STUDI AL-HADITS
Studi Al-Hadits
Disusun oleh :
DOSEN PENGAMPU :
Masadah, MHI
1
KATA PENGANTAR
Tugas ini merupakan tugas mata kuliah Studi Hadits tentang penyusunan makalah
mengenai klasifikasi hadits menurut kuantitasnya. Dalam penyusunan tugas ini,
penulis banyak mendapatkan petunjuk serta pelajaran yang bermanfaat. Penulis
mengharapkan kritik maupun saran dari pembaca sekalian, guna untuk
memperbaiki kekurangan dalam tugas makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................4
A. Hadits Mutawatir............................................................................................6
B. Hadits Masyhur..............................................................................................10
C. Hadits Ahad....................................................................................................12
A. Kesimpulan....................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................16
3
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran, yang
mana telah dibukukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, Khalifah
kelima Bani Umayyah. Sedangkan sebelumnya hadits-hadits Nabi SAW masih
terdengar dalam ingatan para sahabat untuk kepentingan dan pegangan mereka
sendiri. Umat Islam di dunia harus menyadari bahwa hadits Rasulullah SAW sebagai
pedoman hidup yang kedua. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan
hukumnya, cara mengamalkannya, tidak dirinci dengan ayat Al-Qur’an secara mutlak
dan secara jelas, hal ini membuat para muhaditsin sadar akan perlunya mencari
penyelesaian dalam hal trsebut dengan al-hadits.1
Setiap hadits (tradisi verbal) mengandung dua bagian, teks hadits (matan) itu
sendiri dan isnad atau mata rantai transmisi, yang menyebutkan nama-nama
penutur/periwayatnya (rawi), yang mendukung teks hadits tersebut. Pada awalnya
hadits muncul tanpa dukungan isnad kurang lebih pada akhir abad ke-1 H (7 M).
Sekitar masa ini pulalah hadits muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis
yang formal mulai dirintis. Meskipun demikian, ada bukti kuat yang langsung atau
tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi sebuah disiplin yang
formal dalam abad ke-2 H (8 M), fenomena hadits telah muncul paling tidak sejak
kira-kira tahun 60-80 H (680-700 M)2
Pengklasifikasian hadits ditinjau dari sedikit-banyaknya periwayat atau dari
segi bilangan ruwah, oleh sebagian besar (jumhur) ulama hadits, dibagi menjadi dua;
mutawatir dan ahad. Kemudian dari hadits ahad dibagi lagi menjadi tiga; mashhur,
’aziz, dan gharib. Namun kebanyakan ahli fiqih dan ahli ushul, membaginya menjadi
tiga; mutawatir, mashhur dan ahad.3
1
M. Fitriyadi, Jurnal Ilmu Hadits, (Riau, 2023), 14
2
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cetakan III (Bandung: Pustaka, 1997), 68.
3
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cetakan ke-10 (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
200.
4
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya
berurutan.4 Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang (perawi), yang menurut adat (kebiasaan)
mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Dari definisi tersebut maka terdapat
beberapa ciri atau syarat yang bisa disematkan pada hadis Mutawatir, yaitu:
diriwayatkan banyak orang, diterima banyak orang, tidak mungkin perawi
yang banyak itu bersepakat untuk berdusta, dan hadis itu didapat melalui
panca indra.5
Senada dengan pengertian di atas Hasbi Ash- Shiddieqy mengemukakan
hadis mutawatir adalah
َم ا َيْر ِوْيِه َقْو ٌم اَل ُيْح َص ى َعَد ُدُهْم َو اَل ُيَتَو َّهُم َتَو اُطُؤُهْم َع َلى اْلَك ِذِب َو َيُد ْو ُم َهَذ ا اْلَح ُّد َفَيُك ْو ُن َأَّو ُلُه َك اِخِدِه
َو اِخ ُر ُه َك َأَّو ِلِه َوَو َس ُطُه َك َطَر َفْيه
Artinya: Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak
terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat dipahamkan bahwa mereka telah
sepakat berdusta, keadaan itu terus- menerus hingga pada akhirnya.³
Berdasarkan dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hadis
mutawatir adalah hadis yang jumlah perawinya banyak yang menurut akal dan
adat kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta sehingga dapat
memberikan keyakinan terhadap kebenaran hadis yang mereka riwayatkan,
jumlah perawi terdapat pada setiap generasi dan para perawinya meriwayatkan
hadis berdasarkan pancaindera yang yakin (pengelihatan dan pendengaran).
