BAB I
PENDAHULUAN
1 Hussein Bahreisj, Hadits Shahih Al-Jamius Shahih Bukhari – Muslim, Surabaya: CV Karya Utama, 2000,
hlm.31.
1
2
beramal. Untuk memahami hadits ditinjau dari segi kuantitas periwayat maka pemakalah
rumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hadits mutawatir dan hadits ahad
2. Untuk mengetahui macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad
3. Untuk mengetahui syarat-syarat hadits mutawatir dan hadits ahad
4. Untuk mengetahui perbedaan hadits mutawatir dan hadits ahad.
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga
yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan
pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits
ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash
(305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul
(ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan
merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad.
Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad. 3
Dari pengertian di atas pemakalah mengambil kesimpulan yang dibahas dalam
makalah ini adalah penyusunan hadits Nabi Muhammad saw berdasarkan kaidah atau
standar yang telah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan banyaknya para perawi hadits.
Dari segi sanad para ulama menjadi menjadi dua bagian yaitu hadits ahad dan hadits
mutawatir.
Sedangkan sanad artinya adalah sandaran yang dapat dipercaya atau kaki bukti
(menurut bahasa). Sedangkan menurut istilah sanad adalah yang menghubungkan matan
2 https://kbbi.web.id/kuantitas
3 M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
3
4
atau teks hadist kepada Nabi Muhammad saw. Artinya, sanad adalah rangkaian rawi yang
mengantarkan matan hingga kepada Nabi Muhammad saw. 4
Jadi kita dapat simpulkan bahwa kuantitas sanad maksudnya banyaknya rangkaian
rawi yang megantarkan matan atau teks hadits sampai kepada Nabi Muhammad saw. Dari
segi banyaknya rawilah yang menjadi bahan pertimbangan menjadi hadits mutawatir atau
ahad dengan ketentuan minimal para pewari menurut para ualama.
B. Hadits Mutawatir
Arti mutawatir dalam bahasa berati al-muttatabi berarti yang datang
kemudian. Beriring-iringan, atau beruntun. Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian
mutawatir, yaitu sebagai berikut:
َما رواه مجع حتيل العادة تواتؤهم على الكذب عن مثلهم من اول السند منتهاه
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang mustahil menurut
tradisi mereka sepakat untuk berudusta dari sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai
akhir.
فاخلري املتوا تر هو خرب عن حمسوس أخرب به مجاعة بلغوا يف الكثرية مبلغا حتيل العا دة
تواطؤهم على لكذب فيه
“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah
rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”
4 serpihan-islam.blogspot.com/2014/11/pengertian-sanad-isltilah-dalam-hadist.html
5 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (cetakan pertama ) Jakarta: Amzah, 2008. hlm.131
4
5
Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
perawi yang banyak pada tiap tingkatan (thabaqat) sehingga mustahil mereka sepakat untuk
berbohong, dan proses tersebut dapat di indera oleh panca indera.
Dari pengertian tersebut kita ketahui hadits mutawatir adalah berita hadits yang biasa
diucapkan dan didengar dan diriwayatkan banyak orang yang benar – benar secara
maksimum mencapai tingkatan sanad dan akalnya dan benar – benar meyakini mustahil
secara tradisi masyarakat mereka melakukan suatu kebohongan. Ada 4 kriteria hadits
mutawatir yaitu:
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
5
6
2. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
4. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:
6
7
sendirinya. Jika berita hadits itu logis tidak hawwassi atau indriawi, maka tidak mutawatir.
Sandarann berita pada pancaindra misalnya ungkapan periwayatan:
Jumlah hadits mutawatir tidak banyak atau sedikit dan langka sebagaimana diduga oleh
Ibnu Ash-Shalahah atau yang lainya. Sayikh Islam Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan,
bahwa dugaan tersebut karena kurang meneliti banyak sanad dan kondisi serat sifat – sifat
pra perawi yang menurut tradisi mustahil terjadi kesepakatan bohong. Hadits mutawatir
memang sedikit jumlahnya dibandingkan dengan hadit s ahad tetapi cukup banyak
sebagaimana dijelaskan pada buku-buku hadits mutawatir yang tenar. Di antaranya hadits
tentang telaga (al-hawdh) diriwayatkan lebih 50 orang sahabat, hadits menyapu sepatu
(khawf) diriwayatkan 70 orang sahabat, hadits tentang mengangkat kedua tangan dalam
shalat oleh 50 orang sahabat, hadits tentang mengangkat keduatangan dalam shalat oleh 50
orang sahabat, dan lain- lain. 7
4. Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-
Kittani8.
