Anda di halaman 1dari 34

(‫)كان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يعيد الكلمة ثالثا لتعقل عنه‬

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Dalam Mata Kuliah Takhrij al-hadits Sebagai Pengganti
Ujuan Akhir Semester

Oleh
FAHMI HAMZAH
NIM. 1830201019

DOSEN PEMBIMBING
YUSRIZAL EFENDI, S.Ag., M.Ag
DESRI NENGSIH Lc., M.A

JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS


SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan sanjungan hanyalah milik Allah. Dialah yang telah
menurunkan Islam sebagai rahmatan li al-‘âlamîn (rahmat bagi semesta alam) dan
menjadikan al-Qur`an sebagai hudan li al-nâs (petunjuk bagi segenap umat
manusia) untuk meraih kebahagiaan hidup yang hakiki, lahir batin, dunia, dan
akhirat. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw.,
manusia pilihan–Nya yang telah menyampaikan, menjelaskan, dan pertama kali
mengamalkan al-Qur`an. Beliau merupakan personifikasi yang utuh dari ajaran
Islam itu sendiri, karenanya amat layak untuk dijadikan sebagai uswat al-hasanah
(panutan utama).

Dengan hidayah dan pertolongan Allah jualah “Pedoman Tugas Mata


Kuliah Takhrij al-Hadîts” ini dapat diselesaikan, meskipun penulis akui masih
jauh dari kesempurnaan. Pada awalnya tulisan Takhrij al-Hadîts “Yaidul Kalimata
Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu” ini merupakan tugas akhir Mata Kuliah Metode
Takhrij Hadits bersama Bapak Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag dan Ibuk Desri
Nengsih, Lc., MA, sewaktu Penulis mengikuti Perkuliahan Takhrij Hadist di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar. Tugas tersebut, kemudian
Penulis revisi dengan penambahan bahasan dan referensi, sehingga ia dapat hadir
dalam bentuk seperti sekarang ini.

Tidak lain harapan Penulis, semoga ikhtiar sederhana ini bermanfaat bagi
para mahasiswa dan mereka yang menaruh minat besar terhadap studi hadits
Rasulullah. Lebih jauh, Penulis pun menaruh harapan, agar para mahasiswa dan
sidang pembaca tertarik untuk terus mencari, menggali, dan memperkaya
wawasannya dari literatur dan sumber-sumber lainnya guna lebih menekuni dan
mendalami kajian di bidang penelitian hadits. Setidaknya, dalam menukil atau
mengutip sebuah hadits, kita dapat menjelaskan dari siapa (baca: sahabat) hadits
tersebut berasal dan siapa pula yang meriwayatkannya (mukharrij).
Mudah-mudahan artikel sederhana ini bermanfaat bagi pembaca semua.
Penulis senantiasa mengharapkan masukan positif dan kritikan konstruktif dari
berbagai pihak untuk perbaikan dan peningkatan kualitas diri di masa selanjutnya.

Bukittinggi 13 Januari 2021 M


29 Jumadil Awal 1442 H
Penulis

dto

Fahmi Hamzah
NIM. 1830201019
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I GAMBARAN UMUM HADITS 1
A. Pendahuluan 1
B. Tinjauan Redaksional Hadîts dan Masalah 3
C. Potongan Lafal dan Informasi Mu’jam al- 3
Hadits 3
D. Kutipan Hadits Dari Kitab Sumber 4
1. Dalam Kitab Sunan at-Turmudzî 4

BAB II PENELITIAN SANAD HADITS


A. Riwayat Hadits yang Diteliti
dan Skema Sanad-nya 5
B. Identitas dan Kualitas Pribadi
Para Periwayat 6
1. At Turmudzhi (181-255 H) 6
2. Muhammad ibn Yahya (118-
206 H) 8
3. Abu Qutaibah Ibn Qutaibah
(82-160 H) 9
4. Abdullah ibn Musanna (60-
118 H) 10
5. Tsumamah ( ) 11
6. Anas ibn Mâlik (w. 93 H) 12
C. I’tibâr 15
1. Muttâbi’ 16
2. Syâhid 16

BAB III PENELITIAN MATAN HADITS


A. Kemungkinan Adanya Maqlûb,
Idrâj, dan Ziyâdat 18
B. Kandungan Hadîts (Syarh) 19
C. Penentuan Akhir Kualitas 22
Hadits

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 24
B. Saran 24

DAFTAR KEPUSTKAAN 26
LAMPIRAN 28
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
1

BAB I
GAMBARAN UMUM HADITS

A. Pendahuluan

Agama islam adalah agama yang mengatur setiap tingkah laku


perbuatan manusia baik itu perbuatan yang menyangkut hubungan manusia
dengan penciptaNya atau Allah maupun hubungan manusia dengan manusia
lain dalam berinteraksi dalam pergaulan sehari-hari yang mana itu untuk
membuat setiap kepribadian manusia menjadi lebih baik dari apa yang tidak
diinginkan terjadi dalam kehidupan sebagai khalifah diats permukaan
bumi.1
Dengan demikian adalah naif, apabila rasanya manusia yang
diperintahkan untuk patuh dan tunduk terhadap allah namun tidak
menjalankan apa yang ditetapkan allah baik itu yang terdapat di dalam Al-
quran maupun Hadis rasulullah SAW. Maka melaui banyak untaian ataupun
pesan yang disampaikan rasulullah dalam hadis beliau untuk mengatur
setiap langkah atau perbuatan dalam kehidupan di atas permukaan bumi
yang bertujuan untuk hidup rukun, damai, dan sejahtera.2
Dalam konteks ini, sungguh bijaksana allah menyatakan umat islam
sebagai umat yang terbaik ( khayra ummah ) karena mereka mempunyai
tanggung jawab sosial untuk menyuruh manusia melakukan kebaikan dan
mencegah mereka dari perbuatan yang mungkar . sejalan dengan itu, hadis
sebagai salah satu materi pergaulan yang juga memuat gambaran tentang
perikehidupan rasulullah, manusia pilihan yang dinobatkan allah selaku suri
tauladan “uswatun hasanah”.Karena beliau mempunyai akhlak yang agung,
dan memang patut diteladani olrh umatnya agar tidak akan kering untuk

1
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2009), h. 178-179
2
Nurudin. Ulumul Hadist ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ), h. 266-268
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
2

digali dan dikaji lalu diungkapkan .oleh sebab itu, semestinya lah seorang
hamba atau manusia mengkaji suatu kualitas hadis yang akan dijadikan
sebagai bahan untuk pengamalan dalam suatu kehidupan. Seyogyanyalah ia
meninggalkan hadis yang nilainya lemah ( dhai’f ), sejauh mungkin
menghindari isra’iliyat, dongeng-dongeng, serta tahayul yang dapat
merusak akidah umat islam.3
Namun demikian, dalam realitasnya, tidak jarang semangat yang
menggebu untuk menyampaikan suatu ketetapan membuat seorang
kehilangan sikap kehati-hatian dalam menerapkan arau menjelaskan suatu
periwayatan. Dan banyak juga riwayat-riwayat yang bukan hadis timbul di
dalam kehidupan masyarakat baik itu kata-kata mutiara, kata ahli hikmah,
atau ujar-ujar kaum sufi, yang banyak diungkapakn oleh orang sebagai
hadis. Padahal, menyebut suatu riwayat yang bukan hadis sebagai hadis
berarti mencatut nama rasulullah untuk suatu kebohongan dan hal ini
dikecam secara keras oleh rasulullah. 4
Sebagaimana kami peroleh dalam sunan At- Turmudzi yang
diriwayatkan dari Muhammad bin Yahya, Abu Qutaibah Salam bin
Qutaibah , Abdullah bin Musaana, Tsumamah, Anas bin Malik.yang
menyampaikan hadis ini sebagaimana hadis yang disampaikan oleh anas bin
malik yang lansung hadis tersebut berasal dari nabi muhammad saw. Yang
bunyi hadisnya :

‫كان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يعيد الكلمة ثالثا لتعقل عنه‬
Artinya : Rasulullah SAW mengulang kata-kata itu sebanyak tiga
kali
Melihat dari matan hadis diatas bahwa nabi sering menyampaikan
sebuah hadis tersebut sebanyak tiga kali ucapan. Maka kita disini dituntut
untuk selalu memahami dengan penyampaian yang disampaikan nabi
apakah itu dituntut untuk kewajiban atau dituntut larangan. Maka dengan itu

3
Maman Abdul Jalil, Ilmu Hadis ( Bandung, Pustaka Setia, Cet V, 2010 ) h. 113
4
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bārī, ( Jakarta, Terj. Amiruddin, Pustaka Azzam,2011) h.124
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
3

kita dituntut untuk mempelajari damendalami hadis dan ilmu hadis.


