Anda di halaman 1dari 14

Menyikapi Era Globalisasi Di Bidang Agraria (Globalization Era Outlooking on

Agrarian Sector)

Firman Muntaqo

Abstract

Dunia dapat memenuhi kebutuhan manusia,


Namun Dunia, Tidak dapat memenuhi keserakahan manusia.
(In Memoriam: Mahatma Gandhi)

Kendati Landreform telah berusia Lima Puluh Tahun, kenyataan yang terjadi saat ini
merupakan suatu ironi, dan menarik untuk dikaji, karena seiring dengan era baru hubungan
antar negara dan antar masyarakat internasional yang lebih dikenal dengan istilah “Era
Globalisasi”, ternyata implementasi amanat UUPA pada negara/pemerintah semakin jauh dari
yang seharusnya. Bahkan amanat UUPA, bahwa negara/pemerintah melalui berbagai aturan
hukum dan kebijaksanaanya harus dapat menfasilitasi rakyat agar mampu memenuhi
keperluannya dalam soal-soal agraria sesuai dengan perkembangan zaman, cenderung
diabaikan. Terdapat indikasi yang kuat, bahwa karena tekanan globalisasi perdagangan dunia
berbagai aturan hukum dan kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah di bidang agraria
(termasuk di bidang pertanahan) lebih berpihak dan memfasilitasi badan hukum publik,
swasta, lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan internasional, serta pemodal raksasa
internasional (MNC atau TNC) dan cenderung mengorbankan kepentingan rakyat, terutama
petani untuk dapat mengakses tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain,
terdapat indikasi yang kuat bahwa pemerintah telah menempatkan agraria/tanah sebagai
komoditas perdagangan, dan tidak lagi sebagai asset yang harus diupayakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.

Kata Kunci : Landreform, Globalisasi, Agraria, Badan Hukum Publik, Swasta, Multi National
Corporation
(MNC)
ajian oleh Komisi Hukum Nasional

Suatu kajian yang dilakukan KHN pada tahun 2008, tentang “Tinjauan Terhadap UU No 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”, antara lain menyimpulkan:
(a) Bahwa terdapat ketidaksinkronan antara berbagai peraturan yang mengatur tentang tanah
di bumi Indonesia ini. Ketidaksinkronan ini dilihat baik secara horisontal maupun secara
vertikal antara berbagai peraturan tersebut.Hal ini menyebabkan kebijakan agraria di
Indonesia “berwajah sektoral”.

(b) Hak-hak masyarakat adat atas tanahnya, yang diakui oleh Hukum Agraria 1960, (UUPA)
dalam kenyataannya tidak berjalan sebagai yang dicita-citakan.Pengaturan dalam bentuk hak
tersendiri belum atau tidak dijabarkan secara jelas.

(c) Hak-hak dasar masyarakat atas sumber daya agraria yang sudah diatur dalam UUPA
dalam usaha implementasinya kalah terhadapa berbagai kepentingan sektoral.Hal ini menjadi
lebih parah dengan persaingan antar sektor dengan kepentingannya masing-masing.

(d) Diutamakannya investasi dalam pembangunan ekonomi, sering sekali menyebabkan hak-
hak masyarakat atas tanah terabaikan.
(e) Hak Menguasai Negara (HMA) yang menurut UUPA dapat didelegasikan kepada
masyarakat adat dan daerah swatantra, dalam prakteknya diberikan kepada badan-badan atau
departemen-departemen pemerintah/negara dan kemudian dikenal sebagai Hak Pengelolaan
(yang sebenarnya tidak dikenal dalam UUPA).

