Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada
masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai
dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri
mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam
menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur
syam, pada waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya di kenal dengan
kelompok khawarij. Lahirnya kelompok ini menjadi dasar kemunculan
berbagai kelompok baru diantaranya murji"ah, qadariyah, jabariyah"
mu'tazilah, asy"ariyah dan maturidiah. Dalam perkembangan selanjutnya,
aliran asy’ariyah ini disebut juga ahl alsunnah wa al-jama"ah. Istilah ahl al-
sunnah, karena golongan ini di samping berpegang kuat kepada Al-qur'an
secara zahir, juga berpegang kuat kepada sunnah Nabi Muhammad SAW.
Istilah jama'ah adalah menunjukkan jumlah pendukungnya
mayoritas sebagai lawan bagi golongan al-Mu'tazilah yang bersifat
minoritas. Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang
teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali
dan ulama. Secara spesifik, Ahlussunnah wal jamaah yang berkembang di
Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi'i, dalam aqidah
mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy"ari, dan dalam tasawuf mengikuti
Imam al-Ghazali dan Imam Abu alHasan al-Syadzili.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Nilai-Nilai Filsafat dalam Ahlussunah Waljamaah?
2. Bagaimana Model Pemikiran Teologi Ahlussunah Waljamaah?
3. Bagaimana Firqoh-Firqoh dalam Ahlussunah Waljamaah?

1
Zuhairi Misrawi, Hadrastus Syaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan
dan Kebangsaan (Jakarta : Kompas, 2010), hlm. 107.

1
C. Tujuan
1. Agar dapat mengetahui dan memahami nilai-nilai filsafat dalam
Ahlussunah Waljamaah.
2. Agar dapat mengetahui dan memahami model pemikiran teologi
Ahlussunah Waljamaah
3. Agar dapat mengetahui mengetahui dan memahami firqoh-firqoh dalam
Ahlussunah Waljamaah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Filsafat dalam Ahlussunah Wal Jamaah


1. Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah

Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama„ah (Aswaja) dapat dilihat


dari dua aspek penting, pertama dari segi bahasa atau etimologi, kedua
dari segi peristilahan atau terminologi. Secara etimologi, Aswaja berasal
dari bahasa Arab ahl artinya keluarga. Al-sunnah, berarti jalan, tabiat
dan perilaku kehidupan. Sedangkan al-jama„ah, berarti sekumpulan.1

Menurut pengertian istilah (terminologi) al-sunnah, berarti


penganut sunnah Nabi Muhammad saw, yaitu mengikuti apa-apa yang
datang dari Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan,
dan pengakuan (taqri’r). Sedangkan al-jama„ah berarti penganut i„tiqad
para sahabat Nabi, yakni apa yangtelah disepakati oleh para sahabat
Rasulullah pada masa khulafaur’ al-rashidin (Abu Bakr al-Siddiq, Umar,
Ustman, dan Ali). Jadi, yang dimaksud dengan Aswaja adalah kaum
yang mengikuti amaliah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.

Menurut Imam Asyari, Ahlus sunnah Wal Jama‟ah adalah


golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur‟an, hadis, dan apa yang
diriwayatkan sahabat, tabi‟in, imam-imam hadis, dan apa yang
disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.2

Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah


adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para
sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik,
Ahlus sunnah Wal Jama’ah yang berkembang di Jawa adalah mereka

1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab–Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hlm. 46.
2
Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah An Ushul Al-Diyanah (Beirut: Dar
alKutub al-Ilmiyyah, t.t), hlm. 14.

3
yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi‟i, dalam akidah mengikuti
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-
Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.3

Dengan demikian yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal


Jamaah adalah kaum yang konsisten mengikuti amaliah Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya, tidak mendistorsi ajaran Nabi
Muhammad SAW dan tidak mendiskreditkan sebagian sahabat atau
seluruh sahabat Nabi. Pengertian ini dapat diperkuat dengan beberapa
hadisth Nabi yang diriwayatkan beberapa perawi dengan redaksi hadits.

2. Pengertian Nilai-Nilai Filsafat

Istilah nilai dalam kajian filsafat di pakai untuk menunjukkan


kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau
“kebaikan” (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu
tindakankejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penelitian.
Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
yang menyebabkanmenarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai
adalah kualitas yang melekat pada suatu objek.4

Secara bahasa istilah filsafat berasal dari Bahasa Yunani. Yakni


Philos yang berarti cinta, senang, suka, dan Sophia berarti pengetahuan,
hikmah, dan kebijaksanaan. Jadi Philosophia berarti cinta pengetahuan.5
Filsafat menurut Kattsoff adalah suatu analisa secara hati-hati terhadap
penalaran-penalaran mengenai suatu masalah dan penyusunan secara
sengaja serta sistematis serta sudut pandang yang menjadi dasar suatu
tindakan.6 Berfilsafat juga mengajarkan kepada kita untuk senantiasa
berendah diri, terhadap segala sesuatu yang kita miliki saat ini.

