Anda di halaman 1dari 15

HAK ULAYAT DALAM HUKUM ADAT

Disusun guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Adat II
Dosen : Drs. Abd. Halim, M.Hum.

Disusun oleh Kelompok 2 IH-B :

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ketentuan pengakuan hakhak masyarakat hukum adat atas tanah
dan sumber daya alam di Indonesia, sangat terkait dengan ketentuan Pasal
18B ayat (2) UUD 1945. Dimana ketentuan tersebut memberikan posisi
konstitusional bagi masyarakat hukum adat dalam hubungannya dengan
negara dan landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagaimana
seharusnya masyarakat hukum adat diperlakukan, serta mandat konstitusi
yang harus ditaati oleh penyelenggara negara untuk mengatur pengakuan dan
penghormatan atas keberadaan masyarakat hukum adat dalam suatu bentuk
undang-undang.
Tanah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan manusia,
termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat. Dimana tanah bagi kehidupan
manusia mengandung makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi
ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan
kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menetukan posisi seseorang
dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya,
dapat menetukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah
bermakna sakral, karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali ke
tanah.1 Karena makna yang multidimensional tersebut ada kecenderungan,
bahwa orang yang memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya dengan
cara apapun apabila hak-haknya dilanggar.
Menyadari akan hal itu, maka diperlukan adanya campur tangan
negara untuk turut mengaturnya. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan
bahwa: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
1

Heru Nugroho, Menggugat Kekuasaan Negara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,


2001), hlm. 237.

oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.


Dalam pasal ini secara jelas mengatur hubungan antara negara dengan bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal tersebut, maka
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan UUPA. Dimana tanah
dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat
(1) UUPA, Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum.
Arti penting hubungan manusia dengan tanah selain dalam
hubungan hukum, tanah juga sering dihubungkan dengan nilai komunalistikmagis religius dalam masyarakat hukum adat. Hubungan ini bukan saja antara
individu dengan tanah, tetapi juga antar sekelompok anggota masyarakat
suatu persekutuan hukum adat dalam hubungannya dengan hak ulayat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hak ulayat?
2. Apa ciri-ciri dan bagaimana berlakunya hak ulayat?
3. Bagaimana pandangan UUPA dan UU lainnya terhadap hak ulayat?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Ulayat


Hak ulayat merupakan nama yang diberikan oleh ahli hukum pada
lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat
hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut tanah ulayat.
Definisi hak ulayat menurut Peraturan Menteri Negara Agraria No.
5 Tahun 1999, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) adalah
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul
dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus
antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Kewenangan dalam hukum perdata adalah yang berhubungan dengan hak
bersama kepunyaan atas tanah tersebut (unsur kepunyaan). Sedangkan
kewenangan dalam hukum publik berupa kewenangan untuk mengelola,
mengatur, memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharaannya (unsur tugas kewenangan).2
Sedangkan pengertian terhadap hak ulayat menurut G.
Kartasapoetra dan kawan-kawan adalah hak tertinggi atas tanah yang dimiliki
oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban
pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh
suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat
(persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang

Iwan Permadi, Eksistensi Hak Ulayat dan Model Penyelesaian Konflik, Yustitia Jurnal Hukum,
Volume 5, No. 2, Oktober 2011, hlm. 229.

pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang


bersangkutan).3
Secara umum, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai
suku di Indonesia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu hak ulayat dan
hak pakai. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil
hutan serta hak untuk berburu.4 Sedangkan hak pakai membolehkan
seseorang untuk memakai. Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya
terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terusmenerus dalam waktu yang lama.5
Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai
komunalistik-magis religius yang memberi peluang penguasaan tanah secara
individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi. Namun, hak ulayat bukanlah
hak perseorangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak ulayat bersifat
komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat
hukum adat atas tanah yang bersangkutan, bukan perseorangan.
Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut
merupakan tanah milik bersama yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki
sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada
kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan
penghidupan mereka sepanjang kehidupan itu berlangsung.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat itu sendiri.
Menurut Boedi Harsono, subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat
yang mendiami suatu wilayah tertentu.6 Dimana masyarakat hukum adat
terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
3

G. Kertasapoetra, RG. Kartasapoetra, dkk, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok


Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 88.
4

Iswantoro, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional,
Sosio-Religia, Volume 10, No.1, Februari 2012, hlm. 99.
5

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1993), hlm. 16.

