Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KELOMPOK

MATAN DAN SANAD HADITS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits pada


Semester 1 (Satu) Program Studi Manajemen Pendidikan Islam

Tahun Akademik 2019/2020

Dosen Pengampu : Yulan Tiarni Legistia, M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 6

Hanina Halawati Imani RA NIRM


Susanti NIRM
Intan Nuraeni NIRM

STAI SYAMSUL ULUM

Jl. Bhayangkara No. 33 Kota Sukabumi

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Sukabumi, Oktober 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………2

DAFTAR ISI……………………………………………………………...3

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………...4

A. Latar Belakang……………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah……………………………………………………4
C. Tujuan Pembuatan Makalah………………………………………..5

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………6

1. Pengertian Matan Hadits……………………………………………6


2. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Kandungan Matan………….7
3. Pengertian Sanad Hadits……………………………………………
12
4. Ketentuan dalam Memahami Isi
Hadits…………………………...15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………….20
B. Kritik dan
Saran…………………………………………………….20

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...22

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari Hadits Nabi SAW, seseorang harus mengetahui dua
unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas Hadits tersebut, yaitu al-
sanad dan al-matan. Kedua unsur Hadits tersebut begitu penting rtinya dan antara
yang satu dan yang lainnya saling berhubungan erat, sehingga apabila salah
satunya tidak ada maka akan berpengaruh terhadap, dan bahkan dapat merusak,
eksistensi dan kualitas suatu Hadits. Suatu berita yang tidak memiliki sanad,
menurut Ulama Hadits, tidak dapat disebut sebagai Hadits; dan kalaupun disebut
juga dengan Hadits maka ia dinyatakan sebagai Hadits palsu (Mawdhu’).
Demikian juga halnya dengan matan, sebagai materi atau kandungan yang dimuat
oleh Hadits, sangat menentukan keberadaan sanad, karena tidak akan dapat suatu
sanad atau rangkaian para perawi disebut sebagai Hadits apabila tidak ada matan
atau materi Haditsnya, yang terdiri atas perkataan, perbuatan, atau ketetapan
(taqrir) Rasul SAW.
Di dalam penilaian suatu Hadits, unsur sanad dan matan adalah sangat
menentukan. Oleh karenanya, yang menjadi objek kajian dalam penelitian Hadits
adalah kedua unsur tersebut, yaitu sanad dan matan.
Memposisikan hadis secara struktural dan fungsional sebagai sumber
ajaran setalah al-Quran, atau sebgai bayaan (penjelas) terhadap al-Quran
merupakan suatu keniscayaan. Nabi Muhammd saw. dalam kapasitas sebagai
Nabi dan Rasul, tidak seperti tukang pos dan bukan pula sebagai medium al-
Quran, tetapi beliau adalah mediator,[3] mufassir awal al-Quran.
Dari aspek periwayatan, hadis Nabi berbeda dengan al-Quran. Al-Quran,
semua periwayatannya berlangsung secara mutwatir, dan untuk hadis Nabi
sebagian periwyatannya berlangsung secara mutwatir, dan sebagian yang lainnya
berlangsung secara ahad.[4] Olehnya al-Quran dilihat dari aspek periwayatan
dapat dikategorikan qat’i al-wurud. Sedangkan untuk hadis Nabi, sebagiannya
saja dikategorikan qat’i al-wurud, adan sebgian lainnya, bahkan yang terbanyak
berkedudukan sebagai dzanni al-wurud.[5] Dengan demikian dilihat dari segi
periwayatannya, seluruh ayat al-Quran tidak perlu lagi dilakukan penelitin untuk
membuktikan orosinalitasnya. Adapun hadis Nabi, dalam hal ini berkategori
ahad, harus diteliti. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadis tersebut
dapat dipertanggungjawabkan periwaytannya berasal dari Nabi atau tidak.
Dalam kenyataannya, kitab-kitab hadis yang beredar di tengah
masyarakat, dan diperpegangi oleh umat Islam juga dijadikan sebagai sumber
ajaran setelah al-Quran , kenyataannya kitab-kitab tersebut disusun oleh
penyusunnya itu setelah lama Nabi saw. wafat. Jarak antara wafatnya Nabi

4
saw. dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut, kemungkinan terjadi kesalahan
dalam periwayatan sehingga menyebabkan riwayat hadis tersebut menyalahi apa
yang sebenarnya berasal dari nabi.
Dengan demikian untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang
terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebgai hujjah atau
tidak, lebih dahulu harus diadakan penelitian. Kegiatan penelitian , tidak hanya
ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja (matan),
tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatan (sanad).
Jadi, untuk membuktikan suatu hadis dapat dipertanggungjawabkan
keorisinilannya, bahwa hadis tersebut benar berasal dari Nabi saw., diperlukan
penelitian matan dan sanad hadis lebih seksama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu matan Hadis?
2. Apa itu sanad Hadits?
3. Apa saja prinsip-prinsip dalam memahami matan Hadis?
4. Apa saja problem dan solusi dalam memahami Hadis?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Mengetahui apa itu matan Hadist
2. Mengetahui apa itu sanad Hadits
3. Mengetahui prinsip-prinsip dalam memahami matan Hadits
4. Mengetahui problem dan solusi dalam memahami matan Hadits

