Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Sebelumnya telah dibahas makalah mengenai hadits berdasarkan kualitas dan pada
makalah ini akan dibahas hadits dari segi kuantitas sanadnya yaitu hadits mutawatir dan
ahad. Dengan adanya pengklasifikasian ini diharapkan umat islam mampu mengetahui
dengan sesungguhnya hadits yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari selaku
hamba Allah dan umat nabi Muhammad saw agar menambah keyakinan dalam beribadah
dan menghilangkan keraguan.
Seorang muslim yang Allah kehendaki baik maka ia akan pandai dalam ilmu
agamanya sebagai mana sabda nabi Muhammad saw :

‫من يرد اهلل به خرياً يفقهه يف الدين‬


Artinya: Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, maka ia akan
difahamkan dalam masalah agama.” [Muttafaqun ‘alaihi] 1
Sewajibnya bagi umat Islam menuntut ilmu terutama ilmu agama karena Allah SWT
berjanji akan meninggikan orang yang berilmu. Dengan mengetahui kuantitas perawi hadits
dari segi sanadnya maka akan menentukan kualitas sebuah hadits itu sendiri sehingga kita
selaku umat Islam mudah mengamalkanya tanpa keraguan. Sebagian dari kita agaknya
bingung melihat realita bahwa hadits yang amat banyak jumlahnya dan terdiri dari berbagai
macam tingkatan dilihat dari berbagai macam sudut pandang, namun dalam makalah ini
akan dipaparkan melalui sudut pandang kuantitas sanad atau banyaknya perawi (orang yang
meriwayatkan) pada sebuah hadits hingga akhirnya terbagi dua kriteria yaitu hadits
mutawatir dan ahad.
Dalam hal ini setelah kita mengetahui kuantitas suatu sanad hadits makan dapat kita
simpulkan kualitas suatu hadits yang akhirnya dapat atau tidaknya dijadikan hujjah dalam

1 Hussein Bahreisj, Hadits Shahih Al-Jamius Shahih Bukhari – Muslim, Surabaya: CV Karya Utama, 2000,
hlm.31.

1
2

beramal. Untuk memahami hadits ditinjau dari segi kuantitas periwayat maka pemakalah
rumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:

B.     Rumusan Masalah


Adapun untuk perumusan masalah, penulis mengambil hal-hal yang berkaitan dengan
pembahasan.
1.   Apa pengertian hadits mutawatir dan hadits ahad
2.   Apa saja macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad.
3.   Apa saja syarat-syarat hadits mutawatir dan hadits ahad
4.   Apa saja perbedaan hadits mutawatir dan hadits ahad.

C. Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian hadits mutawatir dan hadits ahad
2.    Untuk mengetahui macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad
3.    Untuk mengetahui syarat-syarat hadits mutawatir dan hadits ahad
4.    Untuk mengetahui perbedaan hadits mutawatir dan hadits ahad.

D.    Metode Penulisan


Adapun metode penulisan dalam makalah ini, penulis menggunakan metode secara library
research, yaitu suatu metode untuk mendapatkan data informasi dengan jalan mempelajari
dan mengutip dari berbagai buku yang sesuai dengan judul dari makalah yang penulis buat
ini. Juga dari beberapa situs internet yang sesuai dengan metode ini.

2
3

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Klasifikasi Hadits Beradasarkan Kuantitas Sanad


Menurut KBBI yang dimaksud dengan Klasifikasi/kla·si·fi·ka·si/ n penyusunan
bersistem dalam kelompok atau golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan.
Sedangkan kuantitas/ku·an·ti·tas/ n banyaknya (benda dan sebagainya); jumlah (sesuatu)
dan arti sanad/sa·nad/ Ar n 1 sandaran, hubungan, atau rangkaian perkara yang dapat
dipercayai; 2 rentetan rawi hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw.: hadis itu telah
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan -- yang baik. 2

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga
yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan
pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits
ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash
(305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul
(ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan
merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad.
Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad. 3
Dari pengertian di atas pemakalah mengambil kesimpulan yang dibahas dalam
makalah ini adalah penyusunan hadits Nabi Muhammad saw berdasarkan kaidah atau
standar yang telah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan banyaknya para perawi hadits.
Dari segi sanad para ulama menjadi menjadi dua bagian yaitu hadits ahad dan hadits
mutawatir.
Sedangkan sanad artinya adalah sandaran yang dapat dipercaya atau kaki bukti
(menurut bahasa). Sedangkan menurut istilah sanad adalah yang menghubungkan matan

2 https://kbbi.web.id/kuantitas
3 M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.

3
4

atau teks hadist kepada Nabi Muhammad saw. Artinya, sanad adalah rangkaian rawi yang
mengantarkan matan hingga kepada Nabi Muhammad saw. 4
Jadi kita dapat simpulkan bahwa kuantitas sanad maksudnya banyaknya rangkaian
rawi yang megantarkan matan atau teks hadits sampai kepada Nabi Muhammad saw. Dari
segi banyaknya rawilah yang menjadi bahan pertimbangan menjadi hadits mutawatir atau
ahad dengan ketentuan minimal para pewari menurut para ualama.