Minimal, ia mengetahui apakah riwayat yang ia sajikan kepada umat itu
dapat diyakini sebagai benar-benar hadis yang berasal dari rasulullah dan
dapat dipertanggungjawaban kulaitasnya (shahih minimal hasan) ataukah
pantas dipertanyakan validitasnya sebab nilainya lemah ( dhai’f) atau
malahan harus ditolak karena terbukti palsu ( maudu’) . Di samping itu,
seorang da’i tentu juga perlu memahami hadsi tersebut secara proposional
agar ia tidak terjebak pada pemahaman yang picik, sempit dan skriptualis.

B. Tinjauan Redaksional Hadits

Pada hari Rabu, tanggal 20 Maret 2019 lalu, penulis mendapatkan


tugas mata kuliah dari dosen IAIN BATUSANGKAR di kampus IAIN
BATUSANGKAR. Dalam tugas tersebut dosen memberikan tugas untuk
menentukan hadis tetapi dosen tersebut tidak menunjukan siapa perawi
hadis tersebut, tetapi hanya memberikan isi hadisnya yang berbunyi :

‫كان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يعيد الكلمة ثالثا لتعقل عنه‬
Sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Yusrizal Efendi, S.Ag., M.
Ag dan Desri Ningsih, Lc, MA, dosen mata kuliah metode kritik hadis pada
program sarjana IAIN Batusangkar, maka selanjutnya, penulis bermaksud
untuk meneliti penggalan riwayat tersebut, apakah termuat dalam kitab
hadîts yang mu’tamad (kutub al-tis’ah)ataukah tidak dan bagaimana pula
pemahaman yang proporsional terhadap isi dan kandungan riwayat tersebut.

C. Potongan Lafal dan Informasi Mu’jam al-Hadîts

Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap mengenai matan


hadîts tersebut, maka Penulis melakukan pelacakan dengan menggunakan
lafal ya’idu , kalimata, litu’qila. Adapun informasi yang penulis peroleh dari
kitab Mu’jam al-Hadits Adalah sebagai berikut :

Kosa Kata Mu’jam al- Keterangan yang Diperoeh dari Mu’jam al-
yang dipakai Hadist ( Juz hadist
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
4

Bentuk dan
Kata
Dasar Halaman )
Juz VII, hal. Tidak ditemukan informasi yang relevan
‫يعيد‬ ‫وعد‬
255-258 dengan hadis yang diteliti
Juz VI, hal.
‫الكلمة‬ ‫كلم‬
59
Juz IV, hal.
‫تعقل‬ ‫عقل‬ 299

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Mu’jam Hadis melalui lafal


ya’idu, alkalimatu, dan ta’agalu tersebut, dapat dirangkum bahwa riwayat
hadis yang menjadi fokus penelitan dapat ditemukan pada Sunan at-
Turmudzi, Kitab Manaqib: Bab 9 saja dan tidak kami temukan didalam kitab
yang lain.

Berdasarkan data diatas, setelah diklarifikasi ke dalam kitab-kitab sumber


hadis yang dimaksud bahwa ditemukan hadis ini memiliki satu periwayatan
yang hanya terdapat di dalam (Sunan at-Turmudzi yang didapat
sebanyak satu riwayat yakni di dalam kitab Manaqib Bab 9 hadis nomor
3639)

D. Kutipan Hadîts Dari Kitab Sumber


Mengingat jalur periwayatan hadis yang kami peroleh hanya
ditemukan dalam satu buah kitab yaitu di dalam Sunan Turmudzi yaitu
bunyi hadisnya :

ِ ‫حدَّثَنَامحم ُدبْن ي ْحي حدَّثَنَااَبوقُتَ ْيبةَ سلْم بْن قُتَ ْيبةَ َعن َع ْب ِد‬
‫اهلل بْ ِن ال ُْمثَنَّى َع ْن ثُ َم َامةَ َع ْن‬ ْ َ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ ُ ََ ُ َ

‫صلَّى َو َسلَّ َم يعيد الكلمة ثالثا لتعقل عن‬ ِ ُ ‫ َكا َن رس‬: ‫ال‬ ِ ِ‫س بْ ِن مال‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ َ َ‫ك ق‬ َ ِ َ‫اَن‬
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
5

BAB II
PENELITIAN SANAD HADIST

A. Riwayat Hadist yang Diteliti dan Skema Sanad-nya

‫صلَّى َو َسلَّ َم يعيد الكلمة ثالثا لتعقل عنه‬ ِ ‫َكانَ َرسُو ُل‬
َ ‫هللا‬
‫قَا َل‬

ِ ‫اَن‬
ِ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
‫ك‬

‫عن‬

َ‫ثُ َما َمة‬


‫عن‬

‫هللا ْب ِن ْال ُمثَنَّى‬


ِ ‫َع ْب ِد‬

‫عن‬

‫اَبُوقُتَ ْيبَةَ َس ْل ُم بْنُ قُتَ ْيبَة‬

‫حدثنا‬

‫ُم َح َم ُدبْنُ يَحْ َي‬

‫حدثنا‬

‫الترمذى‬

Dari jalur sanad yang kami peroleh kami hanya menenukan satu periwayatan
yaitu hanya satu skema maka dapat Penulis lakukan i’tibâr. Dalam hal ini,
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
6

i’tibâr dapat diartikan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain untuk


suatu hadîts tertentu yang pada bagian sanad-nya hanya tampak seorang
periwayat saja. Dengan menyertakan sanad-sanad yang lain akan dapat
diketahui, apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak untuk bagian sanad
hadîts tersebut. Melalui kegiatan ini akan dapat diketahui jalur sanad hadîts
yang diteliti secara lengkap, berikut nama-nama seluruh periwayat berikut
metode periwayatan (sighat tahammul wa al-ada` al-hadîts) yang
digunakannya.
Adapun riwayat dimaksud secara lengkap adalah sebagai berikut:
ِ ‫حدَّثَنَامحم ُدبْن ي ْحي حدَّثَنَااَبوقُتَ ْيبةَ سلْم بْن قُتَ ْيبةَ َعن َعْب ِد‬
‫اهلل بْ ِن ال ُْمثَنَّى َع ْن ثُ َم َامةَ َع ْن‬ ْ َ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ ُ ََ ُ َ

‫صلَّى َو َسلَّ َم يعيد الكلمة ثالثا لتعقل عنه‬ ِ ُ ‫ َكا َن رس‬: ‫ال‬ ِ ِ‫س بْ ِن مال‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ َ َ‫ك ق‬ َ ِ َ‫اَن‬
B. Identitas dan Kualitas Pribadi Para Periwayat
Beranjak dari kutipan riwayat di atas, ada enam orang periwayat
yang akan ditelusuri kehidupan dan kredibilitas kepribadiannya, yaitu:
No Urutan Ungkapan Masa
Nama Periwayat
Periwayat Sanad Periwayatan Hidup