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Matan Hadits


Matan secara bahasa berarti
ِ ْ‫ب َوارْ تَفَ َع ِمنَ االَر‬
‫ض‬ َ ُ‫صل‬َ ‫َما‬
Sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi (tanah).
Secara terminologi matan berarti:
‫َما يَ ْن ِه ْي ِإلَ ْي ِه ال َّسنَ ُد ِمنَ ْالكَاَل ِم‬
Sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa
perkataan.
Atau, dapat juga diartikan sebagai:
ِ ‫هُ َو ْألفَاظُ ْال َح ِد ْي‬
‫ث الَّتِ ْي تَقُوْ ُم بِهَا َم َعا نِ ْي ِه‬
Yaitu lafaz Hadits yang memuat berbagai pengertian.
Dari Hadits berikut:

:‫ا َل‬iiَ‫ب الثّقَفِ ُّي ق‬ ِ ‫ ُد ْال َوهَّا‬i‫ َّدثَنَا َع ْب‬i‫ َح‬:‫ا َل‬iiَ‫ َّدثَنِا ُم َح َّم ُد ْب ِن ال ُمثَنَّى ق‬i‫ َح‬: ‫ا َل‬iiَ‫اريُّ ق‬ِ ‫َر َوى ا ِال َما ُم ْالبُ َخ‬
‫ث َم ْن ُك َّن‬ ٌ ‫ ثَاَل‬:‫ا َل‬iiَ‫لَّ َم ق‬i ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬َ ‫س َع ِن النَّبِ ِّي‬ ٍ َ‫ ع َْن أَان‬,َ‫ ع َْن اَبِ ْي قِاَل بَة‬, ُ‫َح َّدثَنَا أَيُّوْ ب‬
‫رْ َء اَل‬ii‫ َو اَ ْن يُ ِحبَّ ْال َم‬,‫اال ْي َما ِن أَ ْن يَ ُكوْ نَ هللاُ َو َرسُوْ لُهُ اَ َحبَّ اِلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما‬ ِ َ‫فِ ْي ِه َو َخ َد َحاَل َوة‬
‫ار‬ َّ َ ْ َ ْ ْ ُ ْ َ
ِ ‫ َواَ ْن يَك َرهَ أ ْن يَعُوْ ُد فِ ْي الكف ِر َك َما يَك َرهُ أ ْن يُقذفَ فِي الن‬,ِ ‫يُ ِحبُّهُ اِاَّل هلِل‬
ْ

Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata, “Telah menceritakan kepada


kami Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, ‘Telah menceritakan
kepada kami ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqfi, ia berkata ‘Telah menceritakan
kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi SAW, beliau
bersabda, ‘Ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya maka ia
akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintainya daripada selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang
hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia membenci kembali kepada
kekafiran sebagaimana ia mebenci masuk ke dalam api neraka’.”

Maka, lafaz:
ِ َّ‫ أَ ْن يُ ْق َذفَ فِي الن‬...‫إلى‬...‫ث َم ْن ُك َّن فِ ْي ِه‬
‫ار‬ ٌ ‫ ثَاَل‬...
Adalah merupakan matan hadits.
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa
irtafa’amin al-aradhi(tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan
memiliki beberapa difinisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau
lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana

6
misalnya, disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Dari
definisi diatas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah
(penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.Pada definisi lain seperti yang
dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :”lafazh-lafazh hadits yang
didalamnya megandung makna makna tertentu”.

Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut
matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya
ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

2. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Kandungan Matan


Yang dimaksud dengan "kandungan matan" di sini adalah teks yang
terdapat di dalam matan suatu Hadits mengenai suatu peristiwa, atau
pernyataan, yang disandarkan kepada Rasul SAW. Atau, tegasnya, kandungan
matan adalah redaksi dari matan suatu Hadits.
Penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan suatu Hadits
adalah karena adanya periwayatan Hadits secara makna (riwayat bi al-ma'na),
yang telah berlangsung sejak masa Sahabat, meskipun di kalangan para
Sahabat sendiri terdapat kontroversi pendapat mengenai periwayatan secara
makna tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan mengenai
penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan Hadits tersebut.
a. Periwayatan Hadits Secara Makna
Sering dijumpai di dalam kitab-kitab Hadits perbedaan redaksi dari
matan suatu Hadits mengenai satu masalah yang sama. Hal ini tidak lain
adalah karena terjadinya periwayatan Hadits yang dilakukan secara
maknanya saja (riwayat bi al-ma'na), bukan berdasarkan redaksi yang
sama sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah SAW. Jadi,
periwayatan Hadits yang dilakukan secara makna, adalah penyebab
terjadinya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu Hadits.
Suatu hal yang perlu dipahami, sebagaimana yang telah diuraikan pada
bab terdahulu, bahwa tidak seluruh Hadits ditulis oleh para Sahabat pada
masa Nabi SAW masih hidup. Dan, bahkan keadaan yang demikian terus
berlanjut sampai pada masa Sahabat dan Tabi'in, sebelum inisiatif
penulisan dan pembukuan Hadits secara resmi diambil oleh Khalifah
'Umar ibn 'Abd al-'Aziz di penghujung abad pertama Hijriah dan di awal
abad kedua Hijriah. Selama masa tersebut, sebagian dari Hadits-Hadits itu,
terutama yang terdapat pada perbendaharaan Sahabat dan Tabi'in yang
menolak untuk menuliskan Hadits, diriwayatkan hanya melalui lisan ke
lisan.

