Anda di halaman 1dari 11

QOTH’I DAN ZHANNI AL-QUR’AN

Tugas Terstuktur
Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu Dr. H. Syufa’at, M.Ag.
Oleh
Eka Nur Fitriani
(1917301061)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH B


FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2020
A. Pendahuluan
Islam dalam menentukan suatu perkara harus ditentukan sesuai dengan
sumber hukum islam yang ada. Sumber hukum Islam ada bermacam- macam
ada yang menyebutkannya tiga dan lainnya. Namun, secara umum sumber
hukum islam itu ada empat yaitu yang Al- Quran, Sunnah atau Hadis, Ijma
dan Qiyas. Sumber hukum islam yang pertama yaitu Al- Quran, merupakan
kalam Allah swt yang diturunkann kepada Nabi Muhammad Saw yang
membacanya mendapat pahala dan disampaikan secara mutawatir.

Al – Qur’an menjadi sumber hukum islam yang pertama itu menjadi


pedoman dalam menentkan suatu perkara oleh umat islam di seluruh dunia
atau bisa dikatakan Al-Qur;an sebagai pedoman hidup umat islam karena tidak
ada seorangpun yang meragukan keagungan Al- Qur’an. Pemahaman-
pemahaman terhadap ayat- ayat Al- Qur’an melalui penafsiran- penafsirannya
memiliki peran yang sangat besar bagi kemajuan umat islam.

Dilihat datangnya, ketetapannya, dan kenukilannya dari Rosulullah


saw kepada umatnya, nas- nash dalam Al- Qur’an itu bersifat qath’i yang
artinya itu jelas atau pasti. Maksudnya nash Al- Qur’an yang kita baca
sekarang ini itu nash Al- Qur’an yang berasal dari Allah yang diwahyuhkan
kepada Rosulullah dan disampaikan oleh Rosulullah secara mas’um tanpa ada
perubahan atau bisa dikatakan tidak ada keraguan. Jika dilihat dari segi
dalalah atau kandungan maknanya itu bersifat zhanni atau tidak pasti,
maksudnya yaitu multi tafsir tergantung seserorang melihat dari sudut
pandang yang mana.

Makalah ini akan membahas tentang bagaimana sifat qoth’i dan


zhanni Al-Qur’an, untuk mengetahui bagaimana pandangan para ulama
mengenai konsep qoth’i dan zhanni, dan juga bagaimana rekonstruksi konsep
qoth’i dan zhanni.
B. Pembahasan

1. Sifat Qoth’i dan Dzanni Al-Qur’an

Sebagaimana telah diketahui bahwa ayat-ayat al- Qur’an dilihat dari segi
turunnya Al- Qur’an , maka seluruh nash Al- Qur’an itu bersifat qoth’i, karena
Al- Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang ma’shum, yang
tidak mungkin membuat kesalahan dalam menerima wahyu dari Allah,
kemudian menyampaikannya kepada umat beliau.

Sampai saat ini, keaslian Al- Qur’an itu tetap terpelihara dengan sangat
baik andaikan ada seseorang yang mencoba mengubahnya walaupun satu
huruf saja, akan segera diketahui karena sekarang ini banyak hafidz dan
hafidzoh atau pengghafal Al- Qur’an. Hal tersebut menjadi salah satu untuk
memelihara Al- Qur’an atas kehendak Allah swt.