1 Anas ( Ibn Malik) Periwayat I Sanad V Qala


2 Tsumamah Periwayat II Sanad IV ‘An
3 Abdullah ( Ibn Musanna) Periwayat III Sanad III ‘An
4 Abu Qutaibah ( Ibn Periwayat IV Sanad II Haddasana
Qutaibah)
5 Muhammad ( Ibn Yahya) Periwayat V Sanad I Haddasana
6 At Turmudzi Periwayat VI Mukharrij Haddasana

Adapun identitas dan kualitas kepribadian masing-masingnya


adalah sebagai berikut:
1. At Turmudzi
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
7

Nama legkapnya adalah Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa
bin adl Dlahhak. Biasa juga dipanggil dengan Abu ‘Isa atau at Tirmidzi.5
Para pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau secara pasti,
akan tetapi sebagian memperkirakan bahwa kelahiran beliau pada tahun
209 hijriah. Ada satu berita yang mengatakan bahwa imam At Tirmidzi
di lahirkan dalam keadaan buta, padahal berita yang akurat adalah, bahwa
beliau mengalami kebutaan di masa tua, setelah mengadakan lawatan
ilmiah dan penulisan beliau terhadap ilmu yang beliau miliki.6
Imam at Tirmidzi menuntut ilmu dan meriwayatkan hadits dari
ulama-ulama kenamaan. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan Abu Dawud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin
Musa, Qutaibah bin Sa'id, Muhammad bin 'Abdul A'la, Mahmud bin
Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, dan
lainnya. 7
Adapun pernyataan kritikus tentang dirinya antara lain
a. Imam Bukhari berkata kepada imam At Tirmidzi; ilmu yang aku
ambil manfaatnya darimu itu lebih banyak ketimbang ilmu yang
engkau ambil manfaatnya dariku."
b. Al Hafiz 'Umar bin 'Alak menuturkan; Bukhari meninggal, dan dia
tidak meninggalkan di Khurasan orang yang seperti Abu 'Isa dalam
hal ilmu, hafalan, wara' dan zuhud."
c. Ibnu Hibban menuturkan; Abu 'Isa adalah sosok ulama yang
mengumpulkan hadits, membukukan, menghafal dan mengadakan
diskusi dalam hal hadits."
d. Abu Ya'la al Khalili menuturkan; Muhammad bin 'Isa at Tirmidzi
adalah seorang yang tsiqah menurut kesepatan para ulama, terkenal
dengan amanah dandan keilmuannya.

5
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz XXVI, hal. 250
6
Ensiklopedi Kitab 9 Imam Hadits dalam Biografi Imam at Tirmidzi (eHadits 2000)
7
Ensiklopedi Kitab 9 Imam Hadits dalam Biografi Imam at Tirmidzi (eHadits 2000)
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
8

e. Abu Sa'd al Idrisi menuturkan; Imam Tirmidzi adalah salah seorang


imam yang di ikuti dalam hal ilmu hadits, beliau telah menyusun kitab
al jami', tarikh dan 'ilal dengan cara yang menunjukkan bahwa dirinya
adalah seorang alim yang kapabel. Beliau adalah seorang ulama yang
menjadi contoh dalam hal hafalan."
f. Al Mubarak bin al Atsram menuturkan; Imam Tirmidzi merupakan
salah seorang imam hafizh dan tokoh."
g. Al Hafizh al Mizzi menuturkan; Imam Tirmidzi adalah salah seorang
imam yang menonjol, dan termasuk orang yang Allah jadikan kaum
muslimin mengambil manfaat darinya.
h. Adz Dzahabi menuturkan; Imam Tirmidzi adalah seorang hafizh,
alim, imam yang kapabel
i. Ibnu Katsir menuturkan: Imam Tirmidzi adalah salah seorang imam
dalam bidangnya pada zaman beliau."

Kumpulan hadits dan ilmu-ilmu yang di miliki imam Tirmidzi


banyak yang meriwayatkan, mereka diantaranya adalah; Abu Bakr
Ahmad bin Isma'il As Samarqandi, Abu Hamid Abdullah bin Daud Al
Marwazi, Ahmad bin 'Ali bin Hasnuyah al Muqri’, Ahmad bin Yusuf An
Nasafi, Ahmad bin Hamduyah an Nasafi, dan lainnya.8 Di akhir
kehidupannya, Imam at Tirmidzi mengalami kebutaan, beberapa tahun
beliau hidup sebagai tuna netra, setelah itu imam at Tirmidzi meninggal
dunia. Beliau wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H,
dalam usia beliau pada saat itu 70 tahun.9

2. Muhammad Ibn Yahya


Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Yahya Bin ‘Abdullah Bin
Khalid Bin Haris Bin Dzu’aib. Dia merupakan kalangan Tabi’ul Atba’

8
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz XXVI, hal. 251
9
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz XXVI, hal. 252
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
9

yaitu Kalangan pertengahan dan semasa hidup beliau hidup di negri


Himsh dan wafat pada tahun 258 H.10
Adapun pernyataan kritikus tentang dirinya adalah
a. Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa muhammad bin yahya adalah
seorang yang tsiqah shaduuq
b. Abu Hatim mengatakan bahwa muhammad bin yahya adalah orang
yang tsiqah.
c. An Nasa’i mengatakan bahwa muhammad bin yahya adalah orang
yang hafidz mutqin tsiqah.
d. Abu Bakar Al Khatib mengatakan bahwa Muhammad bin Yahya
adalah orang yang tsiqah.
e. Masalamah Bin Qasim mengatakan bahwa muhammad bin yahya
adalah orang yang Tsiqah.
f. Ibnu Hajar al ‘Asqalani mengatakan bahwa muhammad bin yahya
adalah orang yang Tsiqah Hafidz.
g. Adz Dzahabi mengatakan bahwa muhammad bin yahya adalah
orang yang hafizdz.11
3. Abu Qutaibah Ibn Qutaibah
Nama lengkapnya adalah Salm bin Qutaibah. Dia berasal dari
kalangan Tabi’ut Tabi’n kalangan biasa yang mana beliau berasal juga
dari keluarga Abu Qutaibah yang bertetap di Basharah. Dan beliau wafat
pada tahun 200 H.12
Adapun Pernyataan Kritikus tentang dirinya adalah
a. Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Salm Bin Qutaibah adalah orang
yang Laisa Bihi Ba’s ( tidak memiliki kecacatan )
b. Abu dawud mengatakan bahwa Salm Bin Qutaibah Adalah Orang
yang Tsiqah ( Adil lagi Dhobit )

10
l-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz XXI, hal. 243
11
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb, Juz XI, hal. 367-368
12
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz IX, hal. 352-353
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
10

c. Abu Zur’ah mengatakan bahwa Salm Bin Qutaibah adalah orang yang
Tsiqah.
d. Imam Hakim Mengatakan Bahwa Salm Bin Qutaibah adalah orang
yang Tsiqah.
e. Imam Ad Daruqutni mengatakan bahwa Salm Bin Qutaibah adalah
orang yang Tsiqah.
f. Abu Hatim mengatakan bahwa Salm Bin Qutaibah adalah orang yang
Laisa bihi b’as ( tidak memiliki kecacatan ).
g. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Salm Bin Qutaibah adalah orang
yang ‘Ats Tsiqaat.
h. Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa Salm Bin Qutaibah orang
yang Shaduuq.
i. Adz Dzahabi mengatakan bahwa Salm Bin Qutaibah adalah orang
yang Tsiqah yang tidak diragukan lagi keadilan dan hafalanya.13
4. Abdullah Ibn Musanna
Nama lengkapnya adalah Abdullah Bin Al Mutsanna Bin Abdullah
Bin Anas Bin Malik. Yang mana beliau berasal dari kalangan Tabi’in
yaitu kalangan Tabi’un yang tidak berjumpa dengan sahabat sekalipun.
Dan beliau berasal dari keluarga Abu Al Mutsanna. Dan Semasa hidup
beliu menetap di Bashrah. Dan beliau wafat pada tahun. 14
Adapun Pernyataan Kritikus tentang dirinya adalah
a. Yahya Bin Mai’n mengtakan bahwa Abdullah Bin Musanna adalah
orang yang memilik tingkatan yang Shalih yang mana dalam
kehidupan sehari-hari mempunyai ketekuna dalam beribadah.
b. Abu Zur’ah mengatakan bahwa Abdullah Bin Musanna adalah orang
yang memiliki tingkatan yang Shalih.
c. Abu Hatim mengatakan bahwa Abdullah Bin Musanna adalah orang
yang bergelar Syeikh yaitu orang yang menjadi guru dalam kalangan
pakar ulama hadist.

