Anda di halaman 1dari 9

NAMA : DEA SRI WAHYUNI

NIM : 1830201015

MATA KULIAH : HUKUM AGRARIA

DOSEN : RESTU MARDHATILLAH, S.H., M.Kn

1. Sejarah Hukum Pertahanan Pada Masa Sebelum Terbentuknya UUPA


dan Masa Sesudah Terbentknya UUPA
a. Masa Sebelum Tahun 1870
Masa ini adalah zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah berdasarkan
sistem feodalisme, berlaku di beberapa daerah di seluruh Indonesia, yang
dasarnya :
1) Tanah adalah milik raja; atau raja adalah pemilik tanah dalam
kerajaannya.
2) Rakyat adalah milik raja juga, yang dapat digunakan untuk
kepentingannya dan kehormatannya.
Di daerah kerajaan mataram yaitu Surakarta dan Yogyakarta sekarang
serta daerah-daerah sekeliling-nya, dulu dinyatakan bahwa tanah adalah
adalah kepunyaan sultan dan sunan (kagungan dalem). Rakyat hanya sebagai
pemaro (deelbouwer) dan berhak meminjam (wewenang anggaduh).
Tanah kepunyaan raja itu diberikan kepada pegawai-pegawainya yang
dipercaya yang harus menyerahkan bukti, dan tanah itu dibagikan lagi
kepada pegawai dibawahnya untuk seterusnya dikerjakan rakyat dengan
diharuskan :
1) Menyerahkan separo hasilnya. Sebagai kebiasaan, raja uang ditaklukkan
harus mengantarkan upeti, yang dalam bahasa jawa terkenal dengan
“bulu bekti”
2) Harus bekerja untuk raja dengan percuma, sebagai kewajiban yang harus
dipenuhi, sebagai tanda baktinya kepada raja.
Masyarakat feodalisme merupakan perbudakan dalam ekonomi, politik
dan sosial. Tanah dikuasai raja, rakyat yang mengerjakan dengan kewajiban
menyerahkan hasilnya. Rakyat adalah alat untuk kekuasaan dan kehormatan
si kuasa. Hukum di pegang oleh orang-orang yang kuasa rakyat untuk raja.
b. Masa Sesudah Tahun 1870
Pada masa ini cara pemerasan langsung oleh kekuasaan Pemerintah
Kolonial dengan cara-cara perbudakan di luar batas perikemanusiaan,
dimana dipandang tidak sesuai lagi dengan jaman yang sopan. Di negara
Belanda pada masa ini timbul dua aliran. Pertama dari golongan liberal yang
menghendaki cara yang baru, supaya pemerintah tidak lagi menjalankan
pemerasan dan penindasan yang langsung seperti yang dijalankan oleh
culturstesel dan sebelum itu. Supaya nantinya diserahkan saja pekerjaan itu
kepada orang (modal) partikelir. Aliran kedua adalah golongan konservatif
yang mempertahankan cara-cara lama yang terang-terang akan
menguntungkan bagi belanda.
Rencananya Cultuurwet Fransen van de Putte (menteri jajahan) pada
tahun 1866 untuk mengubah hukum agraria di Indonesia, tidak diterima oleh
parlemen. Pengertian tentang soal hukum tanah serta hak-hak rakyat atasnya
sangat sedikit. Juga R.R. 1854 tentang tanah sangat tidak berdasarkan pada
pengertian yang dalam. Rencana van de Putte ialah agar semua tanah yang
berupa tanah belukar (woeste gronden) dijual saja kepada orang-orang
patikelir untuk mendapatkan uang dan juga untuk diusahakan sebaik-
baiknya.
Baru pada tahun 1870, rencana De Waal (menteri jajahan) tentang
hukum agraria baru, sebagai kompromi dari dua aliran itu diterima, dan
lahirlah Agrarische Wet (biasa dikatakan wet de wall) 9 April 1870, dan
kemudian lahir Agraris Besluit (Algemeene Maatregel van Bestuur tanggal
20 mei 1870 No.15 Stbl. No 118, di ubah dan ditambah dengan Stbl.1872
No.116; 1874 no 78; 1877.No.196 dan 270; 1888.No.78; 1893 No.151; 1895
No.199; 1896 No. 140; 1904 No.325; 1910 No.185; 1912 No.235; 1916 No.
647 dan 683; dan 1926 No.321), yang memuat pernyataan hak negeri atas
tanah yang biasa disebut domein veklaring.