Kemudian jika kita lihat dari segi isi hukumnya terbagi menjadi dua yaitu
nash yang qoth’i dan nash yang zhanni. Nash yang qoth’i memiliki arti
secara bahasa adalah putus, pasti, atau diam. qath’i dan zhanni merupakan
salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika
mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau
sumber suatu dalil. Sedangkan menurut Istilah, menurut Abdul Wahab
Khallaf, qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna tertentu
yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadis). qath’i tidak
mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang
untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan teks.1

Jadi, nash qoth’i adalah nash yang jelas dan tidak membuka penafsiaran
yang lain. contohnya yaitu nash tentang hak suami terhadap harta isterinya
yang meninggal, sebagai berikut:

1
Muhammad , Mas’ud , Dalil Qoth’i dan Zhanni, di
http://ejournal.unis.ac.id/index.php/ISLAMIKA/article/downloadSuppFile/156/21, hlm 2.
‫ف َما تَ َركَ أَ ْز َٰ َو ُج ُك ْم إِن لَّ ْم َي ُكن لَّه َُّن َولَ ٌد‬
ُ ْ‫َولَ ُك ْم نِص‬

“ Dan bagimu separoh dari harta yang ditinggalkan isteri-isterimu jika


mereka tidak mempunyai anak” ( Q.S. An-Nisa 4:12).

Contoh yang lainnya yaitu :

ۖ ‫وا ُك َّل َٰ َو ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِم ۟ائَةَ َج ْل َد ٍة‬


۟ ‫ٱل َّزانِيَةُ َوٱل َّزانِى فَٱجْ لِ ُد‬

“ Pezina baik pria maupun wanita, deralah mereka masing- masing seratus
kali” ( Q.S. An-Nur :2).

Aspek- aspek kuantitatif dari ketentuan- ketentuan ini, yaitu separoh dan
seratus adalah dalil yang sudah jelas dan tidak membuka penafsiran .
Ketentuan- ketentuan Al- Qur’an mengenai rukun-rukun agama seperti Shalat
dan puasa, bagian- bagian tertentu dalam kewarisan dan hukuman- hukuman
yang sudah ditetapkan semuanya qoth’i . Validalitasnya sudah tidak bisa
dibantah oleh siapapun , setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-
ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad.2

Kemudian yang kedua, nash bersifat dzanni. Secara bahasa yang dimaksud
dengan zhanni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah).Adapun
zhanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang
menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.Dalil
Zhanni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud),
penunjukkan kepada maknanya (al-dalalah), atau kekuatan argumentatif
maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti
keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak
mustahil melakukan kekeliruan.

Jadi, nash yang zhanni adalah nash – nash yang menunjuk makna yang
mungkin menerima takwil , atau mungkin dipalingkan makna asalnya kepada

2
Muhammad, Hasim, kamali, Prinsi dan Teori- Teori Hukum Islam ( Usul al- Fiqh), Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 1991, hlm 26.
makna yang lain. Dengan kata lain, dapat juga dikatakan, bahwa nash tersebut
mempunyai beberapa pengertian atau penafsiran. 3Ayat Al- qur’an yang
bersifat dzanni ( spekulatif) terbuka bagi penafsiran dan ijtihad. Penafsiran
yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara keseluruhan dalam Al-
Qur’an dan mencari penjelasan yang diperlukan pada bagian yang lain dalam
konteks yang sama atau bahkan berbeda. Sunnah adalah sumber lainnya yang
melengkapi Al- Qur’an dan menafsirkan ketentuan-ketentuannya.

Contoh nash yang bersifat dzanni yaitu:

‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ََلثَةَ قُرُو ٍء‬


ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
“ Wanita- wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
suci...( Q. S. Al- Baqarah :228)

Lafal quru’ di dalam ayat tersebut dapat berarti kotor ( haid).


Karena lafal quru’ mempunyai dua pengertian, maka masa iddah bagi wanita
yang dicerai suaminya, apakah tiga kali suci atau tiga kali haid?
Kenyataannya , ada ulama yang mengatakan tiga kali suci seperti imam
Syafi’i dan ada yang mengatakannya tiga kali haid , seperti imam Hanafi.

Selain itu dalam surat Al- Maidah : 3 yaitu,

‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْٱل َم ْيتَةُ َوٱل َّد ُم‬


ْ ‫ُح ِّر َم‬

“ Diharamkan bagimu ( memakan ) bangkai dan darah....”


