Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Pembagian hadist ditinjau dari segi kuantitas

Di ajukam sebagai salah satu tugas mata kuliah Ulumul qur’an

Dosen pembimbing:

Muhammad Sabli M.Pd.i

Di susun oleh

Istikomah

Junia kartika

INSTITUT AGAMA ISLAM YASNI BUNGO

FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PGMI (2C)

TAHUN 20022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur atas penyusun panjatkan kehadirat allah swt,
karena berkat rahmat dan hidayatnyalah. Kami bsa dapat menyelesaikan tugasa
makalah kami ini. Makalah ini dibuat dalaam rangka memenuhi tugas mata kuliah
bahasa indonesia dengan judul” penulisan karya ilmiyah Dalam penyusunan
makalah ini, penyusunan memndapat masukan dan bimbingan dari berbagai pihak
sehingga makalah ini bisa selesai, untuk itu pada kesempatan ini pemekalah
berterimakasih kepada semua pihak yag telah membantu dalam pnyusunan
makalah ini.Penyusun menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, karena keterbatsan pengetahuan dan pengalaman penyusun.untuk itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun sipembaca demi lebih
baik laginya makalah ini. Akhir kata .penyusun berharap agar makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.

Muara bungo,18 mei 2022

Kelompok
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang................................................................................
2. Rumusan masalah..........................................................................
3. Tujuan penulisan............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
1. Hadits di tinjau dari segi kuantitasnya....................................
2. Hadits mutawatir.....................................................................
3. Syarat-syarat hadits mutawatir................................................
4. Berdasarkan tangkapan panca indra........................................
5. Pembagian hadits mutawatir...................................................
6. Hadits ahad..............................................................................
7. Pembagian hadits ahad............................................................
8. Macam-macam haduts masyur................................................
9. Hadits ghair masyhur..............................................................
BAB III PENUTUP
1.kesimpulan...............................................................................
2.saran.........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUA
A.LatarBelakang

Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur‟an untuk
memberi petunjuk kepada kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan
dalam Al-Qur‟an akan dijelaskan secara gambling dalam sebuah hadis, karena
pada dasarnya hadist merupakan perkataan, ajaran, perbuatan Rasulullah SAW.
Ilmu hadis telah menyedot perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam
hingga saat ini, bahkan khasanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadis
disbanding misalnya kitab tafsir.
Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadits dalamIslam.
Kita sebagai seorang muslim tidak menyakinina bahwa semua hadis adalah
shahih, namun juga tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah
palsumsebagaimana anggapan para orientalis. Untuk mengetahui tentang
kedudukan/martabat suatu hadits dimata hukum yang selanjutnya dari hadits
tersebut bagaimana dapatnyadijadikan sandaran/landasan hukum maka perlu
difahami tentang keadaan suatu haditsbaik dinilai dari sifat perawinya,
sanadnya, maupun matan dari hadits itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian Hadits jika ditinjau dari segi kuantitasnya?
2. Apa pengertian, syarat-syarat, dan pembagian dari Hadis Mutawatir itu?
3. Apa Pengertian dan macam-macan hadis Ahad dan pembagian-
pembagiannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pembagian Hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
2. Untuk mengetahui pengertian, syarat-syarat, dan pembagian dari Hadis
Mutawatir
3. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam Hadis Ahad dan
pembagian-pembagiannya
BAB II
PEMBAHASAN

A. HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA


Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi
kuantitasnya ini. Maksud tinjauan dari segi kuantitas disini adalah dengan
menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadis. Para
ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir,
masyhur dan ahad, dan ada juga yangmembaginya hanya menjadi dua, yakni
hadis mutawatir dan ahad.
Pendapat pertama, yang menjadikan hadis mashur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian dari hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, di
antaranya adalah Abu Bakar Al-Jassas (305-370 H). Sedang ulama golongan
kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka,
hadis mashur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya
bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis menjadi dua bagian : mutawatir
dan ahad.

