1. Sejarah Hukum Pertahanan Pada Masa Sebelum Terbentuknya UUPA
dan Masa Sesudah Terbentknya UUPA a. Masa Sebelum Tahun 1870 Masa ini adalah zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah berdasarkan sistem feodalisme, berlaku di beberapa daerah di seluruh Indonesia, yang dasarnya : 1) Tanah adalah milik raja; atau raja adalah pemilik tanah dalam kerajaannya. 2) Rakyat adalah milik raja juga, yang dapat digunakan untuk kepentingannya dan kehormatannya. Di daerah kerajaan mataram yaitu Surakarta dan Yogyakarta sekarang serta daerah-daerah sekeliling-nya, dulu dinyatakan bahwa tanah adalah adalah kepunyaan sultan dan sunan (kagungan dalem). Rakyat hanya sebagai pemaro (deelbouwer) dan berhak meminjam (wewenang anggaduh). Tanah kepunyaan raja itu diberikan kepada pegawai-pegawainya yang dipercaya yang harus menyerahkan bukti, dan tanah itu dibagikan lagi kepada pegawai dibawahnya untuk seterusnya dikerjakan rakyat dengan diharuskan : 1) Menyerahkan separo hasilnya. Sebagai kebiasaan, raja uang ditaklukkan harus mengantarkan upeti, yang dalam bahasa jawa terkenal dengan “bulu bekti” 2) Harus bekerja untuk raja dengan percuma, sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, sebagai tanda baktinya kepada raja. Masyarakat feodalisme merupakan perbudakan dalam ekonomi, politik dan sosial. Tanah dikuasai raja, rakyat yang mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya. Rakyat adalah alat untuk kekuasaan dan kehormatan si kuasa. Hukum di pegang oleh orang-orang yang kuasa rakyat untuk raja. b. Masa Sesudah Tahun 1870 Pada masa ini cara pemerasan langsung oleh kekuasaan Pemerintah Kolonial dengan cara-cara perbudakan di luar batas perikemanusiaan, dimana dipandang tidak sesuai lagi dengan jaman yang sopan. Di negara Belanda pada masa ini timbul dua aliran. Pertama dari golongan liberal yang menghendaki cara yang baru, supaya pemerintah tidak lagi menjalankan pemerasan dan penindasan yang langsung seperti yang dijalankan oleh culturstesel dan sebelum itu. Supaya nantinya diserahkan saja pekerjaan itu kepada orang (modal) partikelir. Aliran kedua adalah golongan konservatif yang mempertahankan cara-cara lama yang terang-terang akan menguntungkan bagi belanda. Rencananya Cultuurwet Fransen van de Putte (menteri jajahan) pada tahun 1866 untuk mengubah hukum agraria di Indonesia, tidak diterima oleh parlemen. Pengertian tentang soal hukum tanah serta hak-hak rakyat atasnya sangat sedikit. Juga R.R. 1854 tentang tanah sangat tidak berdasarkan pada pengertian yang dalam. Rencana van de Putte ialah agar semua tanah yang berupa tanah belukar (woeste gronden) dijual saja kepada orang-orang patikelir untuk mendapatkan uang dan juga untuk diusahakan sebaik- baiknya. Baru pada tahun 1870, rencana De Waal (menteri jajahan) tentang hukum agraria baru, sebagai kompromi dari dua aliran itu diterima, dan lahirlah Agrarische Wet (biasa dikatakan wet de wall) 9 April 1870, dan kemudian lahir Agraris Besluit (Algemeene Maatregel van Bestuur tanggal 20 mei 1870 No.15 Stbl. No 118, di ubah dan ditambah dengan Stbl.1872 No.116; 1874 no 78; 1877.No.196 dan 270; 1888.No.78; 1893 No.151; 1895 No.199; 1896 No. 140; 1904 No.325; 1910 No.185; 1912 No.235; 1916 No. 647 dan 683; dan 1926 No.321), yang memuat pernyataan hak negeri atas tanah yang biasa disebut domein veklaring.
2. Kedudukan Hukum Adat Dalam Hukum Pertahanan Nasional
Di dalam hukum adat, tanah ini merupakan masalah yang sangta penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat dualisme, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum eropa di satu pihak dan yang dikuasai oleh hukm adat di pihak lain.Bertitik tolak dari latar belakang, maka kita dapat melihat adanya dualisme hukum adat di Indonesia. Adanya Peraturang Perundang-undangan yang mengatur pertanahan, yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pertahanan (UUPA 1960). Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengelolah tanah itu, para anggota persekutuan berlangsung secara tertulis. Pasal 3 UUPA, pengakuan hak ulayat (hak komunal) dibatasi pada 2 hal yaitu eksistensi dan pelaksanaannya. Pemikiran yang melandasi penyusunannya saat itu lebih didorong oleh pengalaman empiris berupa hambatan ketika pemerintah memerlukan tanah yang dipunyai masyarakat.
