Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu unsur esensial pembentuk Negara, tanah memegang
peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung Negara yang
bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di Negara yang
rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial,
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu
conditio sine qua non.
Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan campur tangan kuasa yang
competent dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindahnya dan
berakhirnya hak milik atas tanah.
Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala
berbagai persekutuan hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Sedangkan di
lingkungan BW oleh seorang pejabat yang bertugas mengurus hal balik nama dari
tanah eigendom, tanah erfpachtdan lain-lain (sekarang kepala kantor kadaster:
menurut PP 10/1961 jo siaran pemerintah No.94 tahun VI tanggal 6-12-1961:
balik nama dilakukan di hadapan notaries atau camat yang bersangkutan).
Di dalam hukum tanah kita membahas yang berkenaan dengan Hak hak
suatu suku seperti hak Purba, hak ulayat, dan hak pertuanan. Sebelum dibahas
lebih lanjut kita harus mengetahui pengertian dan masing-masing cirinya.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan tentang Jenis-Jenis Hukum Adat Pertanahan !
2. Bagaimanakah Hukum Adat Tanah di Beberapa Daerah di Indonesia ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Jenis-Jenis Hukum Adat Pertanahan
2. Untuk mengetahui tentang Hukum Adat Tanah di Beberapa Daerah di
Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis Hukum Adat Pertanahan


1. Hak Purba
Hak purba ialah hak yang dimiliki oleh suatu suku (clan/gens/stam),
sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk
menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Ciri-ciri pokok yang terlihat dengan jelas di luar jawa adalah:
a. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang
berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah
kekuasaannya
b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin
penguasa persekutuan tersebut ; tanpa izin itu dia dianggap melakukan
pelanggaran.
c. Warga sepersekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah
hak purba dengan restriksi: hanya untuk keperluan somah/
brayat/keluarganya sendiri, jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang
lain, ia dipandang sebagai orang asing, sehingga harus mendapat izin
terlebih dahulu.
Sedangkan orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat dari
wilayah hak purba dengan izin Kepala Persekutuan hukum di sertai pembayaran
upeti, mesi (recognitie, retributive), kepada persekutuan hukum.
d. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi
dalam wilayahnya, terutama yang berupa tindakan melawan hukum,
yang merupakan delik
e. Hak purba tidak dapat dilepaskan, dipindah-tangankan, diasingkan
untuk selamanya.

2
f. Hak purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi
oleh hak perorangan.1

2. Hak Ulayat
Hak purba persekutuan hukum diakui dengan tegas di dalam UUPA (UU
No. 5/1960/104). Dalam pasal 3 dinyatakan: “Dengan mengingat ketentuan-
ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang
lebih tinggi”.
Tentang pelaksanaan Hak Ulayat itu dijelaskan dalam pasal 5 UUPA
sebagai berikut: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya segala sesuatu dengan
mengindahkan unsure-unsur yang berdasarkan hukum agama”.
Ini berarti : berdasarkan hak layat yang bersumberkan hukum adat ini,
masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak
guna usaha yang hendak dilakukan oleh pemerintah.
Jika pemerintah misalnya hendak melaksanakan pembukaan hutan secara
besar-besaran dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan
bahan makanan dan transmigrasi, maka hak ulayat dari suatu masyarakat hukum
adat tidak boleh dijadikan penghalang. Jika hak ulayat dari masyarakat hukum itu
dapat menghambat dan menghalangi sesuatu, maka kepentingan umum akan
dikalahkan oleh kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan. Ini tidak

1
Wignjodipoera, Soerojo.1983. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat., Jakarta.,PT.
Gunung Agung, hal. 185