Sangat mengherankan bahwa UUPA yang diakui sebagai suatu produk jaman Orde Baru
yang cukup baik dalam keberpihakannya pada masyarakat adat, dalam prakteknya tidaklah
demikian. Kesimpulan diatas yang didasarkan atas kajian yang dilakukan Tim Peneliti KHN
di berbagai daerah Jawa dan luar-Jawa menunjukkan bahwa dalam masa hampir 50 tahun
adanya undang-undang ini, masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah masih (atau malah?)
terpinggirkan. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Saya membaca cepat dua buku yang baru-baru ini saya peroleh.Kedua buku ini mungkin
dapat membantu kita menelaah apa yang terjadi. Menarik adalah bahwa buku-buku ini
merupakan penelitian yang didanai dan dipimpin oleh pihak asing.Meskipun penelitinya
banyak tenaga-tenaga ahli dan akademisi bangsa Indonesia.

Kajian interdisiplin oleh akademisi dan aktivis LSM Indonesia.


Kedua buku tersebut diterbitkan bersama oleh HuMa-Jakarta, Van Vollenhoven Institute,
Universitas Leiden dan KITLV-Jakarta (serta untuk buku kedua Epistema Institute).
Keduanya termasuk Seri Sosio-Legal Indonesia.Yang pertama berjudul Hukum Agraria dan
Masyarakat di Indonesia ( Penyuntung: Myrna A.Safitri dan Tristam Moeliono, April 2010)
dan yang kedua Akses Terhadap Keadilan-Perjuangan masyarakat miskin dan kurang
beruntung untuk menuntut hak di Indonesia (Editor: Ward Berenschot,Adriaan Bedner,Eddie
Riyadi Laggut-Terre,Dewi Novirianti, Maret 2011).

Keduanya merupakan kumpulan karangan-karangan hasil penelitian lapangan tentang tanah


dan hak-hak masyarakat adat.Membaca laporan penelitian itu sungguh miris hati kita,
mengapa ketidakadilan terhadap masyarakat adat dan kelompok miskin diperkotaan masih
terjadi dan dibiarkan setelah setengah abad adanya UUPA dan 65 tahun kita menyatakan
negara ini merdeka dari penjajahan kolonial Belanda?. Terpikir di sini apakah kalau begitu
cara pengelolaan tanah di negara merdeka,oleh pemerintahan bangsa sendiri, tidak berbeda
(ataukah mungkin lebih buruk?) dari pemerintah jajahan?

Dari permasalahan yang dapat dilaporkan berdasarakan penelitian-penelitian tersebut terlihat


misalnya kritik bagaimana kita yang menyatakan diri sebagai negara hukum namun belum
dapat mengakomodasikan pembagian kewenangan atas tanah antara negara (pemerintah) dan
warga masyarakat. Pemahaman tentang doktrin Domein dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda, sepertinya masih dipergunakan dan terbawa sampai sekarang. Hak-hak masyarakat
adat seperti hak ulayat dan hak atas hutan adat belum memberikan kepastian hukum pada
masyarakat di daerah pedesaan.Apalagi dalam penyelesaian konflik-konflik mengenai tanah,
baik antara warga masyarakat adat sendiri, antara mereka dengan warga pendatang/migran,
dan terlebih lagi bila terjadi sengketa antara masyarakat adat dengan perusahaan (swasta dan
negara) yang mendapat hak dari pemeritah (pusat ataupun daerah). Alangkah malangnya
nasib rakyat kita ini, limapuluh tahun dijanjikan perbaikan atas hak-hak tanah mereka melalui
UUPA 1960, namun tidak satupun pemeritah yang dapat melaksanakannya.

Apakah pembaruan (reformasi) UUPA 1960 akan membantu dapat dipenuhinya kanji
tersebut? Saya tidak yakin, karena masalahnya bukan sekedar mengubah kata-kata, kalimat-
kalimat dalam perumusan pasal peraturan, namun terutama pada semangat dari pemerintah
yang harus menjalankan suatu peraturan. Selama masih ditafsirkan bahwa tanah dikuasai
negara, tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat lokal dan lebih berpihak kepada
investor demi kepentingan nasional, maka selama itu pula hak-hak msyarakat adat
terpinggirkan (dikalahkan). Apakah kebijakan otonomi daerah dapat membantu? Mungkin,
tetap banyak pula tergantung pada kemampuan masyarakat adat memilih pemimpin yang
tepat, yang berpihak pada mereka.