4
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2014), 110
5
Al-Suyuthiy, Thadrib al-Rawiy,(Surabaya, 2020), 255
6
2. Syarat – Syarat Hadits Mutawatir
a) Periwayatnya orang banyak
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang minimal jumlah pada
periwayat hadits tersebut.6 Adapun tentang jumlah bilangan perawi,
para ulama berbeda pendapat :
Abu Thayyib menetapkan, minimal 4 orang. Dengan alasan
mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan saksi yang
diperlukan dalam suatu perkara. Misalnya dalam penuduhan
zina.
Sebagian golongan Syafii menetapkan, minimal 5 orang.
Dengan alasan mengqiyaskan pada jumlah 5 Nabi yang
bergelar “Ulul Azmi”.
Sebagian ulama ada yang menetapkan, minimal 20 orang.7
b) Jumlah banyak pada tingkatan sanad
Jika jumlah banyak orang pada setiap tingkatan sanad hanya pada
sebagian sana saja, tidak dinamakan Mutawatir tetapi nanti masuk pada
hadits Ahad.8
c) Hadits diperoleh dari Nabi atas panca indra bahwa perawi ketika
memperoleh hadits nabi muhammad saw haruslah benar-benar dari
hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.9
d) Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang mereka telah
bersepakat untuk tidak berdusta, namun ada beberapa yang di
permasalahkan mengenai jumlah perawi tersebut karena dari para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah perawi nya.10
e) Adanya keseimbangan antara perawi pada generasi pertama dengan
generasi berikutnya.11
6
Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawiy, (Kairo,2005), 397
7
Saifuddin Zuhri, Predikat Hadits dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadits Ahad,
(Surakarta,2020), 65
8
Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawiy, (Kairo,2005), 397
9
Nazeli Rahmatina, Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas, (Kalimantan Tengah, 2023), 28
10
Nazeli Rahmatina, Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas, (Kalimantan Tengah, 2023), 28
11
Nazeli Rahmatina, Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas, (Kalimantan Tengah, 2023), 28
7
Adapun hadis Mutawatir ini dibagi ke dalam doa kategori yaitu:
a) Mutawatir Lafzhi, yaitu hadis yang Mutawatir dari sisi lafadz (teks)
hadits dan maknanya. Mutawatir lahfzhi menurut para ulama
jumlahnya sangat sedikit, bahkan menurut Ibn Hibban dan al-Hazimi
hadis tidak ada.12 Contoh hadis mutawatir lafdzi yang populer (meski
menurut beberapa informasi bahwa hadis tersebut sebenarnya tidak
benar-benar sama redaksinya) adalah hadis tentang ancaman
Rasulullah terhadap orang yang melakukan kebohongan atas nama
beliau, sebagai berikut:
ُقْلُت ِللَّز َبْيُر َم ا َيْم َنُعَك َأْن ُتَح ِّد َث َع ْن َر ُسْو ِل ِهَّللا َص َّلى ُهللا: َع ْن َأِبْيِه َقاَل، َع ْن َعاِم ِر ْبِن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن الُّز َبْيِر
: َو َلِكِّني َسِم ْع ُتُه َيُقْو ُل، َأَم ا َو ِهَّللا َلَقْد َك اَن ِلي ِم ْنُه َو ْج ٌه َو َم ْنِز َلٌة: َفَقاَل، َك َم ا ُيَح ِّد ُث َع ْنُه َأْص َح اُبَك، َع َلْيِه َو َس َّلَم
َم ْن َك َذ َب َع َلَّي ُم َتَعِّم ًدا َفْلَيَتَبَّو ُأ
(رواه.َو َقاَل َأُبو ُم وَس ى اَأْلْش َع ِر ى َدَعا الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ُثَّم َر َفَع َيَد ْيِه َو َر َأْيُت َبَياَض اْبِط ْيِه
12
Qamaruzzaman, Legalitas Hadits Mutawatir dalam Perspektif Imam Jalaluddin, (Kediri, 2019), 317
13
Nazeli Rahmatina, Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas, (Kalimantan Tengah, 2023), 28
14
Qamaruzzaman, Legalitas Hadits Mutawatir dalam Perspektif Imam Jalaluddin, (Kediri, 2019), 317
8
البخاري
Artinya: Abu Musa Al-Asy’ari berkata, Nabi Muhammad saw berdoa
kemudian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-
putih kedua ketiaknya. (HR. Bukhari).15
4. Perbedaan Ulama dalam Jumlah Periwayatan Hadits Mutawatir
Terdapat beberapa perbedaan pendapat dari para ulama dalam jumlah
periwayatan hadis Mutawatir diantaranya :
a) Ibn Hajar, ia mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat yang
shahih itu tidak adanya pembatasan jumlah perawi dalam Hadits
Mutawatir.