3. Dasar Hukum Mengenai Tanah Memiliki Fungsi sosial
Kewenangan negara tersebut menguatkan penerapan asas fungsi sosial atas pemanfaatan dan peruntukan tanah tidak mutlak menjadi hak pemegang hak nya saja, melainkan ada peran negara secara langsung untuk menjamin tepenuhinya kebutuhan bagi kepentingan umum. Penafsiran hak atas tanah berfungsi sosial sangat luas, yakni dengan menggunakan “standar kebutuhan umum” (public necessity), “kebaikan untuk umum” (public good) atau “berfaedah untuk umum” (public utility). Penerapan asas fungsi sosial hak atas tanah secara teknis ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan berikut : a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum; b. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan; c. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum memberi pengertian bahwa pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Dalam undang-undang ini pengadaan tanah adalah untuk kepentingan umum, artinya menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. Tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud adalah untuk pembangunan : 1) pertahanan dan keamanan nasional; 2) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; 3) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; 4) pelabuhan, bandar udara, dan terminal; 5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; 6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; 7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; 8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah; 9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; 10) fasilitas keselamatan umum; 11) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; 12) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; 13) cagar alam dan cagar budaya; 14) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; 15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; 16) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; 17) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan 18) pasar umum dan lapangan parkir umum.
4. Hak Menguasai Negara
Konstitusi dan UUPA memberikan mandat kepada negara untuk menguasai tanah, bukan untuk memiliki tanah. Akan tetapi dalam perkembangannya ternyata pemerintah Indonesia memperluas kewenangan negara dari “pemegang hak menguasai” menjadi “pemilik” atas tanah, terutama tanah-tanah yang tidak ada alat bukti haknya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat. Dari pembahasan di atas, ditemukan bahwa konsep staatsdomein atas tanah tetap eksis pada pemerintahan Indonesia bahkan setelah era Reformasi, walaupun mereka selalu berargumen bahwa peraturan pertanahan di Indonesia adalah sesuai dengan Konstitusi. Dengan pemahaman yang keliru atas konsep hak menguasai negara, maka konsep hak negara atas tanah di zaman kemerdekaan menjadi serupa dengan konsep yang ada di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Oleh karena itu, muncul konflik pertanahan yang meluas di antara masyarakat di seluruh Indonesia. Mahkamah Konstitusi telah meluruskan makna dan pelaksanaan dari hak menguasai negara dalam putusan yudisial reviewnya atas UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, dan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Walaupun putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah tentang minyak dan gas bumi, sumber daya air, dan ketenagalistrikan, akan tetapi pendapat Mahkamah Konstitusi tentang hak menguasai negara pada ketiga bidang tersebut juga dapat diterapkan pada tanah. Demikian pula Mahkamah Konstitusi dalam putusan yudisial reviewnya atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan memerintahkan negara untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat atas hutan adat walaupun tidak disertai dengan alat bukti hak milik atau sertifikat.
5. Prosedur dan Tata Cara Pendaftaran Tanah di Indonesia
Tatacara pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi : a. Pengumpulan dan Pengolahan data Fisik Untuk keperluan pengumpulan dan pengelolaan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan b. Pembuatan Daftar Tanah Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah yang suatu sistem penomoran (Pasal 1 angka 16 PP No 24 Tahun 1997). c. Pembuatan Surat Ukur Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidnag tanah dalam bentuk peta dan uraian (Pasal 1 angka 17 PP No 24 Tahun 1997). d. Pembuktian Hak dan Pembukuannya 1) Pembuktian hak baru 2) Pembuktian hak lama 3) Pembuktian hak 4) Penerbitan sertifikat 5) Penyajian data fisik dan data yuridis 6) Penyimpanan daftar umum dan dokumen Pendaftaran tanah menurut Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu sebagai berikut : a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali b. Pemeliharaan pendaftaran tanah c. Pembuatan peta dasar pendaftaran d. Penetapan batas bidang-bidang tanah e. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran f. Pembuatan daftar tanah g. Pembuatan surat ukur h. Pembuktian hak baru
6. Macam-Macam Peralihan dan Jenis Pajak Peralihan serta Hitung Pajak
Peralihan dari Suatu Perbuatan Hukum Jual Beli dengan Harga Rp. 250.000.000,- Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Pewarisan Pewarisan adalah tindakan pemindahan hak milik atas benda dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang lain yang ditunjuknya dan/atau ditunjuk pengadilan sebagai ahli waris. Setelah berlakunya PP No. 24 Tahun 1997, maka keterangan mengenai kewajiban mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan diatur dalam Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa : a. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. b. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan. c. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Hibah Berdasarkan Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. d. Peralihan hak atas tanah karena hibah tidak serta merta terjadi pada saat tanah diserahkan oleh pemberi hibah kepada penerima hibah. Berdasarkan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Berdasarkan sifatnya, lelang dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : a. Lelang eksekutorial yaitu lelang dalam rangka putusan pengadilan yang berkaitan dengan hak tanggungan, sita pajak, sita yang dilakukan oleh Kejaksaan atau Penyidik dan sita yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara. b. Lelang non-eksekutorial yaitu lelang terhadap barang yang dikuasai atau dimiliki oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lelang terhadap hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 4/2016) angka 7 (SEMA 4/2016), berbunyi “Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.” Berdasarkan hal tersebut, walaupun hanya PPJB, selama pembeli telah membayar lunas harga tanah tersebut serta telah menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli telah terjadi. Pajak Peralihan dari Suatu Perbuatan Hukum Jual Beli dengan Harga Rp. 250.000.000,-
Pph yang dibayar Rp. 250.000.000 x 2,5% = Rp.6.250.000
BPHTB yang harus dibayar Rp. 250.000.000 – Rp.60.000.000 = Rp. 190.000.000 Rp. 190.000.000 x 5% = RP. 9.500.000 maka pph yang dibayar Rp. 6.250.000 BPHTB yang dibayar Rp.190.000.000