B. Hadits Mutawatir
    Arti mutawatir dalam bahasa berati al-muttatabi berarti yang datang
kemudian. Beriring-iringan, atau beruntun. Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian
mutawatir, yaitu sebagai berikut:

‫َما رواه مجع حتيل العادة تواتؤهم على الكذب عن مثلهم من اول السند منتهاه‬
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang mustahil menurut
tradisi mereka sepakat untuk berudusta dari sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai
akhir.

‫ما رواه مجع عن مجع حتيل عادة طؤهم على الكذب‬


Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak dari sejumlah orang banyak
pula yang mustahil menurut tradisi mereka berbohong. 5
Sedangkan menurut Abuu Ya’laa al-Muusilli at-Tamimi, hadits mutawatir adalah:

‫فاخلري املتوا تر هو خرب عن حمسوس أخرب به مجاعة بلغوا يف الكثرية مبلغا حتيل العا دة‬
‫تواطؤهم على لكذب فيه‬
“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah
rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”

4 serpihan-islam.blogspot.com/2014/11/pengertian-sanad-isltilah-dalam-hadist.html
5 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (cetakan pertama ) Jakarta: Amzah, 2008. hlm.131

4
5

Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
perawi yang banyak pada tiap tingkatan (thabaqat) sehingga mustahil mereka sepakat untuk
berbohong, dan proses tersebut dapat di indera oleh panca indera.
Dari pengertian tersebut kita ketahui hadits mutawatir adalah berita hadits yang biasa
diucapkan dan didengar dan diriwayatkan banyak orang yang benar – benar secara
maksimum mencapai tingkatan sanad dan akalnya dan benar – benar meyakini mustahil
secara tradisi masyarakat mereka melakukan suatu kebohongan. Ada 4 kriteria hadits
mutawatir yaitu:

a. Diriwayatkan sejumlah banyak orang


Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadits tersebut dan
tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang
(karena ia minimal jamaah katsrah), 40 0rang, 70 orang (jumlah sahabat Musa as) bahkan
ada yang berpendapat 300 oranglebih (jumlah tentara Thalut dan ahli perang Badar). Namun
pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti sahabat Al-Istikhari).6

b. Adanya jumlah banyak orang pada seluruh tingkatan sanad


Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad.
Jika jumlah banyk tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan
mutawatir, tetapi dinamakan ahad atau wahid. Persamaan jumlah para perawi tidak harus
sama jumlah angka nominalnya, mungkin saja jumlah angka nominalnya berbeda, namun
nilai verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya, pada awal tingkatan Sanad 10 orang,
tingkatan sanad berikutnya menjadi 20 orang, 40 orang, 100 orang dan seterusnya. Jumlah
seperti ini tetap dinamakan sama banyak dan tergolong mutawatir.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.

1. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan


jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.

6 As-Suyuti, Tadrib Ar-Rawi ..., Juz 2, hlm. 255.

5
6

2. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

3. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan


ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).

4. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:

َ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّبِ ُّي َح ۡسب َُك ٱهَّلل ُ َو َم ِن ٱتَّبَ َع‬


َ ِ‫ك ِم َن ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬
٦٤ ‫ين‬
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)."
(QS. Al-Anfal: 64).

c. Mustahil sepakat berbohong


Misalnya para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negera, jenis yang berbeda, dan
pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para perawi yang banyak ni secara logika mustahil
terjadi adanya kesepakatan berbohong secara uruf (tradisi). Pada masa awal pertumbuhan
hadits, memang tidak bisa dianalogikan dengan masa modern sekarang ini,. Di samping
kejujuran dan daya mereka yang masih andal, transportasi daerah tidak semudah sekarang,
perlu waktu berbulan – bulan dalam kunjungan ke suatu negara. Berdasarkan ini, jika
periwayatan suatu hadits berjumlah besar sangat sulit sepakat mereka berbohong dalam
suatu periwayatan.

d. Sandaran berita pada pancaindra


Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat
dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti sifat
barunya alam, berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah (kullu haditsin
mutaghayyirun). Alam berubah (al’alamu mughayyirun). Jika demikian, alam adalah baru
(al-‘alamu haaditsun). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan

6
7

sendirinya. Jika berita hadits itu logis tidak hawwassi atau indriawi, maka tidak mutawatir.
Sandarann berita pada pancaindra misalnya ungkapan periwayatan:

‫ = مَسَ ْعنَا‬Kami mendengar (dari Rasulullah bersabda begini)


‫ = َراَْينَ ا اَْو لَ َم ْس نَا‬Kami sentuh atau kami melihat (Rasulullah melakukan begini dan
seterusnya)