b) Zainuddin Qasim, ia menyampaikan bahwa Hadits Mutawatir harus
diriwayatkan melalui sanad yang jumlahnya banyak sampai tidak
terhitung.
c) Ibn Sam’ani, ia berpendapat bahwa hadis yang kurang dari 5 perawi
tidak bisa disebut sebagai Hadits Mutawatir.
d) Imam Suyuti, ia menyebutkan bahwa tidak ada batasan dalam jumlah
perawi yang diketahui. 16
B. Hadits Masyhur
1. Pengertian Hadits Masyhur
15
Nazeli Rahmatina, Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas, (Kalimantan Tengah, 2023), 28
16
Qamaruzzaman, Legalitas Hadits Mutawatir dalam Perspektif Imam Jalaluddin, (Kediri, 2019), 317
17
Saifuddin Zuhri, Predikat Hadits dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadits Ahad,
(Surakarta,2020), 65
9
Menurut Etimologi Mudasir Al-Intisyar wa Az-Zuyu’ artinya sesuatu yang
sudah tersebar dan populer. sedangkan menurut Mahmud Thahhan, masyhur
merupakan Mashdar berbentuk isim maf'ul dari kata “ Syaharats Al Amru”
yang berarti sesuatu yang telah terkenal setelah disebarluaskan dan
ditampakkan di permukaan.18
Menurut istilah, Hadis Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dengan
tiga jalur perawi (sanad) atau lebih, namun tidak sampai pada tingkatan
mutawatir. Periwayatan dengan minimal tiga jalur sanad tidak harus di semua
tingkatan sanad, tetapi bisa jadi hanya di satu tingkatan saja. Umpamanya di
tingkatan atau jalur sahabat hanya diriwayatkan oleh tiga orang saja,
sedangkan ditingkatan berikutnya ada empat perawi atau lebih, maka hadis
tersebut tetap dinamakan hadis masyhur.19 Para ulama memberikan makna
yang berbeda mengenai hadis masyhur. menurut ulama fiqih, hadis ini adalah
muradif dengan hadits mustafid. Selain makna di atas, pendapat kedua
mengenai makna hadis masyhur (mustafidz) adalah hadis yang diriwayatkan
oleh tiga perawi atau lebih pada tingkatan akan tetapi tidak mencapai derajat
Mutawatir. 20
10
3. Kehujjahan Hadits Masyhur
Hukum Hadits masyhur adakalanya shohih, Hasan atau dho’if bahkan
ada yang bernilai maudhu’. Hadits masyhur ini yang berkualitas shahih
memiliki kelebihan untuk ditarjih (diunggulkan) bila ternyata bertentangan
dengan hadis Aziz dan hadis Gharib. Kualitas dari dua macam hadis masyhur
tersebut tergantung pada keterpenuhan syarat-syarat hadis maqbul. Oleh
karena itu kualitas hadis masyhur ada yang sahih, hasan, dha’if dan bahkan
ada yang mawdhu’.22
Secara Istilah :
Nabi saw. Bersabda:
حتى إذا لم يبق عالما إن هلال ال يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم،بقبض العلماء
اتخذ الناس رؤوساُ جهاال.فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-
Nya. Tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, sehingga jika
Allah tidak menyisakan orang pandai, maka manusia mengangkat orang-orang
bodoh sebagai pemimpin lalu mereka ditanya dan mereka memberi fatwa
tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.”