3
dapat dibenarkan, dengan kata lain kepentingan suatu masyarakat hukum harus
tunduk terhadap kepentingan nasional dan Negara.
Namun pada dewasa ini Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah
Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni
1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk
menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan
operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang
menyangkut tanah ulayat.Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas
prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
a. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1).
b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang
serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal
3 dan 4)2
B. Hukum Adat Tanah di Beberapa Daerah di Indonesia
1. Hukum Adat Tanah di Ternate
Di ternate (Maluku Utara) telah adanya suatu Peraturan Daerah yang
mengutamakan hak-hak bagi masyarakat adat ternate seperti
contohnya Kompleks bangunan kesultanan ini terletak pada areal tanah seluas
44.560 M2 (Sesuai surat keterangan dari Sub Dit Agraria Ternate, No : 11/SDA/
PHT/ Ket/ 1973). Tanah ini berstatus tanah adat, dan terletak dikampung soa sio
kecamatam Kota Ternate. Tetapi pada kenyataannya belum adanya suatu
ketentuan hukum yang pasti untuk menjamin hak-hak ulayat bagi masyarakat
ternate, karena kemarin pada bulan maret 2009 baru disebutkan bahwa substansi
hukum yang memuat hak tanah adat ternate baru berupa Rancangan Peraturan

2
Ruchiyat., Eddy., 2006. Politik Pertahanan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung.,
PT. Alumni, hal. 148

4
Daerah (Ranperda) Perlindungan Hak-Hak Adat, legislasi DPRD Kota Ternate
melakukan pembahasan bersama dengan Dewan Adat Ternate. Anggota legislasi
DPRD Kota Ternate Gazali Tuahuns menjelaskan Dewan Adat Ternate (DAT)
dilibatkan karena masukan-masukan mereka sangat dibutuhkan. “Karena ranperda
yang dibahas adalah ranperda perlindungan hak adat makanya mereka dilibatkan,
sehingga nantinya kalau ada kekurangan dari isi ranperda yang telah disusun maka
bisa dirubah,” katanya.
Menurutnya, yang paling krusial dalam ranperda hasil inisiatif dewan itu
adalah perlindungan hak-hak adat, salah satunya tanah adat. “Tanah adat harus
dilindungi dengan Perda,” katanya. Dalam pembahasan itu, dewan adat Ternate,
kata dia, mengusulkan agar kegiatan-kegiatan Kesultanan Ternate mendapat
anggaran dari APBD Kota Ternate. Selain itu, dewan adat juga mengusulkan
kendaraan operasional untuk kesultanan. “Masukan mereka akan dibahas dengan
eksekutif,” katanya.
“Sejarah Hukum Adat dan Lingkungan Hukum Adat Moloku Kie Raha”
(Maluku Utara), masyarakat adat di Maluku Utara mempunyai pranata
kelembagaan adat yang terdiri atas Kolano (Sultan) sebagai pemimpin, Kedaton
sebagai pusat pemerintahan adat dan budaya serta Balakusu se Kano-kano sebagai
rakyat, telah hidup damai sejak dahulu kala karena didasarkan pada sandaran
hukum adat yang disebut Falsafah “Jou se Ngofa Ngare”. Drs. Samsul Widodo,
MA (Direktur Kawasan Kawasan khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas)
berfokus pada aspek Perencanaan dan Penyusunan Program Berbasis Perdamaian
(Peran Masyarakat Adat Dalam Perumusan Kebijakan).
Dikemukakan bahwa peran strategis kelembagaan adat tidak sekedar
melestarikan budaya nasional melainkan juga ikut mendorong penguatan
“kearifan lokal” sebagai modal sosial pembangunan (katalisator dalam
masyarakat, instrumen pelestarian lingkungan serta menciptakan harmoni dan
integrasi masyarakat dengan berbagai hukum adatnya. Herman Oesman, Msi.
(Dosen UMMU Ternate) menambahkan informasi seputar Masyarakat Adat dan
Pembangunan di tengah Komodifikasi atas Tanah. Menurutnya, paradigma
pembangunan dalam bentuk industrialisasi hutan, laut juga lahan pertanian,