7
Dalam hal periwayatan Hadits tersebut, yang memungkinkan untuk
diriwayatkan oleh para sahabat sebagai saksi pertama
sesuai/sebagaimana menurut lafaz atau redaksi yang disabdakan Rasul
SAW (riwayat bi al-lafzh), hanyalah Hadits dalam bentuk sabda
(aqwal al-Rasul). Sedangkan Hadits-Hadits yang tidak dalam bentuk
perkataan, seperti Hadits Afal (perbuatan-per- buatan) dan Hadits
Taqrir (pengakuan dan ketetapan) Rasul SAW, hanya dimungkinkan
diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma'na).
Hadits-Hadits yang dalam bentuk aqwal pun, tidak seluruhnya
dapat diriwayatkan secara lafaz. Hal tersebut disebabkan tidak
mungkin seluruh sabda Nabi SAW itu dihafal secara harfiah oleh para
Sahabat dan demikian juga oleh Tabi'in yang datang kemudian. Sebab
lainnya, juga tidak semua Sahabat mempunyai kemampuan menghafal
dan tingkat kecerdasan yang sama, dan hal ini memberi peluang
terjadinya perbedaan redaksi dan variasi pemahaman terhadap redaksi
Hadits yang diterima mereka dari Nabi SAW, yang selanjutnya akan
berpengaruh ketika mereka meriwayatkannya kepada Sahabat yang
tidak mendengar secara langsung dari Nabi SAW, atau kepada para
Tabi'in yang datang kemudian.
Selain itu, terdapat sebagian Sahabat yang membo¬lehkan
periwayatan Hadits secara makna. Di antara mereka itu adalah: 'Abd
Allah ibn Mas'ud, Abu Darda', Anas ibn Malik, 'A'isyah, 'Amr ibn
Dinar, 'Amir al-SyaTa, Ibrahim al-Nakha'i, dan lain-lain.
'Abd Allah ibn Mas'ud, misalnya, ketika meriwayatkan Hadits
kadang-kadang mengatakan:
Bersabda Rasulullah SAW begini, atau seperti ini, atau mendekati
pengertian ini.
A'isyah r.a. suatu ketika menjawab pertanyaan 'Urwah ibn Zubair
ketika Ibn Zubair menanyakan kepadanya tentang perbedaan redaksi
dari suatu Hadits yang diperolehnya melalui A'isyah, dengan
mengatakan:

Maka dia (A'isyah) menjawab, "Apakah engkau mendengar perbedaan


dalam maknanya?" Aku (Ibn Zubair) mengatakan, "Tidak." A'isyah
selanjutnya mengatakan, "Hal tersebut (periwayatan dengan redaksi
yang berbeda, namun maknanya sama) tidak mengapa (yaitu boleh)
untuk dilakukan."

Di kalangan Tabi'in dan Ulama yang datang kemudian, juga ada yang
membolehkan periwayatan Hadits secara makna, seperti Al-Hasan al-

8
Bashri, Ibrahim al-Nakha'i, dan 'Amir al-Sya'bi. Mereka memberikan
isyarat kepada para pendengar atau yang menerima riwayat mereka
bahwa sebagian Hadits yang mereka riwayatkan tersebut adalah secara
makna. Hal tersebut mereka lakukan dengan cara mengiringi riwayat
mereka itu dengan kata-kata “sebagaimana sabda beliau” , atau dengan
kata-kata “dan yang seumpama ini”.

b. Beberapa ketentuan dalam Periwayatan Hadits Secara Makna


Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah selain Sahabat boleh
meriwayatkan Hadits secara makna, atau tidak boleh. Abu Bakar ibn
al-'Arabi (w. 573 H/ 1148 M) berpendapat bahwa selain Sahabat Nabi
SAW tidak diperkenankan meriwayatkan Hadits secara makna. Alasan
yang dikemukakan oleh Ibn al-'Arabi adalah: pertama, Sahabat
memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah tua al-
balaghah), dan kedua, Sahabat menyaksikan langsung keadaan dan
perbuatan Nabi SAW.

