Anda di halaman 1dari 12

UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA/KONFLIK PERTANAHAN

Oleh :
Ahmad Zulfikar, SH. MH.

Abstrak

Perkembangan sengketa dan konflik pertanahan, baik secara kualitas maupun


kuantitas selalu mengalami kenaikan, penyebabnya antara lain adalah luas tanah yang
tetap, sementara jumlah penduduk yang memerlukan tanah untuk memenuhi
kebutuhannya selalu bertambah dan adanya akumulasi konflik kepentingan antara
pemilik tanah (perorangan, masyarakat adat, badan hukum swasta, pemerintah) dengan
perseorangan atau badan hukum swsata lainnya. Masalah pertanahan muncul ketika
kewenangan (Hak Menguasai Negara) diperhadapkan dengan Hak Asasi Warga Negara,
khusunya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat). Sengketa dan konflik
pertanahan sekarang ini lebih banyak konflik dan sengketa vertical yaitu konflik dan
sengketa antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang. Secara
sepintas, yang terlihat memang konflik horizontal antara masyarakat dengan
pengusaha/investor dan atau badan usaha milik Negara (BUMN). Namun dibalik itu,
sebenarnya rakyat sedang berhadapan dengan Negara yang ‘melindungi’ para pengusaha
dan badan usaha milik Negara. Benturan ini tidak perlu terjadi jika politik pertanahan
dan politik hukum pertanahan mampu menjaga keseimbangan antara Hak Menguasai
Negara dengan Hak Asasi Manusia karena kedua-duanya diamanatkan dalam Konstitusi
UUD 1945.

Kata Kunci : Penyelesaian, Konflik, Pertanahan

A. Pendahuluan
Era reformasi yang ditandai dengan semangat demokratisasi dan
transparansi disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini,
membangkitkan keberanian masyarakat untuk menuntut penyelesaian atas
apa yang dirasakannya sebagai sesuatu ketidak adilan, dan hal itu juga
menyangkut masalah pertanahan. Terlebih lagi bila masalah ini juga
ditunjang dengan semakin pentingnya arti tanah bagi penduduk.
Pertumbuhan penduduk yang amat cepat baik melalui migrasi maupun
urbanisasi , sementara jumlah lahan yang tetap menjadikan tanah sebagai
komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi.
Permasalahan pertanahan sekarang sudah merambah persoalan
social yang kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan
secara komprehensif. Perkembangan sifat dan subtansi kasus sengketa


Ahmad Zulfikar, SH,MH adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Batanghari Jambi.

74
pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi, tetapi kompleksitas
tanah tersebut sudah merambah kepada rana politik, social, budaya dan
terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia. Persoalan
pertanahan juga masuk kedalam persoalan hukum pidana yakni
persengketaan tanah yang disertai dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) bahkan menimbulkan korban jiwa.
Untuk memahami permasalahan yang terjadi terutama masalah
pertanahan khusunya di Indonesia maka sebaiknya terlebih dahulu
memahami persoalan pertanahan sebelum dan sesudah berlakunya
Undang-undang Pokok Agararia.
A. Struktur Hukum Tanah Sebelum Berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960.
Persoalan pokok berkenaan dengan struktur hukum tanah sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok ialah masalah dualisme, pluralisme hukum agrarian, sejarah
dan perkembangan polotik pertanahan sebelum terbentuknya UUPA. Pada
jaman kolonial ada tanah-tanah dengan hak-hak barat (tanah eigendom,
tanah erfacht (hak Usaha), tanah Opstal (numpang karang) dan lainya),
tetapi juga ada tanah-tanah yang dikenal dengan tanah-tanah Indonesia
(tanah Ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok,
tanah agrarisch eigendom dan lain-lain).
Dualisme hukum bisa terjadi karena berlakunya dua stelsel hukum
yang berbeda pada ruang dan waktu yang sama. Dualisme hukum agrarian
berarti disamping berlakunya Hukum Agraria Adat yang bersumber pada
Hukum Adat, saat itu juga berlaku Hukum Agraria Barat yang bersumber
pada Hukum Perdata Barat.
Dualisme hukum juga terjadi pada Hukum Perdata Barat, dimana
Hukum Perdata Barat disamping berlaku bagi golongan Eropa dan Timur
Asing diberlakukan juga bagi golongan Pribumi baik melalui
penundudukan diri secara sukarela maupun dengan lembaga pernyataan
berlaku atas beberapa bagian hukum perdata. Persoalan tanah pada saat itu
diatur berdasarkan Hukum Perdata Barat (BW) khusunya dalam Buku II
KUHPerdata disamping peraturan perundang-undangan lainya seperti
S.1870:118 mengenai Agrarisch Besluit, S.1875:119a mengenai algemene
domein verklaring.
Sifat pluralistis Hukum Agraria terlihat dari banyaknya aneka
ragam hukum agrarian adat yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Kelemahan Hukum Agraria Adat ini adalah disamping formulasinya tidak
jelas juga tidak memberikan jaminan kepastian hukum.
Dari ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi
dikalangan golongan Indonesia (asli) akan diselesaikan menurut Hukum
Adat. Sedangkan untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan akan
diselesaikan menurut Hukum Barat.
Apabila terjadi hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi antara orang-orang Indonesia Asli dengan golongan
Eropa dan yang dipersamakan atau sebaliknya. Sesuai dengan asas
persamaan derajat terhadap stelsel-stelsel hukum baik hukum Adat maupun

