Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FILSAFAT DAN TEOLOGI AHLUSSUNAH WAL


JAMAAH DAN ALIRANNYA

Guna untuk memenuhi Tugas Matakuliah


Pendidikan Karakter Aswaja

Dosen :

Dr. H. M. Aminudin Sanwar, MM

Oleh

Nama : Muhammad Ali Makhrus Muafi

NIM :19200011103

PROGRAMPASCASARJANA

1
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa
pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan
munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka
karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam
menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur syam,
pada waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya di kenal dengan
kelompok khawarij. Lahirnya kelompok ini menjadi dasar kemunculan
berbagai kelompok baru diantaranya murji‟ah, qadariyah, jabariyah‟
mu‟tazilah, asy‟ariyah dan maturidiah. Dalam perkembangan selanjutnya,
aliran asy‟ariyah ini disebut juga ahl alsunnah wa al-jama‟ah. Istilah ahl al-
sunnah, karena golongan ini di samping berpegang kuat kepada Al-qur‟an
secara zahir, juga berpegang kuat kepada sunnah Nabi Muhammad SAW.
Istilah jama‟ah adalah menunjukkan jumlah pendukungnya mayoritas sebagai
lawan bagi golongan al-Mu‟tazilah yang bersifat minoritas. Ahlus Sunnah
Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para
sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik,
Ahlussunnah wal jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang
dalam fikih mengikuti Imam Syafi‟i, dalam aqidah mengikuti Imam Abu al-
Hasan al-Asy‟ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam
Abu alHasan al-Syadzili.1

1
Zuhairi Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan
Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), cet.1, h.107.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja nilai-nilai filosofis teologi ahlussunah wal jamaah?
2. Bagaimana pengertian ahlussunah wal jamaah
3. Bagaimana model pemikiran teologi ahlussunah wal jamaah ?
4. Bagaimana konsep ahlussunah wal jamaah?
5. Bagaimana ciri khas teologi ahlussunah wal jamaah?
6. Bagaimana Aliran-aliran dalam ahlussunah wal jamaah?

BAB II
PEMBAHASAN

A. NILAI-NILAI FILOSOFIS

3
Istilah nilai dalam kajian filsafat di pakai untuk menunjukkan kata benda
abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan
kata kerja yang artinya suatu ketindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau
melakukan penelitian. Nilai adalah suatu kemampuan yang di percayai yang
ada pada suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok. Jadi, nilai adalah kualitas yang melekat pada suatu objek. Jika di
kaji lebih lanjut, bagi kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai
yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan, nilai
tertinggi adalah nilai kenikmatan.2
Ciri-ciri nilai menurut Bambang Daroeso, nilai memiliki ciri sebagai
berikut:
a. suatu realitas yang abstrak (tidak dapat ditangkap melalui panca indra,
tetapi ada).
b. Normatif (yang seharusnya, ideal, sebaiknya, diinginkan).
c. Sebagai daya dorong manusia (sebagai motivator).3
Pengertian Filsafat Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia,
asal kata philein bearti cinta, menciintai dan philos artinya pecinta atau teman.
Istilah sophos berarti bijaksana, sedangkan sophia artinya kebijaksanaan (love
of wosdom). Filsafat dalam bahasa Indonesia padanan kata falsafah (Arab),
philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Prancis,
Belanda). Istilah itu bersumber pada istilah Yunani Philosophia, dalam bahasa
Indonesia lazimnya di sebut filosuf yaitu orang yang bijaksana dan cinta
kebijaksanaan.4
Filsafat menurut Kattsoff Louis O adalah suatu analisa secara hati-hati
terhadap penalaran-penalaran mengenai suatu masalah dan penyusunan secara
sengaja serta sistematis serta sudut pandang yang menjadi dasar suatu
tindakan.5 Berfilsafat juga mengajarkan kepada kita untuk senantiasa
2
Fauzie Nurdin, Integralisme Islam dan Nilai-Nilai Filosofis Budaya Lokal Pada
Pembangunan Propinsi Lampung, Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Raden Intan
Lampung Vol. XXXII No. 71 Juni 2009, h.84-85.
3
Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h.
128-129.20
4
A. Fauzi Nurdin, Op.cit, h. 84.
5
Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 4