Hadis ini ditinjau dari kuantitas sanad dinamakan hadis masyhur karena
memiliki tiga jalur perawi yang berbeda atau lebih, tetapi tidak sampai pada
tingkatan mutawatir.
Non Istilah :
a) Hadis Masyhur di kalangan ulama hadis
(قنت النبي صلى هلال عليه وسلم شهرا يدعو على رعل وذكوان )أخرجه الشيخان
“Nabi Muhammad saw. Melakukan qunut (nazilah) selama sebulan
mendo’akan (celaka) bagi kelompok Ri’l dan Dzikwan” (HR: al-
Bukhari-Muslim)
22
Desti Jiyanto, Hadits Masyhur Makalah, (Solo, 2018), 21
11
“Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak” (HR:
Abu Daud)
c) Hadis Masyhur di kalangan para da’i
علماء أمتي كأنبياء بني إسرائيل
“ulama-ulama umatku seperti nabi-nabi Bani Israil”
d) Hadis Masyhur di kalangan ulama nahwu
أنا أفصح من نطق بالضاد بيد أني من قريش
“saya orang yang paling fasih mengucapkan dhád walaupun saya dari
golongan Quraisy”23
C. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadits Ahad
Secara bahasa kata ahad atau wahid berarti satu, khabar ahad/wahid adalah
suatu berita yang satu orang. Adapun pengertian hadis ahad secara isitilah
adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, maksudnya
bahwa semua hadis yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkat
mutawatir dinamakan hadis ahad. Ulama ahli hadis menyebutkan bahwa hadis
ahad adalah hadis yang para perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadis
mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat orang atau seterusnya, tetapi
keadaan jumlah perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi
terakhir. 24
Jumhur Ulama sepakat bahwa hadis ahad adalah hadis yang telah
memenuhi ketentuan maqbul dan mereka berpegang kepada hadis ahad dalam
urusan amal dan hukum, tidak dalam urusan I’tiqad dan keyakinan. Pendapat
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal hadis ahad
dapat dipakai bila dasar-dasar hadis periwayatannya yang shahih telah
terpenuhi. 25
Imam Abu hanifah menetapkan hadis ahad dapat dipakai bila syarat tsiqah
dan adil bagi perawinya dan amaliyahnya tidak menyalahi hadis yang
diriwayatkan sedangkan pendapat Imam Malik menetapkan hadis ahad dapat
23
Nazeli Rahmatina, Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas, (Kalimantan Tengah, 2023), 28
24
Sarwat, Kehujjahan Hadits, (Kalimantan, 2022), 48
25
M. Nasri Hamang, Kehujjahan Hadits Menurut Imam Mazhab Empat, (Parepare, 2020), 98
12
dipakai dengan syarat perawi hadis tidak menyalahi amalan ahli Madinah.
Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :
.هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua
atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis
Mutawatir”.26
Kedua, Hadis Aziz adalah hadis yang perawinya tidak boleh kurang
dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari dua
orang, seperti tiga, empat atau lebih dengan syarat bahwa pada salah satu
tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang.
26
Zahro, Memahami Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanad, (Sumatra, 2023), 181-189
27
Suhartawan, Memahami Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad, (Solo, 2022), 18
13
Ketiga, hadis gharib adalah setiap hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan
sanad dan bahkan mungkin hanya pada satu tingkatan sanad.
حَّتى أُك وَن أَح َّب إَلْيِه ِم ن واِلِدِه وَو َلِدِه والَّناِس أْج َم ِع يَن، اَل ُيْؤ ِم ُن أَح ُد ُك ْم
”Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai
daripada ayahnya, anaknya dan seluruh umat manusia.” [Hadits riwayat Al-
Bukhari dan Muslim]
Hadits ini hanya diriwayatkan dari Anas bin Malik dan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhuma. Tidak terdapat keterangan adanya jalur selain mereka
berdua di tingkatan sanad ini (di thabaqah sahabat).