13
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb, Juz V, hal. 256
14
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz XVII, hal. 227-232
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
11

d. An Nasa’i mengatakan bahwa Abdullah Bin Musanna adalah orang


Laisa Bi Qowi yaitu orang yang tidak memiliki daya ingatan yang kuat
dalam segi hafalan.
e. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Abdullah Bin Musanna adalah orang
yang Ats Tsiqat.
f. Imam Al ‘Ajli mengatakan bahwa Abdullah Bin Musanna adalah
orang yang Tsiqah yaitu orang yang memiliki keadilan dan kekuatan
dalam segi hafalan.
g. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa Abdullah Bin Musanna adalah
orang yang Tsiqah.
h. Imam Ad Daruqutnhi mengatakan bahwa Abdullah Bin Musanna
adalah orang yang Tsiqah.
i. Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa Abdullah Bin Musanna
adalah orang yang Shaduuq atau yang banyak memiliki kelebihan
dalam mengingat sebuah hadist.15
5. Tsumamah
Nama lengkapnya adalah Tsumamah bin Abdullah bin Anas bin
Malik. Dan beliau adalah putra langsung dari Anas Bin Malik yang
berasal dari golongan Tabi’in kalangan biasa. Beliau semasa hidup
bertempat tinggal di Bashrah. Dan beliau wafat pada tahun 16
Adapun Pernyataan Kritikus tentang dirinya adalah
a. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa Tsumamah adalah
orang yang Tsiqah yang mana tidak diragukan sedikit pun darinya
kecacatan dan kekurangan dalam daya ingatan dan hafalan.
b. Imam An Nasa’i mengatakan bahwa Tsumamah adalah orang yang
Tsiqah yang mana tidak diragukan hafalannya .
c. Imam Al ‘Ajli mengatakan bahwa Tsumamah adalah orang yang
Tan’in Tsiqah yaitu sahabat yang memiliki daya ingat yang kuat
dalam segi hafalan.

15
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb, Juz VIII, hal. 364-365
16
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz X, hal. 330
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
12

d. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Tsumamah adalah orang yang Ats


Tsiqaat yaitu orang yang sempurna dari segi ingatan dan hafalan.
e. Ibnu Hajar Al ‘Asqalani mengatakan bahwa Tsumamah adalah orang
Shadduuq.
f. Adz Dzahabi mengatakan bahwa Tsumamah adalah orang yang
Tsiqah yang mana beliau memiliki keadilan dan kekuatan dalam
hafalan.17
6. Anas Ibn Malik
Nama lengkapnya Anas ibn Mâlik ibn an-Nadhr ibn Dhamdham ibn
Zayd ibn Harâm ibn Jundâb ibn Amîr ibn Ghânim ibn ‘Âdî ibn an-Najjâr
al-Anshârî an-Najârî. Biasa disebut dengan Abû Hamzah al-Madinî. Dia
adalah salah seorang sahabat dan pembantu Rasulullah SAW.18
Sebagai salah seorang shahâbat dekat Rasulullah, di samping
menerima curahan hadîts langsung dari muaranya [Rasulullah SAW),
Anas juga menerima hadîts melalui perantaraan shahâbat lain, misalnya
Ubay ibn Ka’ab, Abû Bakar ash-Shiddîq, ‘Umar ibn al-Khaththâb, dan
Abû Mâsâ al-‘Asy’arî. Para ulama yang menjadi muridnya juga cukup
banyak, antara lain, kemenakannya Ishâq ibn ‘Abd Allâh ibn Thalhah,
Hasan al-Bashrî, Qatâdah ibn Di’âmah, Muhammad ibn Sirîn, az-
Zuhrî, dan anaknya, Mûsâ ibn Anas ibn Mâlik.19
Adapun pernyataan kritikus hadîts tentang dirinya antara lain:
a. Abû Hurayrah berkata: ‘Belum pernah kulihat seorang pun yang
shalatnya amat mirip dengan shalat Rasulullah, kecuali Anas’.
b. Berkata Anas ibn Sirîn: ‘Dia adalah manusia yang paling baik
shalatnya, baik ketika menetap maupun dalam perjalanan’.
c. Tsumâmah ibn ‘Abd Allâh menyatakan: ‘Anas shalat, lalu ia berdiri
cukup lama hingga kakinya mengalirkan darah’.
d. Umar berkata: ‘Dia adalah seorang cendikia lagi jago menulis’.

17
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb, Juz VIII, hal. 342
18
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz II, hal. 330
19
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz II, hal. 330-335
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
13

e. ‘Alî ibn al-Madinî berkata: ‘Shahâbat Nabi SAW yang terakhir wafat
di Basrah adalah Anas ibn Mâlik’.20
f. Sewaktu Anas ibn Mâlik wafat (93 H), Mawrid berkata: ‘Pada hari ini,
sebagian ilmu telah lenyap’. Apabila ada orang yangh berbeda
pendapat dengan kami dalam soal hadîts, kami katakan: ‘Mari kita
temui orang yang mendengarnya (secara langsung) dari Rasulullah,
yaitu Anas ibn Mâlik.
g. Anas sendiri pernah menyatakan: ‘Wahai Abu Muhamad, terimalah
hadîts dariku, sebab aku mengambilnya dari Rasulullah SAW dan
beliau menerimanya dari Allâh SWT’. Sewaktu Anas menyampaikan
beberapa buah hadîts Rasulullah, lalu seseorang bertanya: ‘Apakah
Engkau mendengarnya dari Rasulullah?’. Anas marah, lalu berkata:
‘Demi Allâh, setiap hadîts yang kami sampaikan kepadamu, kami
telah mendengarnya dari Rasulullah SAW. Paling tidak, kami telah
menyampaikan satu sama lain, tanpa ada rasa saling mencurigai’.
h. Anas meriwayatkan 1.286 hadîts: 168 hadîts di antaranya disepakati
oleh al-Bukhârî dan Muslim. Secara terpisah, 83 haditsnya
diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan oleh Muslim sebanyak 71 hadîts’.21
Berkenaan dengan kredibilitas Anas ibn Mâlik selaku shahâbat
dan periwayat hadîts, jumhur ulama hadîts sebagaimana dinyatakan al-
Nawâwî menilai bahwa semua shahâbat Rasulullah SAW itu ‘adl, baik
ditimpa fitnah ataupun tidak (ash-Shahâbat kulluhum ‘udûl, man labisa
al-fitan wa ghayrihim).22 Komitmen ulama tersebut sebagai diungkap