4
berendah diri, terhadap segala sesuatu yang kita milikisaat ini. Segala yang di
ajarkan oleh Socrates. Kerendah hatian Socrates bukan hanya vebaisme yang
sekedar basa basi semata. Orang yang berfilsafat senantiasa merenung dan
membongkar tempat berpijak secara fundamental.6

B. TEOLOGI ISLAM AHLUSSUNAH WAL JAMAAH


1. Pengertian ahlussunah wal jamaah
Secara etimologi, istilah “Ahlusunnah Wal-Jamaah” berarti
golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah saw. Dan jalan
hidup para sahabatnya. Atau golongan yang berpegang teguh pada sunnah
Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat,
yaitu Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin „Affan, dan Ali
bin Abi Thalib. Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi
saw dan sunnah shahabat-sahabatnya. Kata "Ahlusunnah" mempunyai dua
makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya
dari Rasulullah saw dan para shahabat, menekuninya, memisahkan yang
shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari
perkataan dan perbuatan dalam masalah akidah dan ahkam. Kedua, lebih
khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di
mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama as-Sunnah. Kedua
makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlusunnah itu
kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan para
shahabat. Adapun penamaan Ahlusunnah adalah sesudah terjadinya fitnah
ketika awal munculnya firqah-firqah.7
2. Model pemikiran teologi ahlussunah wal jamaah
Ajaran Ahlusunnah Wal-Jamaah menggunakan prinsip tawassuth,
tawazun, I‟tidal dan iqtishad. Tawassuth artinya menselaraskan antara dua
sumber nash dan penalaran. Ahlusunnah Wal-Jamaah berpijak pada nash,
baik al-Qur‟an maupun as-Sunnah, dengan pendekatan yang dapat
6
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 2000), h.10.
7
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal jama’ah, tahun 2008), 59.

5
memuaskan tuntutan penalaran dan tanpa penjabaran yang terlalu jauh
terhadap makna yang tersurat dari bunyi teks. Sedangkan Tawazun
mengandung arti selalu mempertimbangkan kebenaran sebuah sumber.
Begitu juga dalam menggunakan penalaran, harus mengacu pada syarat-
syarat tertentu sehingga kesalahan dalam penalaran bisa terhindari.8 I‟tidal
mempunyai arti tegak, lepas dari penyimpangan ke kanan dan ke kiri, dan
tidak condong pada kehendak hati. Dan Iqtishad artinya sederhana, tidak
berlebihan dan mudah difahami.9

3. Konsep ahlussunah wal jamaah


Sebagai faham Ahlusunnah Wal-Jamaah yang menggunakan
system bermadzhab, maka perilaku keagamaan bagi setiap penganut faham
Ahlusunnah Wal-Jamaah mempunyai konsep-konsep sebagai berikut :
a. Dalam bidang aqidah
1) Keseimbangan (tawazzun) antara penggunaan dalil aqli dengan
dalil naqli (nash al-Qur‟an dan hadis Nabi) serta berusaha sekuat
tenaga menjaga kemurnian aqidah islam dari segala campuran
aqidah dari luar islam. Misalnya: dalam memahami ayat
yadullahu. Secara harfiyah ayat tersebut mengandung makna
bahwa Allah mempunyai tangan. Sedangkan menurut dalil aqli hal
terseebut sangat tidak mungkin (mustahil). Maka dalam hal ini
faham Ahlusunnah Wal-Jamaah berpendapat bahwa kata yadullah
tidak diartikan secara harfiyah, tetapi harus diakwil dengan arti
kekuasaan.
2) Dalam memahami konsep takdir, Ahlusunnah Wal-Jamaah
mengambil jalan tengan (tawassuth) dengan tetap percaya bahwa
segala sesuatu yang terjadi adalah atas ketentuan dan takdir Allah,
akan tetapi manusia tetap berkewajiban untuk selalu berikhtiyar.10
8
Tim Penulis PCLP, Maarif NU Lamongan, Pendidikan ASWAJA & Ke-NU-an,
(Lamongan : Lembaga Pendidikan Maarif NU cabang Lamongan, 2011), hlm. 23.
9
Ibid., hlm. 24
10
PW LP Maarif NU Jatim, Pendidikan ASWAJA Ke-NU-an, (Surabaya: PW LP Maarif
NU Jatim, 2002). 11