3
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, Moderasi Keumatan Dan Kebangsaan
(Jakarta: Kompas, 2010, cet. 1), hlm. 107.
4
Fauzie Nurdin, Integralisme Islam dan Nilai-Nilai Filosofis Budaya Lokal Pada
Pembangunan Propinsi Lampung, Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Raden Intan
Lampung, Vol. XXXII No. 71 Juni 2009, hlm. 84-85
5
T. Heru Nurgiansah, Filsafat Pendidikan, (Banyumas : CV. Pena Persada, 2020), hlm.1.
6
Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta : Tiara Wacana, 1992), hlm. 4.

4
B. Model Pemikiran Teologi Ahlussunah Wal Jamaah
1. Pengertian Theologi

Secara bahasa teologi terdiri dari gabungan dua kata, yakni


Theos yang berarti Tuhan dan Logos yang artinya ilmu.7 Sedangkan
secara istilah di definisikan oleh beberapa ahli, diantaranya oleh William
Ockham mendefinisikan teologi adalah disiplin ilmu yang berbicara
tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu
pengetahuan. Sedangkan menurut Gove, teologi merupakan penjelasan
tentang keimanan, perbuatan dan pengamalan agama secara rasional.8

Teologi dalam Islam juga disebut ilmu tauhid. Kata tauhid


mengandung makna satu atau esa, yang dalam pandangan Islam sebagai
agama yang monotoisme, yang merupakan sifat yang terpenting dalam
sifat-sifat Tuhan. Kemudian ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam
kitabnya Muqaddimah bahwa kata tauhid mengandung makna keesaan
Tuhan. Dengan kata lain, tauhid mengandung makna keyakinan atau
mengi’tiqadkan bahwa “Allah adalah satu”.9

2. Model pemikiran teologi ahlussunah wal jamaah


Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah menggunakan prinsip
tawasuth, tawazun, I’tidal dan iqtishad. Tawasuth artinya menselaraskan
antara dua sumber nash dan penalaran. Ahlussunnah waljamaah berpijak
pada nash, baik Al-Qur’an maupun as-Sunnah, dengan pendekatan yang
dapat memuaskan tuntutan penalaran dan tanpa penjabaran yang terlalu
jauh terhadap makna yang tersurat dari bunyi teks. Sedangkan Tawazun
mengandung arti selalu mempertimbangkan kebenaran sebuah sumber.
Begitu juga dalam menggunakan penalaran, harus mengacu pada syarat-
syarat tertentu sehingga kesalahan dalam penalaran bisa terhindari.10
I’tidal mempunyai arti tegak, lepas dari penyimpangan ke kanan dan ke

7
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta : Pusaka Al-Husna, 1995), hlm. 58.
8
Anwar Rosihon, Ilmu Kalam, (Bandung : Pusaka Setia, 2007), hlm. 14
9
Mulyono, Studi Ilmu Tauhid, (Malang : UIN Malik Press, 2010), hlm.13-14
10
Tim Penulis PCLP, Maarif NU Lamongan, Pendidikan ASWAJA & Ke-NU-an,
(Lamongan : Lembaga Pendidikan Maarif NU cabang Lamongan, 2011), hlm. 23

5
kiri, dan tidak condong pada kehendak hati. Dan iqtishad artinya
sederhana, tidak berlebihan dan mudah dipahami.11
3. Konsep Ahlussunah Wal Jamaah
Sebagai faham ahlussunah Wal Jamaah yang menggunakan
system bermadzab, maka perilaku keagamaan bagi setiap penganut
faham Ahlussunnah Wal Jamah mempunyai konsep-konsep sebagai
berikut:
a. Dalam bidang Aqidah
1) Keseimbangan (Tawazzun) antara penggunaan dalil aqli dengan
dalil naqli (nash Al-Qur’an dan hadis Nabi) serta berusaha
sekuat tenaga menjaga kemurnian aqidah Islam dari segala
campuran Aqidah dari luar Islam. Misalnya : dalam memahami
ayat yadullah. Secara harfiyah ayat tersebut mengandung makna
bahwa Allah mempunyai tangan. Sedangkan menurut dalil aqli
hal tersebut sangat tidak mungkin (mustahil). Maka dalam hal
ini faham Ahlussunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa kata
yadullah tidak diartikan secar harfiyah, tetapi harus diakwil
dengan arti kekuasaan.
2) Dalam memahami konsep takdir, Ahlussunnah Wal Jamaah
mengambil jalan tengah (Tawasuth) dengan tetap percaya bahwa
segala sesuatu yang terjadi adalah atas ketentuan dan takdir
Allah, akan tetapi manusia tetap berkewajiban untuk selalu
berikhtiyar,12
b. Dalam bidang Syari’ah
1) Selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
menggunakan metode pemahaman yang dapat
dipertanggungjawabkan. Artinya dalam menetapkan hukum
syari’ah dan pengamalan ajaran-ajaranagama, faham
Ahlussunnah Wal Jamaah menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah
sebagai sumber utama. Namun menyadari bahwa untuk

