Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wrh.wbr , Alhamdulillah puji syukur kami haturkan kepada Allah


SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
“Ulumul Hadis”. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa kami
sampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah Ulumul Hadis.Semoga apa yang beliau
ajarkan kepada kami menjadi manfaat dan menjadi amal jariyah bagi beliau di Akherat kelak.
Amiin.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadis. Dalam
makalah ini akan dibahas beberapa pembahasan mengenai Hadis Mutawatir, Hadis Masyhur dan
Hadis Ahad.

Kami mengucapkan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang budiman. Dengan
segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari
guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 1
C. Tujuan 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Hadis Mutawatir 2
B. Hadis Ahad 4
C. Hadis Masyhur 5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 6
B. Kritik dan saran 6

DAFTAR PUSTAKA 7
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan
beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian
hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya dari satu segi pandangan saja. Para lama hadis yang berbeda pendapat tentang
pembagian hadis ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi
sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni
hadis mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada jua yang membaginya menjadi dua, yakni
hadis mutawatir dan hadis ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadist masyhur
berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadis ahad maupun mutawatir, ini disponsori
oleh oleh sebagian ulama ushul diantaranya, Abu Bakr – Al- Jashshash (305-370).
Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul
(ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadis masyhur bukan
merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian dari hadis
ahad. Mereka membagi hadist ke dalam dua bagian yaitu hadis mutawatir dan ahad.

B. Rumusan Masalah
a. Defenisi Hadis Mutawatir
b. Syarat – syarat Hadis Mutawatir
c. Pembagian Hadis Mutawatir
d. Faedah Hadis Mutawatir
e. Defenisi Hadis Ahad
f. Hadis Masyhur

C. Tujuan
a. Dapat mengetahui Defenisi Hadis Mutawatir
b. Dapat mengetahui Syarat – syarat Hadis Mutawatir
c. Dapat mengetahui Pembagian Hadis Mutawatir
d. Dapat mengetahui Faedah Hadis Mutawatir
e. Dapat mengetahui Defenisi Hadis Ahad
f. Dapat mengetahui Defenisi Hadis Masyhur
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hadis Mutawatir

a) Definisi hadits mutawatir

Mutawatir menurut bahasa adalah, mutatabi yakni sesuatu yang datang berikut dengan
kita atau yang beriringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[1]

Sedangkan hadits mutawatir menurut istilah terdapat beberapa formulasi definisi, antara
lain sebagai berikut:

Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.

Sementara itu Nur ad-Din Atar mendefinisikan :

Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka
untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan panca indra.[2]

Habsy As-Sidiqie dalam bukunya Ilmu Musthalah al hadits mendefinisikan hadits


mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indra orang
banyak yang menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta.

b) Syarat- syarat hadits mutawatir

1.      Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu benar-benar hasil penglihatan atau
pendengaran sendiri.

2.      Jumlah rowi-rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan
mereka bersepakat untuk berbohong.
[1] Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, hlm:113
[2] http://hitsuke.blogspot.com/ klasifikasi-hadis-berdasarkan-kuantitas.html,online 10-10-2011,jam: 09.00

Ulama hadis berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan rawinya untuk dapat
dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi
ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat
yang menerangkan mengenai mula’anah. Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah
sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua
belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh
orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga
belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu
Perang Badar.

Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadis yang layak disebut mutawatir yaitu paling
rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang.

3.      Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqoh pertama dengan
jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh berikutnya. Oleh karena itu, kalau suatu hadits
diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’I
dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir.
Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.
[3]

c) Pembagian hadits mutawatir

Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada dua bagian. Yakni mutawatir lafdzi
dan mutawatir ma’nawi.

Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya

Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang
sama, bahkan menurut As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.[4]

Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam


menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat
pesesuaian pada prinsipnya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan
kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini berjumlah sekitar seratus hadits
dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu keadaan
Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.
[3] Fathur Rahman.1974. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.79
[4] http://hitsuke.blogspot.com/ klasifikasi-hadis-berdasarkan-kuantitas.html,online 10-10-2011,jam: 09.00

d) Faedah hadits mutawatir

Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya
dan mengamalkan sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga
membawa pada keyakinan qoth’I (pasti).

Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawtir oleh sebagian golongan
membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak
menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an
hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi
mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya, wajib baginya
mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama’
sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hokum yang disepakati oleh
ahli ilmu.[5]

Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai kesdilan maupun
kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah
ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak munkin sepakat melakukan dusta.

2) Hadits Ahad

a) Definisi hadits ahad

Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khobar ahad atau khobar
wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh orang satu.[6]

Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’,
antara lain:

Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits
mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir.

Ada juga ulama’ yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.

Muhammad Abu Zarhah mendefinisikan hadis ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang
diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak
memenuhi persyaratan hadits mutawatir.
[5] As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta
[6] Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus

Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu,
dua, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits
mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.

Hadits Masyhur

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan
mutawatir. Ibnu Hajar mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas, yaitu hadits yang
mempunyai jalan terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadits
mutawatir.

Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’
yang memasukkan seluruh hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak
mempunyai sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur. Ulama’
Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada
keyakinan dan kwajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.

Hadis tersebut sejak tingkatan pertama (sahabat) sampai ketingkat imam-imam yang
membukukan hadis (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim dan Tirmidzi) diriwayatkan tidak
kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan. Hadis Masyhur ini ada yang berstatus Sahih,
Hasan dan Dhaif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur sahih adalah hadis masyhur yang
telah mencapai ketentuan-ketentuan hadis sahih baik pada sanad maupun matannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah apabila telah mencapai
ketentuan hadis hasan, begitu juga dikatakan dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadis
sahih. [7]
[7] http:// c@hyakehidup@n.wordpress.com/Hadits-dari-Aspek-Kuantitas « C@hya-Kehidup@n.htm#_ftn2

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembagian hadits dari segi kuantitas ini diperlukan untuk mengetahui sedikit atau
banyaknya sanad, bukan untuk menentukan diterima atau tidaknya hadits. Sedangkan yang
menentukan diterima atau tidaknya adalah berdasarkan kualitasnya. Sekalipun demikian
keduanya tidak bisa dipisahkan. Uraian di atas jika di sederhanakan maka bisa dilihat pada
tabel berikut ini: Pembagian Hadis Berdasarkan jumlah periwayat Berdasarkan kualitas
Mutawatir Ahad Shahih Hasan Dla'if Lafdzi Masyhur Li Dzatih Li Dzatih Mu'allaq Maknawi
'Aziz Li Ghayrih Li Ghayrih Mursal 'Amali Gharib

B. Kritik danSaran
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah menyadari masih banyak kekurangan baik dari
segi penulisan mapun dari segi materi. Maka dari itu, pemakalah mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca, terutama kepada dosen pembimbing pada mata kuliah
ulumul hadis ini agar makalah ini menuju yang lebih baik. Atas kritik dan saran dari
pembaca, terutama kepada dosen pembimbin, pemakalah ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, hlm:113

http://hitsuke.blogspot.com/ klasifikasi-hadis-berdasarkan-kuantitas.html,online 10-10-


2011,jam: 09.00

Fathur Rahman.1974. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.79

http://hitsuke.blogspot.com/ klasifikasi-hadis-berdasarkan-kuantitas.html,online 10-10-


2011,jam: 09.00

As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta

Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus

http://aadesanjaya.blogspot.com/2010/10/hadits-ahad.html

http:// c@hyakehidup@n.wordpress.com/Hadits-dari-Aspek-Kuantitas « C@hya-


Kehidup@n.htm#_ftn2

Anda mungkin juga menyukai