2. Kedudukan Hukum Adat Dalam Hukum Pertahanan Nasional


Di dalam hukum adat, tanah ini merupakan masalah yang sangta penting.
Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, bahwa tanah sebagai
tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah adat
merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu.
Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan
penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang
corak agrarisnya berdominasi.
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat
dualisme, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang
dikuasai oleh hukum eropa di satu pihak dan yang dikuasai oleh hukm adat di
pihak lain.Bertitik tolak dari latar belakang, maka kita dapat melihat adanya
dualisme hukum adat di Indonesia. Adanya Peraturang Perundang-undangan
yang mengatur pertanahan, yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang
Pokok Pertahanan (UUPA 1960).
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu
persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai
dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengelolah tanah itu, para
anggota persekutuan berlangsung secara tertulis.
Pasal 3 UUPA, pengakuan hak ulayat (hak komunal) dibatasi pada 2 hal
yaitu eksistensi dan pelaksanaannya. Pemikiran yang melandasi penyusunannya
saat itu lebih didorong oleh pengalaman empiris berupa hambatan ketika
pemerintah memerlukan tanah yang dipunyai masyarakat.

3. Dasar Hukum Mengenai Tanah Memiliki Fungsi sosial


Kewenangan negara tersebut menguatkan penerapan asas fungsi sosial
atas pemanfaatan dan peruntukan tanah tidak mutlak menjadi hak pemegang
hak nya saja, melainkan ada peran negara secara langsung untuk menjamin
tepenuhinya kebutuhan bagi kepentingan umum. Penafsiran hak atas tanah
berfungsi sosial sangat luas, yakni dengan menggunakan “standar kebutuhan
umum” (public necessity), “kebaikan untuk umum” (public good) atau
“berfaedah untuk umum” (public utility).
Penerapan asas fungsi sosial hak atas tanah secara teknis ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan berikut :
a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Bagi Kepentingan Umum;
b. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan;
c. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk
pembangunan bagi kepentingan umum memberi pengertian bahwa pengadaan
Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Dalam undang-undang ini
pengadaan tanah adalah untuk kepentingan umum, artinya menyediakan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin
kepentingan hukum pihak yang berhak.
Tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud adalah untuk
pembangunan :
1) pertahanan dan keamanan nasional;
2) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api;
3) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
4) pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
10) fasilitas keselamatan umum;
11) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
12) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
13) cagar alam dan cagar budaya;
14) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
16) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
17) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
18) pasar umum dan lapangan parkir umum.

4. Hak Menguasai Negara


Konstitusi dan UUPA memberikan mandat kepada negara untuk
menguasai tanah, bukan untuk memiliki tanah. Akan tetapi dalam
perkembangannya ternyata pemerintah Indonesia memperluas kewenangan
negara dari “pemegang hak menguasai” menjadi “pemilik” atas tanah, terutama
tanah-tanah yang tidak ada alat bukti haknya, termasuk tanah-tanah masyarakat
adat.
Dari pembahasan di atas, ditemukan bahwa konsep staatsdomein atas
tanah tetap eksis pada pemerintahan Indonesia bahkan setelah era Reformasi,
walaupun mereka selalu berargumen bahwa peraturan pertanahan di Indonesia
adalah sesuai dengan Konstitusi. Dengan pemahaman yang keliru atas konsep
hak menguasai negara, maka konsep hak negara atas tanah di zaman
kemerdekaan menjadi serupa dengan konsep yang ada di zaman pemerintahan
Hindia Belanda. Oleh karena itu, muncul konflik pertanahan yang meluas di
antara masyarakat di seluruh Indonesia.
Mahkamah Konstitusi telah meluruskan makna dan pelaksanaan dari hak
menguasai negara dalam putusan yudisial reviewnya atas UU No. 22/2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, dan
UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Walaupun putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut adalah tentang minyak dan gas bumi, sumber
daya air, dan ketenagalistrikan, akan tetapi pendapat Mahkamah Konstitusi
tentang hak menguasai negara pada ketiga bidang tersebut juga dapat
diterapkan pada tanah. Demikian pula Mahkamah Konstitusi dalam putusan
yudisial reviewnya atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan memerintahkan
negara untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat atas hutan adat
walaupun tidak disertai dengan alat bukti hak milik atau sertifikat.