11
Ibid,hlm. 24.
12
PW LP Maarif NU Jatim, Pendidikan ASWAJA Ke-NU-an, (Surabaya : PW LP Maarif
NU, 2002) hlm. 11.

6
memahami kedua sumber tersebut secara langsung tidaklah
mudah, sehingga mereka menyandarkan diri pada hasil ijtihad
dan bimbingan para ulama.
2) Apabila dalam ajaran agama sudah ada dalil nash sharih (jelas)
dan qathi’ (pasti), faham Ahlus sunnah wal jamaah menjalankan
dengan sungguh-sungguh btanpa ragu-ragu.
3) Mentolelir perbedaan pendapat tentang masalah-masalah
furu’iyah dan muamalah ijma’iyah selama masih tidak
bertentangan dengan prinsip agama.13
c. Dalam bidang akhlak/tasawuf
1) Bagi penganut faham Ahlussunnah Wal Jamaah, tasawuf adalah
inti sari pengalaman dan penghayatan ajaran-ajaran Islam dalam
rangka mencapai hakikat kebenaran (haqiqatul haqiq). Tasawuf
merupakan aspek ajaran Islam yang tidak terpisahkan dengan
aspek akidah dan syari’ah. Bahkan dalam bertasawuf seseorang
harus mendahulukansyari’ah, karena seseorang tidak akan dapat
mencapai hakikat kebenaran ranpa melalui syari’ah.
2) Tasawuf sebenarnya memberikan motivasi untuk selalu dinamis
dalam mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Kehidupan
tasawuf merupakan suatu perubahan jiwa (al-Tsaurah), sehingga
jika seseorang benar-benarberjalan pada rel tasawuf yang lurus,
maka profesi dan karir duniawiyahnya tidak akan terhambat.
3) Inti ajaran tasawuf adalah penyucian hati danpembentukan sikap
mental yang sebaik-baiknya dalam menghambakan diri kepada
Allah SWT, dengan selalu sadar bahwa diri ini selalu berada di
bawah pengawasan-Nya. Untuk itu, salah satu cara yang
ditempuh adalah melalui thariqah yang benar (mu’tabarah)
dibawah bimbingan dan petunjuk ulama (mursyid) yang dapat
dipertanggungjawabkan.14

13
Ibid, hlm. 12
14
Ibid, hlm. 12

7
4. Ciri khas teologi Ahlussunnah Wal Jamaah

Pondok pesantren merupakan ciri khas dari perkembangan


teologi Ahlussunnah Wal Jamaah, ada pesantren Salafiyah, pesantren
modern, pesantren ilmu al-Qur’an, pesantren Khuffadz al-Qur’an,
pesantren operasi mental (rehabilitasi moral) dan masih banyak lagi
jenis pesantren yang lain. Adapun ciri-ciri khusus Pendidikan dan
pengajaran di pondok pesantren Ahlussunnah Wal Jamaah adalah :

a. Kitab-kitab yang dikaji adalah kitab yang ditulis oleh para ulama
Salaf atau kitab yang ditulis bersumber dari kitab para ulama salaf.
b. System pengajaran yang dipakai adalah system sorogan, weton dan
halaqoh (musyawarah)
c. Mengajarkan kepada para santri tentang Pendidikan moral atau
akhlak, mengahargai ilmu pengetahuan, menghormati guru atau kyai
dan memuliakan kitab-kitab dimana ilmu yang dipelajari
ditulisdalam kitab tersebut.
d. Membiasakan melatih diri dalam mengamalkan setiap ilmu yang
dipelajari.
e. Menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
f. Menanamkan kepada santri untuk hidup sederhana dan berhati
bersih.
g. Bahwa Pendidikan di pesantren bukan untuk mengejar kepentingan
duniawi semata. Lebih dari itu, bahwa mencari ilmu itu merupakan
kewajiban bagi setiap muslim dan merupakan bentuk pengabdian
kepada Allah SWT.15

Persamaan ciri-ciri pondok pesantren tersebut, telah


menghasilkan kesatuan pandangan hidup beragama, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian pesantren sebagai lembaga
Pendidikan yang di dalamnya terdiri dari berbagai komponoen yang

15
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah,(Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 2008),
hlm. 15.