Lafal al-maitatu dalam ayat tersebut adalah ‘am, yang mempunyai
kemungkinan mengharamkan seperti bangkai, atau ada pengecualian seperti
bangkai ikan diperolehkan memakannya. Ada lafal yang dilihat orang dari
makna hakiki dan adapula melihatnya dari segi makna majazi, ada yang
melihatnya dari segi makna lughawi dan ada yang melihatnya dari segi makna
syar’i.

3
M. Ali, Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 16.
2. Pandangan Para Ulama Mengenai Konsep Qoth’i dan dzanni

Konsep qath’i dan zhanni dalam fikih dan Ushul fikih berlaku dalam
kaitannya dengan kemungkinan adanya perubahan ijtihad dalam suatu
kasus hukum tertentu. Qath’i dan zhanni dalam Ushul fikih digunakan
untuk menjelaskan teks sumber hukum Islam, baik itu Qur‟an maupun al
Hadits dalam dua hal, yaitu al tsubūt (eksistensi) atau al-wurūd
(kedatangan kebenaran sumber), dan al dalalah (interpretasi).
Menurut Safi Hasan Abu Talib yang dimaksud dengan qath’i al-
wurūd atau al-tsubūt adalah nash-nash yang sampai kepada kita secara
pasti, tidak diragukan lagi karena diterima secara mutawatir. Sedangkan
zhanni al-wurūd atau al-ṣubūt adalah nashnash yang akan dijadikan
sebagai dalil, kepastiannya tidak sampai ketingkat qath’i.
Dari sisi al-dalālah (interpretasi), jika suatu ayat Qur‟an atau teks al -
Hadits hanya mengandung satu makna yang jelas dan tidak membuka
kemungkinan interpretasi lain, ia disebut sebagai teks yang qath’i al-dalālah.
Abu Zahrah dalam bukunya Ushūl al-fiqh mengatakan qath’i al-dalālah
adalah lafaz nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta
tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Wahbah al Zuhaily mengatakan dalālah qath’i adalah lafaz yang
terdapat dalam Qur‟an yang dapat dipahami dengan jelas dan
mengandung makna tunggal. Nash-nash dalam Qur‟an maupun Hadis
yang dikategorikan kepada qath’i al-dalālah adalah lafaz dan susunan
kata-katanya menyebutkan angka, jumlah, bilangan tertentu, sifat atau
nama dan jenis. Misalnya, tentang pembagian warisan, hudūd, kaffārat, dan
lain-lain.4
Menurut para ahli hadis, qath’i dalalat tidak terdapat dalam alQuran
karena tidak satu ayat pun yang berdiri sendiri mengacu kepada satu
kandungan makna. Berkaitan dengan hal ini, Abdullah Darraz (Ulama