20
al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl, Juz II, hal. 339-344
21
Muhammad Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aw ‘Inâyat al-
Ummat al-Islâmiyyat bi as-Sunnat an-Nabawiyyah, ([t.t.]: al-Maktabat al-Tawfiqiyyah, [t.th]), hal.
137 (selanjutnya disebut Abû Zahw, Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn)
22
Lihat, Jalâl ad-Dîn ibn ‘Abd ar-Rahmân ibn Abi Bakr as-Suyûthî, Tadrîb ar-Râwî fî
Syarh Taqrîb an-Nawâwî, naskah di-tahqîq oleh ‘Abd al-Wahâb ‘Abd al-Lathîf, (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1409 H/1988 M), Juz II, hal. 214 (selanjutnya disebut as-Suyûthî, Tadrîb ar-Râwî fî Syarh
Taqrîb an-Nawâwî), Muhammad Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ’id at-Tahdîts Min Funûn
Mushthalah al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, [t.th.]), hal. 200, Muhammad
Musththafa al-A’zhamî, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn: Nasy`atuhu wa Tarikhuhu,
(Riyadh: Maktabat al-Kautsar, 1991), Cet. Ke-3, hal. 105, dan Abû Zahw, Al-Hadîts wa al-
Muhadditsûn aw ‘Inâyat al-Ummat al-Islâmiyyat bi as-Sunnat an-Nabawiyyah, hal. 150
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
14

oleh Ali Mustafa Yaqub didasarkan pada sejumlah ayat dan hadîts
Rasulullah SAW yang menjelaskan keutamaan para shahâbat. Hal ini
secara rasional dapat diterima, sebab mereka telah melaksanakan hijrah,
berjihad, saling memberi nasehat dalam beragama, memiliki keimanan
dan keyakinan yang kuat, serta mengembangkan Islam dengan
mempertaruhkan jiwa, raga, dan harta sehingga ajaran Islam dikenal luas
oleh generasi sesudahnya.23Ringkasnya, sebagai transmitter yang utama
dalam transformasi nilai-nilai yang Islami, para shahâbat diyakini
mengetahui dan memahami secara benar makna yang tersurat dan tersirat
terhadap teks-teks al- Qur`ân dan fatwa-fatwa Rasulullah. Oleh karena
itu, shahâbat dipandang memiliki otoritas keagamaan yang
meniscayakan mereka untuk didengar dan dipatuhi.24
Tidak dipersoalkannya ke-’adalah-an para shahâbat Nabi dalam hal
periwayatan hadîts oleh kalangan Sunni (khususnya), tidaklah berarti
mereka menganggap para shahâbat tersebut sebagai orang-orang yang
ma’shum (terbebas dari dosa). Hal ini hanyalah sekedar keyakinan bahwa
dalam meriwayatkan hadîts para shahâbat tidak pernah bermaksud

23
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadîts, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), Cet. Ke-1, hal.
113-114. Keterangan lebih jauh, lihat, QS. Al-Fath/48: 18 dan 29, QS. At-Tawbah/9: 32 dan 100,
QS. Al-Anfâl/8: 74, QS. Al-Hasyr/57: 8-10, QS. Ali Imrân/3: 110, dan QS. Al-Baqarah/2: 143.
Adapun dalil ‘adalah para shahâbat dalam Sunnah, dapat dilihat dalam Barnâmaj Mawsâ’at al-
Hadîts asy-Syarîf al-Kutub at-Tis’ah Versi 2.00, misalnya al-Bukhârî, Kitâb al-Manaqib, Bâb Qawl
an-Nabî: Law Kunta Muttakhidzan Khalîlan, hadîts nomor 3.397, Bâb Fadhâ`il Ashhâb an-Nabî,
hadîts nomor 3377, 3378, Muslim, Kitâb Fadhâ`il as-Shahâbat, Bâb Tahrîm Sabba as-Shahâbat,
hadîts nomor 4596, Bâb Fadhl as-Shahâbat Tsumma al-Ladzîna Yalûnahum Tsumma al-Ladzîna
Yalûnahum, hadîts nomor 4600, 4601, dan 4603, Abû Dâwud, Kitâb as-Sunnah, Bâb fî an-Nahy
Sabb Ashhâb Rasûl Allâh, hadîts nomor 4039, an-Nasâ`î, Kitâb al-Aymân wa an-Nudzûr, Bâb al-
Wafâ` bi an-Nadzar, hadîts nomor 3749, at-Turmudzî, Kitâb al-Manâqib Ashhâb ar-Rasûl Allâh,
Bâb fi Man Sabb Ashhâb an-Nabî, hadits nomor 3796, 3797, Kitâb al-Fitan ‘an Rasûl Allâh, Bâb
Mâ Jâ`a fî al-Qarn ats-Tsâlits, hadîts nomor 1247, Ibn Mâjah, Kitâb al-Muqaddimah, Bâb Fadhl
Ahl al-Badr, hadit snomor 157, 158, Kitâb al-Ahkam, Bâb Karahiyat asy-Syahâdat li Man Lam
Yastasyhidu, hadîts nomor 2353, dan Imam Ahmad ibn Hanbal, Kitâb Bâqî Musnad al-Muktsirîn,
Bâb Musnad Abî Sa’îd al-Khudrî, hadîts nomor 10657, 11092, dan 11180, Kitâb Awwâl Musnad al-
Madaniyyin Ajma’în, Bâb Hadîts ‘Abd Allâh ibn Maghfal al-Muznî, hadîts nomor 19641 dan 19669,
dan Kitâb Musnad ‘Abd Allâh ibn Mas’ûd, hadîts nomor 3413, 3767, 3920, dan 3959. Bandingkan
dengan Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1989), hal. 394-400 (selanjutnya disebut ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa
Musthalahuhu)
24
Zikri Darussaman, “Polemik Sekitar Otoritas Shahâbat Sebagai Transmitter Hadîts”,
dalam an-Nida`: Majalah Pengetahuan Agama Islam, Nomor LXXXVII, Tahun XXV
(September-Oktober 2001), hal. 23
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
15

membuat pendustaan kepada Nabi SAW atau berkeinginan menikam


Islam. Konsep ‘ishmah, bagi kalangan Sunni hanya berlaku bagi Nabi
SAW, itu pun dalam kedudukan beliau sebagai Rasulullah.25
Atas dasar itu, kualitas pribadi Anas ibn Malik tidak perlu ditinjau
dan dipersoalkan lebih lanjut. Dengan begitu pernyataannya bahwa ia
mendengar secara langsung hadîts yang diteliti ini dari Rasulullah SAW
dengan lafal Qâla dapat diterima. Apalagi ungkapan ini menunjukkan
secara gamblang bahwa ia mendengar sabda ini secara langsung dari
beliau.26
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa jalur sanad yang
diteliti ternyata berkualitas muttashil (berkesinambungan) mulai sejak
mukharrij hingga shahâbat. Dari aspek kredibilitas kepribadian dan
kapasitas intelektual para periwayatnya juga terbukti bahwa mereka
terdiri dari para ulama yang berkualitas ‘adl dan dhâbth (tsîqah). Bahkan,
sebagian di antara merek mempunyai ke-tsîqah-an dengan peringkat
tinggi dan tertinggi, kecuali Yâzid ibn Hârûn yang akurasi hafalannya
dipandang kurang oleh sementara kritikus hadîts. Dengan begitu dapat
disimpulkan bahwa hadîts yang melewat jalur ad-Dârimî ini, bukan
shahîh, namun tidak dha’îf, melainkan hanya berkualitas hasan li dzâtihi.
C. I’tibar
Dari keseluruhan variasi sanad dan matan hadîts yang diteliti,
kemudian dapat dilakukan i’tibâr. Dalam hal ini, i’tibâr dapat diartikan
dengan menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadîts tertentu yang
pada bagian sanad-nya hanya tampak seorang periwayat saja [sebagaimana
jalur yang dijadikan obyek kajian]. Dengan menyertakan sanad-sanad yang
lain akan dapat diketahui, apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak
untuk bagian sanad hadîts tersebut.