7 Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah (Cetakan pertama), 2008, hal. 131-133
8 Al-Qathathan Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al-Kautsar:Jakarta Timur, 2016, Hal.
113.
7
8
5. Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musythahirah bi Maa Waqaa’ min Ziyadah ‘Alaa al-AzharAl-
Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh Abdul ‘Aziz al-
Ghammari.
ب َعلَ َّي ُمَت َع ِّم ًدا فـَْليَتََب َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر ِ
َ ال َر ُس ْو ُل اهلل َعلَْيه َو َسلَّ َم َم ْن َك َّذ
َ َقـ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
a. Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40
(empat puluh) sahabat.
9 Drs. Munzier Suparta, M.A. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.,h.87
8
9
b. Ibnu al-Shalhah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 (enam puluh dua)
sahabat, dimana 10 (sepuluh) diantaranya dijamin masuk surga.
c. Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40
(empat puluh) sahabat.
d. Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80
(delapan puluh) sahabat.
e. Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 100 (seratus)
bahkan 200 (duaratus) sahabat.
Hadits ini pemakalah teliti dalam sebuah kitab Qathful Al-Azhar Mutanatsirah yang
di tulis oleh Imam Jalaludin As-Suyuthi dengan rincian sebagai berikut:10
Jumlah
No. Nama Imam Nama Kitab /sumber
periwayatan
10 Jalaludin As-Suyuthi, Qathful Al-Azhar Mutanatsirah, Beirut ,Al-Maktabah Islami: 1958. hal. 23-27
9
10
12 Ikhatib 12 Tarikh
b. Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi ialah:
َما اَِّت َف َق َن ْقلَتُهُ َعلَى َم ْعنَاهُ ِم ْن َغرْيِ ُمطَابَِق ٍة ىِف اللَ ْف ِظ.
“ Hadits yang periwayatannya disepakati maknanya, akan tetapi lafalnya tidak ”.11
11 http://akhizahra.blogspot.co.id/2011/09/hadits-berdasarkan-jumlah-perawi.html
10
11
Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang
sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW
mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول اهلل صلى عليه وسلم يديه حىت رؤي بياض ابطه ىف شئ من
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali
saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits-hadits yang semacam ini, tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-
beda.
Walaupun kedua hadits di atas berbeda redaksinya dan bahkan beberapa hadits
serupa yang lainnya juga masih banyak, kesemuanya adalah hadits-hadits yang berbeda
dalam redaksi, namun memiliki kadar kesamaan dalam segi maknanya, yaitu menjelaskan
keadaan Rasulullah mengangkat tangan dalam berdoa, maka yang demikian adalah disebut
hadits
Hadits semacam ini diriwyatkan dari Nabi SAW. berjumlah sekitar seratus hadits
dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi
SAW mengangkat tangan saat berdoa.
Masing-masing hadis menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya
ketika berdoa, meskipun masing-masing (hadis) terkait dengan berbagai perkara (kasus)
yang berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak bersifat mutawatir. Penetapan bahwa
11
12
mengangkat kedua tangan ketika berdoa itu termasuk mutawatir karena pertimbangan
digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut. 12
c. Mutawatir ‘Amali
ما علم من الدين باالضرورة وتواتر بني املسلمني ان النيب صلى اهلل عليه وسلم
فعله او امربه او غري ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف اإلمجاع إنطباقا صحيحا
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan
telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau
selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.” 13
Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in,
dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang
shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah
yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Contoh Hadits mutawatir amali yaitu hadits tentang sholat:
12
13
Artinya: “Apabila seorang hamba sujud, maka bersujudlah tujuh anggota tubuh
bersamanya: wajahnya, kedua telapak tangannya kedua lututnya dan kedua telapak
kakinya”. (HR. Muslim, Abu Uwanah dan Ibnu Hiban).15
F. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Kata Ahad jamak dari ahad yang berarti satu . Hadis ahad, secara bahasa adalah
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja.17
15 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Sholat Nabi, Bandung: Gema Risalah Press, 2000, hal.
177.
16 Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulumil Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005 hal.
112.