4
Ratu ,Haika, Desember 2016, Konsep Qoth’i dan Zhanni Dalam Hukum Kewarisan Islam, Jurnal
Pemikiran Hukum Islam, Mazahib,Vol XV, No. 2, hlm 5.
besar al-Azhar) mengatakan bahwa apabila ayat-ayat al-Quran dibaca untuk
pertama kali maka maknanya akan jelas, akan tetapi apabila ayat yang
sama dibaca sekali lagi maka akan ditemukan pula maksud lain yang
berbeda dengan makna yang terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-
sampai ditemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang
bermacam-macam. Pendapat Abdullah Darraz tersebut menunjukkan bahwa
dari segi kandungan maknanya, ayat alQuran semakin digali semakin
banyak makna yang ditemukan. Lebih lanjut beliau mengatakan ayat al-
Quran itu ibarat sebutir intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya
yang berbeda-beda.
Sementara zhanni al dalālah, Abdul Wahab al Khalaf mengatakan zhanni
al-dalālah adalah lafaz yang menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu
mengandung kemungkinan sehingga dapat ditakwil dan dipalingkan dari
makna itu kepada makna lain.
Menurut Safi Hasan, nash-nash yang dikategorikan zhanni al-dalālah
adalah lafaz-lafaz yang diungkapkan dalam bentuk umum atau ‘amm,
musytarak dan muṭlaq. Ketiga bentuk lafaz ini menurut kaidah ushūliyah
mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas.5
Pada awalnya konsep qath’i dan zhanni adalah teori dalam bahasa
mengenai indikasi lafal (dalālah al-fāzh), untuk mengenali kejelasan dan
kesamaran suatu lafal terhadap makna yang terkandung. Tetapi kemudian,
konsep ini lebih banyak digunakan dalam perdebatan fikih untuk
memutuskan apakah sesuatu itu layak menerima perubahan melalui ijtihad
atau tidak. Untuk hal yang tidak layak menerima ijtihad, biasanya karena
dianggap bersandar pada teks dasar yang qath’i, sementara yang layak berubah
dan berkembang melalui ijtihad adalah yang didasarkan pada teks yang
zhanni.
Hal tersebut menjadi perdebatan para ulama yaitu tentang pemilahan hal-
hal yang termasuk kategori pertama, yaitu ibadah, atau ibadah mahdhah,
Kelompok Ibadah mahdhah atau ibadah murni adalah ibadah yang

5
ibid
mengandung unsur hubungan manusia dengan Allah. dan hal-hal yang
termasuk kategori kedua, yaitu mu’āmalah, (hal-hal yang berkaitan
dengan kebiasaan manusia dalam bermasyarakat atau atau berhubungan
sesama manusia).

3. Rekonstruksi Konsep Qoth’i dan Zhanni.

Untuk bisa melahirkan satu format hukum islam yang eksistensinya


mematrik diri pada kemaslahatan universal mengahargai keadilan sosial dan
hak- hak asasi manusia , maka ijtihad menjadi ihtiar pertama yang mutlak
yang harus dilakukan. Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini
berjalan bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran atau hal- hal yang bersifat
zhanni ( teks yang tidak pasti) dan kurang mencermati dimensi ajaran yang
diyakini sebagai qath’i ( teks yang dianggap pasti).

Menurut Masdar, dengan meletakan mashlahah sebagai asas ijtihad maka


konsep lama tentang qath’i- zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya.
Dan disinilah pentingnya rekonstruksi konsep qoth’i-zhanni agar mempunyai
kekuatan dalam memberikan kontitum pemecahan berbagai masalah. Dalam
pandangan Masdar apa yang disebut sebagai dalil qath’i adalah nilai
kemaslahatan dan keadilan, yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan zhanni adalah seluruh ketentuan teks,
ketentuan normatif yang bisa digunakan untuk menerjemahkan yang qoth’i
dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, ijtihad hanya bisa dilakukan pada
wilayah zhanni bukan wilayah qoth’i.Berdasarkan hal tersebut, maka hukum
potongan tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, persentase jumlah
pembagian waris, monopoli hak hak talak bagi suami, keterlibatan wali dalam
nikah, dan ketentuan-ketentuan teknis yang lain yang bersifsat nonetisw,
masuk kategori nash yang zhanni. Ketentuan- ketentuan ini pada gilirannya
akan mengalami perubahan.
Secara eksplisit , rekonstruksi konsep qath’i dan zhanni ini akan
mengancam ketentuan yang formal. Kecenderungan yang begitu kuat dalam
mengubah ketentuan – ketentuan yang bersifat teknis ini, dengan sendirinya,
akan menanggalkan banyak ketentuan legal formal. Hal ini karena dipandang
tidak lagi sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, Masdar menyatakan “
ketentuan legal formal, bagaimanpun , harus menjadi acuan tingkah laku
massyarakat. Segala persoalam yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
harus disandarkan pada ketentuan legal formal yang berlaku dan sah. Akan
tetapi, pada saaat yang sama, hendaknya selalu disadari bahwa yang menjadi
patokan formal atau legal haruslah selalu tunduk pada cita kemaslahan yang
hidup dalam nurani masyarakat”

