Tugas Terstuktur
Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu Dr. H. Syufa’at, M.Ag.
Oleh
Eka Nur Fitriani
(1917301061)
Sebagaimana telah diketahui bahwa ayat-ayat al- Qur’an dilihat dari segi
turunnya Al- Qur’an , maka seluruh nash Al- Qur’an itu bersifat qoth’i, karena
Al- Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang ma’shum, yang
tidak mungkin membuat kesalahan dalam menerima wahyu dari Allah,
kemudian menyampaikannya kepada umat beliau.
Sampai saat ini, keaslian Al- Qur’an itu tetap terpelihara dengan sangat
baik andaikan ada seseorang yang mencoba mengubahnya walaupun satu
huruf saja, akan segera diketahui karena sekarang ini banyak hafidz dan
hafidzoh atau pengghafal Al- Qur’an. Hal tersebut menjadi salah satu untuk
memelihara Al- Qur’an atas kehendak Allah swt.
Kemudian jika kita lihat dari segi isi hukumnya terbagi menjadi dua yaitu
nash yang qoth’i dan nash yang zhanni. Nash yang qoth’i memiliki arti
secara bahasa adalah putus, pasti, atau diam. qath’i dan zhanni merupakan
salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika
mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau
sumber suatu dalil. Sedangkan menurut Istilah, menurut Abdul Wahab
Khallaf, qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna tertentu
yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadis). qath’i tidak
mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang
untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan teks.1
Jadi, nash qoth’i adalah nash yang jelas dan tidak membuka penafsiaran
yang lain. contohnya yaitu nash tentang hak suami terhadap harta isterinya
yang meninggal, sebagai berikut:
1
Muhammad , Mas’ud , Dalil Qoth’i dan Zhanni, di
http://ejournal.unis.ac.id/index.php/ISLAMIKA/article/downloadSuppFile/156/21, hlm 2.
ف َما تَ َركَ أَ ْز َٰ َو ُج ُك ْم إِن لَّ ْم َي ُكن لَّه َُّن َولَ ٌد
ُ َْولَ ُك ْم نِص
“ Pezina baik pria maupun wanita, deralah mereka masing- masing seratus
kali” ( Q.S. An-Nur :2).
Aspek- aspek kuantitatif dari ketentuan- ketentuan ini, yaitu separoh dan
seratus adalah dalil yang sudah jelas dan tidak membuka penafsiran .
Ketentuan- ketentuan Al- Qur’an mengenai rukun-rukun agama seperti Shalat
dan puasa, bagian- bagian tertentu dalam kewarisan dan hukuman- hukuman
yang sudah ditetapkan semuanya qoth’i . Validalitasnya sudah tidak bisa
dibantah oleh siapapun , setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-
ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad.2
Kemudian yang kedua, nash bersifat dzanni. Secara bahasa yang dimaksud
dengan zhanni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah).Adapun
zhanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang
menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.Dalil
Zhanni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud),
penunjukkan kepada maknanya (al-dalalah), atau kekuatan argumentatif
maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti
keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak
mustahil melakukan kekeliruan.
Jadi, nash yang zhanni adalah nash – nash yang menunjuk makna yang
mungkin menerima takwil , atau mungkin dipalingkan makna asalnya kepada
2
Muhammad, Hasim, kamali, Prinsi dan Teori- Teori Hukum Islam ( Usul al- Fiqh), Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 1991, hlm 26.
makna yang lain. Dengan kata lain, dapat juga dikatakan, bahwa nash tersebut
mempunyai beberapa pengertian atau penafsiran. 3Ayat Al- qur’an yang
bersifat dzanni ( spekulatif) terbuka bagi penafsiran dan ijtihad. Penafsiran
yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara keseluruhan dalam Al-
Qur’an dan mencari penjelasan yang diperlukan pada bagian yang lain dalam
konteks yang sama atau bahkan berbeda. Sunnah adalah sumber lainnya yang
melengkapi Al- Qur’an dan menafsirkan ketentuan-ketentuannya.
3
M. Ali, Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 16.
2. Pandangan Para Ulama Mengenai Konsep Qoth’i dan dzanni
Konsep qath’i dan zhanni dalam fikih dan Ushul fikih berlaku dalam
kaitannya dengan kemungkinan adanya perubahan ijtihad dalam suatu
kasus hukum tertentu. Qath’i dan zhanni dalam Ushul fikih digunakan
untuk menjelaskan teks sumber hukum Islam, baik itu Qur‟an maupun al
Hadits dalam dua hal, yaitu al tsubūt (eksistensi) atau al-wurūd
(kedatangan kebenaran sumber), dan al dalalah (interpretasi).