Hak Menguasai Negara atas Tanah


Domein verklaring merupakan ketentuan pemerintah Hindia Belanda untuk menyatakan
bahwa tanah diatas mana tidak terdapat kepemilikan (hukum perdata), merupakan tanah yang
dikuasai (hukum publik) oleh negara (Hindia Belanda). Seperti dikatakan dalam beberapa
laporan penelitian (a.l KHN dan Penelitian Sosio-Legal) pendekatan pemerintah kolonial ini
ternyata diambil-alih oleh pemerintah Republik Indonesia dalam bentuk Hak Menguasai
Negara (HMN). Kewenangan yang diberikan UUPA 1960 ini harus dibaca bersamaan dengan
Pasal 33 UUD 1945. Seperti ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) maka HMN
tidaklah harus diartikan sebagai pemilikan atas tanah. HMN hanya memberi negara
kewenangan untuk merumuskan ”kebijakan (beleid)”, melakukan ”pengaturan (regelen)”,
”pengurusan (besturen)”, ”pengelolaan (beheren”), dan ”pengawasan (toezicht houden)”.
Kewenangan inilah yang dikritik telah disalahgunakan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. A.l dengan mementingkan dan mendahulukan perusahaan-perusahaan besar dan
kebanyakan bermodalkan dana asing, untuk memanfaatkan tanah-tanah yang secara turun-
temurun dikuasai masyarakat adat. UUPA juga mengatur bahwa atas dasar HMN itu, maka
Negara juga dapat mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air,
dan ruang angkasa. Celakanya, HMN yang bila dikaitkan dengan pasal 33 UUD ditujukan
untuk ”sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, telah ditafsirkan sebagai hak pemerintah
(pusat dan daerah) untuk pemberian berbagai jenis ijin kepada perusahaan besar
pertambangan, kehutanan, perkebunan dan pertanian. Umumnya yang dapat memanfaatkan
persyaratan yang diminta oleh ijin-ijin tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar
bermodalkan dana asing.

Bagaimanakah halnya didaerah perkotaan ? Masalahnya disini tentu lain. Khususnya di kota-
kota yang sudah ada sejak jaman Hindia Belanda, banyak tanah sudah dimiliki dibawah
hukum perdata Barat, misalnya hak eigendom dan hak opstal.Kedua hak tanah menurut
hukum perdata Barat (Burgerlijk Wetboek- BW) padanannya dalam UUPA menjadi hak
milik dan hak bangunan.Tanah-tanah tersebut sudah terukur, terdaftar dan dilegalisasi melalui
dolumen yang dikenal sebagai Sertifikat Tanah.Dengan pemekaran kota yang bersangkutan,
maka banyak tanah yang tadinya berada di desa-desa pinggiran menjadi bagian dari
kota.Umumnya dihuni oleh penduduk asli (asal), tetapi dengan perlunya tanah untuk
pembangaunan pabrik,perumahan real estate dan pusat perbelanjaan (mal), maka tanah- tanah
tersebut akan jatuh pula kepada kalangn bisnis (perusahaan). Rakyat yang tidak cukup
modalnya akan tersisihkan dan dengan hilangnya pula lahan pertanian akan menjadi buruh di
pabrik-pabrik atau tempat- tempat kerja lainnya.
Di kota-kota besar pusat perdagangan, seperti Jakarta-Surabaya-Medan, akan terlihat lebih
jelas bahwa banyak ”orang miskin” berasal dari pinggir kota (yang asalnya daerah pertanian)
mencari nafkahnya di kota dengan menjadi ”penganggur” dan pengemis.Mengapa mereka
tidak terlindungi ketika mereka melepaskan tanah pertanian mereka kepada para pengusaha?
Apakah pemerintah tidak peduli kepada rakyat miskin?