B. HADIST MUTAWATIR
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya
atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Sedangkanpengertian hadis mutawatir menurut istilah terdapat beberapa
definisi1, antara lain sebagai berikut:

‫هوخبرعن محسوس رواه عد دجم يجب فى العادةاحاله اجتماعهماوتواطئهم على الكذب‬


Suatu hadist hasil tanggapan pancaindra, yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan
bersepakat untuk dusta (hady mufaat ahmad, 19994: 144).
Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan
‫مايرويه قوم اليحص عد دهم واليتو اطؤهم على الكذب ويدوم هذاالجد فيكون اوله كاخره واخره‬
‫كاوله ووسطه كطر فيه‬
Hadist-hadist yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak
terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat dipahamkan, bahwa mereka telah

1
sepakat berdusta. Keadaan itu terus menerus hingga sampai
kepadaakhirnya.
Sedangkan Subhi Shalih mendefinisikan
‫فالمتواترهوالحديث الصحيح الذي يرويه جمع يحيل العقل والعادة تواطؤهم على الكذب عن جمع‬
‫مثلهم فى اول السندووسطه واخره‬
Mutawatir ialah hadist shahih yang sejumlah besar orang menurut akal dan
adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, sejak awal sanad, tengah
dan akhirnya. (Shubhi Shalih, 1959 : 146)
2. Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai
Hadis Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
yang membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda
pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak
menentukan jumlah tertentu.
Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang
penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan
terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk
berdusta2.
Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu,
mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu. Al-Qadhi Al-
Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadis agar bisa disebut
hadis mutawatir tidak boleh berjumlah empat, lebih dari itu lebih baik.

Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang, dengan


mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul
„Azmi.Al-Istakhary menetapkan yang paling baik minimal 10 orang,
sebab jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Ulama lain
menentukan 12 orang, mendasarkan pada firman Allah:
‫وبعثنا منهم اثنى عشرنقيبا‬
... Dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin. (QS.
Al-Maidah (5): 12)
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, sesuai
dengan firman Allah:
‫انيكن منكم عشرون صبرون يغلبوامائتين‬

2
“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh... (QS. Al-Anfal (8): 65)
Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin yang
tahan uji, yang hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu
mengalahkan 200 orang kafir.Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah
perawi yang di perlukan dalam hadis mutawatir minimal 40 orang,
berdasarkan firman Allah SWT:
‫يايهاالنبى حسبك هللا ومن اتبعك من المؤ منين‬
“Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang
mengikutimu”.(QS. Al-Anfal (8): 64)
Saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40
orang. Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Al-Tabrany dan Ibn „Abbas,
ia berkata “Telah masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-
laki dan 6 orang perempuan. Kemudian „Umar masuk Islam, maka
jadilah 40 orang Islam”.
Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi
dalam Hadis mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai dengan firman Allah
SWT.:

AYAT

Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami tentukan....
(QS. Al-A‟raf (7):155)
b. Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada
Thabaqat Pertama dengan Thabaqat Berikutnya Jumlah perawi
hadis mutawatir, antara Thabaqat (lapisan/tingkatan) dengan thabaqat
lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadis
diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh
sepuluh tabi‟in, dan selanjutnya hanya diterima oleh lima tabi‟in, tidak
dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir, sebab jumlah perawinya
tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat-thabaqat
seterusnya3.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan
jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting. Sebab yang
diinginkan dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan
berbohong.
c. Berdasarkan Tangkapan Pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus
berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita yang mereka
sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya
sendiri.
3
Oleh karena itu,bila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil
istinbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadis
mutawatir, misalnya berita tentang baharunya alam semesta yang
berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu,
maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan Hadis Mutawatir.
Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan menurut hasilpemikiran
pada filosof, tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir.
3. Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu
mutawatir lafdzi dan mutawatir ma‟nawi.Namun ada juga yang membaginya
menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis mutawatir „amali.
a. Mutawatir Lafdzi
Hadis Mutawatir Lafdhy ialah hadis Mutawatir yang lafazh dan maknanya
sesuai antara riwayat satu dengan lainnya.
‫مااتفقت الفاظ الرواة فيه ولو حكما وفى معناه‬
Hadis yang sama bunyi lafazh, hukum dan maknanya.
b. Hadis Mutawatir Ma’nawi
hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dengan
riwayat yang lain, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis:
‫ما اختلفوا في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كلي‬
Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna yang
umum”
c. Hadis Mutawatir ‘Amali ialah:
‫ما علم من الدين بالضرورة وتواتربين المسلمسن النبى ص م فعله او امربه اوغيرذلك وهو‬
‫الذي ينطبق عليه تعريف االجماع انطباقا صحيحا‬
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia dari agama dan telah
mutawatir di kalangan umat Islam, bahwa Nabi s.a.w. mengajarkannya
atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal
yang telah disepakati”.