75
hukum Barat yang dianut Indonesia, maka diselesaikan dengan “Hukum
Antar Golongan” . Jika hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-
peristiwa hukum itu menyangkut masalah tanah, maka akan diselesaikan
dengan “Hukum Agraria Antar Golongan”.
Didalam “Hukum Agraria Antar Golongan” terdapat asas-asas
hukum yang berlaku yaitu:
a. “Tanah itu mempunyai status dan hukumnya sendiri yang
terlepas dan tidak dipengaruhi oleh status atau hukum dari
subjek yang menghendaki”.
b.“Tanah mempunyai pasaran bebas”, artinya baik orang-orang dari
golongan Eropa dan yang dipersamakan dapat mempunyai
tanah adat, demikian juga sebaliknya.
Dari asas-asas hukum tersebut diatas maka dapat disimpulkan
bahwa jika terjadi peristiwa-peristiwa hukum yang menyangkut dua subjek
hukum yang berbeda diselesaikan menurut hukum tanah yang menjadi
objek dari hubungan hukum tersebut.
Oleh karena ketentuan-ketentuan pokok dan asas-asas hukum
agrarian barat itu bersumber dari KUHPerdata Barat, maka hukum agrarian
barat bersifat individualistis, sehingga juga dapat dipahami bahwa
KUHPerdata Indonesiapun melalui Burgerlijk Wetboek dan Code Civil
Perancis berjiwa liberalistis.1 Hukum Perdata Barat dan hukum tanahnya
bertitik tolah dari pengutamaan kepentingan pribadi
(individualistis/Liberalis), sehingga pangkal dan pusat pengaturan terletak
pada eingendom recht (hak eigendom) yaitu pemilikan perorangan yang
penuh dan mutlak disamping Domein Verklaring atas pemilik tanah oleh
Negara.
Menurut Pasal 570 KUHPerdata, hak eigendom adalah hak yang
memberi wewenang penuh untuk menikmati kegunaan suatu benda (tanah)
untuk berbuat bebas terhadap benda (tanah) itu dengan kekuasaan penuh,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain
yang ditetapkan oleh badan-badan penguasa yang berwenang dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain.2
Konsepsi eigendom memang berpangkal pada kebebasan individu,
tetapi kemudian kemudian terjadi perubahan dari alam pikiran masyarakat
barat. Masyarakat yang berkonsepsi liberalism dan individualisme ini
mendapat pengaruh dari konsepsi sosialisme, yang untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur menuntut Negara memperhatikan dan
mengatur kehidupan masyarakat, sehingga dianggap perlu untuk
membatasi kebebasan individu. Konsepsi ini juga berpengaruh pada isi hak
eigendom yang pada kenyataannya berakibat membatasi luasnya kebebasan
dan wewenang yang ada pada seorang eingenaar.

1 Edi Ruhiyat, 1992, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA
No.5 tahun1960, Penerbit Alumni, Bandung, hal 5.
2 Notonagoro, 1974, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Cv.

Pancuran Tujuh, Jakarta, hal 32.