17 Mahmud al-Thahhan. Taysir Musthalah al-Hadits, (Indonesia: Al-Haramain, 1985) hal. 22
13
14
Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang
sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi
kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.
Keduahal inilah yang membedakan hadis ahad dengan hadis mutawatir.18
Menurut Mahum al-Thahhan, hadis ahad dilihat dari segi jumlah sanadnya terbagi
menjadi tiga katagori yaitu hadis masyhur, hadis ‘aziz, hadis gharib.19
a. Hadis Masyhur
Secara bahasa, kata masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara seperti: شهرت
األمر ( Aku memasyhurkan sesuatu) yang berarti aku mengumumkan dan menjelaskan
sesuatu. Dalam pengertian bahasa ini, masyhur juga berarti sesuatu yang terkenal, yang
dikenal, atau yang populer di kalangan manusia (الناس ) املشهور بني, sehingga hadis masyhur
berarti hadis yang terkenal, dikenal atau populer di kalangan umat manusia. Berdasarkan
pengertian ini, di kalangan ulama memang dikenal beberapa hadis yang masyhur (dalam arti
terkenal) meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali yang kemudian disebut dengan
hadis masyhur non-istilah (masyhur ghayr istilahi). Menurut terminologi ulama hadis, hadis
masyhur adalah:
14
15
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada setiap thabaqah-nya tetapi
tidak sampai pada peringkat mutawatir”
“Hadis masyhur adalah hadis yang mempunyai jalan sanad yang terbatas lebih dari dua
dan tidak mencapai batasan mutawatir”.21
Hadis masyhur sebagaimana pengertian di atas disebut hadis masyhur secara istilah
(masyhur istilahi). Di kalangan ulama hadis dikenal pula hadis masyhur non-istilah disebut
juga hadis yang terkenal dalam pembicaraan, yaitu hadis-hadis yang masyhur (terkenal) di
kalangan masyarakat tertentu tanpa harus memenuhi syarat-syarat hadis masyhur menurut
ulama hadis, sehingga hadis kategori ini ada yang mempunyai satu sanad saja, lebih dari
satu sanad, atau tidak ada sanadnya sama sekali.22
أن رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قنت شهرا بعد الركوع
“Bahwasannya Rasulullah membaca kunut dalam satu bulan setelah ruku” (HR. Bukhari,
Muslim)
15
16
Kedua, hadis yang masyhur di kalangan ahli hadis, para ulama, dan masyarakat umum,
seperti:
“Orang Islam adalah orang yang menyebabkan orang-orang Islam selamat dari lisan dan
tangannya” (Muttafaq ‘alaih)
Hadis ini tekenal di berbagai kalangan tidak hanya di kalangan ulama hadis, fiqh, ushul,
kalam, tetapi juga dikalangan umum.
“Diangkat (dimaafkan) dari umatku (sesuatu perbuatan yang tersalah, lupa, atau karena
dipaksakan” (HR. Ibn Hibban dan a-Hakim)
“Rasulullah saw. Melarang jual beli yang di dalamnya terdapat tipu daya”
العجلة من الشيطان
Para ulama telah menyusun kitab-kitab tersendiri yang berisi tentang hadis-hadis
masyhur, seperti:
16
17
Hadis masyhur baik yang masyhur istilah maupun masyhur non-istilah ada yan shahih,
hasan, dhaif bahkan ada yang maudhu’. Hanya saja, hadis masyhur istilah yang shahih
kualitasnya lebih tinggi dari hadis ‘Aziz atau Gharib yang juga shahih.24 Contoh hadis
masyhur yang shahih adalah:
“Barang siapa akan melaksanakan shalat Jumat, maka hendaklah ia mandi” (HR.