6
b. Dalam bidang syari‟ah
1) Selalu berpegang teguh pada al-Qur‟an dan as-Sunnah dengan
menggunakan metode pemahaman yang dapat dipertanggung
jawabkan. Artinya dalam menetapkan hukum syari‟ah dan
pengamalan ajaran-ajaran agama, faham Ahlusunnah WalJamaah
menjadikan al-Qur‟an dan as-Sunnah sebagai sumber 15 PW LP
Maarif NU Jatim, Pendidikan ASWAJA Ke-NU-an, (Surabaya:
PW LP Maarif NU Jatim, 2002). 1123 utama. Namun menyadari
bahwa untuk memahami kedua sumber utama tersebut secara
langsung tidaklah mudah, sehingga mereka menyandarkan diri
pada hasil ijtihad dan bimbingan para ulama.
2) Apabila dalam ajaran agama sudah ada dalil nash sharih (jelas) dan
qathi‟ (pasti), faham Ahlusunnah Wal-Jamaah menjalankannya
dengan sungguh-sungguh dan tanpa ragu-ragu .
3) Mentolelir perbedaan pendapat tentang maslah-maslah furu‟iyah
dan mu‟amalah ijtima‟iyah selama masih tidak bertentangan
dengan prinsip agama.11

c. Dalam bidang akhlak/tasawuf


1) Bagi penganut faham Aglusunnah Wal-Jamaah , tasawuf adalah
inti sari pengalaman dan penghayatan ajaran-ajaran islam dalam
rangka mencapai hakikat kebenaran (haqiqatul haqaiq). Tasawuf
merupakan aspek ajaran Islam yang tidak terpisahkan dengan
aspek akidah dan syari‟ah. Bahkan dalam bertasawuf seseorang
harus mendahulukan syari‟ah, karena seseorang tidak akan dapat
mencapai hakikat kebenaran tanpa melalui syari‟ah.
2) Tasawuf sebenarnya memberikan motivasi untuk selalu dinamis
dalam mencari kebahagian dunia dan akhirat. Kehidupan tasawuf
merupakan suatu perubahan jiwa (al-tsaurah alruhaniyah),

11
Ibid, 12.

7
sehingga jika seseorang benar-benar berjalan pada rel tasawuf yang
lurus, maka profesi dan karir duniawiyahnya tidak akan terhambat.
3) Inti ajaran tasawuf adalah penyucian hati dan pembentukan sikap
mental yang sebaik-baiknya dalam menghambakan diri kepada
Allah SWT, dengan selalu sadar bahwa diri ini selalu berada di
bawah pengawasan-Nya. Untuk itu, sah satu cara yang ditempuh
adalah melalui thariqah yang benar (mu‟tabarah) dibawah
bimbingan dan petunjuk ulama (mursyid) yang dapat
dipertanggung jawabkan.12