Akan tetapi, kebanyakan Ulama Hadits membolehkan periwayatan


Hadits secara makna meskipun dilakukan oleh selain Sahabat, namun
dengan beberapa ketentuan. Di antara ketentuan-ketentuan yang
disepakati para Ulama Hadits adalah:
1. Yang boleh meriwayatkan Hadits secara makna hanyalah mereka
yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang
mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan Hadits akan
terhindar dari kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa,
misalnya karena lupa susunan secara harfiah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam
bentuk bacaan yang sifatnya ta'abbudi, seperti bacaan zikir, doa,
azan, takbir, dan syahadat, dan juga bukan sabda Nabi yang dalam
bentuk jawami' al-kalim.
4. Periwayat yang meriwayatkan Hadits secara makna, atau yang
mengalami keraguan akan susunan matan Hadits yang
diriwayatkannya, agar menambahkan kata-kata ‫ او كماقال‬, atau  ‫اونحو‬
‫ذا‬ii‫ه‬, atau yang semak¬na dengannya, setelah menyatakan matan
Hadits yang bersangkutan.
5. Kebolehan periwayatan Hadits secara makna hanya terbatas pada
masa sebelum dibukukannya Hadits-Hadits Nabi secara resmi.

9
Sesudah masa pembukuan (kodifikasi)-nya, maka periwayatan
Hadits harus secara lafaz.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka para perawi


tidaklah bebas dalam meriwayatkan Hadits secara makna. Namun
demikian, kebolehan melakukan periwayatan secara makna tersebut
telah memberi peluang untuk terjadinya keragaman susunan redaksi
matan Hadits, yang sekaligus akan membawa kepada terjadinya
perbedaan kandungan matan, yang dalam hal ini yang dimaksudkan
adalah redaksi Hadits itu sendiri.

Perbedaan redaksi matan Hadits tersebut terjadi terutama karena


adanya perbedaan sanad Hadits, dan perbedaan sanad itu sendiri terjadi
disebabkan oleh adanya perbedaan perawi. Perawi yang berbeda akan
menyebabkan kemungkinan terjadinya perbedaan dalam cara
menerima suatu riwayat dan perbedaan dalam ketentuan yang
dipedomani serta aplikasinya dalam periwayatan Hadits secara makna.

Sebagai contoh kasus, dalam hal perbedaan redaksi matan Hadits yang
terjadi sebagai akibat dari perbedaan sanad, adalah Hadits tentang niat.
Hadits tersebut dapat dijumpai di dalam kitab-kitab Shahih Al-
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Tirmidzi,
Sunan Al- Nasa'i, Sunan Ibn Majah, dan Musnad Ahmad ibn
Hanbal,33 Sahabat Nabi yang menjadi perawi pertama untuk seluruh
sanad Hadits tersebut adalah 'Umar ibn al- Khaththab. Di dalam
Shahih al-Bukhari saja Hadits tersebut terdapat di tujuh tempat. Nama-
nama perawinya untuk ketujuh sanad-nya tersebut adalah sama
pada thabaqat (tingkatan) pertama sampai dengan yang keempat, yaitu
:
1. Umar ibn al-Khaththab,
2. 'Alqamah ibn Waqqash al-Laitsi,
3. Muhammad ibn Ibrahim al-Tamimi, dan
4. Yahya ibn Sa'id al-Anshari.

Akan tetapi, terdapat perbedaan perawi pada thabaqat kelima, yaitu:


1. Sufyan ibn Uyainah,
2. Malik ibn Anas,
3. Abd al-Wahhab, dan
4. Hammad ibn Zaid.

10
Perbedaan perawi juga terjadi pada thabaqat keenam, yaitu sebelum
Al-Bukhari, yakni:
1. Al-Humaydi Abd Allah ibn Zubair,
2. Abd Allah ibn Maslamah,
3. Muhammad ibn Katsir,
4. Musaddad,
5. Yahya ibn Qaz'ah,
6. Qutaibah ibn Sa'id, dan
7. Abu al-Nu'man.

Perbedaan yang terjadi pada sanad yang disebabkan oleh perbedaan


perawi pada Hadits-Hadits Bukhari di atas, telah mengakibatkan
terjadinya perbedaan-perbedaan redaksi pada matannya. Dan,
perbedaan tersebut telah kelihatan sejak dari awal matan-nya yang
terdiri dari lima redaksi yang bervariasi, yaitu:
Perbedaan yang ditimbulkan oleh periwayatan secara makna tidak
hanya terjadi dalam hal redaksi, tetapi juga dalam hal pemilihan kata-
kata, sesuai dengan perbedaan waktu dan kondisi di mana perawi itu
berada, yang kata-kata tersebut diduga mengandung makna yang sama
dengan kata-kata yang lazim dipergunakan pada masa Rasulullah
SAW.