76
Hak eigendom tidak lagi bersifat mutlak karena kepentingan
masyarakat mendapat perhatian di dalam melaksankan hak-hak individu
yang dikenal dengan nama “vermaatschappelijkt” mengandung unsure-
unsur kemasyarakatan atau mengalami sicialiseringsproces.3 Walaupun
demikian asas dan jiwanyapun masih tetap individualistis sehingga tidak
sejalan dengan konsepsi Pancasila yang berjiwa gotong-royong dan
kekeluargaan sehingga tidak dapat terus dipertahankan.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa persoalan masalah
hukum yang terjadi dalam Hukum Antar Golongan disebabkan oleh:
a) Adanya dualism hukum agrarian;
b) Adanya dualism dalam Hukum Perdata Barat;
c) Adanya asas bahwa ”tanah mempunyai status dan hukum
tersendiri yang terlepas dan tidak dipengaruhi oleh status atau
hukum dari Subjek yang menghendaki”;
d) Adanya pluralisme dalam Subjek hak yaitu adanya 3
penggolongan penduduk yaitu: Bumi Putra, Timur Asing dan
Eropa (Barat).
Permasalah yang terjadi didalam Hukum Agraria Antar Golongan
dipecahkan dengan melihat status dan hukum dari tanahnya. Tanah
merupakan “Titik Pertalian Sekunder”, yaitu factor yang menentukan
hukum apa yang harus diperlukan. Terhadap hal ini ada 2 (dua) pendapat:
1. Pendapat Umum.
Mengatakan bahwa tanah selalu merupakan titik pertalian yang
sekunder, artinya setiap pemindahan hak atas tanah harus
diperlukan menurut hukum dari tanahnya;
2. Pendapat Kollewijn.
Mengatakan bahwa tanah tidak selalu merupakan titik taut
sekunder oleh karenanya banyak hal yang dapat menjadi titik
taus sekunder misalnya: kehendak dari pihak-pihak yang
bersangkutan, milieu dan suasana tempat serta status orang
yang bersangkutan.
Tanah akan hanya menjadi titik pertalian sekunder hanya pada apa
yang disebut perjanjian yang bersifat zakelijk (perjanjian yang bertujuan
untuk memindahkan hak atas tanah kepada orang lain). Sedangkan pada
perjanjian obligator (perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban)
tanah tidak selalu merupakan titik taut sekunder.
A. Struktur Hukum Tanah Sesudah Berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960.
Dualisme hukum agrarian berakhir setelah berlakunya UUPA No.5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-dasar Pokok Agraria, pada tanggal 24
September 1960 dimana sejak itu diseluruh wilayah Republik Indonesia
hanya ada 1 (satu) hukum agrarian Indonesia berdasarkan UUPA.
Dengan keluarnya UUPA maka salah satu cita-cita hukum Negara
Indonesia yaitu melakukan kodifikasi hukum agrarian sudah terwujud.
Kodifikasi hukum ialah melakukan penyusunan undang-undang secara
sistematis dan lengkap kedalam suatu kitab undang-undang seperti yang

3 Edyruhiyat, Op. Cit, hal 8.

77
telah dilakukan oleh bangsa-bangsa di Eropa 300 tahun yang lalu yang
menhasilkan tiga kodifikasi hukum yaitu: Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Sipil/KUHS), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tujuan dari Kodifikasi
hukum ialah untuk memperoleh kesatuan hukum, kepastian hukum dan
kesederhaan hukum.
Dengan telah dikodifikasikannya UUPA, berarti:
1. Telah diperoleh kesatuan hukum agrarian, yang berlaku bagi
setiap warga Negara Indonesia;
2. Telah diperoleh kepastian hukum bagi setiap pemilik tanah untuk
mengetahui hak dan kewajibannya dengan membaca peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. Para pemegang hak milik terjamin haknya oleh undang-undang,
sehingga dilarang menurut hukum yang berlaku memiliki dan
menguasai tanah orang lain, atau dilarang mengganggu
kepemilikan atau pengauasaan tanah orang lain tanpa didasari
oleh sesuatu hak.4
Dualisme hukum tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa
yang menghendaki adanya Hukum Agraria Nasiosional berdasarkan
Pancasila dan UUD 45 khusunya Pasal 33, agar supaya rakyat dapat
menikmati manfaat tanah dan dapat mengusahakannya untuk
pembangunan.
Terkait dengan hubungan Negara dengan sumber daya alam
nasional (dalam arti sempit tanah) dijelaskan dalam ketentuan Pasal 2
UUPA yang memberikan penafsiran resmi otentik mengenai perkataan
“dikuasai” yang tertuang dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Dengan demikian pemahaman mengenai domein Negara tidak dikenal oleh
UUPA.5
Beberapa asas yang penting yang terdapat dalamHukum Agraria Nasional,
yaitu:
1. Asas Nasionalisme.
Asas ini memeberikan pemahaman bahwa tanah hanya
disediakan untuk warga Negara Indonesia saja. Untuk orang
asing tidak dimungkinkan untuk memiliki tanah tetapi
diperbolehkan berhubungan hukum dengan mempergunakan
hak atas tanah selain hak milik. L.arangan orang asing memiliki
tanah di Indonesia juga dimaksud untuk kepentingan Politik,
Pertahanan dan Keamanan Nasional (Polhamkamnas) serta
memelihara keutuhan Wawasan Nusanatara Indonesia.
2. Asas Nondiskriminasi.
Undang-undang Pokok Agraria tidak membedakan antara
warga Negara Indonesia Asli maupun warga Negara Indonesia
Keturunan Asing untuk memiliki hubungan hukum dengan