5
membuahkan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan pendukung
tradisi. Tanah telah menjadi komodifikasi bagi pembangunan, yang berpotensi
meminggirkan hak-hak masyarakat adat. Pada posisi ini, harapan munculnya
pertemuan antara tradisi dan pembangunan untuk melahirkan landasan dan prinsip
keadilan serta perdamaian, ternyata tidak pernah terwujud.Di bagian akhir, King
Faisal Sulaiman, SH dari LBH Malut menggunakan contoh kasus sengketa agraria
dimana terdapat banyak tanah adat dan sejumlah hak ulayat lainnya yang digarap
dan digunakan untuk kepentingan pembangunan daerah secara sepihak dan
menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat adat.
Contoh Tanah Ulayat faktanya telah tersingkirikan secara sistematis.
Masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting
berkaitan dengan esksitensi hak-hak ulayat tersebut. Konflik masyarakat adat
Ternate dengan pemerintah yang tak kunjung usai hingga sekarang terkait
penggunaan tanah adat untuk kepentingan perluasan bandara Sultan Babullah,
merupakan salah dari sekian banyak persoalan hak ulayat yang terdapat di wilayah
Kesultanan Ternate. Kesimpulan akhir dari Semiloka ini ialah: Pertama,
terpinggirnya masyarakat adat dari gempita kemajuan modernitas tidak terbatas
pada hak-hak mereka terhadap tanah atas nama pembangunan tetapi lebih dari itu
yaitu hilangnya identitas lokal dan rasa percaya diri mereka. Kedua, ancaman bagi
kelembagaan adat adalah dapat digunakan sebagai alat politik kekuasaan serta
munculnya “ego” kedaerahan yang berdampak pada konflik horisontal. Ketiga,
tantangan ke depan adalah rendahnya kapasitas masyarakat adat (peran inisiasi,
bukan mobilisasi), serta penyesuaian sistem dan budaya adat dengan
perkembangan jaman.
2. Hukum Adat Tanah di Aceh
Orang Aceh cenderung tidak menggunakan istilah hak ulayat yang umum
dipakai di seluruh pelosok Indonesia . Tetapi, pada prakteknya, hak bersama atas
tanah di Aceh adalah serupa dengan hak ulayat. Penentuan untuk izin pemakaian
tanah ini biasanya diputuskan oleh geuchik (dan kadang-kadang melalui mukim).
Komunitas mempunyai hak untuk mengalokasikan tanah komunitas kepada warga
desa atau orang luar, menyetujui peralihan tanah di daerah komunitas kepada

6
orang luar, dan menentukan (atau mempengaruhi) sifat pemakaian tanah. Dalam
teori, komunitas juga dapat mengambil alih tanah dari penduduk untuk
kepentingan komunitas.
Sedangkan menurut Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim
Dalam Provinsi NAD, Pasal 1 butir ketujuh menyebutkan, hak ulayat adalah tanah
yang berada dalam wilayah Mukim yang dikuasai dan diatur oleh hukum adat.
Tetapi dalam kenyataannya, menurut Wakil Direktur Bidang Internal Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Kamaruddin,SH, di Aceh sebutnya, tidak
ada tanah yang disebut dengan tanah adat. Kecuali di beberapa daerah yang masih
memiliki struktur masyarakat adat. Akan tetapi, ada sejumlah tanah yang memang
mirip dengan apa yang disebut dan dapat dianalogikan sebagai tanah adat/ hak
ulayat. Karena dikuasai, dikelola dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan
bersama oleh komunitas yang bersangkutan dalam satu desa (gampong)
Disebutkan T.I.El-Hakimy, tanah dengan hak seperti ini di Aceh dikenal
sebagai Tanoh Hak Kullah. Batas-batasnya ditentukan sejauh dapat terjangkau
perjalanan ke arah hulu dalam sehari pulang pergi, dan ke hilir atau ke laut sejauh
dapat terjangkau oleh pukat pantai. Dapat juga ditandai oleh batas-batas alam
seperti puncak gunung, jurang, sungai, dan perjanjian perbatasan dengan mukim
tetangga. Berdasarkan wujudnya, tanah ulayat menurut adat Aceh dapat berupa:
a. Tanoh rimba, tanah hutan belantara yang berada di pedalaman dan
belum dikerjakan orang
b. Tanoh uteuen, tanah hutan-hutan tertentu dan kebanyakan diberi nama
menurut jenis-jenis tumbuhan di atasnya.
c. Tanoh tamah, tanah hutan yang sudah pernah dikerjakan untuk lading
dan di atasnya sudah tumbuh tunas-tunas kayu (tarok) yang kadang-
kadang dijadikan kayu api, di samping juga dia dibedakan dengan
kayu-kayu beuluka (kayu belukar)
d. Tanoh padang , tanah tempat ditumbuhi kayu-kayuan, tetapi
kebanyakan ditumbuhi alang-alang atau jenis rumput-rumput lain di
dataran rendah yang belum seluruhnya digarap. Biasanya berada di