c. Meringkas dan Menyeserhanakan Matan Hadits


Selain perbedaan susunan kata-kata dan perbedaan dalam memilih
kata-kata untuk redaksi suatu Hadits, permasalahan yang juga
diperselisihkan oleh para Ulama dan berpengaruh terhadap redaksi
matan suatu Hadits adalah mengenai tindakan meringkas atau
menyederha-nakan redaksi dari suatu Hadits. Sebagian Ulama ada
yang mutlak tidak membolehkan tindakan tersebut. Hal itu sejalan
dengan pandangan mereka yang menolak periwayatan Hadits secara
makna. Sebagian lagi ada yang membolehkannya secara mutlak.
Namun, kebanyakan Ulama Hadits dan merupakan pendapat yang
terkuat adalah membolehkannya dengan persyaratan. Syarat- syarat
tersebut, sebagaimana yang dirangkum oleh Syuhudi, adalah sebagai
berikut:
1. Yang melakukan peringkasan itu bukanlah periwayat Hadits yang
bersangkutan;
2. Apabila peringkasan dilakukan oleh periwayat Hadits, maka harus
telah ada Hadits yang dikemukakannya secara sempurna;

11
3. Tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pengecualian (al-
istisna'), syarat, penghinggaan (al- ghayah), dan yang semacamnya.
4. Peringkasan itu tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang
terkandung dalam Hadits yang bersangkutan.
5. Yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar
telah mengetahui kandungan Hadits yang bersangkutan. (Jalal al-
Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Ed.
Irfan al-'Asysya Hassunah (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/ 1993), h.
302-303).

3. Pengertian Sanad Hadits


Sanad secara bahasa sanad berarti al-mu'tamad yaitu yang diperpegangi
atau yang bisa dijadikan pegangan.(Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah
al-Hadits (Beirut: Dar Al-Qur'an al-Karim, 1979), h. 20). Atau, dapat juga
diartikan "sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah".( M. 'Ajjaj al-
Khathib, Ushul al-Hadits: 'Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al- Fikr,
1989), h. 32).

Sedangkan secara terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah


para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan hadits dari sumbernya
yang pertama.

Al-Tahanawi mengemukakan definisi yang hampir senada:


“Sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan Hadis, yaitu
nama-nama para perawinya secara berurutan”.(Zafar Ahmad ibn Lathif
al-'Utsmani al-Tahanawi, Qawa id fi 'Ulum al Hadits, ed. 'Abd al-Fattah Abu
Ghuddah (Beirut: Maktabat al-Nah'ah, 1404 H/1984 M), h. 26).

Jalan matan tersebut dinamakan dengan sanad adalah karena musnid


berpegang kepadanya ketika menyandarkan matan ke sumbernya. Demikian
juga, para Huffazh (Penghafal Hadits) menjadikannya sebagai pegangan
(pedoman) dalam menilai sesuatu Hadis, apakah Shahih atau Dha'if. (M.
'Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 32).

Sebagai contoh dari sanad adalah seperti yang terlihat dalam Hadis
berikut:

12
Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata, "Telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibn al-Mutsanna,ia berkata, "Telah menceritakan kepada
kami Abd al- Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata, 'Telah menceritakan kepada
kami Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi SAW, beliau
bersabda, "Ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya maka ia
akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintainya daripada selain keduanya, bahwa ia mencintai seseorang
hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali kepada kekafiran
sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka"( Bukhari, Shahih Al-
Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M). 8 jilid: jilid 1, h. 9-10.)

Pada Hadis di atas terlihat adanya silsilah para perawi yang membawa kita


sampai kepada matan Hadits , yaitu Bukhari, Muhammad ibn al-Mutsanna,
'Abd al- Wahhab al-Tsaqafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas r.a. Rangkaian
nama-nama itulah yang disebut dengan sanad dari Hadis tersebut, karena
merekalah yang menjadi jalan bagi kita untuk sampai ke matan Hadis dari
sumbernya yang pertama yaitu Rasulullah SAW.

Masing-masing orang yang menyampaikan Hadis di atas, secara sendirian,


disebut dengan rawi (perawi/ periwayat), yaitu orang yang menyampaikan,
atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang pernah didengar atau
diterimanya dari seseorang (gurunya).(M Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu
Hadits (Bandung: Angkasa, 1991), h. 17).

Dengan demikian, apabila kita melihat contoh Hadis di atas, maka Hadits
tersebut diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, yaitu:
 Anas r.a, sebagai perawi pertama.
 Abi Qilabah, sebagai perawi kedua.
 Ayyub, sebagai perawi ketiga.

13
 Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, sebagai perawi keempat.
 Muhammad ibn al-Mutsanna, sebagai perawi kelima.
 Bukhari, sebagai perawi keenam atau perawi terakhir.

Imam Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut


sebagai mukharrij , yaitu orang yang telah menukil atau mencatat sesuatu
Hadis pada kitabnya, dan dari segi ini Bukhari adalah orang yang mentakhrij
Hadis di atas.

Apabila kita melihat dari segi sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kita
kepada matan Hadis, maka urutannya adalah sebagai berikut:
 Muhammad ibn al-Mutsanna sebagai sanad pertama atau awwal al-sanad
 'Abd al-Wahhab al-Tsaqafi sebagai sanad kedua.
 Ayyub sebagai sanad ketiga.
 Abi Qilabah sebagai sanad keempat.
 Anas r.a. sebagai sanad kelima atau akhir sanad.