25
Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadîts Nabi
SAW”, dalam al-Hikmah: Jurnal Studi-studi Islam, Nomor 3 (Maret-Juni 1992), hal. 28
26
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Amîr al-Hasanî ash-Shan’ânî, Tawdhîh al-Afkar li Ma’ânî
Tanqîh al-Anzhâr, naskah di-tahqîq oleh Muhammad Muhy ad-Dîn ‘Abd al-Hamîd, ([t.t.]: Dâr al-
Fikr, [t.th.]), Juz I, hal. 172 (selanjutnya disebut ash-Shan’ânî, Tawdhîh al-Afkar li Ma’ânî Tanqîh
al-Anzhâr)
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
16

Melalui kegiatan ini akan dapat diketahui jalur sanad hadîts yang
diteliti secara lengkap, berikut nama-nama seluruh periwayat berikut
metode periwayatan (sighat tahammul wa al-ada` al-hadîts) yang
digunakannya. Melalui cara ini dapat diketahui pula asal-usul seluruh
riwayat yang dijadikan sebagai obyek kajian, apakah ada muttâbi’ dan
syâhid yang dapat memperkuat kualitas ke-shahîh-an hadîts yang diteliti.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa hadîts
yang diteliti ternyata berkualitas hasan li dzâtihi. Kualitas maqbûl ini dapat
meningkat menjadi shahîh li ghayrihi dengan adanya dukungan jalur lain.
Apalagi hadîts dimaksud juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, an-
Nasa`i, at-Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad ibn Hanbal. Selanjutnya,
Penulis akan memberikan gambaran dan penjelasan singkat tentang adanya
muttâbi’ dan syâhid tersebut
1. Muttabi’
Muttâbi’ yang dimaksud di sini adalah hadîts yang diriwayatkan
oleh seorang shahâbat, namun pada jalur periwayatan berikutnya (tâbi’în
dan tâbi’ at-tâbi’în) terdapat perbedaan nama periwayat pada masing-
masing jalurnya. Jadi perbedaan periwayat tersebut, terjadi pada lapis
kedua dan seterusnya. Dalam hadis ini kami menemukan:
a. Haddasana Muhammad Bin Yahya
b. Haddasana Abu Qutaibah salam bin Qutaibah
c. An Abdullah Bin Musanna
d. An Tsumamah
e. An Anas Bin Malik
2. Syahid
Syâhid yang dimaksud di sini adalah hadîts yang diriwayatkan oleh
seorang shahâbat yang secara lafal atau makna sesuai dengan yang
diriwayatkan oleh shahâbat lain. Jadi, perbedaan periwayat terjadi pada
tingkat shahâbat (periwayat pertama). Dalam hal ini, dapat pula
ditegaskan bahwa hadîts yang diriwayatkan oleh Anas ibn Mâlik ini tidak
mempunyai syâhid, sebab setelah ditelusuri ternyata hadit sini hanya
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
17

diriwayatkan oleh satu orang shahâbat saja (Anas ibn Mâlik). Bahkan
dapat dikatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara perorangan (ahad)
hingga tingkatan tâbi’ at-tâbi’în, walaupun pada generasi berikutnya
diriwayatkan oleh beberapa orang periwayat sampai ke tangan para
mukharrij. 27

27
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta, AMZAH, 2014) h. 23
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
18

BAB III

PENELITIAN MATAN HADIST

A. Kemungkinan Adanya Maqlûb, Idrâj, dan Ziyâdat


Hadîts maqlûb merupakan hadîts yang terjadi pemutarbalikan di
dalamnya oleh salah seorang periwayatnya; baik berupa lafal matan-nya, nama
periwayat, atau bagian sanad-nya. Periwayat tersebut mendahulukan bagian
yang sebenarnya di akhir atau mengakhirkan bagian yang sebenarnya di depan,
atau ia meletakkan sesuatu bagian pada tempat sesuatu yang lain.28 Bila suatu
hadîts ada bagiannya yang diketahui terbalik-balik (maqlûb), baik sanad
maupun matan-nya tentu saja dapat membingungkan dan dengan sendirinya
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau acuan.
Dalam hal ini, teks hadîts yang dijadikan sebagai obyek kajian
tidak ada yang terbalik-balik dalam mengemukakan ide pokoknya, yaitu
sama sama menjelaskan tentang bagaimana rasulullah mengulangi kata
tiga kali, yanmg artinya kata atau kalimat tunggal diulang tiga kali yang
gunanya untuk dipahami. Dengan demikian, hadîts tersebut bukanlah
merupakan hadîts maqlûb dan berarti terhindar dari adanya ‘illat (cacat)
yang dapat menurunkan kualitasnya menjadi hadîts dha’îf.
Adapun idrâj adalah pernyataan yang dimasukkan oleh periwayat ke
dalam matan hadîts yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan dan
kesan bahwa sisipan pernyataannya tersebut termasuk yang disabdakan oleh
Nabi SAW. Hal ini terjadi akibat tidak adanya penjelasan dalam matan hadîts
tersebut.29Dikaitkan dengan ini, hadîts yang diteliti juga luput dari adanya
idrâj tersebut. Karena ia bukan hadîts yang berkategori mudrâj, berarti ia

28
Shubh ash-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu: ‘Ardhun wa Dirasatun,
(Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyin, 1401 H/1988 H), Cet. Ke-17, hal. 191 (selanjutnya
disebut Shubh ash-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu)
29
Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hal. 370-371 (selanjutnya disebut ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-
Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu)
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
19

terhindar dari ‘illat yang dapat menurunkan kualitasnya sebagai hadîts


yang dinilai shahîh.
Ziyâdat yang dimaksud di sini adalah tambahan lafal atau kalimat
pada matan hadîts. Tambahan tersebut diberikan oleh periwayat tertentu
sedangkan periwayat yang lain tidak memberikan tambahan.30Praktisnya,
ziyâdat merupakan suatu tambahan yang terdapat dalam matan hadîts dan
tidak pernah disabdakan Nabi SAW.
Pada prinsipnya, ziyâdat itu berfungsi memperjelas makna redaksi
hadîts. Jika ziyâdat tersebut berasal dari periwayat yang tsiqah dan tidak
bertentangan pula dengan periwayat yang tsiqah lainnya, ulama hadîts sepakat
untuk menerimanya. Persoalan akan muncul, jika ziyâdat yang berasal dari
periwayat yang tsiqah tersebut bertentangan dengan periwayat yang tsiqah
lainnya atau yang melakukannya bukan periwayat yang dipandang tsiqah.
ziyâdat yang pertama akan menyebabkan hadîts tersebut menjadi syâdz dan
dha’îf, sedangkan ziyâdat yang kedua sudah jelas akan memporak-porandakan
ke-shahîh-an sanad dan matan hadîts sehingga menyebabkan riwayat itu
tertolak.31
Jika hal ini dihubungkan dengan hadîts yang dijadikan sebagai
obyek kajian, nampak jelas bahwa keberbedaan redaksionalnya tidak
sampai bertaraf ziyâdat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matan
hadîts ini pun tergolong shahîh dan dapat dijadikan sebagai hujjah untuk
diperpegangi dan diamalkan.
B. Kandungan Syarah Hadist
Rasullullah mengulanginya sampai tiga kali. Maksudnya, Anas
menceritakan kebiasaan Rasulullah SAW yang diketahui, lalu dia member
saksi akan hal itu, bukan Nabi yang memberitahunya. Pendapat ini

