Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ILMU KALAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ilmu kalam

Dosen :
Drs. H. A. Suparman, MM.

Disusun oleh :

Asep Saepul Rohman Sudani

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM SEMESTER 1


FAKULTAS HUKUM SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-AZHARY CIANJUR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam yang
sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun selain hanya karena Allah
SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah sebagai penafsir al-Qur’an satu-satunya, sehingga
setiap sahabat yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an yang berkaitan dengan keyakinan
maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya. Selain itu umat terbimbing langsung oleh Nabi,
sehingga dalam memahami agama tidak terjadi perbedaan.

Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan zaman Nabi, belum
membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi membentuk sebuah nama tertentu,
maupun aliran-aliran pemikiran tertentu.

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang ilmu kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai “mutakallim”,
yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai teologi Islam
atau ushuluddin, yaitu ilmu yang membahas ajaran dasar dari agama.

Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah masalah teologi, melainkan
bidang politik. Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu, perselisihan politik ini meningkat
menjadi persoalan teologi. Bahkan ada dua teori yang membahas latar belakang timbulnya
persoalan teologi yakni perbedaan aliran ilmu kalam. Pertama, awal tercampurnya masalah
aqidah dengan hal yang lain adalah sejak mulai dari khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan
terbunuh karena beberapa sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan masalah
ini kian rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Kedua, aliran ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur’an
maupun kajian terhadap hadits yang bersifat teologis. Diantara sekian banyak ilmu kalam yang
bermunculan ialah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah yang
berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal terbentuknya aliran Ahlussunnah
wal Jama’ah.

Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai “banyak makna” ,
sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya adalah
“Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal
Jama’ah itu merupakan golongan mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara
konsisten mengikuti ajaran dan amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta
memperjuangkan berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.

Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas kelompok atau
golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus masalah ushuluddin
(fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya tidak bisa lepas dari dimensi
keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau Fiqhiyah, bahkan masalah budaya, politik, dan sosial.

Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya aliran ini,
perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah kepercayaannya. Semoga
makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal
Jama’ah.

B. Rumusan masalah

1. Apa itu Ahlussunnah wal Jama’ah

2. Bagaimana riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah?

3. Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?

C. Tujuan masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah.

2. Untuk mengetahui riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah.

3. Untuk mengetahui doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah

Kalimat Ahlussunnah wal Jama’ah, terdiri dari dua kata inti yaitu : Ahlussunnah yang
artinya : ahli mengamalkan sunnah, penganut sunnah, atau pengikut sunnah. Dan wal Jama’ah
yang artinya : dan jama’ah, maksudnya adalah jama’ah sahabat-sahabat Nabi[1].

Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah


yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya[2].

Dari definisi di atas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari
satu kelompok aliran, tapi ada beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di dalamnya.

Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai
sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Sumber dari istilah tersebut oleh
sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW. Yang menerangkan akan terpecahnya
umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
At-Turmudzi, yang artinya :

“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan, semuanya akan binasa, kecuali satu. Para sahabat Nabi bertanya :
Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab : Yaitu orang-orang yang
berpegang teguh pada i’tiqadku dan yang berpegang teguh pada i’tiqad yang dipegangi oleh
sahabat-sahabatku”

B. Asal Mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah

Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di Baghdad,
324 H / 935 M) ialah seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam pada masanya. Menurut
catatan sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari ayah tirinya yakni Syaikh Abu Ali
Muhammad bin Abdil Wahab al-Juba’I (seorang ulama besar Mu’tazilah), kemudian Abu
Hasan al-Asy’ari keluar dari paham gurunya itu karena menurutnya banyak keyakinan yang
tidak benar. Kemudian beliau membangun paham sendiri yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.

Paham Ahlussunnah wal Jama’ah juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyah,
karena dinishbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Juga sering disebut sebagai paham
Ahlussunnah saja, juga sering disebut sunni dan pengikutnya disebut sunniyun.
Seluruh ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-Asy’ari,
dibukukan oleh beliau diantaranya terdapat dalam kitab yang beliau susun seperti : Al-Ibanah
fi Ushuliddiniyyah, Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan lain-lain.

C. Doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah


a. Pahamnya Tentang Seorang Muslim dan Hal Dosa

Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa suatu golongan dapat


dianggap atau diakui sebagai muslim apabila memenuhi tiga syarat[3] :

1. Mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisannya

2. Ucapan itu diikuti kepercayaan dengan hatinya

3. Dan dibuktikan dengan amal yang nyata

Adapun tentang dosa, Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum bertaubat, maka
orang ini dihukum sama dengan orang mu’min yang mengerjakan maksiat. Orang ini apabila
ia tidak diampuni Allah ia masuk neraka, tetapi tidak abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka
setelah selesai menjalani hukuman neraka, tetapi ia juga akan merasakan nikmat karena
imannya[4].

Dari uraian tersebut dapat kita bandingkan bahwa menurut Ahlussunnah apa yang
diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut mereka tidak ada
kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, karena itu hak istimewa-Nya

b. Tentang Sifat-Sifat Allah SWT

Menurut Ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan substansi,
bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia memiliki sifat-sifat
seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan lain-lain.
Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada dasarnya berbeda dari sifat-sifat
makhluk dan dengan doktrin “mukhalafah”, atau perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini,
bila suatu sifat diaplikasikan kepada Tuhan, maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik
dan jangan dipahami seperti kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin
“mukhalafah” inilah, Ahlussunnah berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat
Tuhan selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan
berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam segenap
hakikatnya[5].

Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti
tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan Abu
Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau esensi Tuhan. Menurutnya arti
“Tuhan Mengetahui” ialah tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan
itu adalah Tuhan sendiri. Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya, kata al-Jubba’i ialah untuk
mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan
mengetahui[6].

Menurut al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk
mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula
lain dari Tuhan[7].

Sedangkan menurut Hamka, “membahas sifat dan dzat manusia saja sangat sulit apalagi
membahas sifat dan dzat Tuhan”. Oleh sebab itu, ia lebih menitikberatkan kajiannya kepada
manfaat praktis apa yang bisa ditarik dari pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Manfaat apa
yang dapat diambil dari pendiskusian tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk mempertinggi
kualitas iman seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas dan kuantitas
amal sholehnya[8].

c. Tentang Keadilan Allah SWT

Mengenai konsep keadilan Allah SWT, pendapat Ahlussunnah bahwa Allah SWT
pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala perbuatan
makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan berbuat sesuatu,
maka Allah menentukan apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut, atas perbuatannya itu si
hamba mempunyai kasab. Menurut Ahlussunnah, kasab ialah berbarengannya kemampuan si
hamba dengan perbuatannya. Jadi hamba hanya punya kasab, sedangkan perbuatannya sendiri
diciptakan Allah SWT[9].

Dalam uraian tersebut nampaklah bahwa aliran ini bersikap tengah-tengah antara
pendapat Qadariah dan Jabariah. Allah menciptakan kemamapuan dan kemauan si hamba yang
keduanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga perbuatannya itu makhluk
Allah. Jadi makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa perantara seperti batu, pohon-pohon dan
sebagainya. Ada yang memakai perantara yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja manusia.
Karena si hamba merupakan perantara itulah maka dia bertanggung jawab dan mendapat
balasan baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu memberi pahala
kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.

d. Tentang Janji dan Ancaman

Menurut Mu’tazilah, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melakukan dosa
besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan
beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya. Kaum Mu’tazilah tidak menyebut
adanya kemungkinan pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat[10].

Ahlussunnah tidak sepaham dengan Mu’tazilah mengenai al-Wa’d wa al-Wa’id


tersebut. Menurut Ahlussunnah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang mati
dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang dikehendaki-Nya.
Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at (pembelaan) dari Nabi dan para
Rasul serta para Sholihin di hari kiamat[11].