8
berasal dari beraneka ragam jenis Masyarakat itu mampu membentuk
kultur budaya tersendiri yang di ilhami oleh Ahlussunnah Wal Jamaah.

C. Firqoh-firqoh dalam Ahlussunnah Wal Jamaah

Firqoh secara bahasa berarti kelompok manusia, yang bisa jadi


punya pemahaman berbeda dengan muslim lainnya. Istilah firqah biasa
digunakan untuk menyederhanakan kelompok, aliran, bahkan sekte.
Sehingga dapat kita pahami bahwa firqoh-firqoh dalam ahlussunnah wal
jamaah adalah aliran-aliran yang ada dalam ahlussunnah wal jamah. Berikut
ini adalah firqoh-firqoh dalam ahlussunnah wal jamaah :

1. Aliran Salafiah (Tradisional)


Aliran salafiah (tradisional) adalah bagian dari ahlus sunnah
yang mana lebih menonjol keahlussunnahannya daripada khalaf-
moderat (Asya'irah). Aliran salafiah sesuai dengan maknanya
"tradisonal" senantiasa mempertahankan konsepsi akidah Islamiah yang
orisinal- tradisional dengan penuh konsekuen sesuai dengan doktrin
akidah pada masa Nabi dan masa sahabat serta tabiin.
Akidah Islamiah pada masa-masa tersebut sangat sederhana.
Mereka menerima berdasarkan iman, ikhlas dan yakin, tanpa
memerlukan argumentasi logika dan filosofis. Karena pada masa itu
memang belum dikenal ilmu logika. Akidah salafiah sangat
bertentangan dengan konsepsi akidah ahli kalam (mutakallimin), karena
pemahaman akidahnya semata-mata berdasarkan pada tekstual (harfiah)
dan sama sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang kontekstual.
Hal itu menimbulkan kesan bahwa seakan-akan kaum salafiah kaku dan
picik dalam memahami konsepsi Islam, terutama dalam konteks
akidahnya.Mereka kurang memberikan kontribusi kepada akal (rasio).16

16
H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah : Versi Salaf – Khalaf dan Posisi Asya’irah di
Antara Keduanya, (Jakarta : Bumi Aksara, 1998 )hlm.26.

9
2. Aliran Khalaf (Konvensional)

Telah dijelaskan pada bagian yang lalu bahwa aliran khalaf


(konvensional) ada dua macam, yaitu :

a. Aliran yang amat berlebihan dalam mengkultuskan akal. Menurut


pengikut aliran itu, tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Al-
Khaliq dan mampu pula membuat syariat dengan bantuan akal
sendiri. Aliran ini dikenal dengan Muktazillah (supperrasionalisme)
sebagaimana yang diterangkan di depan.
b. aliran yang menempatkan akal sebagai mitra wahyu. Akal dan
wahyu saling mendukung kecuali dalam beberapa kasus tertentu.
Dalam hal tertentu akal tidak cukup mampu memahami wahyu
karena keterbatasannya. Aliran itu lebih dikenal dengan Asya'riyah
(skolastisme) atau juga disebut rasionalisme moderat.

Dalam ilmu ketauhidan, kaum Asya'riyah dianggap sebagai


golongan moderat antara salafiah dan muktazilah. Oleh karena
moderatnya, maka mazhab itu banyak pengikutnya. Ada faktor-faktor
penyebab mayoritas umat islam menganut mazhab Asya'riyah.
Faktornya adalah sebagai berikut:

a. Mazhab Asya'riyah cukup ampuh untuk menjawab argumentasi


kaum Muktazilah dan kaum Falasifah yang senantiasa
menggunakan dalil-dalil logika (mantik).
b. Tidak terlepas adanya dukungan dari sejumlah Ulama besar dari
berbagai disiplin ilmu, terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i.17

Meskipun golongan Asyari’yah diakui oleh jumhur umat Islam


sebagai golongan Ahlulsunnah , namun Sebagian kaum Salafiyah
keberatan menerima kaum Asya’riyah sebagai golongan ahlul sunnah
murni. Asya’riyah menurut mereka tidak lain dari muktazilah gaya baru
yang berjubahkan murni.