Bukhari)
Menurut Shubhi al-Shalih, di antara contoh hadis masyhur yang hasan adalah hadis
tentang kefardhuan mencari ilmu. Dengan mengutip pendapat al-Mizzi, ia menyatakan
bahwa hadis ini memiliki beberapa sanad sehingga kedudukannya meningkat dari dha’if
menjadi hasan li ghayrih. Hadis dimaksud adalah:
Adapun contoh hadis masyhur yang dhaif bahkan palsu adalah hadis yang terkenal di
kalangan ahli tasawuf berikut:
17
18
Menurut al-Suyuti, hadis ini mawdhu’ atau batil yang tidak diketahui dari mana
sumbernya.26
b. Hadis ‘Aziz
Kata ‘aziz dalam bahasa Arab berasal dari kata: ‘azza – ya’izzu yang berarti sedikit
atau jarang dan kata ‘azza ya’izzu yang berarti kiat dan sangat. Disebut demikian karena
hadis kategori ini sedikit adanya dan jarang, atau karena kuat dengan sanad yang datang dari
jalur lain. Menurut istilah, hadis ‘aziz adalah:
“Hadis yang pada semua thabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat”27
Definisi di atas menunjukkan bahwa pada tiap tingkatan sanad hadis ‘aziz tidak
kurang dari dua orang periwayat. Karena itu, jika pada salah satu tingkatan sanadnya
terdapat tiga orang periwayat atau lebih, maka tetap dinamakan hadis ‘aziz. Contoh hadis
aziz adalah:
ال يؤمن أحدكم حىت أكون: عن ايب هريرة أن رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قال
“Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: ‘Tidaklah beriman seseorang di
antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh
manusia” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Qatadah dan ‘Abd al’Aziz ibn Shuhayb dari Anas.
Syu’bah dan Sa’id meriwayatkan dari Qatadah. Ismail ibn ‘Ulayyah dan ‘Abd al-Warits
meriwayatkannya dari ‘Abd al-‘Aziz, dan dari mereka berdua hadis tersebut diriwayatkan
oleh banyak periwayat,28 yang akhirnya sampai kepada Bukhari dan Muslim.
26 Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, jilid II. Hal.189
27 Mahmud al-Thahhan, Taysir, hal.26
28 Mahmud al-Thahhan, Taysir, hal. 27
18
19
Sebagaimana halnya hadis Masyhur, hadis aziz ada yang sahih, hasan, dha’if bahkan
mawdhu’ tergantung pada kebenaran sanad dan matan hadis yang bersangkutan. Karena itu,
tidak setiap hadis ‘aziz itu shahih dan tidak pula hadis sahih adalah ‘aziz.
c. Hadis Gharib
Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Secra istilah
Hadis Gharib menurut Mahmud al-Thahhan adalah
Menurut Mahmud al-Thahhan hadis gharib terbagi menjadi dua, yaitu gharib
muthlaq dan gharib nisbi.
1) Gharib Muthlaq
19
20
2) Gharib Nisbi
إن النيب صلى اهلل عليه و سلم دخل مكة و على راسه املغفر
“Bahwasannya Nabi SAW. Memasuki Mekkah dan di atas kepalanya terdapat
penghapus” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis riwayat Malik dari al-Zuhri dari Anas. Hadis ini diriwayatkan secara sendirian
oleh Malik dan al-Zuhri.
Dari segi periwayatannya, di kalangan ulama hadis, hadis gharib nisbi dibagi dalam
beberapa kategori. Mahmud al-Thahhan membaginya sebagai berikut:
1) Seorang periwayat menyendiri dalam meriwayatkan hadis, seperti pernyataan
berikut:
20
21
تفرد به اهل البصرة عن اهل املدينة او تفرد به اهل الشام عن اهل احلجاز
“Hadis ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Bashrah dan tidak oleh penduduk
Madinah atau hanya diriwayatkan oleh penduduk Syam dan tidak oleh penduduk
Hijaz”.
Hadis gharib ada yang shahih, hasan, atau dha’if dan ada pula yang mawdhu’ (palsu)
tergantung pada kualitas sanad dan matannya. Jika hadis gharib memenuhi semua syarat
hadis shahih, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah, dan
terlepas dari syadz dan ‘illat, maka hadis gharib itu shahih. Tetapi, jika syarat-syarat itu
terpenuhi namun salah satu seorang periwayatnya ada yang kurang dhabith, maka hadis itu
dinyatakan sebagai hasan. Di antara literatur yang berisi tentang hadis-hadis gharib adalah:
1) Kitab Athraf al-Gharib wa al-Afrad karya Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi (448-507
H)
2) Al-Afrad ‘ala Tartib al-Athraf oleh Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Umar al-Daruquthni al-
Baghdadi (306-385 H)
3) Al-Ahadits al-Shahihah al-Gharib karya Yusuf ibn ‘Abd al-Rahman al-Mizzi al-Syafi’i
(654 – 742 H)
21
22
4) Al-Sunan allati Tafarrada bi kull sanah minha Ahl Baladah karya Abu Dawud al-
Sijistani.