1. Masyarakat hukum adat teritorial, disebabkan para warganya bertempat


tinggal di tempat yang sama.
2. Masyarakat hukum adat geneologik, disebabkan para warganya terikat
oleh pertalian darah.
Sedangkan obyek hak ulayat ini tidak hanya tanah, tetapi meliputi
juga hutan belakar, perairan, dan tanaman yang tumbuh sendiri beserta
binatang liar yang hidup di dalamnya. Obyek hak ulayat menurut Bushar
Muhammad meliputi:7
1. Tanah (daratan)
2. Air (perairan, seperti kali, danau, pantai, serta perairannya)
3. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon
untuk kayu pertukangan atau kayu bakar, dan sebagainya)
4. Binatang liar yang hidup bebas di dalam hutan.

B. Ciri-ciri dan Berlakunya Hak Ulayat


Menurut van Vollenhoven sebagaimana yang dikutip oleh Bushar
Muhammad, ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut:8
1. Tiap anggota dalam persekutuan hukum (etnik, sub-etnik, atau fam)
mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang
belum digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan
tempat tinggal baru.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. 182.
7

Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2000), hlm. 13.

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1988), hlm. 30.

2. Bagi orang diluar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan


tanah harus dengan izin persekutuan hukum (dewan pimpinan adat).
3. Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat
itu mempunyai hak yang sama, tapi untuk bukan anggota selalu
diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa
hutang, bunga pasir, dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu
persembahan (ulutaon, pemohon).
4. Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur tangan
dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang.
5. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi
dalam ulayatnya.
6. Persekutuan hukum tidak dapat memindah tangankan hak penguasaan
kepada orang lain.
7. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat
hukum/desa.
Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat
dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar.9 Berlaku ke dalam
berhubungan dengan anggota persekutuan. Dimana persekutuan sebagai suatu
keseluruhan yang berarti semua anggota persekutuan bersama-sama sebagai
suatu kesatuan melakukan hak ulayat, dalam artian memetik hasil dari tanah
beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup diatasnya.
Sedangkan berlaku ke luar berhubungan dengan bukan anggota persekutuan,
yang disebut orang asing atau orang luar. Pada prinsipnya tidak
diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan
persekutuan yang bersangkutan, tanpa dengan seizin persekutuan dan
membayar atau memberikan ganti rugi. Kewajiban utama penguasa adat yang
bersumber pada hak ulayat adalah memelihara kesejahteraan dan kepentingan
9

Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 190.

anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul


perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian atas tanah.
Berlakunya hak ulayat ini menurut sistematika Ter Haar adalah
sebagai berikut:10
1. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat
atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di
atasnya.
2. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu,
mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik
bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila
pohon itu dipelihara olehnya.
3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan
kepala suku atau kepala masyarakat hukum. Hubungan hukum antara
orang yang membuka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin
kuat, apabila tanah tersebut terus-menerus dipelihara/digarap dan
akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak
ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Sebaliknya,
apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau ditelantarkan, maka
tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Selain itu,
transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan persetujuan
kepala suku.
4. Berdasarkan kesepakatan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan
bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat pemukiman,
makam, penggembalaan umum, dan lain-lain.
5. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat,
kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan
dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih
10

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung: Sumur Batu, 1985), hlm. 45.

dahulu. Izin tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim


panen, namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah
tersebut. Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara
timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah
makin memperkuat hubungan perseorangan dengan sebidang tanah.
Bila hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila
hubungan itu diabaikan terus-menerus, maka pulihlah hak masyarakat
hukum atas tanah itu dan tanah tersebut kembali menjadi hak ulayat.
6. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau
dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku
atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab
untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.