Oleh karenanya, jumlah perawinya pada thabaqah ini hanya dua orang saja,
sehingga ini hadits Aziz, wallahu a’lam.28
BAB III
28
Fathurrahman, Kehujjahan Hadits dan Fungsinya dalam Hukum Islam, (Surakarta, 2022), 115
29
Diana Fatimatu Zahro, Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Hadits Mutawatir dan Ahad, (Tulungagung,
2023),188
14
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan
seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada panca indera. Suatu
hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan yaitu: Hadits
yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebuut harus berdasarkan tanggapan (daya
tangkap) pancaindera, diriwayatkan oleh perawi yang banyak, bilangan para perawi
mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta, seimbang
jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir ada dua, yaitu mutawatir lafdzi dan maknawi.
30
Hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang
terdapat pada hadis mutawatir, yaitu mencakup hadis yang diriwayatkan oleh seorang
perawi pada satu thabaqah atau pada semua thabaqah dan diriwayatkan oleh dua
perawi atau lebih tetapi tidak mencapai jumlah perawi tingkat mutawatir. Pembagian
hadits dengan istilah mutawati, masyhur, dan ahad tidak sepenuhnya sama dalam
tradisi hanafiyyah, karena ulama hanafiyyah mengggunakan redaksi yang berbeda
tetapi mereka sebenarnya merujuk pada substansi yang sama. 31
Hadits Masyhur tergolong dalam hadits ahad yaitu ada tiga, diantaranya hadits
masyhur, hadits masyhur sendiri dibedakan minimal menjadi empat macam: masyhur
di kalangan ahli hadits, kalangan fuqoha, kalangan ulama ushul fiqih, serta kalangan
ulama ahli hadits, fuqoha, ulama ushul fiqih dan dikalangan awam. Kedua, hadits
aziz. Ketiga, hadits gharib, hadits gharib dibedakan menjadi dua, yaitu gharib mutlak
dan gharib nisbi. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan
untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia
membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi
Muhammad Saw benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir. 32
DAFTAR PUSTAKA
30
Zuhri, Jurnal Predikat Hadits dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadits Ahad,
(Surakarta, 2008), 87
31
M. Shofiyyuddin, Kajian Tingkat Validitas Hadits dalam Tradisi Ulama Hanafi, (Kudus, 2023), 14
32
Diana Fatimatu Zahro, Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Hadits Mutawatir dan Ahad, (Tulungagung,
2023),188
15
M. Fitriyadi, Jurnal Ilmu Hadits, (Riau, 2023), 14
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cetakan III (Bandung: Pustaka, 1997), 68.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cetakan ke-10 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991), 200.
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2014), 110
Saifuddin Zuhri, Predikat Hadits dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadits
Ahad, (Surakarta,2020), 65
Nazeli Rahmatina, Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas, (Kalimantan Tengah, 2023), 28
Qamaruzzaman, Legalitas Hadits Mutawatir dalam Perspektif Imam Jalaluddin, (Kediri, 2019), 317
Moh. Jufriyadi Sholeh, Telaah Pemetaan Hadis Berdasarkan Kuantitas Sanad, (Sumenep, 2022), 50
M. Nasri Hamang, Kehujjahan Hadits Menurut Imam Mazhab Empat, (Parepare, 2020), 98
Zahro, Memahami Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanad, (Sumatra, 2023), 181-189
Fathurrahman, Kehujjahan Hadits dan Fungsinya dalam Hukum Islam, (Surakarta, 2022), 115
Diana Fatimatu Zahro, Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Hadits Mutawatir dan Ahad,
(Tulungagung, 2023),188
Zuhri, Jurnal Predikat Hadits dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadits
Ahad, (Surakarta, 2008), 87
M. Shofiyyuddin, Kajian Tingkat Validitas Hadits dalam Tradisi Ulama Hanafi, (Kudus, 2023), 14
16