5) Tamyiz At-Tayibi karya Ibnu Ad-Diba As-Syailani.32
Jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in, serta para ulama sesudah mereka
dari kalangan ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadis ahad yang
sahih dapat dijadkan hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat senada dikemukakan pula
oleh Muslim ibn al-Hajjaj bahwa beramal dengan hadis ahad yang memenuhi persyaratan
maqbul (dapat diterima) hukumnya wajib.33 Imam Syafi’i merumuskan bahwa hadis ahad
atau hadis khashshah dalam istilah beliau, dapat dijadikan hujjah jika memenuhi beberapa
hal sebagai berikut:
a. Rangkaian periwayat (sanad) harus bersambung sampai pada Nabi saw
b. Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya pengamalan agamanya (baik agamanya),
ia harus dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan riwayat dan khabar.
c. Perawi hadis meriwayatkan dari orang yang biasa meriwayatkan sama dengan huruf yang
didengarnya
e. Orang yang meriwayatkan kuat hafalannya (apabila ia meriwayatkan dari hafalannya)
dan akurat catatannya (apabila ia meriwayatkan dari kitabnya). Apabila ia menghafal satu
hadis tidak berbeda dengan hadis yang telah diriwayatkan orang lain, yaitu orangyang
32 Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010) hal. 97
33 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, hlm. 147-148
22
23
f. Orang yang meriwayatkan tidak boleh seorang mudallis yang menuturkan dari orang
yang ditemuinya tentang hal yang tidak pernah didengarnya, serta ketika meriwayatkan
sesuatu dari Nabi, tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang terpercaya. 34
Dapat kita pahami dalam pemaparan ini bahwa hadits yang mutawatir bersifat qath’i
sedangkan hadits ahad bersifat zhanni, namun wajib diamalkan selama hadits tersebut
maqbul. Hal ini menghilangkan keraguan dan penegasan terhadap orang yang berpendapat
bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah, namun setelah kita bersikap objektif dan
mau melakukan penelitian lebih lanjut ini merubah pandangan tentang hadits ahad itu
sendiri.
a. Dari segi jumlah rawi, hadits mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya
sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka
sepakat untuk berdusta, sedangkan hadits ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah
yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
b. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadits mutawatir menghasilkan ilmu qat’I (pasti)
atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa hadits itu sungguh-sungguh dari
Rasulullah sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadits ahad menghasilkan
ilmu zanni (bersifat dugaan) bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c. Dari segi kedudukan, hadits mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada hadits ahad. Sedangkan kedudukan hadits ahad
sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadits mutawatir.
34 http://islam6236.blogspot.co.id/2015/03/kehujjahan-hadis-ahad.html
23
24
d. Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadits
mutawatir bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur'an, sedangkan keterangan
matan hadits ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al-
Qur'an, maka hadits-hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasulullah
mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
Hadits mutawatir memberi faedah ilmu dharuri atau yakin dan wajib diamalkan.
Dalam hadits mutawatir seseorang menerimanya secara mutlak tanpa harus meneliti sifat-
24
25
sifat para perawi, karena dengan jumlah yang banyak mustahil mereka berbohong, hal ini
memberi kesan yakin yang amat kuat atas kebenaran berita tersebut.
Dapat kita simpulkan bagan hadits dilihat dari segi kuantitas sanadnya secara ringkas
sebagai berikut:
Hadits Hadits
Mutawatir Ahad
‘Aziz
Ma’nawi
Berbeda dengan hadits mutawatir hadits ahad untuk kita memahaminya hingga dapat
diamalkan ternyata butuh proses penelitian lebih lanjut. Namun pada akhirnya kedua jenis
hadits ini bertujuan mengetahui kualitas sebuah hadits yang seminimal mungkin dapat
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw dan bukan perktaan selainya.
25
26
Juga merupakan suatu upaya untuk memisahkan antara hadits yang benar - benar
dapat dijadikan hujah dan tidak menimbulkan kergauan didalamnya. Adapun saran yang
penulis makalah harapkan dari para pembaca agar memberikan saran atau masukan-
masukan apabila ada kekurangan atau kurang terperincinya paparan pada bab pembahasan
salah dan khilaf penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul majid Khon, Ulumul Hadis, (cetakan pertama ) Jakarta: Amzah, 2008.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010.
26
27
27