4. Ciri khas teologi ahlussunah wal jamaah


Pondok pesantren merupakan ciri khas dari perkembangan teologi
Ahlusunnah Wal Jamaah, ada pesantren Salafiyah, pesantren modern,
pesantren ilmu al-Quran, pesantren Khuffadz al-Quran, pesantren operasi
mental (rehabilitasi moral), dan masih banyak lagi jenis pesantren yang
lain. Adapun ciri-ciri khusus pendidikan dan pengajaran di pondok
pesantren Ahlusunnah Wal Jamaah adalah :
a. Kitab-kitab yang dikaji adalah kitab yang ditulis oleh para ulama salaf atau
kitab yang ditulis bersumber dari kitab para ulama salaf.
b. Sisttem pengajaran yang dipakai adalah system sorogan, weton, dan
halaqoh (musyawarah).
c. Mengajarkan kepada para santri tentang pendidikan moral atau akhlak,
menghargai ilmu pengetahuan menghormati guru atau kiyai dan
memuliakan kitab-kiitab dimana ilmu yang dipelajari ditulis dalam kitab
tersebut.
d. Membiasakan melatih diri dalam mengamalkan setiap ilmu yang
dipelajari.
e. Menghargai nilai-nilai sepiritual dan kemanusiaan.
f. Menanamkan kepada santri untuk hidup sederhana dan berhati bersih.

12
Ibid, 12.

8
g. Bahwa pendidikan di pesantren bukan untuk mengejar kepentingan
duniawi semata. Lebih dari itu bahwa mencari ilmu itu merupakan
kewajiban bagi setiap muslim dan merupakan bentuk pengabdian kepada
Allah SWT.13 Persamaan visi dan misi serta tujuan pondok pesantren
tersebut, telah menghasilkan kesatuan pendangan hidup beragama,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang di dalamnya terdiri dari berbagai
komponen yang berasal dari beraneka ragam jenis masyarakat itu mampu
membentuk kultur budaya tersendiri yang diilhami oleh Ahlususunah wal
jamaah.

C. Aliran-aliran dalam ahlussunah wal jamaah


1. Aliran Salafiah (tradisional)
Aliran salafiah (tradisional) adalah bagian dari ahlus sunnah yang
mana lebih menonjol keahlussunnahannya daripada khalaf-moderat
(Asya’irah). Aliran salafiah sesuai dengan maknanya “tradisonal”
senantiasa mempertahankan konsepsi akidah Islamiah yang orisinal-
tradisional dengan penuh konsekuen sesuai dengan doktrin akidah pada
masa Nabi dan masa sahabat serta tabiin.
Akidah Islamiah pada masa-masa tersebut sangat sederhana. Mereka
menerima berdasarkan iman, ikhlas dan yakin, tanpa memerlukan
argumentasi logika dan filosofis. Karena pada masa itu memang belum
dikenal ilmu logika. Akidah salafiah sangat bertentangan dengan
konsepsi akidah ahli kalam (mutakallimin), karena pemahaman
akidahnya semata-mata berdasarkan pada tekstual (harfiah) dan sama
sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang kontekstual. Hal itu
menimbulkan kesan bahwa seakan-akan kaum salafiah kaku dan picik
dalam memahami konsepsi Islam, terutama dalam konteks akidahnya.
Mereka kurang memberikan kontribusi kepada akal (rasio). 14 Oleh karena
13
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal jama’ah, tahun 2008, 15.
14
H.Z.A Syihab, Akidah Ahlus Sunnah: Versi Salaf – Khalaf dan Posisi Asya’irah di
Antara Keduanya (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hlm. 23-26

9
itu mereka tidak membuang-buang waktu untuk mengkaji ayat-ayat yang
bersifat mutasyabihat, yakni yang tidak jelas maksudnya. Sebagai
contoh: 
 “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit
bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga
dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk: 16)
Jadi ayat tersebut mengatakan “Allah di langit”. Kata langit
disini  tidak boleh ditakwilkan (dimaknai) kepada arti lain, misalnya
tempat yang tinggi.
2.      Aliran Khalaf (Konvensional)
Telah dijelaskan pada bagian yang lalu bahwa aliran
khalaf(konvensional) ada dua macam.
Pertama, aliran yang amat berlebihan dalam mengkultuskan akal. Menurut
pengikut aliran itu, tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Al-Khaliq
dan mampu pula membuat syariat dengan bantuan akal sendiri. Aliran ini
dikenal dengan Muktazillah (supperrasionalisme) sebagaimana yang
diterangkan di depan.
Kedua, aliran yang menempatkan akal sebagai mitra wahyu. Akal
dan wahyu saling mendukung kecuali dalam beberapa kasus tertentu.
Dalam hal tertentu akal tidak cukup mampu memahami wahyu karena
keterbatasannya. Aliran itu lebih dikenal dengan Asya’riyah (skolastisme)
atau juga disebut rasionalisme moderat.
Dalam ilmu ketauhidan, kaum Asya’riyah dianggap sebagai
golongan moderat antara salafiah dan muktazilah. Oleh karena
moderatnya, maka mazhab itu banyak pengikutnya. Ada faktor-faktor
penyebab mayoritas umat islam menganut mazhab Asya’riyah. Faktornya
adalah sebagai berikut:
a. Mazhab Asya’riyah cukup ampuh untuk menjawab argumentasi kaum
Muktazilah dan kaum Falasifah yang senantiasa menggunakan dalil-
dalil logika(mantik).

