.
3. Sanad-sanad nya saling berhubungan

7
Maksud dari syarat ini bahwasanya sanad pada hadis harus saling
berhubungan atau terikat, berdekatan, bersambungan, maupun merangkai. Dengan
kata lain, yakni antar perawi hadis dan penerima harus ada pertemuan langsung
dalam proses periwayatan dan penerimaannya. Sebagai bukti bahwa sanad-sanad
itu terhubung adalah dapat dilihat melalui keadaan usia dan tempat tinggal mereka.
4. Tidak ada cacat atau ‘illat
Yang disebut Hadis tidak ber’illat, berarti hadis yang tidak memiliki cacat,
yang disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik, yang kelihatannya samar-samar.
Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zhahir-nya, hadis tersebut
terlihat shahih. Adanya cacat yang tidak nampak tersebut, mengakibatkan adanya
keraguan, sedang hadis yang di dalamnya terdapat keraguan seperti ini kualitasnya
menjadi tidak shahih.
5. Tidak janggal atau Syadz
Yang dimaksud dengan hadis yang tidak syadz di sini, ialah hadis yang tidak
bertentangan dengan hadis lain yang sudah diketahui tinggi kualitas ke-Shahih-
annya. Hadis yang syadz pada dasarnya merupakan hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqah. Akan tetapi karena matan-nya menyalahi hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang lebih tinggi ke-tsiqah-annya, maka hadis itu
dipandang menjadi janggal atau syadz.
Di atas merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar hadis dapat
disebut sebagai hadis yang shahih. Selain itu, hadis shahih juga memiliki
pembagian yakni hadis shahih li-dzati dan juga hadis shahih li-gairih. Hadis shahih
li-dzati merupakan hadis shahih yang lima syarat atau kriteria yang telah disebutkan
di atas terpenuhi. Maka dari itu, dapat disebut dengan hadis shahih li-dzati. Adapun
macam lain dari hadis shahih yakni hadis shahih li-gairih yang berarti hadis ini
keshahihannya masih dibatu oleh keterangan lain.
b. Hadis Hasan
Hasan secara etimologis adalah sifat musyabbahah yag berarti al-jamal yakni
indah atau bagus. Menurut ulama, hadis hasan ialah hadis yang ke-dhabith an
perawinya ada di bawah atau lebih rendah dari ke-dhabith an dari perawi hadis shahih.
Secara garis besar juga, persyaratan untuk mencapai hadis hasan hampir sama dengan
hadis shahih mulai dari sanad yang harus bersambung, perawi yang adil, perawi yang
mempunyai sifat dhabith, hadis tersebut tidak syadz, dan hadis yang diriwayatkan

8
‘illadz nya tidak rusak. Namun ada pengecualian pada ke-dhabith an perawinya yang
lebih rendah tidak sempurna seperti perawi hadis shahih.
Adapun macam dari hadis hasan yakni ada dua. Yang pertama adalah hadis
hasan li-dzati dan yang kedua adalah hadis hasan li-gairih. Disebut hadis hasan li-dzati
disebabkan kualitasnya yang muncul memenuhi syarat untuk menjadi hadis hasan. Di
sisi lain, disebut hadis hasan li-gairih dikarenakan di dalamnya terdapat perawi mastur,
yang belum tegas kualitasnya, tapi bukan perawi pelupa atau sering melakukan
kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan pula pembohong dalam menyampaikan
Hadis, juga bukan karena sifat lain yang menyebabkany tergolong Fasik, dengan syarat
mendapatkan pengukuhan dari perawi lain yang mu’tabar, tidak berstatus mutabi’
maupun syahid.
c. Hadis Dhaif
Kata dhaif menurut bahasa, berarti yang lemah, sebagai lawan dari kata qawiy
yang kuat. Sebagai laan kata dari Shahih, kata dhaif juga berarti saqim (yang sakit).
Maka sebutan hadis dhaif, secara hahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, atau yang
tidak kuat. Hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis shahih dan
hasan. Hadis dhaif tidak sama dengan hadis maudhu’, atau palsu. Hadis dhaif memang
dinisbahkan kepada Rasulullah, tetapi perawi hadisnya tidak kuat hafalan ataupun
kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus.
Terdapat dua ketentuan yang dapat mengangkat kedhaif’an dari hadis dhaif, yakni:
1. Faktor dhaif dapat hilang karena adanya faktor yang menghilangkan seperti adanya
mutabi’, syahid, ataupun periwayatan lain yang sema’na.
2. Tetap kedhaif’annya, meski ada yang menghilangkannya karena terlalu dhaif.