4 Bachsan Mustafa, 1988, Hukum Agraria DalamPerspektif, Remaja Karya


Bandung, hal 16.
5 Roestandi Adiwilaga. Hukum Agraria Indonesia, Masa Baru Bandung, hal 75.

78
tanah. Dasar dari nondiskriminasi ini ditegaskan dalam Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “segala warga
Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”. Kemudian dalam Pasal 9 ayat
(2) UUPA ditegaskan bahwa “Tiap-tiap warga Negara
Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas
tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya”.
3. Asas Fungsi Sosial.
Asas ini dikonkritkan dalam Pasal 6 UUPA yang menegaskan
bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi social”, ini
berarti hak-hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apa lagi akan menimbulkan kerugian
bagi masyarakat.
4. Asas Dikuasai Negara.
Asas dikuasai Negara berbeda dengan asas Domein Negara
yang berlaku pada jaman sebelum UUPA. Dalam Asas Domein
(Domein Verklaring) ditegaskan bahwa untuk semua tanah
yang tidak dibuktikan hak eigendomnya oleh orang ialah
domein Negara atau kepunyaan Negara. Setelah berlakunya
UUPA maka asas domein Negara diganti asas dikuasai Negara
seperti yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan
ketentuan pelaksanaannya diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA.
Wewenang ari hak menguasai Negara tersebut dipergunakan
oleh pemerintah sebagai wakil Negara untuk menyelenggarakan
dan mengatur masalah-masalah agrarian dengan berbagai
peraturan perundang-undangan terkait.
5. Asas Pemisahan Horizontal.
Di samping asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam
Hukum Benda Perdata barat asas perlekatan. Asas perlekatan
(natrekking beginsel) diartikan sebagai aas yang yang menarik
kedudukan benda-benda yang ada diatas tanah ke dalam
kedudukan tanah, atau dengan perkataan lain bahwa benda-
benda yang melekat dengan tanah seperti melekatnya akar
dengan tanah atau melekatnya kuku dengan daging, maka
benda-benda ini dianggap satu dengan tanah dan dinyatakan
sebagai benda tidak bergerak atau tetap.6

6 Bachsan Nustafa, Hukum Agraria DalamPerspektif, Remaja Karya Bandung,


hal. 22.

79
B. Konflik.
Konflik bersal dari kata kerja Latin configure yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis diartikan sebagai suatu proses social antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyakinkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya
tidak berdaya. Menurut Pace dan Faules, konflik merupakan ekpresi
pertikaian antara satu individu dengan individu yang lain, kelompok
dengan kelompok yang lain karena beberapa alasan.
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori structural
fungsional. Teori Konflik mulai merembak pada tahun 1950-an dan 1960-an.
Teori konflik menyediakan alternative terhadap teori structural fungsional.
Teori Konflik memandang bahwa perubahan social tidak terjadi
melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi
akibat terjadi adanya konflik yang menhasilkan kompromi yang berbeda
dengan kondisi semula.7 Teori ini didasarkan pada pemikiran sarana-sarana
produksi sebagai unsure pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Asumsi dasar dari teori konflik, Pertama, teori konflik merupakan
antitesis dari teori structural fungsional, dimana teori ini sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat
pertikaian dan konflik dalam system social. Teorti Konflik menganggap
bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamnya berada pada keteraturan.
Buktinya, dalam masyrakat mana pun pasti pernah mengalami konflik-
konflik atau ketegangan-ketegangan. Kedua, teori Konflik juga mengatakan
bahwa konflik itu perlu agar tercipta perubahan social. Teori Konflik juga
melihat perubahan social disebabkan karena adanya konflik-konflik
kepentingan. Namun, pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu
mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik selalu ada
negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu consensus.