C. Pandangan UUPA & UU Lainnya Terhadap Hak Ulayat


Dalam UUPA dan beberapa undang-undang RI telah mengatur
mengenai masyarakat hukum adat beserta hak-haknya dengan pengakuan
bersyarat.
Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam konstitusi di
Indonesia terdapat dalam hasil amandemen kedua UUD 1945. Dimana dalam
Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyebutkan:
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Ketentuan diatas memisahkan antara persoalan tata pemerintahan


yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan UU (Pasal 18B ayat 1)
dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya (Pasal 18B ayat 2).
Pemisahan antara Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18B ayat (2) memberi arti
penting untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat (hukum)
adat dengan pemerintahan kerajaan lama yang masih hidup dan dapat
bersifat istimewa. Dimana terkadang permasalahan hak ulayat sering
dikaitkan dengan hak-hak atas sumber daya alam yang ditarik dari sistem
kerajaan pada masa lalu.
Dalam UUPA juga mengatur mengenai masalah eksistensi hak
ulayat masyarakat hukum adat. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3
UUPA yang berbunyi Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1
dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Di dalam Pasal 3 UUPA dan penjelasannya disebutkan bahwa
pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan keadaan negara kesatuan.
Dimana hak ulayat diakui dengan 2 (dua) pembatasan:
1. Hak ulayat diakui sepanjang masih ada (tanpa penjelasan tentang
kriteria masih ada).
2. Biarpun hak ulayat diakui dan masih ada, kegunaannya harus
disesuaikan dengan ketentuan bahwa masyarakat hukum adat sudah
menjadi bagian integral masyarakat Indonesia.
Selain dalam UUD 1945 & UUPA diatas, pengakuan hak ulayat
masyarakat hukum adat juga dapat ditemukan dalam:

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan perubahannya tentang


Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 2 ayat (9) menyebutkan bahwa:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diatur


dalam Bab IX tentang Masyarakat Hukum Adat. Pada Pasal 67
menyebutkan bahwa:
1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya berhak:
a) Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang
bersangkutan;
b) Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan
c) Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999


tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Pada Pasal 2 angka (2) menyebutkan bahwa:

Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:


1) Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh
tatanan hukum adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuanketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
2) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup
para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
3) Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan,
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para
warga persekutuan hukum tersebut.

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti


yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran
sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Petunjuk atau pedoman untuk menentukan eksistensi
keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat secara yuridis harus
disertai dengan syarat-syarat, yaitu:
1. Hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat, khususnya
hak ulayat dapat diakui oleh Negara apabila sepanjang masih hidup
dan menurut kenyataannya masih ada, serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
2. Pengertian sepanjang masih hidup dan kenyataannya masih ada
adalah masyarakat hukum adat tersebut memenuhi kriteria:
a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechsgemeenschap);
b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c) ada wilayah hukum adat yang jelas;
d) ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati; dan
e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
3. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

B. Saran
1. Perlu adanya pengaturan yang jelas terhadap kelembagaan
masyarakat hukum adat di Indonesia. Pengaturan tersebut bisa
berupa pendataan secara detail yang dilakukan aparat desa setempat
terhadap lembaga-lembaga masyarakat hukum adat yang masih
hidup.
2. Para tetua adat atau penguasa adat harus diidentifikasi dan didata
berapa luas lahan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat
tersebut, kemudian dikumpulkan oleh pejabat pemerintahan untuk
diberikan bimbingan mengenai pentingnya menentukan batas-batas
lahan garapannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan, 1999.
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1988.
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2000.
G. Kertasapoetra, RG. Kartasapoetra, dkk., Hukum Tanah, Jaminan
Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Heru Nugroho, Menggugat Kekuasaan Negara, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2001.
Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Bandung: Sumur Batu,
1985.
B. Jurnal
Iswantoro, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum
Agraria Nasional, Sosio-Religia, Volume 10, No.1, Februari 2012
Iwan Permadi, Eksistensi Hak Ulayat dan Model Penyelesaian Konflik,
Yustitia Jurnal Hukum, Volume 5, No. 2, Oktober 2011

Anda mungkin juga menyukai