Masdar mencoba menempatkan cita kemaslahatan berada diatas patokan


formal. Cita kemaslahatan ini mengendalikan arah pemahaman terhadap
ketentuan nash yang legal atau formal. Ayat – ayat teknis , aplikatif, dan
instrumental itu tidak mengikat dan karenanya harus diubah. Sebab, relevansi
dari ayat-ayat teknis aplikatif tersebut masih dapat dipakai pada konteks
tertentu. 6

6
Mahsun , Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara, 2004, hlm 101.
C. Komentar

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwasaanya dalam nash-


nash Al – Quran itu berdasarkan kepastian ayat- ayatnya itu bersifat qath’i
yaitu nash yang jelas dan tidak membuka penafsiaran yang lain. Seperti aspek
– aspek yang kuantitatif seperti seratus, separuh , sepertiga , dan lainnya.

Sedangkan nash yang bersifat zhanni yaitu nash yang bisa


menimbulkan berbagai tafsiran atau multi tafsir tergantung dariu sudut
pandang orang tersebut. Nash yang zhanni ini membuka peluang untuk
berijtihad. Penafsiran yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara
keseluruhan dalam Al- Qur’an dan mencari penjelasan yang diperlukan pada
bagian yang lain dalam konteks yang sama atau bahkan berbeda. Sunnah
adalah sumber lainnya yang melengkapi Al- Qur’an dan menafsirkan
ketentuan-ketentuannya.

Pandangan para ulama mengenai konsep qoth’i dam zhanni juga


berbeda-beda. Ada yang berpandangan bahwa nash qath’i dalalat tidak
terdapat dalam Al-Quran karena tidak satu ayat pun yang berdiri sendiri
mengacu kepada satu kandungan makna, dan masih banyak lagi perbedaan –
perbedaan pandangan para ulama mengenai konsep qath’i dan zhanni.

Kemudian, rekonstruksi konsep qath’i dan zhanni ini akan mengancam


ketentuan yang formal. Kecenderungan yang begitu kuat dalam mengubah
ketentuan – ketentuan yang bersifat teknis ini, dengan sendirinya, akan
menanggalkan banyak ketentuan legal formal.
Daftar Pustaka

Mu’in, Ahmad., Rahman, A. Asymuni, dkk. Ushul Fiqh Qaidah- Qaidah


Istinbath dan ijtihad ( Metode Penggalian Hukum Islam). Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasaran dan Saran Perguruan Tinggi Agama/ IAIN. 1986.

Kamali, Hasim, Muhammad, Prinsi dan Teori- Teori Hukum Islam ( Usul al-
Fiqh). Yogyakarta: Pustaka Belajar. 1991.

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


1995.

Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga


Emansipatoris. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara. 2004.

Zaid, Abu , Hamid, Nasr. Tekstualitas Al- Qur’an Kritik Terhadap Ulumul
Qur’an. Yogyakarta: LkiSYogyakarta. 2011.

Zuhri, Saifudin. Ushul fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2011.

Suwarjin. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras. 2012.

Haika, Ratu. Desember 2016, Konsep Qoth’i dan Zhanni Dalam Hukum
Kewarisan Islam. Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Mazahib. Vol X. No. 2.

Sa‟dan, Saifuddin. Juli-Desember 2017. Ijtihad terhadap Dalil Qath’i dalam


Kajian Hukum Islam. Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam. Volume 1
No. 2.

Mas’ud , Muhammad , Dalil Qoth’i dan Zhanni, di


http://ejournal.unis.ac.id/index.php/ISLAMIKA/article/downloadSuppFile/156
/21, diakses pada 25 Maret 2020.

Anda mungkin juga menyukai