Jumlah hadits mutawatir tidak banyak atau sedikit dan langka sebagaimana diduga oleh
Ibnu Ash-Shalahah atau yang lainya. Sayikh Islam Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan,
bahwa dugaan tersebut karena kurang meneliti banyak sanad dan kondisi serat sifat – sifat
pra perawi yang menurut tradisi mustahil terjadi kesepakatan bohong. Hadits mutawatir
memang sedikit jumlahnya dibandingkan dengan hadit s ahad tetapi cukup banyak
sebagaimana dijelaskan pada buku-buku hadits mutawatir yang tenar. Di antaranya hadits
tentang telaga (al-hawdh) diriwayatkan lebih 50 orang sahabat, hadits menyapu sepatu
(khawf) diriwayatkan 70 orang sahabat, hadits tentang mengangkat kedua tangan dalam
shalat oleh 50 orang sahabat, hadits tentang mengangkat keduatangan dalam shalat oleh 50
orang sahabat, dan lain- lain. 7

C. Kitab Hadits Mutawatir

1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi. Dalam kitab


tersebut, As Suyuthi menyusun bab demi bab dan setiap hadits diterangkan sanad-sanadnya
yang dipakai oleh pentakhrijnya. 

2. Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.

3. Al-La’ali’ Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad


bin Thulun Ad-Dimasyqi.

4. Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-
Kittani8.

7 Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah (Cetakan pertama), 2008, hal. 131-133
8 Al-Qathathan Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al-Kautsar:Jakarta Timur, 2016, Hal.
113.

7
8

5. Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musythahirah bi Maa Waqaa’ min Ziyadah ‘Alaa al-AzharAl-
Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh Abdul ‘Aziz al-
Ghammari.

6. Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abii al-Faidh


Muhammad Murtadhaa al-Husainii az-Zubaidii al-Misri.

D. Pembagian Hadits Mutawatir


a. Mutawatir Lafzhi
Yang dimaksud hadis mutawatir lafzi adalah:

‫ما تواترت روايته على لفظ واحد‬


“Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzi.”9
Hadis mutawatir lafzhi ialah hadis yang makna dan lafadznya memang mutawatir. Hadits
mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta
kandungan hukum yang sama, contoh :

‫ب َعلَ َّي ُمَت َع ِّم ًدا فـَْليَتََب َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬ ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل اهلل َعلَْيه َو َسلَّ َم َم ْن َك َّذ‬
َ َ‫قـ‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi


menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat. Dalam periwayatan
hadis tersebut, muncul berbagai pendapat tentang jumlah periwayat yang meriwayatkannya,
diantaranya adalah :

a. Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40
(empat puluh) sahabat.

9 Drs. Munzier Suparta, M.A. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.,h.87

8
9

b. Ibnu al-Shalhah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 62 (enam puluh dua)
sahabat, dimana 10 (sepuluh) diantaranya dijamin masuk surga.

c. Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40
(empat puluh) sahabat.

d. Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80
(delapan puluh) sahabat.

e. Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 100 (seratus)
bahkan 200 (duaratus) sahabat.

Benpani (2011:7) menyebutkan dalam karya ilmiahnya bahwa dengan sangat


ketatnya syarat hadits mutawatir lafzhi tidak mungkin ada menurut pendapat Ibnu Hibban
dan Al-Hazimi, namun dibantah oleh Ibnu Shalah yang menyatakan ada, tetapi sangat
terbatas. Berbeda dengan Ibnu Hajar Al-Asqolani yang menyatakan bahwa hadits mutawatir
banyak hanya saja diperlukan penilitian mendalam mengenai riwayat, sikap, dan sifat para
periwayat hadits hingga dapat disimpulkan bahwa seorang perawi mustahil berdusta
terhadap hadits yang ia riwayatkan.

Hadits ini pemakalah teliti dalam sebuah kitab Qathful Al-Azhar Mutanatsirah yang
di tulis oleh Imam Jalaludin As-Suyuthi dengan rincian sebagai berikut:10

Jumlah
No. Nama Imam Nama Kitab /sumber
periwayatan

1 Imam Bukhori 7 Babul ilmi

2 Imam Muslim 4 Al-Mukhtashor Sohihul Muslim

3 Ibnu Majah 4  Muqaddimah

4 Imam Hakim 1  Kitab Ilmu

5 Addarimi 1  dalam kitabnya bab Ittiqo ilan Nabi saw

10 Jalaludin As-Suyuthi, Qathful Al-Azhar Mutanatsirah, Beirut ,Al-Maktabah Islami: 1958. hal. 23-27

9
10

6 Imam Ahmad 10 Musnad

7 Imam Tabrani 25 Hadits /Al-Ausat

8 Imam AlBazzari 1 Musnadnya/Kasyaful astar hal . 204 – 207

9 Imam Daruqutni 11 Afrad

10 Ibnu Qani’ 2 Mu’jam Sohabah

11 Ibnu ‘Adi 3 Al-Kamil

12 Ikhatib 12 Tarikh

13 Imam Tirmidzi 1 Kitab Ilmu

14 Imam Nasai 1 Lam ajidhu

15 Ibnu Katsir 1 Jami’ul Musnad

16 Imam Al-Albani 1 Targhib wa Tarhib

17 Al-Haitami 30 Al-Majmu/Kitab Ilmu

18 Al-Kittani 75 Nazham Al-Mutawatir Hadits

Jumlah 268 periwayatan

b. Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi ialah:

‫ما تواتر معناه دون لفظه‬


“Hadis yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.”