5. Prosedur dan Tata Cara Pendaftaran Tanah di Indonesia


Tatacara pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :
a. Pengumpulan dan Pengolahan data Fisik
Untuk keperluan pengumpulan dan pengelolaan data fisik dilakukan
kegiatan pengukuran dan pemetaan
b. Pembuatan Daftar Tanah
Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas
bidang tanah yang suatu sistem penomoran (Pasal 1 angka 16 PP No 24
Tahun 1997).
c. Pembuatan Surat Ukur
Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidnag tanah
dalam bentuk peta dan uraian (Pasal 1 angka 17 PP No 24 Tahun 1997).
d. Pembuktian Hak dan Pembukuannya
1) Pembuktian hak baru
2) Pembuktian hak lama
3) Pembuktian hak
4) Penerbitan sertifikat
5) Penyajian data fisik dan data yuridis
6) Penyimpanan daftar umum dan dokumen
Pendaftaran tanah menurut Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997, yaitu sebagai berikut :
a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali
b. Pemeliharaan pendaftaran tanah
c. Pembuatan peta dasar pendaftaran
d. Penetapan batas bidang-bidang tanah
e. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran
f. Pembuatan daftar tanah
g. Pembuatan surat ukur
h. Pembuktian hak baru

6. Macam-Macam Peralihan dan Jenis Pajak Peralihan serta Hitung Pajak


Peralihan dari Suatu Perbuatan Hukum Jual Beli dengan Harga Rp.
250.000.000,-
Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Pewarisan Pewarisan adalah tindakan
pemindahan hak milik atas benda dari seseorang yang telah meninggal dunia
kepada orang lain yang ditunjuknya dan/atau ditunjuk pengadilan sebagai ahli
waris. Setelah berlakunya PP No. 24 Tahun 1997, maka keterangan mengenai
kewajiban mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan diatur
dalam Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa :
a. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan
pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah
terdaftar.
b. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.
c. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Hibah Berdasarkan Pasal 1666
KUHPerdata, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah di
waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu.
d. Peralihan hak atas tanah karena hibah tidak serta merta terjadi pada saat
tanah diserahkan oleh pemberi hibah kepada penerima hibah. Berdasarkan
Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa peralihan hak atas tanah
harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Lelang adalah setiap penjualan barang
di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis
melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Berdasarkan sifatnya,
lelang dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
a. Lelang eksekutorial yaitu lelang dalam rangka putusan pengadilan yang
berkaitan dengan hak tanggungan, sita pajak, sita yang dilakukan oleh
Kejaksaan atau Penyidik dan sita yang dilakukan oleh Panitia Urusan
Piutang Negara.
b. Lelang non-eksekutorial yaitu lelang terhadap barang yang dikuasai atau
dimiliki oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lelang
terhadap hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dimiliki
atau dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang
Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun
2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 4/2016)
angka 7 (SEMA 4/2016), berbunyi “Peralihan hak atas tanah berdasarkan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah
membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan
dilakukan dengan itikad baik.” Berdasarkan hal tersebut, walaupun hanya
PPJB, selama pembeli telah membayar lunas harga tanah tersebut serta telah
menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum
peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli telah terjadi.
Pajak Peralihan dari Suatu Perbuatan Hukum Jual Beli dengan Harga Rp.
250.000.000,-

Pph yang dibayar Rp. 250.000.000 x 2,5% = Rp.6.250.000


BPHTB yang harus dibayar Rp. 250.000.000 – Rp.60.000.000
= Rp. 190.000.000
Rp. 190.000.000 x 5% = RP. 9.500.000
maka pph yang dibayar Rp. 6.250.000
BPHTB yang dibayar Rp.190.000.000

Anda mungkin juga menyukai