Dasar pemikiran Ahlussunnah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas semua
makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi segala sesuatu
menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya ke dalam surga, hal itu
bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua makhluk-Nya ke
dalam neraka, hal itu bukanlah suatu kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah
memperlakukan sesuatu yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Sedangkan Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan
timbulnya kedzaliman daripada-Nya[12].

e. Tentang Melihat Dzat Allah di Akhirat

Dalam hal ini Ahlussunnah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para filosof dan sejalan
dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa Allah itu dapat dilihat, tapi
mereka tidak sepakat mengenai apakah Tuhan dapat ditunjukkan. Mereka menerima prinsip
filsafat bahwa apa saja yang menempati ruang atau arah haruslah memiliki waktu, padahal
Allah tidak tidak terikat dengan waktu. Pengakuan ini mengakibatkan mereka dihantui
kerumitan, sebab bila Tuhan tidak “meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang dapat dilihat,
maka Tuhan tidak dapat dilihat, namun pendapat ini bertentangan dengan paham mereka bahwa
Tuhan dapat dilihat. Jadi untuk mengatasi kesulitan ini, mereka menyatakan bahwa suatu benda
biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya, mungkin saja untuk dilihat. Ini
alasan yang lemah dan ganjil sekali, sebab sangat bertentangan dengan segenap prinsip
optika[13].

Disamping itu, Ahlussunnah juga sependapat dengan kaum ortodoks, dan Ahlussunnah
menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai hal ini harus dipahami
secara kiasan. Dengan pola pikir rasional, Ahlussunnah mengemukakan bahwa kata dan makna
ayat dan hadits yang menerangkan tentang hal ini, menunjukkan bahwa kita jangan
memahaminya secara harfiah dan menafsirkannya bahwa melihat Tuhan artinya “melihat
tanda-tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”[14].

f. Tentang perbuatan Manusia

Ahlussunnah mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang berpengaruh


atas segala perbuatannya dengan izin Allah SWT. Manusia juga mempunyai pilihan ikhtiar,
tapi manusia dipaksa atas pilihannya. Kemampuan manusia tidak berpengaruh secara asli atas
amal perbuatannya, hanya seperti tangan yang lumpuh. Karena itu, maka manusia tidak bisa
berbuat apa-apa jika tidak digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah SWT. Dengan demikian,
Ahlussunnah tidak mengakui adanya ikhtiar pada manusia, sesuai dengan firman Allah bahwa
:”Dia menciptakan apa saja yang dikehendaki termasuk yang diciptakan-Nya dengan perantara
perbuatan mereka”[15].

Sedangkan Hamka berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam


berkehendak dan berbuat. Pilihan untuk menjadi kafir atau menjadi mukmin adalah
berdasarkan pilihan bebas manusia itu sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Kebebasan
berkehendak dan berbuat tersebut dimungkinkan dimiliki oleh manusia, karena kepada
manusia diberikan potensi akal. Dengan akal inilah manusia menimbang mana yang baik dan
mana yang buruk, mana yang mendatangkan kemudlaratan dan mana yang mendatangkan
kemanfaatan[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ahlussunnah wal jama’ah mempunyai paham : 1) Yang dihukumkan orang islam ialah
orang yang mempunyai kepercayaan hati, dibuktikan dalam bentuk perkataan dan amaliahnya;
2) Orang islam yang berbuat dosa besar dan sampai matinya belum bertaubat, maka diklaim
sebagai mukmin yang melalukan maksiat. Hukumannya akan masuk neraka, tetapi mempunyai
harapan besar masuk surga, walaupun sudah berabad-abad lamanya; 3) Semua perbuatan Allah
mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak mengetahuinya, dan yang mengetahui
hanyalah Allah sendiri.

Semua umat islam di tanah air kita Indonesia ini adalah termasuk golongan
ahlussunnah wal jama’ah, tak ada kecualinya, karena i’tiqad dan ibadahnya semua sesuai
dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA

Shobirin. Ilmu Kalam. Penerbit CV. Dharma Bhakti, Jakarta, 2013.

Nasution, Harun. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Penerbit


Universitas Indonesia, Jakarta. 2002.

Sharif, M.M. Aliran-Aliran Filsafat Islam. Nuansa Cendikia, Bandung. 2004.

Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Perlamadani, Jakarta. 2003.

Zainuddin. Ilmu Tauhid Lengkap. Rineka Cipta, Jakarta. 1992.

Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlussunnah wal Jama’ah Dalam Presepsi dan Tradisi NU.
Lantabora Press, Jakarta, 2003.

Kodir, Koko Abdul. Metodologi Studi Islam. Pustaka Setia, Bandung, 2014.

Anda mungkin juga menyukai