7
sekeliling sawah-sawah gampong dan dijadikan tempat untuk hewan
memakan rumput.
e. Tanoh paya (tanoh bueng), tanah rendang yang digenangi air secara
tetap, serta ditumbuhi semak belukar. Bila letaknya di daerah dekat
pantai disebut tanoh suwak (hutan rawa)
f. Sarah, tanah yang terdapat pada aliran sungai yang dangkal di bagian
hulu dengan dataran rendah yang subur
g. Sawang, tanah dangkalan sungai yang menjorok ke dalam daratan
h. Tanoh jeued, tanah yang terbentuk karena bawaan Lumpur oleh arus
sungai, baik di tengah sungai berupa pulau ataupun di tepi sungai
berupa ujung yang menjorok ke tengah sungai.
Hak tersebut biasanya tidak hanya digunakan untuk tanah tempat tinggal,
tetapi juga tanah untuk sawah dan kebun. Hak ini sebenarnya, serupa dengan hak
milik tanah tetapi komunitas local mempunyai pengaruh yang lebih besar atas cara
bagaimana tanah tersebut dapat digunakan dan dialihkan.
Pada umumnya, di daerah pedesaan hak milik adat:
a. Hanya dapat dijual bila terlebih dahulu ditawarkan kepada tetangga
(dan mungkin anggota komunitas lainnya
b. Tidak dapat dijual kepada orang dari luar komunitas (walaupun dapat
disewakan berdasarkan persetujuan warga)
c. Tunduk pada hak untuk mendapatkan akses, yang dimiliki oleh
tetangga dan anggota komunitas lainnya
d. (secara teori) dapat diambil alih oleh komunitas untuk kepentingan
komunitas. Disebutkan dalam penelitian di lapangan, pembatasan hak
tersebut lebih sering dalam bentuk interaksi longgar antara warga dan
geuchik, daripada sebagai aturan tetap yang berlaku dalam setiap
keadaan.
Ada beberapa cara untuk memperoleh tanah hak milik adat:
a. Warisan, hibah atau pembelian, atau
b. Membuka dan mengusahakan tanah di dalam wilayah adat

8
Di daerah tertentu, membuka dan mengusahakan tanah hanya akan
menimbulkan hak guna usaha, yang berubah mejadi hak milik melalui warisan.
Dalam buku Perwalian, Kewarisan, dan Tanah di Aceh Paska-Tsunami, E.Harper,
IDLO,h.82 yang mengutip Pakar Hukum El Hakimy menyebutkan, hak guna
usaha tanah untuk pertanian (useuha) timbul apabila mengusahakan tanah secara
terus menerus selama sekurang-kurangnya enam bulan. Dalam keadaan tertentu,
anggota komunitas memerlukan persetujuan geuchik untuk memulai
mengusahakan tanah. Dikatakan juga, hak guna usaha ini cenderung digabungkan
dengan hak milik (atau dianggap sebagai hak milik). Kebanyakan kasus di Aceh,
anggota komunitas tidak memerlukan izin dari geuchik untuk membuka dan
mengusahakan tanah adat. Komunitas akan mengakui hak miliknya setelah
periode tertentu, sepanjang tanah itu digunakan terus menerus dalam jangka waktu
yang lama. Dan dalan keadaan tertentu, orang luar juga dapat menerima izin dari
geuchik untuk membuka dan mengusahakan tanah adat.
Walaupun mekanisme adat untuk memperoleh hak milik tanah semacam
ini diakui dalam Undang-undang No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, penting untuk dicatat, bahwa hak-hak adat melalui membuka dan
mengusahakan tanah belum tentu sah apabila tanah yang bersangkutan
didefinisikan sebagai tanah negara. Dalam pasal 6 disebutkan :
a. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu
hak atas tanah menurut UU Pokok Agraria.
b. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan
oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai
ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Hak ulayat suatu masyarakat hukum adat harus dilindungi dan
diselaraskan sesuai dengan perkembangan zaman. Apabila hak ulayat dilepaskan
oleh masyarakat hukum adat, maka harus dilakukan penyerahan oleh masyarakat
hukum adat yang dikhususkan untuk keperluan pertanian atau keperluan yang
memuat hak guna usaha atau hak pakai. Hak ulayat suatu masyarakat adat tidak
boleh dirampas begitu saja atau dimiliki oleh suatu perseorangan atau
instansi,baru sahnya penguasaan atas hak ulayat apabila dilakukan penyerahan