Muhammad ‘Ajjaj al Khathib mendefinisikan hadits mutawatir maknawi sebagai berikut :

‫ َما اَِّت َف َق َن ْقلَتُهُ َعلَى َم ْعنَاهُ ِم ْن َغرْيِ ُمطَابَِق ٍة ىِف اللَ ْف ِظ‬.
“ Hadits yang periwayatannya disepakati maknanya, akan tetapi lafalnya tidak ”.11

11 http://akhizahra.blogspot.co.id/2011/09/hadits-berdasarkan-jumlah-perawi.html

10
11

Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang
sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW
mengangkat tangannya ketika berdo’a.

‫قال ابو مسى م رفع رسول اهلل صلى عليه وسلم يديه حىت رؤي بياض ابطه ىف شئ من‬

)‫دعائه إال ىف اإلستسقاء (رواه البخارى ومسلم‬

Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali
saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits-hadits yang semacam ini, tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-

beda.

. ‫َكا َن َي ْرفَ ُع يَ َديْ ِه َح ْد َو َمْن ِكَبْي ِه‬


“Rasulullah Saw. Mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau”

Walaupun kedua hadits di atas berbeda redaksinya dan bahkan beberapa hadits
serupa yang lainnya juga masih banyak, kesemuanya adalah hadits-hadits yang berbeda
dalam redaksi, namun memiliki kadar kesamaan dalam segi maknanya, yaitu menjelaskan
keadaan Rasulullah mengangkat tangan dalam berdoa, maka yang demikian adalah disebut
hadits
Hadits semacam ini diriwyatkan dari Nabi SAW. berjumlah sekitar seratus hadits
dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi
SAW mengangkat tangan saat berdoa.
Masing-masing hadis menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya
ketika berdoa, meskipun masing-masing (hadis) terkait dengan berbagai perkara (kasus)
yang berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak bersifat mutawatir. Penetapan bahwa

11
12

mengangkat kedua tangan ketika berdoa itu termasuk mutawatir karena pertimbangan
digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut. 12

c. Mutawatir ‘Amali

‫ما علم من الدين باالضرورة وتواتر بني املسلمني ان النيب صلى اهلل عليه وسلم‬

‫فعله او امربه او غري ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف اإلمجاع إنطباقا صحيحا‬
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan
telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau
selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.” 13

Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in,
dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang
shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah
yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Contoh Hadits mutawatir amali yaitu hadits tentang sholat:

َ ‫صلُّ ْوا َك َم َارأ َْيتُ ُم ْوىِن أ‬


)‫ُصلِّى (رواه البخارى ومسلم‬ َ
Artinya: Sholatlah kamu seperti kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari Muslim)14

ٍ َ‫ا َذاسج َداْلعْب ُد سج َد معهُ سْبعةُ آرا‬


ُ‫ َو ُر ْكبَتَاهُ َوقَ َد َماه‬،ُ‫ب َو ْج ُههُ َو َك َّفاه‬ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ

12 Mahmud Ath-Thahan. Taisir  Musthalah Al-Hadis.hlm.19


13 Drs. Munzier Suparta, M.A. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.,hal. 90 – 91
14 Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998, h. 200

12
13

Artinya: “Apabila seorang hamba sujud, maka bersujudlah tujuh anggota tubuh
bersamanya: wajahnya, kedua telapak tangannya kedua lututnya dan kedua telapak
kakinya”. (HR. Muslim, Abu Uwanah dan Ibnu Hiban).15

Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama


yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis
mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya
dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.

E. Keberadaan Hadits Mutawatir


Sebagian di antara mereka mengira bahwa hadits mutawatir tidak ada wujudnya
sama sekali. Yang benar bahwa hadits mutawatir jumlahnya cukup banyak di antara hadits-
hadits yang ada. Akan tetapi jika dibandingkan dengan hadits ahad maka jumlahnya sangat
sedikit.
Mereka mengatakan bahwa hadits mutawatir keberadaannya sedikit, seakan yang
dimaksud oleh mereka adalah mutawatir lafzhi, sebaliknya mutawatir maknawi banyak
jumlahnya. Dengan demikian maka perbedaannya bersifat lafzhi saja. 16
Sebagian muslimin menganggap bahwa hadits mutawatir amat sedikit sebagai mana
dijelaskan oleh Manna Al-Qathan (2004:112) yang diterjemahkan oleh Mifdhol
Abdurrahman. Namun jangan salah persepsi mengenai hal ini karena beliau
menyimpulkannya bahwa hadits mutawatir maknawi amatlah banyak karena sifatnya yang
yang sudah menjadi amaliah ibadah dan teks yang hanya maknawi.

F. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad

Kata Ahad jamak dari ahad yang berarti satu . Hadis ahad, secara bahasa adalah
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja.17

15 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Sholat Nabi, Bandung: Gema Risalah Press, 2000, hal.
177.
16 Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulumil Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005 hal.
112.
17 Mahmud al-Thahhan. Taysir Musthalah al-Hadits, (Indonesia: Al-Haramain, 1985) hal. 22

13
14

Adapun menurut terminologi ulama hadis, hadis ahad adalah

‫هو ما مل جيتمع فيه شروط املتواتر‬


“Hadis yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat hadis mutawatir”.

Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang
sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi
kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.
Keduahal inilah yang membedakan hadis ahad dengan hadis mutawatir.18

2. Pembagian Hadis Ahad

Menurut Mahum al-Thahhan, hadis ahad dilihat dari segi jumlah sanadnya terbagi
menjadi tiga katagori yaitu hadis masyhur, hadis ‘aziz, hadis gharib.19

a. Hadis Masyhur

Secara bahasa, kata masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara seperti: ‫شهرت‬

‫األمر‬ ( Aku memasyhurkan sesuatu) yang berarti aku mengumumkan dan menjelaskan

sesuatu. Dalam pengertian bahasa ini, masyhur juga berarti sesuatu yang terkenal, yang

dikenal, atau yang populer di kalangan manusia (‫الناس‬ ‫) املشهور بني‬, sehingga hadis masyhur
berarti hadis yang terkenal, dikenal atau populer di kalangan umat manusia. Berdasarkan
pengertian ini, di kalangan ulama memang dikenal beberapa hadis yang masyhur (dalam arti
terkenal) meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali yang kemudian disebut dengan
hadis masyhur non-istilah (masyhur ghayr istilahi). Menurut terminologi ulama hadis, hadis
masyhur adalah:

18 Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi. Mabahits al-Kitab wa al-Sunnah. Hal. 17


19 Mahmud al-Thahhan. Taysir Musthalah al-Hadits, Hal. 22

14
15

‫ما رواه ثالثة فأكثر ىف كل طبقة ما مل يبلغ حد التواتر‬ 20

“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada setiap thabaqah-nya tetapi
tidak sampai pada peringkat mutawatir”

Secara terminologi Ibn Hajar al-‘Asqalani, dalam Syarh Nukhbah al-Fikar


mendefinisikan hadis masyhur sebagai berikut:

‫املشهور ماله طرق حمصورة بأكثر من اثنني و مل يبلغ حدالتواتر‬

“Hadis masyhur adalah hadis yang mempunyai jalan sanad yang terbatas lebih dari dua
dan tidak mencapai batasan mutawatir”.21

Hadis masyhur sebagaimana pengertian di atas disebut hadis masyhur secara istilah
(masyhur istilahi). Di kalangan ulama hadis dikenal pula hadis masyhur non-istilah disebut
juga hadis yang terkenal dalam pembicaraan, yaitu hadis-hadis yang masyhur (terkenal) di
kalangan masyarakat tertentu tanpa harus memenuhi syarat-syarat hadis masyhur menurut
ulama hadis, sehingga hadis kategori ini ada yang mempunyai satu sanad saja, lebih dari
satu sanad, atau tidak ada sanadnya sama sekali.22

Hadis masyhur non-istilah bermacam-macam. Pertama, hadis yang masyhur di


kalangan ulama hadis,23 misalnya:

‫أن رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قنت شهرا بعد الركوع‬

“Bahwasannya Rasulullah membaca kunut dalam satu bulan setelah ruku” (HR. Bukhari,
Muslim)

20 Mahmud al-Thahhan. Taysir Musthalah al-Hadits, Hal. 22


21 Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani. Syarh Nukhbah al-Fikr fi Musthalah Ahl al-Atsar. (Beirut:
Dar al-Atsar, 1984) hal. 51
22 Mahmud al-Thahhan. Taysir Musthalah al-Hadits, Hal. 24
23 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010) hal.143

15
16

Kedua, hadis yang masyhur di kalangan ahli hadis, para ulama, dan masyarakat umum,
seperti:

‫املسلم من سلم املسلمون من لسانه ويده‬

“Orang Islam adalah orang yang menyebabkan orang-orang Islam selamat dari lisan dan
tangannya” (Muttafaq ‘alaih)

Hadis ini tekenal di berbagai kalangan tidak hanya di kalangan ulama hadis, fiqh, ushul,
kalam, tetapi juga dikalangan umum.

Ketiga, hadis masyhur di kalangan ahli ushul fiqh seperti:

‫رفع عن أميت اخلطاء و النسيان و ما استكرهوا عليه‬

“Diangkat (dimaafkan) dari umatku (sesuatu perbuatan yang tersalah, lupa, atau karena
dipaksakan” (HR. Ibn Hibban dan a-Hakim)

Keempat, masyhur dikalangan ulama fiqh sepert:

‫هنى رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم عن بيع الغرر‬

“Rasulullah saw. Melarang jual beli yang di dalamnya terdapat tipu daya”

Kelima, hadis yang masyhur di kalangan masyarakat umum, seperti:

‫العجلة من الشيطان‬

“Terburu-buru termasuk (perbuatan) setan” (HR. Al-Turmudzi dan ia menilainya sebagai


hadis hasan)

Para ulama telah menyusun kitab-kitab tersendiri yang berisi tentang hadis-hadis
masyhur, seperti:

16
17

1) Kitab al-Maqashid al-Hasanah fi Maa Isytahara ‘ala al-Alsinah karya al-Sakhawi