Ada beberapa istilah yang erat hubungannya dengan sanad, yaitu isnad,
musnad, dan musnid.

a. Isnad
Isnad secara etimologi berarti menyandarkan sesuatu kepada yang lain.
( T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits I (Jakarta:
Bulan Bintang, 1981), h. 43).

Sedangkan menurut istilah, isnad berarti : Mengangkat Hadits kepada yang


mengatakannya (sumbernya), yaitu menjelaskan jalan matan dengan
meriwayatkan Hadis secara musnad.(M. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-
Hadits, h. 32; Mahmud al-Thahhan. Taisir, h. 15; Ash- Shiddieqy. Pokok-
pokok Ilmu Dirayah Hadits I. h 43)

Di samping itu, isnad dapat juga diartikan dengan menceritakan jalannya


matan.(Zhafar al-Tahanawi, Qawa id fi Ulum al-Hadits. h. 26.)

b.  Musnad
Musnad adalah bentuk isim maf'ul dari kata kerja asnada, yang berarti
sesuatu yang disandarkan kepada yang lain.

Secara terminologi, musnad mengandung tiga pengertian, yaitu:


Pertama:

14
Hadis yang bersambung sanad-nya dari perawinya (dalam contoh sanad di
atas adalah Bukhari) sampai kepada akhir sanadnya (yang biasanya adalah
Sahabat, dan dalam contoh di atas adalah Anas r. a.).

Dengan pengertian ini tercakup di dalamnya Hadis Marfu' (yang


disandarkan kepada Rasul SAW), Mawquf (yang disandarkan kepada
Sahabat), dan Maqthu' (yang disandarkan kepada Tabi'in). Akan tetapi,
pada umumnya penggunaan istilah musnad di kalangan Ulama Hadits,
adalah terhadap berita yang datang dari Nabi SAW dan bukan yang datang
dari selain beliau. Al-Hakim dan para ahli Hadis lainnya secara tegas
menyatakan:
"Tidak dipergunakan (yaitu istilah musnadj kecuali terhadap Hadis
Marfu' dan Muttashil (bersambung sanad-nya), dan itulah pendapat yang
paling sahih".

Kedua:
Kitab yang menghimpun Hadits - Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan
oleh Sahabat, seperti Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a.
dan lainnya. Contohnya, adalah kitab Musnad Imam Ahmad.

Ketiga:
Sebagai mashdar (mashdar mimi) mempunyai arti sama dengan sanad.

c. Musnid
Kata musnid adalah isim fa'il dari asnada-yusnidu, yang berarti "orang
yang menyandarkan sesuatu kepada yang lainnya". Sedangkan
pengertiannya dalam istilah Ilmu Hadis adalah:
Musnid adalah setiap perawi Hadits yang meriwayatkan Hadits dengan
menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang sanad
tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, tetapi
hanya sekadar meriwayatkan saja. (Zhafar al-Tahanawi, Qawa'id fi 'Ulurn
al-Hadits. h. 26; Mahmud al-Thahhan Taisir, h.16.)

4. Ketentuan dalam Memahami Isi Hadits


1.    Memahami As Hadits Sesuai Petunjuk Al Quran
Untuk dapat memhami as Hadits dengan pemahaman yang benar, jauh
dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk, maka kita
haruslah memahaminya sesuai dengan petunjuk al Quran, yaitu, dalam
kerangka bimbingan llahi yang pasti benarnya dan tak diragukan
keadilannya. Sesuai dengan surat Al-an’am ayat 115:

15
‫ص ْدقًا َو َع ْدال ال ُمبَد َِّل لِ َكلِ َماتِ ِه َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْال َعلِي ُم‬ َ ِّ‫ت َكلِ َمةُ َرب‬
ِ ‫ك‬ ْ ‫َوتَ َّم‬

Yang artinya: ”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Quran)


sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
Jelaslah bahwa al Quran adalah ruh dari eksistensi islam, dan
merupakan asa bangunanaya, sedangkan hadits adalah penjelasan terinci
tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis
ataupun penerapannya secara ptaktis. Itulah tugas Rasulullah SAW. ;
“menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan pada mereka”.
Oleh sebab itu tidaklah mungkin suatu yang merupakan pemberi
penjelasan bertentangan dengan apa yang hendak dijelaskan itu sendiri.
Maka penjelasan yang bersumber dari Nabi SAW selalu dan senantiasa
berkisar diseputar al Qurandan tidak mungkin akan melanggarnya.