30
Shalâh ad-Dîn ibn Ahmad al-Adlabî, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘Ulamâ` al-Hadîts an-
Nabawî, (Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1983 M), hal. 106 (selanjutnya disebut al-Adlabî, Manhaj
Naqd al-Matn ‘Ind ‘Ulamâ` al-Hadîts an-Nabawî)
31
Keterangan lebih lanjut, lihat Abu ‘Amr ‘Utsmân ibn ‘Abd ar-Rahmân al-Syahrazûrî
(populer dengan Ibn ash-Shalâh, Muqaddimah Ibn ash-Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, naskah diberi
notasi oleh Abu ‘Abd ar-Rahmân Shalâh ibn Muhammad ibn ‘Uwaydhah, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-Islâmiyyah, 1416 H/1995 M), Cet. Ke-1, hal. 66-67 (selanjutnya disebut Ibn ash-Shalâh,
Muqaddimah Ibn ash-Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadîts)
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
20

diperkuat dengan riwayat yang dikeluarkan oleh mushanif pada


pembahasan izin, dari hadits ishak dari Abd Shamad dengan sanad yang
serupa dari anas.
(Apabila beliau berbicara) Al Karmani mengatakan bahwa susunan
kalimat seperti ini menurut ulama ushul fiqh ( ushuluyyin), mengisyaratkan
bahwa Nabi ketika berbicara selalu mengulang sebanyak tiga kali.
Tujuan nabi mengulanga perkataannya sampai tiga kali adalah
supaya agar dipahami, begitu juga Tirmidzi dan Hakim mengatakan dalam
kitab Al Mustadrak.
Ibnu Munir mengatakan bahwa Imam Bukhari dalam bab ini
bertujuan untuk member peringatan terhadap orang yang enggan
mengulangi pembicaraan , dan beliau mengingkari bahwa orang yang
meminta pengulangan termasuk orang yang bodoh. Kemudian dia
mengatakan, bahwa yang benar adalah hal ini tergantungperbedaan masing-
masing tabi’at manusia, makanya tidak tercela bagi seseorang pendengar
yang belum bisa mengingat pada kali pertama untuk meminta pengulangan.
Begitu pulasi pembicara, tidak mengapa tidak mengulangnya kembali,
namun jika dia mengulangnya berarti sebagai penekanan terhadap apa yang
di katakana pada kali pertama.
(Maka beliau member salam kepada mereka) Al Ismail mengatakan
, bahwa hal ini berkenaan dengan salam untuk meminta izin (salmul
isti’dzan) sebagaimana yang diriwayatkan abu musa dan lainnya. Hal ini
tidak termasuk salam yang disampaikan oleh orang yang sedang berjalan,
karena yang berlaku pada umumnya hanya satu kali, tidak diulang.
Saya berpendapat bahwa mushannif telah memahami lafazh ini
seperti itu juga, maka beliau mengeluarkan hadits ini dengan hadits Abu
Musa mengenai kisah nabi bersama umar, seperti yang akan dijelaskan pada
bab isti’dzan. Namun ada kemungkinan ketika akan meninggalkan mereka
, Nabi mengulamng salamnya sampai tiga kali beliau takut mereka tidak
mendengar salam sebelumnya. Adapun Al Karmani mengatakan, bahwa
kalimat tersebut menunjukkan istimrar.
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
21

Ada sebuah hadits yang artinya: Dari Abdullah bin Amru, berkata,
bahwa Nabi terlambat dalam suatu perjalanan bersama kami. Ketika eliau
dapat menyusul kami, waktu shalat telah tiba, yaitu shalat ashar dan kami
sedang berwudhu. Agaknya beliau memperhatikan kami, lalu beliau
berteriak sekeras-kerasnya. “ Celaka tumit-tumit yang terbakar api neraka.
“ ucapan itu diteriakkan dua atau tiga kali berulang-ulang.
Dalam hadits di atas perawi hadits ragu-ragu, apakah Nabi
Sallallahu’alihi wasallam mengucapkan dua kali atau tiga kali. Hal ini
menunjukkan bahwa pengulangan yang dilakukan oleh Nabi sebanyak tiga
kali itu bukan merupakan suatu keharusan, namun yang terpenting adalah
perkataan atau perintah tersebut dapat dipahami. Apabila tanpa pengulangan
sudah dapat dipahami, maka hal itu tidak perlu dilakukan.
Fa’idah penambahan kalimat adalah penegasan. Imam nawawi
berkata, “ Jika hanya menggunakan kata “yasurruu”(berilah kemudahan),
maka orang yang hanya memberikan kemudahan sekali dan sering
mempersulit orang lain termasuk dalam hadits tersebut. Oleh karena itu,
Rasulullah bersabda, wa la tu’assiruu (janganlah mempersulit) dengan
maksud untuk mengingatkan, bahwa memberikan kemudahan
Kepada orang lain harus selalu dilakukan dalam setiap situasi dan
kondisi. Demikian puladengan sabda nabi, wa laa “tunaffiru” setelah “wa
basyiruu”. “wa basyiru”( Dan berilah berita gembira ). Dalam bab “Adab”,
Imam Bukhari meriwayatkan dari Adam, dari Syu’bah dengan dengan
menggunakan lafadz “wa sakkinuu” (berilah ketenangan) yang merupakan
antonym (lawan kata) dari “wa laa Tunaffiruu”. Sebab kata
‘sukuunun’(ketenangan) adalah lawan kata dari “nufuurun”(meninggalkan),
seperti halnya kata “ al basyaratu”( berita gembira) merupakan lawan dari
kata “ annadzararatu”(berita buruk). Akan tetapi karena menyampaikan
kabar buruk pada awal sebuah pengajaran dapat menyebabkan orang tidak
menghiraukan sebua nasehat yang akan diberikan kepadanya, maka kata “al
basyaratu”( berita gembira ) di sini diikuti dengan kata
“tanfiiru”(meninggalkan).
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
22

Adapun maksud dari hadits ini adalah:


1. Kita harus berlaku ramah terhadap orang yang baru memeluk agam islam
dan tidak mempersulitnya.
2. Lemah lembut dalam melarang perbuatan maksiat agar dapat diterima
dengan baik
3. Menggunakan metode yang bertahap dalam mengajarkan suatu ilmu,
Karena segala sesuatu bila diawali dengan kemudahan, maka akan dapat
memikat hati dan menambah rasa cinta. Berbeda halnya jika di awali
dengan kesulitan.32
C. Penentuan Akhir Kualitas Hadist
Apabila matan dari pelbagai jalur sanad yang ada diperbandingkan satu
sama lain, didapati bahwa proses periwayatannya berlangsung secara maknawi
(riwâyat bi al-ma’na). Dinyatakan demikian karena redaksional yang ada
cukup variatif, tetapi maksud dan maknanya sama atau senada. Semuanya
sama-sama menegaskan bahwa tidak sempurna keimanan seseorang sehingga
ia mampu mencintai orang lain (saudaranya atau tetangganya) sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.
Ditilik dari sudut penisbahannya, hadîts ini termasuk hadîts
Nabawi/Nabi yang berstatus marfû’ qawlî yaitu berupa sabda yang disandarkan
secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW.15 Sementara itu, ditinjau dari
jumlah periwayatnya, ia termasuk hadîts yang poses periwayatannya
berlangsung secara ahâd (riwayat perorangan).16 Namun demikian, riwayat
hadîts ini nampaknya cukup populer dan acapkali disebut orang. Hadits ini
tidak hanya dikenal di kalangan ulama hadîts saja, tetapi juga cukup populer
diucapkan oleh sebagaian masyarakat (masyhûr fi al-sinat).
Sementara itu, dari segi kebersambungan sanadnya, hadits itu dapat
dikatakan bersambung yaitu musnad dan muttashil/mawshul. Adapun dari sisi
sifat-sifat sanad dan cara menyampaikannya, umumnya di awal sanad bersifat
musalsal [dinyatakan sanad atau rawinya dengan sesuatu cara, sifat, dan
keadaan, atau diriwayatkan dengan kata-kata, umpamanya “haddatsana dan