2) Kitab Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas fi Maaa Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah
al-Nas karya al-‘Ajlubi
3) Kitab Tamyiz al-Thayyib min al-Khaits fi Maa Yadur ‘ala Alsinah al-Nas min al-Hadits
karya Ibn al-Dhabya’ al-Syaybani

Hadis masyhur baik yang masyhur istilah maupun masyhur non-istilah ada yan shahih,
hasan, dhaif bahkan ada yang maudhu’. Hanya saja, hadis masyhur istilah yang shahih
kualitasnya lebih tinggi dari hadis ‘Aziz atau Gharib yang juga shahih.24 Contoh hadis
masyhur yang shahih adalah:

‫من اتى اجلمعة فليغتسل‬

“Barang siapa akan melaksanakan shalat Jumat, maka hendaklah ia mandi” (HR.
Bukhari)

Menurut Shubhi al-Shalih, di antara contoh hadis masyhur yang hasan adalah hadis
tentang kefardhuan mencari ilmu. Dengan mengutip pendapat al-Mizzi, ia menyatakan
bahwa hadis ini memiliki beberapa sanad sehingga kedudukannya meningkat dari dha’if
menjadi hasan li ghayrih. Hadis dimaksud adalah:

‫طلب العلم فريضة على كل مسلم‬

“Menuntut ilmu fardhu bagi setiap muslim”25

Adapun contoh hadis masyhur yang dhaif bahkan palsu adalah hadis yang terkenal di
kalangan ahli tasawuf berikut:

‫من عرف نفسه فقد عرف ربه‬

“Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia benar-benar mengetahui Tuhannya”.

24 Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits.


25 Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits, hlm. 232

17
18

Menurut al-Suyuti, hadis ini mawdhu’ atau batil yang tidak diketahui dari mana
sumbernya.26

b. Hadis ‘Aziz

Kata ‘aziz dalam bahasa Arab berasal dari kata: ‘azza – ya’izzu yang berarti sedikit
atau jarang dan kata ‘azza ya’izzu yang berarti kiat dan sangat. Disebut demikian karena
hadis kategori ini sedikit adanya dan jarang, atau karena kuat dengan sanad yang datang dari
jalur lain. Menurut istilah, hadis ‘aziz adalah:

‫أن ال يقل رواته عن اثنني ىف مجيع طبقات السند‬

“Hadis yang pada semua thabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat”27

Definisi di atas menunjukkan bahwa pada tiap tingkatan sanad hadis ‘aziz tidak
kurang dari dua orang periwayat. Karena itu, jika pada salah satu tingkatan sanadnya
terdapat tiga orang periwayat atau lebih, maka tetap dinamakan hadis ‘aziz. Contoh hadis
aziz adalah:

‫ ال يؤمن أحدكم حىت أكون‬: ‫عن ايب هريرة أن رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قال‬

‫أحب إليه من والده وولده و الناس أمجعني‬

“Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: ‘Tidaklah beriman seseorang di
antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh
manusia” (HR. Bukhari Muslim)

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Qatadah dan ‘Abd al’Aziz ibn Shuhayb dari Anas.
Syu’bah dan Sa’id meriwayatkan dari Qatadah. Ismail ibn ‘Ulayyah dan ‘Abd al-Warits
meriwayatkannya dari ‘Abd al-‘Aziz, dan dari mereka berdua hadis tersebut diriwayatkan
oleh banyak periwayat,28 yang akhirnya sampai kepada Bukhari dan Muslim.
26 Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, jilid II. Hal.189
27 Mahmud al-Thahhan, Taysir, hal.26
28 Mahmud al-Thahhan, Taysir, hal. 27

18
19

Sebagaimana halnya hadis Masyhur, hadis aziz ada yang sahih, hasan, dha’if bahkan
mawdhu’ tergantung pada kebenaran sanad dan matan hadis yang bersangkutan. Karena itu,
tidak setiap hadis ‘aziz itu shahih dan tidak pula hadis sahih adalah ‘aziz.

c. Hadis Gharib

Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Secra istilah
Hadis Gharib menurut Mahmud al-Thahhan adalah

‫هو ما ينفرد بروايته راو واحد‬

“Hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat”

Definisi tersebut menunjukkan bahwa hadis gharib diriwayatkan oleh seorang


periwayat baik pada seluruh tingkatan sanad atau pada sebagiannya walaupun hanya pada
satu tingkatan saja dan jika pada salah satu tingkatan sanad lebih dari satu periwayat, hal itu
tidak meningkatkan derajatnya.29

Menurut Mahmud al-Thahhan hadis gharib terbagi menjadi dua, yaitu gharib
muthlaq dan gharib nisbi.

1) Gharib Muthlaq

‫ما ينفرد بروايته شخص واحد ىف اصل سنده‬


“Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad”30
Contoh hadis gharib mutlak, antara lain adalah:

... ‫ إمنا ألعمال بالنيات‬..


“Seseungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini diriwayatkan secara sendirian oleh oleh ‘Umar ibn al-Khathab kemudian
setelah itu diriwayatkan oleh banyak periwayat.
Contoh lainnya:

29 Mahmud al-Thahhan, Taysir, hal.26


30 Mahmud al-Thahhan, Taysir, hal.28

19
20

‫ألوالء حلمة كلحمة النسب ال يباع و اليوهب‬


“Kekerabatan dengan jala memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab,
tidakboleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”
Hadis kedua dari contoh hadis gharib tersebut diterima dari Nabi SAW. Oleh Ibnu
Umar, dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkannya.
Abdullah bin Dinar adalah seorang tabi’in yang hafidz, kuat ingatannya, dan dapat
dipercaya.

2) Gharib Nisbi

‫هو ما كانت الغرابة ىف اثناء سنده‬


“Hadis yang terjadi gharib di pertengahan sanadnya”.31
Hadis gharib nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang
perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), tetapi di pertengahan sanad-
nya terdapat tingkatan yang perawinya hanya sendiri (satu orang).
Contoh hadis gharib nisbi:

‫إن النيب صلى اهلل عليه و سلم دخل مكة و على راسه املغفر‬
“Bahwasannya Nabi SAW. Memasuki Mekkah dan di atas kepalanya terdapat
penghapus” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis riwayat Malik dari al-Zuhri dari Anas. Hadis ini diriwayatkan secara sendirian
oleh Malik dan al-Zuhri.
Dari segi periwayatannya, di kalangan ulama hadis, hadis gharib nisbi dibagi dalam
beberapa kategori. Mahmud al-Thahhan membaginya sebagai berikut:
1) Seorang periwayat menyendiri dalam meriwayatkan hadis, seperti pernyataan
berikut:

‫مل يروه ثقة إال فالن‬


“Tidak seorangpun periwayat tsiqah yang meriwayatkannya kecuali si fulan”

31 Mahmud al-Thahhan, Taysir, hal.29

20
21

2) Periwayatan tertentu secara tersendiri meriwayatkan dari periwayat tertentu pula,


seperti pernyataan kritikus periwayat:

‫تفرد به فالن عن فالن‬


“Si fulan meriwayatkan hadi itu secara sendirian dari si fulan”
3) Periwayatkan menyendiri dari daerah atau tempat tertentu, seperti pernyataan
kritikus periwayatan.

‫تفرد به اهل مكة او اهل الشام‬


“Hadis ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Mekkah atau Syam”
4) Periwayat menyendiri dari daerah atau tempat tertentu dan tidak dari daerah atau
tempat yang lain, seperti pernyataan kritkus periwayat periwayat:

‫تفرد به اهل البصرة عن اهل املدينة او تفرد به اهل الشام عن اهل احلجاز‬
“Hadis ini hanya diriwayatkan oleh penduduk Bashrah dan tidak oleh penduduk
Madinah atau hanya diriwayatkan oleh penduduk Syam dan tidak oleh penduduk
Hijaz”.

Hadis gharib ada yang shahih, hasan, atau dha’if dan ada pula yang mawdhu’ (palsu)
tergantung pada kualitas sanad dan matannya. Jika hadis gharib memenuhi semua syarat
hadis shahih, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah, dan
terlepas dari syadz dan ‘illat, maka hadis gharib itu shahih. Tetapi, jika syarat-syarat itu
terpenuhi namun salah satu seorang periwayatnya ada yang kurang dhabith, maka hadis itu
dinyatakan sebagai hasan. Di antara literatur yang berisi tentang hadis-hadis gharib adalah:

1) Kitab Athraf al-Gharib wa al-Afrad karya Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi (448-507
H)
2) Al-Afrad ‘ala Tartib al-Athraf oleh Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Umar al-Daruquthni al-
Baghdadi (306-385 H)
3) Al-Ahadits al-Shahihah al-Gharib karya Yusuf ibn ‘Abd al-Rahman al-Mizzi al-Syafi’i
(654 – 742 H)

21
22

4) Al-Sunan allati Tafarrada bi kull sanah minha Ahl Baladah karya Abu Dawud al-
Sijistani.
5) Tamyiz At-Tayibi karya Ibnu Ad-Diba As-Syailani.32

3. Kehujjahan Hadis Ahad

Jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in, serta para ulama sesudah mereka
dari kalangan ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadis ahad yang
sahih dapat dijadkan hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat senada dikemukakan pula
oleh Muslim ibn al-Hajjaj bahwa beramal dengan hadis ahad yang memenuhi persyaratan
maqbul (dapat diterima) hukumnya wajib.33 Imam Syafi’i merumuskan bahwa hadis ahad
atau hadis khashshah dalam istilah beliau, dapat dijadikan hujjah jika memenuhi beberapa
hal sebagai berikut:

a.  Rangkaian periwayat (sanad) harus bersambung sampai pada Nabi saw

b.  Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya pengamalan agamanya (baik agamanya),

ia harus dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan riwayat dan khabar.