Konflik Pertanahan
Konflik pertanahan tidak saja terjadi di daerah padat penduduk, tetapi juga di daerah
hutan.Tidak saja antara penduduk dengan pemerintah, tetapi juga antara warga desa baik
masyarakat adatnya maupun pendatang.Contohnya adalah yang tejadi di Desa Tanjung
Mandiri, Tanjung Lebar, Bahar Selatan, Muoro Jambi. Sengketa adalah tentang penjualan
ratusan hektar tanah hutan kepada warga (umumnya pendatang) untuk dijadikan kebun
kelapa sawit. Pengelola hutan, PT Restorasi Ekosistem, yang menguasai kawasan ”Hutan
Restorasi Harapan” menjadi kewalahan dengan ”perambahan hutan” yang terjadi.Usaha
penghentian penjualan yang dilakukan melalui ”Aliansi Masyarakat Adat Nasional” (AMAN)
memicu konflik.Menurut AMAN, kawasan ini merupakan habitat suatu kelompok suku
terasing (suku Bathin IX).Perambahan hutan harus dihentikan, dan rupanya hanya dapat
dilakukan dengan penegakan hukum. (Kompas, Jum’at 29 April 2011).

Penegakan hukum melalui UU Kehutanan (UU No.41/1999) ternyata juga menimbulkan


sengketa dan perasaan ketidak-adilan. Masalahnya berkisar pada ketentuan dalam UU
Kehutanan yang membedakan antara ”hutan-negara” dan ”hutan-hak”. Mengikuti HMN,
maka ”hutan-negara” berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan
”hutan-hak” adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Aturan yang
berlaku menegaskan bahwa semua hasil-hutan kayu yang diambil dari hutan dan diangkut
untuk dijual harus mempunyai ijin. Pasal 50(3)h melarang ”mengangkut, menguasai atau
memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan” dengan
diancam pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak lima milyar
rupiah.Seharusnya hal ini tidak berlaku untuk hasil hutan yang diambil dari hutan-hak, karena
merupakan hak dari warga atau masyarakat adat bersangkutan. Kalaupun ada maksud
menertibkan kawasan hutan-hak ini melalui surat ijin (bersifat administratif), maka
pelanggaran cukup diberi sanksi denda administratif yang sesuai saja. Sedangkan sekarang
warga masyarakat diajukan ke pengadilan pidana.

Kesimpulan
Apa yang diuraikan di atas merupakan hanya sekelumit permasalahan yang menyangkut soal
tanah di Indonesia. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah perlu ada pembaruan UU
Pokok Agraria? Sebagai orang yang dalam masa mahasiswanya (1955-1961) mendapat
pelajaran tentang UUPA ini, dan mengikuti melalui suratkabar diskusi-diskusi dalam
penyusunannya, saya merasa kekeliruannya bukan pada perumusan UUPA tetapi pada
penafsiran dan pelaksanaannya oleh para pejabat pemerintah (Pusat dan Daerah). Mengikuti
paham bahwa tanah harus berfungsi sosial dan merupakan hak dasar rakyat, maka
pengelolaan ekonominya haruslah berdasarkan ”ekonomi berbasis kesejahteraan rakyat” dan
bukan ”ekonomi neo-liberal yang mengandalkan mekanisme pasar dan sedikit sekali campur
tangan pemerintah” (Suara Pembaruan, 25 Mei 2009).

Perdagangan Bebas dan Konflik Agraria


21 September 2013 M. Riza Damanik* OPINI dibaca: 876

inShare
dok / ist

Ilustrasi.

Sangatlah pantas DPR merombak total draf RUU versi pemerintah mengenai UU
perdagangan.

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia masih menemukan 588 potensi konflik
agraria di sepanjang tahun 2012.

Memasuki awal 2013, konflik serupa kembali terjadi dan berbuntut kriminalisasi terhadap 26
orang petani dan aktivis lingkungan di Sumatera Selatan dan 23 nelayan tradisional di
Sumatera Utara.