10
b. Tidak terlepas adanya dukungan dari sejumlah Ulama besar dari
berbagai disiplin ilmu, terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i.15
Meskipun golongan Asyari’yah diakui oleh jumhur umat Islam sebagai
golongan najiah (Ahlulsunnah), namun sebagian kaum Salafiyah keberatan
menerima kaum Asya’riyah sebagai golongan ahlul sunnah murni.
Asya’riyah menurut mereka tidak lain dari muktazilah gaya baru yang
berjubahkan sunni.
Sebenarnya mengenai aliran Ahlulsunnah wal Jama’ah versi Salaf dan
Khalaf. Asya’riyah dan Maturidiah termasuk ke dalam versi kedua, yakni
khalaf moderat, namun aliran salafiah pun ada beberapa macam sama
halnya dengan aliran khalaf. Hanya saja aliran khalaf lebih banyak
macamnya, ada yang ekstrem, seperti muktazillah, khawarij, syi’ah dan
lain-lain yang mencapai jumlahnya 72 aliran. Semuanya itu termasuk
golongan mubtadi’ah yang sesat dan menyesatkan. Ada pula yang
moderat, yakni aliran Asya’riyah dan Maturidiah, yang kedua-keduanya
termasuk golongan Ahlulsunnah wal Jama’ah.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

15
Ibid., hlm. 36-37

11
Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada
sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara
spesifik, Ahlussunnah wal jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang
dalam fikih mengikuti Imam Syafi‟i, dalam aqidah mengikuti Imam Abu al-
Hasan al-Asy‟ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu
alHasan al-Syadzili.
Nilai adalah kualitas yang melekat pada suatu objek. Jika di kaji lebih lanjut,
bagi kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah
nilai material, kalangan hedonis berpandangan, nilai tertinggi adalah nilai
kenikmatan.

Daftar Pustaka

Misrawi, Zuhairi, 2010, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan,


dan Kebangsaan, Jakarta: Kompas.

12
Nurdin, Fauzie, Integralisme Islam dan Nilai-Nilai Filosofis Budaya Lokal Pada
Pembangunan Propinsi Lampung, Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana
IAIN Raden Intan Lampung Vol. XXXII No. 71 Juni 2009.
Herimanto dan Winarno, 2011, Ilmu Sosial Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara.
Kattsoff, Louis, 1992, Pengantar Filsafat, Jogjakarta: Tiara Wacana.
Suriasumantri, Jujun S., 2000, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Abbas, Sirajuddin, 2008, I’tiqad Ahlussunah Wal jama’ah,.
Tim Penulis PCLP, Maarif NU Lamongan, Pendidikan ASWAJA & Ke-NU-an,
(Lamongan : Lembaga Pendidikan Maarif NU cabang Lamongan, 2011),
hlm. 23.
PW LP Maarif NU Jatim, Pendidikan ASWAJA Ke-NU-an, Surabaya: PW LP
Maarif NU Jatim. 2002.
H.Z.A Syihab,  1998, Akidah Ahlus Sunnah: Versi Salaf – Khalaf dan Posisi
Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara.

13

Anda mungkin juga menyukai