c.  Perawi hadis meriwayatkan dari orang yang biasa meriwayatkan sama dengan huruf yang

didengarnya

d. Tidak meriwayatkan bi al-ma’na , periwayat tersebut tidak mengetahui pergeseran


makna hadisnya, sehingga orang tersebut tidak mengetahui barangkali ia mengalihkan
halal kepada haram. Apabila ia menyampaikan hadis sesuai hurufnya, maka tidak ada lagi
alasan kekhawatiran mengubah hadis

e.  Orang yang meriwayatkan kuat hafalannya (apabila ia meriwayatkan dari hafalannya)
dan akurat catatannya (apabila ia meriwayatkan dari kitabnya). Apabila ia menghafal satu
hadis tidak berbeda dengan hadis yang telah diriwayatkan orang lain, yaitu orangyang
32 Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010) hal. 97
33 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, hlm. 147-148

22
23

lebih kuat hafalannya.

f.  Orang yang meriwayatkan tidak boleh seorang mudallis yang menuturkan dari orang
yang ditemuinya tentang hal yang tidak pernah didengarnya, serta ketika meriwayatkan
sesuatu dari Nabi, tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang terpercaya. 34

Dapat kita pahami dalam pemaparan ini bahwa hadits yang mutawatir bersifat qath’i
sedangkan hadits ahad bersifat zhanni, namun wajib diamalkan selama hadits tersebut
maqbul. Hal ini menghilangkan keraguan dan penegasan terhadap orang yang berpendapat
bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah, namun setelah kita bersikap objektif dan
mau melakukan penelitian lebih lanjut ini merubah pandangan tentang hadits ahad itu
sendiri.

G. Perbedaan Hadits Mutawatir Dengan Hadits Ahad.

a.     Dari segi jumlah rawi, hadits mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya
sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka
sepakat untuk berdusta, sedangkan hadits ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah
yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.

b.      Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadits mutawatir menghasilkan ilmu qat’I (pasti)
atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa hadits itu sungguh-sungguh dari
Rasulullah sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadits ahad menghasilkan
ilmu zanni (bersifat dugaan) bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.

c.       Dari segi kedudukan, hadits mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada hadits ahad. Sedangkan kedudukan hadits ahad
sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadits mutawatir.

34 http://islam6236.blogspot.co.id/2015/03/kehujjahan-hadis-ahad.html

23
24

d.      Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadits
mutawatir bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur'an, sedangkan keterangan
matan hadits ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al-
Qur'an, maka hadits-hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasulullah
mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an.

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

Hadits mutawatir memberi faedah ilmu dharuri atau yakin dan wajib diamalkan.
Dalam hadits mutawatir seseorang menerimanya secara mutlak tanpa harus meneliti sifat-

24
25

sifat para perawi, karena dengan jumlah yang banyak mustahil mereka berbohong, hal ini
memberi kesan yakin yang amat kuat atas kebenaran berita tersebut.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak


membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup denga bersandar pada jumlah, yang dengan
jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang
menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita
belum pernah melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.

Dapat kita simpulkan bagan hadits dilihat dari segi kuantitas sanadnya secara ringkas
sebagai berikut:

Hadits Ditinjau Dari


Kuantitas Perawi

Hadits Hadits
Mutawatir Ahad

Lafzhi ‘Amali Masyhur Gharib

‘Aziz
Ma’nawi

Berbeda dengan hadits mutawatir hadits ahad untuk kita memahaminya hingga dapat
diamalkan ternyata butuh proses penelitian lebih lanjut. Namun pada akhirnya kedua jenis
hadits ini bertujuan mengetahui kualitas sebuah hadits yang seminimal mungkin dapat
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw dan bukan perktaan selainya.

25
26

Juga merupakan suatu upaya untuk memisahkan antara hadits yang benar - benar
dapat dijadikan hujah dan tidak menimbulkan kergauan didalamnya. Adapun saran yang
penulis makalah harapkan dari para pembaca agar memberikan saran atau masukan-
masukan apabila ada kekurangan atau kurang terperincinya paparan pada bab pembahasan
salah dan khilaf penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul majid Khon, Ulumul Hadis, (cetakan pertama ) Jakarta: Amzah, 2008.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010.

26
27

As-Suyuti, Tadrib Ar-Rawi ..., Juz 2, hlm. 255.


Bahreisj Hussein, Hadits Shahih Al-Jamius shahih Bukhari – Muslim, Surabaya: CV
Karya Utama, 2000, hlm.31.
http://islam6236.blogspot.co.id/2015/03/kehujjahan-hadis-ahad.html
https://kbbi.web.id/kuantitas
Idris, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010)
Jalaludin As-Suyuthi, Qathful Al-Azhar Mutanatsirah, Beirut , Al-Maktabah Islami:
1958.
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008.
Mahmud al-Thahhan. Taysir Musthalah al-Hadits, (Indonesia: Al-Haramain, 1985)
Muhammad Nashruddin Al-Albani, Sifat Sholat Nabi, Bandung: Gema Risalah
Press, 2000.
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi. Mabahits al-Kitab wa al-Sunnah. Damsyik:
Mahfuzhah li al-Jami’ah.
serpihan-islam.blogspot.com/2014/11/pengertian-sanad-isltilah-dalam-hadist.html
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulumil Hadits, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998.

27

Anda mungkin juga menyukai