Buruknya kualitas kebijakan nasional dan lemahnya komitmen instrumen negara, kerap
disebut-sebut sebagai pangkal soal konflik agraria.
Padahal, pada era globalisasi, pemicunya telah bergeser ke sejumlah perjanjian perdagangan
bebas dan investasi yang mengikat Indonesia. Tanpa memastikan terlindunginya kepentingan
rakyat dalam pelbagai perjanjian internasional, konflik agraria dipastikan tidak akan pernah
terselesaikan.

Perombakan Kebijakan

Theirs (2002) menyebut ada empat tahapan proses integrasi dalam (deep integration) dari
sebuah rezim investasi dan perdagangan internasional ke dalam wilayah domestik suatu
negara. Pertama, negara setuju untuk bergabung dalam rezim dan mengharmoniskan
kebijakan domestiknya sesuai ketentuan rezim. Kedua, harmonisasi formal yang berupa
peraturan tertulis harus dilakukan.

Ketiga, standar yang sudah diharmoniskan harus diimplementasikan. Keempat, sistem


monitoring dan implementasi ketentuan harus sesuai dengan perjanjian. Nah, kesemuanya
telah berlaku di Indonesia.

Sejak era 1960-an, Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) telah mulai
mendorong reformasi sistem ekonomi dan politik Indonesia agar selaras dengan prinsip-
prinsip yang diatur dalam perjanjian internasional.

Dalam hal pengaturan perdagangan internasional, misalnya, UU Nomor 7 Tahun 1994


tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO telah mewajibkan Indonesia membuka
pasar seluas-luasnya bagi perdagangan internasional melalui penghapusan berbagai hambatan
perdagangan. Selanjutnya, diikuti dengan perombakan sejumlah kebijakan nasional.

Sebut saja perubahan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang
dimaksudkan untuk memudahkan masuknya investasi asing dalam pengusahaan sumber daya
alam Indonesia. Hal ini sejalan dengan aturan WTO terkait Most Favored Nation (MFN) dan
National Treatment. Melalui keduanya, pemerintah tidak boleh lagi memberi perlakukan
berbeda terhadap pemodal asing dan dalam negeri.

Contoh lain, kesepakatan tentang pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA) dalam
WTO. Kesepakatan ini memaksa Indonesia membuka pintu impor, menghapuskan tarif
masuk, bahkan memaksa Pemerintah Indonesia untuk terus mengurangi subsidi bagi petani.
Tak pelak, impor produk pangan Indonesia di 2012 telah menyedot anggaran lebih dari Rp
125 triliun. Uang sebesar itu justru digunakan untuk impor produk pangan seperti daging
sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, serta komoditas pangan lain yang mudah
tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pada tahap inilah ratifikasi pembentukan WTO telah
menyebabkan hilangnya kedaulatan pangan dan meningkatkan konflik agraria di Indonesia.

Kedaulatan Ekonomi

Adalah H Agus Salim (1884-1954) mengatakan “hendaklah Bumiputera itu menunjukkan


kekuatannya menghidupi perhimpunan kita sendiri. Jika sekolah-sekolah kepunyaan orang
Belanda menolak anak-anak kita karena mendengarkan hasutan kaum asmodee itu, hendaklah
kita ikhtiar mendirikan sekolah sendiri. Dalam negeri kita janganlah kita yang menumpang.”

Pada konteks ini, bertepatan pula dengan momentum Peringatan Hari Pangan 24 September
2013, gerakan petani, nelayan, buruh maupun konsumen di Indonesia patut menaruh
perhatian lebih terhadap berbagai perjanjian perdagangan bebas dan WTO. Ini karena
keduanya telah sengaja melemahkan peran negara dalam melindungi akses dan kontrol rakyat
terhadap tanah dan airnya.

Jelang berakhirnya masa tugas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014,
Presiden SBY perlu mengambil langkah moratorium terhadap perjanjian baru, sambil
mengevaluasi berbagai perjanjian yang telah ditandatangani sebelumnya. Termasuk dengan
segera membatalkan perjanjian yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional dan konstitusi
UUD 1945.