9
oleh masyarakat adat. Bagi masyarakat yang memiliki sengketa hak ulayat di
Aceh, dapat meminta bantuan LBH Banda Aceh.
3. Hukum Adat tanah di suku Dayak Benuaq
Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan
benda/barang adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat
istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Benuaq mengalami zaman yang
paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang Benuaq
dengan berdalih pada Undang-Undang terutama pada Undang-Undang Agraria.
Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan Suku Dayak Benuaq
dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah lagi dengan
disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-
perusahaan HPH. Namun menjadi keanehan bahwa Orang Dayak (Benuaq)lah
yang menyebabkan degradasi hutan besar-besaran sebagai dampak system
perladangan bergulir, yang disebut-sebut sebagai perladangan berpindah.
Berdasarkan ciri/status hutan dapat dibedakan atas :
a. Urat Batekng
b. Simpukng Munan (Lembo)
c. Kebon Dukuh
d. Ewei Tuweletn
e. Lati Rempuuq
f. Lati Lajah
Berdasarkan suksesi hutan dapat dibedakan atas:
a. Bengkar Bengkalutn – Bengkaar Tuhaaq (Hutan Primer)
b. Bengkaar Uraaq (Hutan Sekunder Tua; 15-35 tahun)
c. Urat Batekng / Batekng (Hutan Sekunder Muda ; 10-15 tahun)
d. Balikng Batakng (7-10 tahun)
e. Kelewako (2-3 tahun)
f. Baber (1-2 tahun)
g. Umaaq (huma/ladang) 0 – 1 tahun3

3
Adiwinata, Saleh. 1983. Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960
Bandung., PT. Alumni, hal. 97-99.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Jenis-Jenis Hukum Adat Pertanahan
a. Hak Purba
b. Hak Ulayat
2. Hukum Adat Tanah di Beberapa Daerah di Indonesia
a. Di ternate (Maluku Utara) telah adanya suatu Peraturan Daerah yang
mengutamakan hak-hak bagi masyarakat adat ternate seperti
contohnya Kompleks bangunan kesultanan ini terletak pada areal
tanah seluas 44.560 M2 (Sesuai surat keterangan dari Sub Dit Agraria
Ternate, No : 11/SDA/ PHT/ Ket/ 1973).
b. Masyarakat Aceh cenderung tidak menggunakan istilah hak ulayat
yang umum dipakai di seluruh pelosok Indonesia . Tetapi, pada
prakteknya, hak bersama atas tanah di Aceh adalah serupa dengan hak
ulayat. Penentuan untuk izin pemakaian tanah ini biasanya diputuskan
oleh geuchik (dan kadang-kadang melalui mukim).
c. Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan
benda/barang adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan
system adat istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Benuaq
mengalami zaman yang paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi
mereka disingkirkan dari orang Benuaq dengan berdalih pada Undang-
Undang terutama pada Undang-Undang Agraria.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam
penulisan ataupun pembahasan serta penjelasan kurang jelas, kami mohon maaf.
Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Kami ucapkan terima kasih atas perhatian dan pastisipasinya

11
DAFTAR PUSTAKA

Wignjodipoera, Soerojo.1983. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.,


Jakarta.,PT. Gunung Agung
Ruchiyat., Eddy., 2006. Politik Pertahanan Nasional Sampai Orde Reformasi.
Bandung., PT. Alumni
Adiwinata, Saleh. 1983. Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960.,
Bandung., PT. Alumni,

12

Anda mungkin juga menyukai