32
Ibnu Hajar Al-Atsqolani. Fathul Bari. (Jakarta: Pustaka Azzam) 2004. Hal 487-490
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
23

akhbarana”. Namun mendekati penghujung sanad menjelang shahabat bersifat


mu’an’an [menggunakan lafal ‘an ‘an], di samping itu ada juga yang bersifat
mu`annan [menggunakan lafal `anna].
Dilihat dari sudut kualitas riwayat dan kehujahannya, hadits dimaksud
dapat dinyatakan shahih karena terdapat dalam Kitab Shahih Muslim, minimal
hasan shahih sebagaimana dinilai oleh Abu Isa al-Turmudzî. Jadi dapat
dijadikan hujjah dan berstatus maqbul. Apalagi kandungan isinya, tidak
bertentangan dengan al-Qur`ân, hadîts yang kualitasnya lebih kuat, akal sehat,
indra, dan fakta sejarah sebagai tolok ukur penilaian ke-shshih-an matan hadîts
(ma’ayir naqd al-mutun).17 Di samping itu, susunan pernyataannya pun
menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Artinya, formasi kata dan kalimatnya
sempurna dan kehalusan bahasanya pun teruji oleh kaedah bahasa Arab
(qawâ’id al-lughat al-‘Arabiyyah), serta selektif pula pemilihan kosa-katanya.
Ini disebabkan karena Rasulullah adalah orang yang sangat fasih dalam
berbahasa lagi khas gaya bahasanya. Oleh sebab itu, mustahil beliau akan
menyabdakan sesuatu pernyataan yang rancu susunan bahasanya.33

33
Husein Yusuf, “Kritik Hadîts Shahih: [Kritik Sanad dan Matan]” dalam Pengembangan
Pemikiran Terhadap Hadîts, (Ed.) Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi, (Yogyakarta: LPPM UMY, 1996),
Cet. Ke-1, hal. 34
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
24

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Beranjak dari pembahasan terhadap riwayat yang diteliti, penulis
menemukan bahwa riwayat hadîts “Yaidul Kalimata Tsalaasaan
Litaaqquli ‘Anhu” yang disampaikan Penceramah tersebut sudah cukup
populer diucapkan oleh umat Islam. Namun demikian, patut disayangkan
Penceramah tidak menyebutkan riwayatnya secara lengkap, setidaknya
matan plus sanad tingkat shahâbat yang menerima hadîts tersebut langsung
dari Rasululullah SAW, serta mukharrij (periwayat terakhir) yang
mencantumkan hadîts tersebut dalam kitab yang disusunnya. Dalam hal ini,
diketahui bahwa hadîts tersebut diriwayatkan oleh al-Turmudzî dari Anas
bin Mâlik.
Berkenaan hadîts yang diteliti sanad dan matan-nya, dapat Penulis
simpulkan bahwa hadîts ini termasuk hadîts marfû’ qawlî, muttashil dan
musnad, diriwayatkan oleh para ulama yang tsiqah (‘adl dan dhâbth), kecuali
Yâzid ibn Hârûn yang akurasi hafalannya dinilai minus. Adapun matan-nya
juga tidak ber-’illat karena terhindar dari maqlûb (terbolak-balik), idrâj (sisipan
si periwayat), dan ziyâdat (tambahan redaksional) yang merusak ke-shahîh-
annya. Jadi, hadîts ini tidak shahîh ataupun dha’îf, melainkan hasan li dzâtihi
yang dapat menjadi shahîh li ghayrihi dengan adanya dukungan jalur lain.
Ditinjau dari kuantitas periwayatnya, hadîts ini termasuk kategori yang pada
awalnya berstatus ahâd yang kemudian menjadi masyhûr, bahkan populer
diucapkan oleh sebagaian masyarakat (masyhûr fi al-sinat)
B. Saran
Beranjak dari temuan penelitian ini, Penulis melihat bahwa bekal
pengetahuan yang memadai di bidang hadîts dan ilmu hadit sebagai seorang
penceramah (da’i) dapat menghindarkannya dari menyampaikan riwayat
yang sebenarnya bukanlah hadîts Nabi SAW. Atas dasar itu, dengan
sendirinya ia pun akan ekstra hati-hati dalam menyebutkan sebuah riwayat.
Paling tidak, ia mampu memberikan penjelasan dengan mengemukakan
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
25

riwayatnya secara lengkap, sehingga dapat diidentifikasi apakah riwayat


yang disampaikannya itu merupakan hadîts, pendapat ahli hikmah, atau
pernyataan kaum sufi, dan sebagainya. Wa Allâh a’lam bi ash-Shawâb....
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
26

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abû Zahw, Muhammad Muhammad. Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aw ‘Inâyat al-


Ummat al-Islâmiyyat bi as-Sunnat an-Nabawiyyah, [t.t.]: al-Maktabat al-
Tawfiqiyyah, [t.th.]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis ,Jakarta: Amzah, 2009.
Nurudin. Ulumul Hadist, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2014.
Maman Abdul Jalil, Ilmu Hadis, Bandung, Pustaka Setia, Cet V, 2010.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bārī, Jakarta, Terj. Amiruddin, Pustaka
Azzam,2011.
al-Mizzî, Abû al-Hajjâj Yûsuf ibn al-Zakkî. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` ar-Rijâl,
Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th.]
Ensiklopedi Kitab 9 Imam Hadits dalam Biografi Imam at Tirmidzi (eHadits 2000)
as-Suyûthî, Jalâl ad-Dîn ibn ‘Abd ar-Rahmân ibn Abi Bakr. Tadrîb ar-Râwî fî Syarh
Taqrîb an-Nawâwî, naskah di-tahqîq oleh ‘Abd al-Wahâb ‘Abd al-Lathîf,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1409 H/1988 M
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadîts, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995, Cet. Ke-1
Darussaman, Zikri. “Polemik Sekitar Otoritas Shahâbat Sebagai Transmitter
Hadîts”, dalam an-Nida`: Majalah Pengetahuan Agama Islam, Nomor
LXXXVII, Tahun XXV September-Oktober 2001
Muhammad, Afif. “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadîts
Nabi SAW”, dalam al-Hikmah: Jurnal Studi-studi Islam, Nomor 3, Maret-
Juni 1992
al-Bukhârî al-Ju’fî, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn al-
Mughîrat ibn Bardizbat. Al-Jâmi’ al-Shahîh, Cairo: Dâr al-Sya’ab, 1407
H/1987 M
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, Jakarta, AMZAH,
2014.
ash-Shâlih, Shubh. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu: ‘Ardhun wa Dirasatun,
Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyin, 1401 H/1988 H, Cet. Ke-17
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
27

al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj. as-Sunnat Qabl alt-Tadwîn, Beirut: Dâr al-Fikr,


1401 H/1981 M, Cet. Ke-5
Ibnu Hajar Al-Atsqolani. Fathul Bari. (Jakarta: Pustaka Azzam) 2004.
Yusuf, Husein. “Kritik Hadîts Shahih: [Kritik Sanad dan Matan]” dalam
Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadîts, (Ed.) Yunahar Ilyas dan M.
Mas’udi, Yogyakarta: LPPM UMY, 1996, Cet. Ke
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
28

LAMPIRAN 1:
INFORMASI MU’JAM AL-HADÎTS
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
29
Takhrij Al Hadist Yaidul Kalimata Tsalaasaan Litaaqquli ‘Anhu”
30

Anda mungkin juga menyukai