Terkait penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perdagangan, Dewan Perwakilan


Rakyat tidak perlu kejar tayang untuk menuntaskannya. Sangatlah pantas DPR merombak
total draf RUU versi pemerintah tersebut karena telah sengaja menghilangkan kedaulatan
ekonomi Indonesia dengan mengadopsi penuh prinsip-prinsip di dalam WTO.

Menyusul agenda Pemilu 2014, menolak calon presiden yang pro terhadap liberalisasi
perdagangan dan investasi juga penting. Hal ini karena hanya dengan cara itu kesejahteraan
rakyat mendapatkan momentumnya. Konflik agraria dapat kita selesaikan!

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ); Belajar Ekologi
Politik di Institute for Social Studies, Belanda.
Oleh: Moh. Rifai M. Hadi

Buku Reforma Agraria: Perjalanan


Yang Belum Berakhir; yang di buat oleh Gunawan Wiradi, hadir untuk menggendor nurani
para pembaca: mengenai betapa politik dan kebijakan argaria di Indonesia selama ini, (baik di
masa kolonial maupun kemerdekaan), telah menimbulkan tragedi sosial yang amat kejam:
tersingkirnya petani dari tanahnya yang di giring menjadi buruh industri yang murah.
Berawal dari sinilah konflik agraria dan kemiskinan terus berakumulasi yang menjadi bibit-
bibit lahirnya gejolak sosial yang lebih luas.

Di pendahuluan buku itu: Gunawan mengajak para pembaca, untuk melihat sejarah, bahwa
tanah yang subur di negeri ini di kuasai oleh segolongan kecil yang memiliki kekuatan politik
atau kaum “raja uang” yang senang merampas tanah-tanah petani bagi pengembangan
industrinya. Sehingga, terjadi sengketa yang berkepanjangan.

Menurut pendapat Gunawan, bahwa baik sebagai policy issue maupun (dan lebih-lebih)
sebagai scientific research issue, masalah Reforma Agraria tetap relevan. Sebagai policy
issue relevansi itu baru lenyap jika pemerintah sudah secara eksplisit menyatakan kita tidak
akan melaksanakan Reforma Agraria. Namun sepanjang pengetahuan Gunawan pernyataan
seperti itu belum pernah ada. Namun, dalam hal scientific research issue, Gunawan Wiradi
lebih cenderung sepakat dengan pendapat John Hicks. “…. Bagi pakar Ilmu-ilmu alam, dan
kontroversi kuno itu sudah mati dan terkubur! Namun, tidaklah demikian dengan ilmu
ekonomi (dan ilmu social lainnya). Kita tak bisa menghindarkan diri dari masa lalu kita. Kita
dapat berpura-pura untuk melarikan diri, namun masa lalu itu begitu saja senantiasa
mengerumuni kita”.

Buku tersebut juga menjelaskan tonggak Reforma Agraria di beberapa Negara, antara lain: di
Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Perancis, Rusia, hingga pada tonggak-tonggak
selanjutnya: pasca—perang dunia II sampai dengan piagam petani. Dalam piagam petani
tersebut (Juli 1979) menyatakan bahwa: “Tujuan Reforma Agraria dan pembangunan
pedesaan adalah transformasi kehidupan dan kegiatan pedesaan dalam semua aspeknya:
aspek ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan, lingkungan, dan kemanusiaan. Sasaran dan
strategi untuk mencapai itu haruslah di pusatkan pada penghapusan kemiskinan, … dan
haruslah di kendalikan oleh kebijakan yang berusaha mencapai pertumbuhan dengan
pemerataan, retribusi kuasa-kuasa ekonomi dan politik, serta partisipasi rakyat” (The
Peasants, 1981:6).