Menurut Safi Hasan Abu Talib yang dimaksud dengan qath’i al-
wurūd atau al-tsubūt adalah nash-nash yang sampai kepada kita secara
pasti, tidak diragukan lagi karena diterima secara mutawatir. Sedangkan
zhanni al-wurūd atau al-ṣubūt adalah nashnash yang akan dijadikan
sebagai dalil, kepastiannya tidak sampai ketingkat qath’i.
Dari sisi al-dalālah (interpretasi), jika suatu ayat Qur‟an atau teks al -
Hadits hanya mengandung satu makna yang jelas dan tidak membuka
kemungkinan interpretasi lain, ia disebut sebagai teks yang qath’i al-dalālah.
Abu Zahrah dalam bukunya Ushūl al-fiqh mengatakan qath’i al-dalālah
adalah lafaz nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta
tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Wahbah al Zuhaily mengatakan dalālah qath’i adalah lafaz yang
terdapat dalam Qur‟an yang dapat dipahami dengan jelas dan
mengandung makna tunggal. Nash-nash dalam Qur‟an maupun Hadis
yang dikategorikan kepada qath’i al-dalālah adalah lafaz dan susunan
kata-katanya menyebutkan angka, jumlah, bilangan tertentu, sifat atau
nama dan jenis. Misalnya, tentang pembagian warisan, hudūd, kaffārat, dan
lain-lain.4
Menurut para ahli hadis, qath’i dalalat tidak terdapat dalam alQuran
karena tidak satu ayat pun yang berdiri sendiri mengacu kepada satu
kandungan makna. Berkaitan dengan hal ini, Abdullah Darraz (Ulama
4
Ratu ,Haika, Desember 2016, Konsep Qoth’i dan Zhanni Dalam Hukum Kewarisan Islam, Jurnal
Pemikiran Hukum Islam, Mazahib,Vol XV, No. 2, hlm 5.
besar al-Azhar) mengatakan bahwa apabila ayat-ayat al-Quran dibaca untuk
pertama kali maka maknanya akan jelas, akan tetapi apabila ayat yang
sama dibaca sekali lagi maka akan ditemukan pula maksud lain yang
berbeda dengan makna yang terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-
sampai ditemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang
bermacam-macam. Pendapat Abdullah Darraz tersebut menunjukkan bahwa
dari segi kandungan maknanya, ayat alQuran semakin digali semakin
banyak makna yang ditemukan. Lebih lanjut beliau mengatakan ayat al-
Quran itu ibarat sebutir intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya
yang berbeda-beda.
Sementara zhanni al dalālah, Abdul Wahab al Khalaf mengatakan zhanni
al-dalālah adalah lafaz yang menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu
mengandung kemungkinan sehingga dapat ditakwil dan dipalingkan dari
makna itu kepada makna lain.
Menurut Safi Hasan, nash-nash yang dikategorikan zhanni al-dalālah
adalah lafaz-lafaz yang diungkapkan dalam bentuk umum atau ‘amm,
musytarak dan muṭlaq. Ketiga bentuk lafaz ini menurut kaidah ushūliyah
mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas.5
Pada awalnya konsep qath’i dan zhanni adalah teori dalam bahasa
mengenai indikasi lafal (dalālah al-fāzh), untuk mengenali kejelasan dan
kesamaran suatu lafal terhadap makna yang terkandung. Tetapi kemudian,
konsep ini lebih banyak digunakan dalam perdebatan fikih untuk
memutuskan apakah sesuatu itu layak menerima perubahan melalui ijtihad
atau tidak. Untuk hal yang tidak layak menerima ijtihad, biasanya karena
dianggap bersandar pada teks dasar yang qath’i, sementara yang layak berubah
dan berkembang melalui ijtihad adalah yang didasarkan pada teks yang
zhanni.
Hal tersebut menjadi perdebatan para ulama yaitu tentang pemilahan hal-
hal yang termasuk kategori pertama, yaitu ibadah, atau ibadah mahdhah,
Kelompok Ibadah mahdhah atau ibadah murni adalah ibadah yang
5
ibid
mengandung unsur hubungan manusia dengan Allah. dan hal-hal yang
termasuk kategori kedua, yaitu mu’āmalah, (hal-hal yang berkaitan
dengan kebiasaan manusia dalam bermasyarakat atau atau berhubungan
sesama manusia).
6
Mahsun , Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara, 2004, hlm 101.
C. Komentar
Kamali, Hasim, Muhammad, Prinsi dan Teori- Teori Hukum Islam ( Usul al-
Fiqh). Yogyakarta: Pustaka Belajar. 1991.
Zaid, Abu , Hamid, Nasr. Tekstualitas Al- Qur’an Kritik Terhadap Ulumul
Qur’an. Yogyakarta: LkiSYogyakarta. 2011.
Zuhri, Saifudin. Ushul fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2011.
Haika, Ratu. Desember 2016, Konsep Qoth’i dan Zhanni Dalam Hukum
Kewarisan Islam. Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Mazahib. Vol X. No. 2.