2.      Menghimpun Hadits-Hadits Yang Terjalin Dalam Tema Yang Sama


Untuk berhasil memahami hadits secara benar kita harus menghimpun
hadits shohih yang berkaitan dengan satu tema tertentu. Kemudian
mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam,
mengaitkan yang mutlak dengan yang muqoyyad, dan menafsirkan yang
‘am dengan yang khosh. Dengan cara itu dapatlah dimengetri maksudnya
dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadits satu dan
lainnya.
3.       Penggabungan Atau Pentarjihan Antara Hadits-Hadits Yang
Bertentangan
Pada dasarnya nash-nashsyari’ah tidak mungkin saling bertentangan.
Sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu,
apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya tampak
dalam luarnya saja, bukan pada kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar
itu kita wajib menghilangkannya dengan jalan seperti berikut:
a.          Penggabungan didahulukan sebagai pentarjihan.
Memahami hadits dengan baik termasuk hal yang sangat penting,yaitu
dengan cara menyesuaikan antara berbagai hadits shohih yang redaksinya
tampak solah-olah bertentangan, demikian pula makna kandungannya
yang tampak berbeda. Cara yang digunakan yaitu dengan mengumpulkan
semua hadits dan kemudian dinilai secara proporsional sehingga dapat
dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan
tidak saling bertentangan.

16
b.         Naskh dalam hadits
Diantara persoalan kandungan hadits yang dianggap saling bertentangan
adalah persoalan naskh (penghapusan) atau adanya hadits yang nasikh
(yang menghapus suatu ketentuan) dan yang mansukh (yang terhapus
berklakunya). Persoalan naskh ini, ada hubungannya dengan ilmu-ilmu al
Quran sebagaimana ada hubungannya juga dengan ilmu hadits, namun
dakwaan tentang adanya naskh dalam hadits tidak sebesar yang
didakwahkan didalam alquran. Apabila diteliti lebih jauh hadits-hadits
yang diasumsikan sebagai mansukh tidaklah demikian. Hal ini mengingat
bahwa diantara hadits-hadits ada yang dimaksudkan sebagai ‘azimah
(anjuran melakukan sesuatu walaupun secara berat), dan ada pula yang
dimaksudkan sebagai rukhsoh (peluang untuk memilih yang lebih ringan
pada suatu ketentuan). Dan karena itu, kedua-duanya mengandung kadar
ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing.

4.      Memahami Hadits Sesuai Dengan Latar Belakang, Sitiuasi Dan


Kondisi Serta Tujuannya
Untuk dapat memahami hadits nabi dapat dengan memperhatikan
sebab-sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya suatu hadits,
atau terkait dengan suatu ‘illah tertentu yang dinyatakan dalam hadits
tersebut, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemilihan
antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yamg sementara dan
abadi, serta antara yang partikular dan yang universal yang masing-masing
mempunyai hukum tersendiri.
Sesuai dengan kaidah “suatu hukum berjalan dengan illahnya, baik
dalam hal ada maupun tidak adanya”, sehingga apabila kondisi telah
berubah dan tidak ada lagi ‘illah, maka hukum yang berkenaan dengan
suatu naskh akan gugur dengan sendirinya. Begitu pula hadits yang
berlandaskan suatu kebiasaan temporer yang berlaku pada zaman Nabi dan
melalui perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud
yang dikandungnya dan bukan pengertian harfiahnya.

5.      Membedakan Antara Sarana Yang Berubah-Ubah Dan Tujuan Yang


Tetap
Diantara penyebab kekacuan dan kekeliruan dalam memahami
haditsialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau
sasaran yang hendak dicapai oleh as sunnah denga pra-sarana temporer
atau lokal yang kadang kala menunjang pencapaian sasaran itu dituju.
Mereka memusatkan diri pada pelbagai prasarana ini, seolah-olah hal ini

17
merupakan hal yang sebenarnya. Padahal, siapa saja yang berusaha benar-
benar memahami haditsserta rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan
tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang menjadi tujuannya
yang hakiki. Itulah yamg tetap dan abadi. Sedangkan yang berupa
prasarana adakalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan,
zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.
 Setiap sarana dan prasarana mungkin saja berubah dari suatu
masa  kemasa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya,
bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila
suatu hadits menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah
untuk menjelaskan suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan
mengikat kita dengannya, atau membekukan diri dengannya.
Bahkan sekiranya al Quransendiri menegaskan tentang suatu sarana atau
prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak
berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja dan tidak memikirkan
tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu.

6.      Membedakan Antara Ungkapan Haqiqat Dan Majaz


Teks-teks hadits banyak sekkali yang menggunakan majaz (kiasan
atau metafora), sebab Rasul adalah orang arab yang menuasai balaghoh
(retorika). Rasul menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud
beliau dengan sangat mengesankan. Adapun yang termasukmajaz adalah
majaz lughowi, ‘aqli, isti’aroh, kinayah dan berbagai ungkapanlainnya
yang tidak menunujukkan makna sebenarnya secara langsung tetapi hanya
dapat dipahami dengan pelbagai indikasi yang menyertainya baik yang
bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Menurut Yusuf Al Qaradawi, pemahaman berdasarkan majaz
terkadang merupakan suatu keharusan, karena jika tidak, orang akan
tergelincir dalam kekeliruan. Untuk hadits yang tidak bisa dipahami secara
tekstual, maka bisa dilakukan ta’wil terhadapnya. Upaya ta’wil harus
didukung oleh suatu alasan kuat, jika tidak maka pena’wilan tersebut harus
ditolak, begitu juga pena’wilan yang dipaksakan. Sedangkan pemahaman
hadits yang hanya sesuai dengan susunan lahiriahnya atau tekstualnya
sajapunharus ditolak, jika bertentangan denhgan konklusi akal yang jelas,
atau hukum syari’ah yang benar, atau pengetahuan yang pasti, atau
kenyataan yang meyakinkan.