Di Indonesia, menurutnya, masih masuk dalam kategori masa transisi agraris. Sebab,
meskipun proses industrialisasi sudah di mulai, tetapi belum dilakukan Reforma Agraria
secara tuntas. Namun, Indonesia agak sedikit lebih maju di bandingkan dengan Negara
berkembang: dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan peraturan
Pemerintah nomor 56 pengganti UU 1960, yang kemudian di sebut sebagai UU land reform.
Tetapi, pemerintahan orde baru mengambil kebijakan ekonomi—politik , maka isu Reforma
Agraria menjadi beku, reforma agrarian sunyi—senyap.

Sebelumnya, Undang-undang Agraria 1870 di ciptakan di masa colonial Belanda. Untuk


sekedar memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing. Untuk melindungi dan
memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli ternyata jauh dari harapan. Semenjak
UU Agraria tahun 1870 itu di ciptakan, maka kesengsaraan telah di mulai: zaman
“cultuurstetsel”.

Pada Bab selanjutnya: Menjadikan Reforma Agraria Sebagai Dasar Pembangunan. Gunawan
menyebutkan atas sikap orang mengenai “globalisasi sebagai ancaman”: antara peluang dan
ancaman. Gunawan lebih cenderung yang kedua: sebagai ancaman. Gunawan membuat
paraphrase dari definisi globalisasi: “globalisasi pada hakikatnya adalah gerakan kapitalisme
internasional, dalam hubungan ini menurutnya, gerakan agribisnis adalah bagian dari
globalisasi”.

Gunawan, juga mengajak pembaca buku ini, agar menjadikan Reforma Agraria sebagai
gerakan social: Agenda Bangsa. Sebagai agenda bangsa, maka Reforma Agraria merupaka
agenda seluruh komponen bangsa, tanpa terkecuali. Gunawan merumuskan, bahwa Gerakan
Agraria adalah suatu usaha, upaya, dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif, dengan
tujuan untuk merombak tata—sosial di bidang agraria. Karena tata yang ada di anggap tidak
adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Secara inti Reforma Agraria di Indonesia masih mengalami hambatan, karena kebijakan
pemerintah yang berubah-ubah, serta persekongkolan pemerintah dengan para pemodal. Pun,
menekankan kemestian Reforma Agraria sebagai dasar pembangunan nasional yang dapat
mengeluarkan bangsa Indonesia dari krisis-krisis agraria. Sekaligus mengantarkan pada
transformasi social yang hakiki: tata social, politik dan ekonomi yang bercirikan “keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Tulisan dalam buku ini menggunakan kalimat yang sederhana, sehingga memudahkan kita
untuk membaca dan memahaminya. Itulah yang membuat buku ini menarik dan tidak
membosankan bagi para pembacanya.

REFORMA AGRARIA

Reforma Agraria merupakan konsepsi yang dinamis. Ia dapat dikaji melalui berbagai
perspektif, antara lain perspektif sosiologi. Perspektif sosiologi menekankan tiga hal yang
harus diperhatikan oleh Reforma Agraria, yaitu: transendensi, humanis, dan emansipatori.
Aspek transendensi perlu diperhatikan dalam Reforma Agraria, agar pembaruan agraria yang
dilaksanakan tidak mendurhakai Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah Bangsa Indonesia
mengakui, bahwa agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya) adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara itu, aspek humanis perlu diperhatikan dalam Reforma Agraria, agar pembaruan
agraria yang dilaksanakan tidak justru merendahkan martabat Bangsa Indonesia, sebagai
manusia yang dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan aspek emansipatori perlu
diperhatikan, agar pembaruan agraria yang dilaksanakan tidak justru membelenggu Bangsa
Indonesia dalam "iron cage" (sangkar besi), yaitu globalisasi, liberalisasi perdagangan,
kapitalisasi, globalisme, liberalisme, dan kapitalisme.
Tanpa Reforma Agraria yang transenden, humanis, dan emansipatori maka sulit bagi Bangsa
Indonesia keluar dari kemiskinan yang menjebaknya bermasa-masa. Bukankah Bangsa
Indonesia memahami, bahwa: Pertama, agraria merupakan sumberdaya yang akan terus
menyertainya sejak lahir hingga "berakhir" (meninggal dunia). Kedua, selama ini ada hal
urgen yang harus ditata, terutama bila berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan agraria. Ketiga, selama ada hal urgen yang membutuhkan pendekatan
keadilan implementatif, terutama bila berkaitan dengan agraria dalam konteks asset dan
akses.
Diposkan oleh ARISTIONO NUGROHO di 07.21
Label: agraria, globalisasi, kapitalisasi. asset, reforma