C. HADITS AHAD

a. Pengertian
Terdapat banyak pengertian tentang hadis Ahad, yang antara satu dengan
yang lain tidak jauh berbeda. Di antaranya :

Suatu hadis (habar ) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah


pemberita hadis Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang,
empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi
pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis Mutawatir (Rajaa
Mustafa Hazin, 74).
Hadis Ahad ialah hadis yang para rawinya tidak sampai pada jumlah rawi hadis
Mutawatir, tidak memenuhi syarat persyaratan Mutawatir dan tidak pula mencapai
derajat Mutawatir, sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis:

Hadis yang tidak mencapai derajat Mutawatir

Karena hadis Ahad ini jelas tidak mencapai derajat Mutawatir, maka keterikatan
orang Islam terhadap hadis Ahad ini tergantung pada kualitas periwayatnya dan
kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadis itu tidak dapat mengikat orang
Islam untuk untuk mempergunakannya sebagai dasar beramal. Sebaliknya, bila
sanadnya bersambung dan kualitas periwayatnya bagus maka menurut Jumhur,
hadis itu harus dijadikan dasar (Muh Zuhri, 1997: 86).

b. Pembagian Hadis Ahad Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadis Ahad dibagi
menjadi 3 yakni : hadis Masyhur, hadis Azis dan hadis Gharib (Fatchur Rahman,
1997: 67). Yang dimaksud dengan hadis Masyhur, ialah
BAB III
PENUTUP

A. kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi
lagi menjadi 3 bagian yaitu: mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan
hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur,
sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu
aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi
menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan
hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dha’if.

B.Saran

Sebagai penyusun, penulis merasa masih ada kekurangadalam  pembuatan


makalah ini. Oleh karena itu, saya mohon kritik dan saran dari  pembaca. Agar
penulis dapat memperbaiki makalah yang selanjutnya.
 
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi, Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-
Kabir li Al-Rafi’i, juz II, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyah, 1398 H/1978
M) hlm. 3
Al-Tirmisi, op.cit., hlm. 69-70, dan Ahmad Muhammad Al-Syakir, Syarh Alfiyah
Al-Suyuthi fi ‘ilm Al-Hadis, (Beirut:Dar Al-Ma’rifah, tt), hlm. 46.
Abd Al-Fatah Al-Qdi, Asbab Al-Nuzul ‘an Al-sahabah wa Al-Mufassirin, (Beirut:
Dar Al-Nadwah Al-Jadidah, 1987),hlm. 112. Lihat juga penjelasan Al-
Suyuthi, op.cit., hlm. 178.
Mahmud Al-Tahhan, op. cit., hlm. 19, lihat juga dalam Nur Al-Din ‘Itr, op. cit.,
hlm. 405, Al-suyuti Tadrib Al-Rawi,op. cit., hlm. 180
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buti, Mabahits Al Kitab wa Al Sunnah min ‘Ilm
Al Ushul, (Damaskus: Mahfuzhah Li Al Jamiah, t.t) hlm. 17.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al Fiqh, (Mesir: dar Al Fikr Al ‘Araby, 1377 H/
1958M), hlm. 108
Abi Sa’id Al-Khudri dan dia juga menganggap hadis shahih sesuai dengan syarat
Ushull. Lih. Nur Al-Din ‘Itr,op.cit.,hlm. 410.
Al-Buyu’(hadis nomor 2783) Imam Muslim, ibid, hlm 131.

Anda mungkin juga menyukai