7.      Membedakan Antara Alam Gaib Dengan Alam Nyata


Diantara kandungan hadits, ada beberapa hal yang berkaitan dengan
alam gaib, yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak

18
dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat yang diciptakan ole allah
SWT untuk melakukan tugas tertentu. Seperti dalam surat al Mudatsir ayat
31:

‫َو َما يَ ْعلَ ُم ُجنُو َد َربِّكَ إِال هُ َو‬

Yang artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu


melainkan Dia sendiri”.
Hal tersebut menjadi bahan pembicaraan al Quran. Namunhadits
yang mulia berbicara tentangnya (alam gaib) secara lebih luas, dengan
menguraikan secara terinci apa yang disebutkan al Quran dalam garis
besarnya saja. Seorang muslim wajib menerima hadist-hadits shohih yang
mengenai alam gaib ini dan tidak dibenarkan menolaknya semata-mata
karena menyimpang dari apa yang biasa dialami, atau tidak sejalan dengan
pengetahuan. Selama hal itu masih dalam batas kemungkinana menurut
akal, walaupun dianggap mustahil menurut kebiasaan. Sikap yang benar
yang diharuskan oleh logika keimanan dan tidak ditolak oleh logika akal
adalah mengatakan; “kami beriman dan percaya”, setiap kali dihadapkan
hal-hal gaib yang ditetapkan dalam agama.

8.       Memastikan Makna Dan Konotasi Kata-Kata Dalam Hadits


Dalam memahami hadits dengan sebaik-baiknya penting sekali
untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam
susunan kalimat hadits. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya
berubah dari suatu masa ke masa lainnya. Adakalanya suatu kelompok
manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk pada makna-
makna tertentu pula. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila
mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam hadits (atau
juga dalam al Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang
hanya digunakan dikalangan mereka saja). Disini akan timbul kerancuan
dan kekeliruan.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sanad merupakan jalan/rentetan orang-orang yang dapat
menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad
SAW.Matan merupakan suatu kalimat tempat berakhirnya
sanad atau isi (inti) dari hadis.
Unsur-unsur sanad dan matan adalah: Rijāl al-Sanad,
Ittishal al-ruwāt dan Tahammul dan adā’. Sedangkan unsur
matan adalah lafadz (teks) dan maʹnā (konsep)
Pendokumentasian hadis merupakan hal yang sangat
penting dalam menjaga keotentikan sebuah hadis, Sanad
berperan dalam dokumentasi, karena dalam dokumentasi hadis
ada berbagai metode untuk menjaga hadis sebagi sumber ke
dua dalam ajaran Islam. Suatu misal, peranan sanad dalam
kaitannya dengan dokumentasi hadis, yaitu: menyangkut
pengumpulan dan pemeliharaan hadis, baik dalam bentuk
tulisan atau dengan mengandalkan daya ingat yang kuat.
Penulisan sanad dan matan memerlukan kelengkapan
sanad, karenanya bisa menjelaskan dan membedakan hadis itu
maqbūl atau mardūd. Dan juga sumber berita sanad menjadi
dasar dalam menjaga bercampurnya hadis paslu atau tidak,
karena dalam rentetan sanad memerlukan persyaratan-
persyaratan untuk menjadi seorang penyampai hadis. Misalnya
bukan seorang pembohong atau fasik dan sebagainya. Serta
juga dalam penilaian sanad dan matan hadis merupakan bentuk
yang komprehensif dalam menentukan kualitas hadis.
Kandungan matan secara umum dadalah teks yang terdapat
di dalam matan suatu hadis mengenai suatu peristiwa, atau
pernyataan yang di sandarkan kepada Rasul SAW. Atau
tegasnya kandungan matan adalah redaksi dari matan suatu
hadis, seperti tentang berladang dan bercocok tanam, distribusi
air (pengairan), masalah hutang, tentang perselisihan dan
sebagainya.

B. Kritik dan Saran


Makalah ini masih jauh dari kata sempurna meskipun
penyusun sudah menyusunnya dengan baik. Masih banyak

20
kekurangan-kekurangan dari berbagai sisi. Kritik dan saran
yang membangun kami sambut dengan senang hati.

21
DAFTAR PUSTAKA

Hans Arif. Sanad dan Matan Hadits. Diakses pada 9 Juli 2015. Web page:
http://hansarif.blogspot.com/2015/07/sanad-dan-matan-hadis-makalah.html

Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya

Tugas Mereka. Makalah Memahami Hadits. Diakses pada 17 Agustus 2017. Web
Page: https://tugasmereka.blogspot.com/2017/08/makalah-kaidah-memahami-
hadist.html

22

Anda mungkin juga menyukai