Dewi Kartika: RUU Pertanahan Belum Cerminkan Reforma Agraria Sejati


Kategori: Berita Agraria - Dibaca: 1151 kali
Kamis, 27 Juni 2013 - 22:54:29 WIB

Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing Services 6
Terimakasih, Saat Ini Anda Sedang Berada Dalam Halaman: HOME » Berita Agraria »
Dewi Kartika: RUU Pertanahan Belum Cerminkan Reforma Agraria Sejati

Dewi Kartika, Wakil Sekjen KPA


(Kanan)SACOM (SUARAAGRARIA.COM) - RUU Pertanahan yang sedang dibahas
oleh Komisi II DPR RI menuai kritikan. RUU tersebut dinilai belum memasukkan roh
reforma agraria yang sejati.

Baca, Penting: Sertipikasi & Bagi-bagi Tanah Adalah Reforma Agraria, Salah
Kaprah!!

Hal demikian terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II DPR RI dengan
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Gedung DPR RI Jakarta (27/6).

KPA diundang dalam rangka dimintai masukannya seputar pembahasan RUU Pertanahan
oleh parlemen.

Dalam kesempatan itu, Dewi Kartika, Wakil Sekertaris Jenderal KPA, mengatakan Draft
RUU Pertanahan perlu dikritisi.

Hal ini mengigat draft itu belum menjawab bagaimana UU Pertanahan dapat menjadi jalan
keluar persoalan agraria berupa ketimpangan struktur, maraknya konflik dan tidak
dijalankannya UUPA 1960.

Dewi juga mengatakan bahwa RUU ini belum terlihat berupaya menghentikan sektoralisme,
kapitalisme dan liberalisasi agraria di Indonesia (Baca Ini: KPA Ingatkan DPR Agar
Pembahasan RUU Pertanahan Hindari Semangat Liberalisasi Pertanahan) .

“Persoalan kelembagaan agraria (khususnya tanah) dan penyelesaian konflik agraria juga
belum mampu dijawab” tambah Dewi.

Padahal, bebernya, globalisasi ekonomi pasar bebas yang berimplikasi pada masifnya
investasi, semakin memperkuat tumpang tindih kelembagaan dan perebutan penguasaan
tanah serta sumber agraria lainnya (Baca Terkait: Mengawal RUU Pertanahan agar di
Jalur Pembaruan Agraria Sejati).

Maka tidaklah heran ketimpangan struktur agraria (sumber kekayaan alam) yang
menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan terus terjadi.

Konflik-konflik agraria yang menghasilkan kekerasan terhadap petani dan jatuhnya korban
terus menghantui perjalanan agraria Indonesia (Baca: Lha?? Tolak Pertambangan Karena
Timbulkan Abrasi Malah Ditembak? - Satu Petani Kritis) .

“Banyak UU sektoral yang tidak sejalan dengan semangat dan mandat UUPA 1960,"
tukasnya.

BACA JUGA BERITA INI:Januari 2012, Tim Penyelesaian Konflik Agraria Segera
DibentukImparsial: Pemerintah Gagal Jalankan Undang-undang AgrariaDPRD Desak
Pemkot Bandung Selesaikan Piutang PajakKasus Gayus - Dhana Buat Ditjen Pajak Lakukan
Reformasi Birokrasi

Anda mungkin juga menyukai