Adapun pembagian macam hadis dhaif yang klasifikasinnya terjadi berdasarkan


sanad atau pada matannya. Kategori pertama yakni yang Dhaif karena sudut sandaran
matannya. Maksud dari kategori pertama ini adalah bahwasanya yang disandari oleh
hadis ini bukanlah Rasulullah saw melainkan sahabat dan tabi’in.

Kedua, ialah hadis yang dhaif dari sudut matannya. Kedhaif an ini lahir karena
lemahnya matan yang ada pada hadis disebabkan oleh ‘illadz. Setelah itu, ada dhaif
dikarenakan salah satu sudutnya secara bergantian yakni matan maupun sanadnya.
Yang dimaksud dari bergantian ini adalah terkadang kedhaifan hadis tersebut terjadi
disebabkan oleh sanad maupun matannya.

9
Ketiga, yakni dhaif yang disebabkan dari sudut matan maupun sanadnya secara
bersamaan. Maksud dari bersamaan ini adalah kedhaif annya terjadi sebagai contoh
ketika disanadkan dari Rasulullah saw namun dibuat-buat dan dusta. Yang terakhir,
yakni dhaif karena persambungan sanadnya. Dhaif karena hal ini dikarenakan sanad
yang gugur ketika sanad tersebut disebutkan seorang yag tidak dikenal namanya.

D. Macam-Macam Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad

a. Hadis Mutawatir
Hadis Mutawatir terbagi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdi dan Mutawatir Ma’nawi.
1. Mutawatir Lafdi
Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya. Contoh hadis riwayat Abu
Hurairah, "Barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku secara sengaja, maka
hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat duduknya di neraka." (HR Bukhari).
Dikatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, dan jumlah yang
meriwayatkannya terus bertambah.
2. Mutawatir Ma’nawi
Hadis yang maknanya mutawatir sementara lafaznya tidak. Contohnya:
Perihal mengangkat tangan ketika berdoa. Hadis-hadis yang meriwayatkan seperti
ini terdapat sekitar 100 hadis.
b. Hadis Ahad
Hadis ahad memiliki pembagian yang sama seperti hadis mutawatir. Pembagian
tersebut sangat bermanfaat bagi siapa pun sehingga dapat dipelajari dengan baik dan
benar. Ada tiga klasifikasi yang diberikan pada hadis ahad yakni sebagai berikut:
1. Hadis Masyhur
Secara bahasa, hadis masyhur berasal dari isim naf’ul yakni “syahara” yang
berarti terkenal atau populer. Hadis masyhur menurut istilah adalah hadis yang
periwayatannya diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih. Ketentuan ini disebut
hadis masyhur hingga tidak mencapai ketentuan sebagai hadis mutawatir yang
sekurang-kurangnya tiga perawi dan harus ada pada setiap tingkatan sanad.
Dijelaskan juga menurut Ibnu Hajar bahwasannya hadis ahad yang termasuk
pada hadis masyhur ini memiliki perawi lebih dari dua namun tidak mencapai pada
ketentuan mutawatir. Berikut adalah contoh dari hadis masyhur:

10
‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ قال‬، ‫عن عبد هللا بن عمرو بن العاص رضي هللا عنهما‬
‫ق‬ ِ ‫ هولك ِْن هي ْق ِبض الع ِْل هم ِبقهب‬،‫اس‬
ِ ‫ هحتى ِإذها هل ْم ي ْب‬، ِ‫ْض العله هماء‬ ِ ‫ل هي ْق ِبض الع ِْل هم ا ْنتِزه اعا هي ْنت هزعه مِ نه الن‬
‫هللا ه‬
‫ «إن ه‬:‫يقول‬
‫ضلُّوا‬
‫هوأ ه‬ ‫ فه ه‬،‫ فهسئِلوا فهأ ْفتوا بِغهي ِْر ع ِْل ٍم‬،‫ ات هخذه الناس رؤوسا جهال‬،‫عالِما‬
‫ضلُّوا‬ ‫« ه‬.
]‫[متفق عليه] [صحيح‬
Dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata, “Aku mendengar Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara seketika
mencabutnya dari seorang hamba. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara
mewafatkan para ulama. Sehingga bila tidak tersisa seorang ulama pun maka
manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Maka,
ketika mereka ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan
menyesatkan.” ]Hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad. (Thahan, t.th. 25). Hadits ini diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, di
seluruh tingkatan (thabaqah) sanad terdapat tiga orang rawi atau lebih sebagaimana
telah dirinci dalam sanadnya.
2. Hadis Aziz
Klasifikasi kedua dari hadis ahad adalah hadis aziz. hadis ini disebut hadis
aziz karena hanya diriwayatkan oleh dua perawi saja. Secara bahasa hadis aziz
berarti kuat atau mulia dan juga berarti jarang sedangkan secara istilah hadis aziz
adalah hadis yang diriwayatkan tidak kurang dari dua maupun lebih perawi
walaupun dua perawi tersebut ada pada satu thabaqat saja. Adapun contoh dari hadis
aziz adalah sebagai berikut:
Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai
daripada ayahnya, anaknya dan seluruh umat manusia. Hadits riwayat Al-Bukhari
dan Muslim (Mahmud Thahan, 30). Dalam hadis tersebut kita dapat mengetahui
bahwa hanya terdapat dua perawi yakni Anas bin Malik dan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhuma. Karena jumlah perawinya ada dua, maka dikategorikan
sebagai hadis aziz serta tidak ada keterangan adanya jalur lain selain dari dua perawi
tersebut.
3. Hadis Gharib
Secara bahasa hadis gharib memiliki arti menyendiri, jauh, terpisah, maupun
asing. Menurut istilahya, hadis gharib yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh
seorang perawi saja atau bisa disebut sendirian. Kategori perawi pada klasifikasi
hadis ini dapat dikategorikan dengan perawi yang berasal dari tingkatan manapun.

11
Meski hanya diriwayatkan oleh seorangperawi saja, hadis gharib masih
memiliki klasifikasi lagi yakni hadis gharib mutlak dan hadis gharib nisbi. Hadis
gharib mutlak adalah hadis yang apabila penyendiriannya itu mengenai personalnya
meski kesendirian itu terdapat pada satu thabawat saja. Selain itu, kesendiriannya
adalah tujuan dari perawi itu sendiri. Berikut adalah contoh dari hadis gharib:
Dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah Saw., bersabda,
“Semua perbuatan tergantung kepada niat. Dan (balasan) bagi tiap-tiap orang
(tergantung) apa yang dia niatkan. Maka siapa saja hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa saja
hijrahnya karena dunia yang ingin dia dapatkan, atau wanita yang ingin dia nikahi,
maka hijrahnya adalah kepada apa dia niatkan (H.R. Al-Bukhari 54 dan Muslim
1907).

E. Hukum Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad

a. Hadis Mutawatir
Hadis Mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan
kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati, seperti seseorang yang
tidak ragu-ragu menyaksikan dirinya. Oleh karena itu semua Hadis Mutawwatir
hukumnya diterima dan tidak perlu adanya penelitian keadaan perawinya.
Ibn Hiban dan Al-Hazimi berpendapat hadis Mutawatir itu tidak ada sama
sekali, dengan alasan kenapa Ulama Ahli Hadis tidak membahasnya, karena para ulama
Ahli Hadis hanya membahas seputar diterima dan ditolaknya Hadis dari segi sanad dan
matan. Dan Hadis Mutawatir tidak perlu penilitian kepada semua perawi, karena Hadis
Mutawatir mengandung ilmu yang jarus diyakini, pendapat Ibn Hiban dan Al-Hazimi
tidak perlu ditarik kesimpulan tentang Hadis Mutawatir itu tidak ada, padahal Ulama
Ahli Hadis memberikan contoh hadis “man kadzaba ‘alayya muta’amidan fal
yatabawwa maq’adahu minnar” itu benar ada, sedangkan Ibn Sholah mengatakan Hadis
Mutawatir itu sedikit dan jarang.
Akan tetapi Ibn Hajar pada Syarh An-Nukhbah menentang kedua pendapat
diatas, tentang pendapat Ibn Hiban dan Al-Hazimi yang mengatakan tidak ada dan Ibn
Sholah yang mengatakan sedikit. Hal itu timbul karena, sedikitnya penilitian tentang
tingkatan-tingkatan yang banyak, keadaan perawi, dan sifat perawi yang menurut
kebiasaan terhindar dari bersepakat untuk dusta. Kemudian Ibn Hajar juga mengatakan:

12
“Sungguh baik orang yang mengatakan Hadis Mutawatir itu ada dalam kategori hadis,
bahwasannya banyak kitab-kitab yang terkenal di kalangan Ahli Ilmu dari Barat dan
Timur.
b. Hadis Ahad
Menurut sebagian ulama, status wurud hadis ahad adalah zhanni. Mereka
beralasan bahwa hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak
menimbulkan keyakinan yang pasti kebenarannya. Dalam pada itu, mereka juga
berpendapat bahwa status zhanniy dalam hal ini mengakibatkan adanya kewajiban
untuk mengamalkannya.
Jumhur ulama sepakat bahwa sekalipun hadis ahad statusnya zhanniy al-wurud,
akan tetapi wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya. Imam Syafi`i, Abu Hanifah
dan Imam Ahmad, menerima hadis ahad apabila syarat-syarat periwayatan terpenuhi.
Demikian pula, Muhammad Ajjaj al-Khatib menyatakan bahwa hukum hadis ahad
wajib diamalkan, apabila memenuhi syarat-syarat untuk diterima.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menurut Imam Muslim sebagaimana
yang dikatakan al-Nawawiy, bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi
ketentuan maqbul (diterima), hukumnya wajib. Menurut al-Qasimiy, jumrur ulama,
baik dikalangan sahabat maupun tabi`in, serta para ulama sesudahnya, baik kalangan
ahli hadis, ahli fiqh, maupun ahli usul, berpendapat bahwa hadis ahad yang sahih itu
dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.10
Golongan Mu`tazilah berpendapat bahwa, tidak wajib beramal dengan hadis
hadis ahad, kecuali jika hadis itu diriwayatkan oleh dua orang yang diterimanya dari
dua orang pula. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa hadis semacam itu wajib
di amalkan jika diriwayatkan oleh empat orang dan diterimanya dari empat orang pula.
Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah
karena hadis ahad berstatus zhanniy al-wurud. Alasannya, yang zhanniy tidak dapat
dijadikan dalil untuk yang berkaitan dengan keyakinan. Soal keyakinan harus
berdasarkan dalil yang qath`iy, baik wurud maupun dalalahnya. Jadi, menurut mereka,
hal-hal yang berkenaan dengan masalah akidah haruslah berdasarkan petunjuk al-
Qur`an dan atau hadis mutawatir.11

10
Abdul Haq Syawqi, “Pengujian Hadis Ahad Sebagai Sumber Hukum,” Islamuna: Jurnal Studi Islam 5, no. 2
(2019): 129.
11
M Syuhudi Ismail et al., “KEHUJJAHAN HADIS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH Tasmin Tangngareng Prodi
Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan Politik UIN Alauddin Makassar Email :

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah
hadis yang memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang banyak
dengan jumlah yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk
melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut. Sementara itu,
hadis ahad adalah hadis yang hanya disampaikan oleh satu orang saja. Hadis ahad berarti
tidak mencapai tingkat pada hadis yang mutawatir.

Sejumlah kriteria dari hadis mutawatir, antara lain diriwayatkan banyak perawi,
menunjukkan keabsahan informasi yang disampaikan, tidak bertentangan dengan al Quran,
mustahil para perawi sepakat untuk berbohong, dan sandaran hadis ini dilakukan
menggunakan pancaindra. Sementara itu, syarat-syarat dalam mengamalkan hadis ahad,
yaitu perawi tidak menyalahi apa yang diriwayatkannya, hal yang diriwayatkan itu bukan
masalah umum, dan tidak bertentangan dengan qiyas.

Hadis Mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan


kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati, seperti seseorang yang tidak
ragu-ragu menyaksikan dirinya. Oleh karena itu semua Hadis Mutawwatir hukumnya
diterima dan tidak perlu adanya penelitian keadaan perawinya. Sedangkan menurut
sebagian ulama, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena hadis ahad berstatus
zhanniy al-wurud.

B. Saran

Dilihat dari keseluruhan pemaparan, urgensi makalah ini disusun dalam upaya
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kedua jenis hadis ini. Sebagai penyusun,
kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan, baik dalam segi tata bahasa
maupun materi yang disampaikan. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran agar
makalah ini menjadi lebih baik ke depannya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan pengertahuan bagi pembaca.