17
Ibid., hlm. 36-37.

10
Sebenarnya mengenai aliran Ahlulsunnah wal Jama’ah versi
Salaf dan Khalaf. Asya’riyah dan Maturidiah termasuk ke dalam versi
kedua, yakni khalaf moderat, namun aliran salafiyah pun ada beberapa
macam sama halnya dengan aliran khalaf. Hanya saja aliran khalaf lebih
banyak macamnya, ada yang ekstrem, seperti muktazillah, Khawarij,
syi’ah dan lain-lain yang mencapai 72 aliran. Semuanya itu termasuk
golongan mubtadi’ah yang sesat dan menyesatkan. Ada pula yang
moderat, yakni aliran Asya’riyah dan Maturidiah, yang kedua-duanya
termasuk golongan Ahulsunnah wal Jama’ah.

11
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berfilsafat ahlussunnah wal jamaah juga mengajarkan kepada kita untuk
senantiasa berendah diri, terhadap segala sesuatu yang kita miliki saat ini, dengan
cara mengikuti amaliah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Model pemikiran teologi Ahlussunnah Wal Jamaah menggunakan prinsip
tawasuth, tawazun, I’tidal dan iqtishad. Sebagai faham ahlussunah Wal Jamaah
yang menggunakan system bermadzab, maka perilaku keagamaan bagi setiap
penganut faham Ahlussunnah Wal Jamah mempunyai konsep-konsep dalam
berbagai bidang, yaitu bidang Aqidah, Syari’ah dan Akhlak/Tasawuf.
Pondok pesantren merupakan ciri khas dari perkembangan teologi
Ahlussunnah Wal Jamaah, ada pesantren Salafiyah, pesantren modern, pesantren
ilmu al-Qur’an, pesantren Khuffadz al-Qur’an, pesantren operasi mental
(rehabilitasi moral) dan masih banyak lagi jenis pesantren yang lain.
Firqoh-firqoh atau aliran-aliran dalam ahlussunnah wal jamaah terbagi
menjadi dua, yakni aliran Salafdan aliran Khalaf. Sebenarnya mengenai aliran
Ahlulsunnah wal Jama’ah versi Salaf dan Khalaf. Asya’riyah dan Maturidiah
termasuk ke dalam versi kedua, yakni khalaf moderat, namun aliran salafiyah pun
ada beberapa macam sama halnya dengan aliran khalaf. Hanya saja aliran khalaf
lebih banyak macamnya, ada yang ekstrem, seperti muktazillah, Khawarij, syi’ah
dan lain-lain yang mencapai 72 aliran. Semuanya itu termasuk golongan
mubtadi’ah yang sesat dan menyesatkan. Ada pula yang moderat, yakni aliran
Asya’riyah dan Maturidiah, yang kedua-duanya termasuk golongan Ahulsunnah
wal Jama’ah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirajuddin I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta : Pustaka Tarbiyah,


2008.
al-Asy’ari, Abi al-Hasan Ali ibn Ismail Al-Ibanah An Ushul Al-Diyanah, Beirut:
Dar alKutub al-Ilmiyyah, t.t.
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam, Jakarta : Pusaka Al-Husna, 1995.
Kattsoff, Louis Pengantar Filsafat, Jogjakarta : Tiara Wacana, 1992.
Misrawi, Zuhairi Hadrastus Syaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan dan
Kebangsaan Jakarta : Kompas, 2010.
Al-Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab–Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Misrawi, Zuhairi Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, Moderasi Keumatan Dan
Kebangsaan, Jakarta: Kompas, 2010.
Mulyono, Studi Ilmu Tauhid, Malang : UIN Malik Press, 2010.
Nurdin, Fauzie Integralisme Islam dan Nilai-Nilai Filosofis Budaya Lokal Pada
Pembangunan Propinsi Lampung, Fakultas Ushuluddin dan Pasca
Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, Vol. XXXII No. 71 Juni 2009.
Nurgiansah, T. Heru Filsafat Pendidikan, Banyumas : CV. Pena Persada, 2020.
PW LP Maarif NU Jatim, Pendidikan ASWAJA Ke-NU-an, Surabaya : PW LP
Maarif NU, 2002.
Rosihon, Anwar Ilmu Kalam, Bandung : Pusaka Setia, 2007.
Syihab, H.Z.A. Akidah Ahlus Sunnah : Versi Salaf – Khalaf dan Posisi Asya’irah
di Antara Keduanya, Jakarta : Bumi Aksara, 1998.
Tim Penulis PCLP, Maarif NU Lamongan, Pendidikan ASWAJA & Ke-NU-an,
Lamongan : Lembaga Pendidikan Maarif NU cabang Lamongan, 2011.

Anda mungkin juga menyukai