Tasmintangngareng@yahoo.Com Abstrak Artikel Ini Membahas Tentang Kehujjahan Hadis-Hadis Ahad ,


Khususnya ” 7 (2016): 18–30.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. “Umar Hashim, Op. Cit,” 144AD.

Andhy Jazz. “Hadis.” Academia.Edu, April 18, 2011, HADIS MUTAWATIR DAN AHAD
edition.

Azkia Nurfajrina, Baca artikel detikhikmah, “Mengenal Hadits Mutawatir: Ini Arti, Ciri, Jenis
dan Contohnya” selengkapnya https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-
6605896/mengenal-hadits-mutawatir-ini-arti-ciri-jenis-dan-contohnya.

Budi Suhartawan, Muizzatul Hasanah. “MEMAHAMI HADITS MUTAWATIR DAN


HADITS AHAD.” E-Jurnal.Stiqarrahman.Ac.Id Vol. 3 No. 01, no. DIRAYAH : Jurnal
Ilmu Hadis (Oktober 2020).

Faslul Rahman, SH.,M.Pd. “HADIS MUTAWATIR DAN AHAD.” Academia.Edu, n.d.

Ismail Nawawi, 2012.

Kumparan.com. “Perbedaan Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad.” n.d.

“M. Abdurrahman, Op. Cit., 172,” n.d.

Mufaizin Mufaizin Mufaizin. STUDI HADITS (Pengantar Teoritis Memahami Hadits & Ilmu
Hadits). 1st ed. -. Press STAI Darul HIkmah Bangkalan: Sekolah Tinggi Agama Islam
Darul Hikmah Bangkalan, 2021.

Nuruddin Itr. “Ulum Al-Hadits 2.” Terj. Mujiyo, Cetakan Pertama (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1994), n.d.

“Nuruddin Itr, Op. Cit., 196-7. Bandingkan Pula Dengan M. Abdurrahman, Op. Cit., 172, Yang
Mengatakan Bahwa Ada Ulama Yang Menyebutkan 5, 20, 40, 70, Dan 313 Periwayat.”
n.d.

Umar, A., Ahmad, F., Mobin, M. A., Economic, A. S., Halim, A., Noor, M., Bahrom, H., &
Rahim, A. (2015). Ĥadīŝ Aĥād Sebagai Sumber Hukum Islam (Pemikiran Imam al-
Sarakhsī dan Imam al- Ghazālī, Pendekatan Epistemologi). 17(1).

Tambak, S. P., & Khairani, K. (2023). Kualitas Kehujjahan Hadis (Sahih, Hasan, Dhaif).
Tarbiatuna: Journal of Islamic Education Studies, 3(1), 117–128.

15
Syahidin, S. (2018). Penolakan Hadis Ahad Dalam Tinjauan Sejarah Ingkar Sunnah. Tsaqofah
Dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan Dan Sejarah Islam, 3(2), 179.

Nazeli Rahmatina. (2023). Hadis Ditinjau Dari Segi Kuantitas (Hadis Mutawatir Dan Hadis
Ahad). AL-MANBA, Jurnal Ilmiah Keislaman Dan Kemasyrakatan, 1, 20–28.

Suhartawan, B., & Hasanah, M. (2022). Memahami Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad.
DIRAYAH: Jurnal Ilmu Hadis, 3(1), 1–18.

Abdul Mutualli, A. M. (2020). DIKOTOMI HADIS AHAD-MUTAWATIR Menurut


Pandangan Ali Mustafa Yaqub. Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis, 9(2), 200–219.

Syahidin, S., Fauzan, A., & Syukri, I. (2020). Pro-Kontra dalam Mengamalkan Hadis Ahad
Sebagai Otoritas Agama Islam. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis.

Abdul Haq Syawqi, “Pengujian Hadis Ahad Sebagai Sumber Hukum,” Islamuna: Jurnal Studi
Islam 5, no. 2 (2019): 129.
M Syuhudi Ismail et al., “KEHUJJAHAN HADIS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH
Tasmin Tangngareng Prodi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan Politik UIN
Alauddin Makassar Email : Tasmintangngareng@yahoo.Com Abstrak Artikel Ini
Membahas Tentang Kehujjahan Hadis-Hadis Ahad , Khususnya ” 7 (2016): 18–30.

16

Anda mungkin juga menyukai