C. Konflik Pertanahan.
Menurut Mudzakkir, persoalan pertanahan dan persengketaan
tanah secara missal dapat mempengaruhi upaya membangun dan
menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat mengganggu
stabilitas nasional dalam wadah Negara yang Bhineka Tunggal Ika.8
Dalam Keputusan Kepala BPN RI Nomor: 34 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penangan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan meliputi
permasalahan teknis, sengketa, konflik, dan perkara pertanahan yang
memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Dalam keputusan tersebut,
disebutkan pula bahwa permasalahan teknis adalah permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat dan Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, dipusat maupun didaerah berkaitan dengan system perundang-

7 Bernard Raho, teori sosiologi modern, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta 2007,
hal 54.
Mudzakir, Makalah disampaikan dalam WorkShop“Strategi Penangan dan
8

Penyelesaian Sengketa Pertanahan” yang diselenggarakan BPN RI, Batam, 20 Nopember


2007.

80
undangan, administrasi pertanahan, atau mekanisme penanganan yang
belumsempurna.
Sedangkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor:3 tahun 2011 tentang
pengelolaan Pengkajian dan Penangan Kasus Pertanahan memberi batasan
mengenai apa itu kasus pertanahan. Pasal 1 angka 1 Perka BPN tersebut
menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik atau perkara
pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia untuk mendapatkan penangan, penyelesaian sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.
a. Sengketa Pertanahan.
Dalam rana hukum dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah
antara dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan
suatu objek tertentu. Hal ini terjadi karena kesalah pahaman atau
perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya yang kemudian
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Berdasarkan Keputusan Kepala BPN RI Nomor: 34 tahun 2007
tentang Petunjuk Teknis Penangan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan, sengketa pertanahan adalah perbedaan nilai, kepentingan,
pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan
hukum (privat atau public) mengenai status penguasaan dan atau status
kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang
bidang tanah tertentu, atau status keputusan keputusan tata usaha
Negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau
pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.
Sengketa tanah dapat berupa sengketa administrative, sengketa
perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi,
pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan, dan sengketa hak
ulayat.
b. Konflik Pertanahan.
Konflik berarti adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-
kelompok atau orgnisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Menurut keputusan BPN RI Nomor: 34 tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penangan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, Konflik adalah
perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga
atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat
dengan badan hukum (privat atau public), masyarakat dengan
masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan
atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh
pihak tertentu, atau status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut
penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang
tanah tertentu, serta mengandung aspek politik, ekonomi dan social
budaya.
Penekan ‘mengandung aspek politik, ekonomi dan social budaya’
inilah yang membedakan defenisi sengketa pertanahan dengan konflik
pertanahan versi Keputusan Kepala BPN Nomor: 34 tahun 2007 tersebut,
demikian juga dengan defenisi konflik pertanahan menurut Peraturan
Kepala BPN Nomor:3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan

81
Pengawasan Kasusu Pertanahan, yang member penekanan bahwa konflik
pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,
kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang
mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara social
politik.
Rachmadi Usman, menyetakan bahwa baik kata conflict dan dispute
kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan
kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat
dibedakan. Kata conflict sudah diserap kedalam bahasa Indonesia
menjadi konflik, sedangkan kata dispute dapat diterjemahkan dengan
kata sengketa.9 Sengketa (dispute diference) atau konflik hakekatnya
merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau
pertentangan antara dua pihak atau lebih.10
c. Perkara Pertanahan.
Sedangkan defenisi perkara menurut Keputusan Kepala BPN Nomor
34 tahun 2007 adalah sengketa dan atau konflik pertanahan yang
penyelesaiannya dilakukan melalui badan peradilan. Senada dengan
defeni tersebut, Peraturan Kepala BPN RI nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penangan Kasus Pertanahan adalah
perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh
lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih
dimintakan penangan perselisihannya di BPN RI.
Dari kedua pengertian ini, dapat dikatakan bahwa sebuah konflik
atau sengketa berkembang menjadi perkara bila pihak yang merasa
dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya,
dengan melakukan pengaduan atau gugatan melalui badan peradilan
umum baik secara langsung maupun melalui kuasa hukum kepada pihak
yang dianggap penyebab kerugian.
d. Penyelesaian Sengketa/Konflik Pertanahan.
Untuk menangani dan menyelesaian sebuah sengketa/konflik
pertanahan di republic ini diperlukan kerangka kerja yang tepat dan
efektif. Ada tiga bagian yang sangat urgen sebelum menangani konflik
pertanahan yang perlu kita kaji secara mendalam yaitu pengkajian
konflik, penanganan konflik, dan penyelesaian konflik pertanahan.
Tujuan dari pengkajian, penangan, dan penyelesaian masalah konplik
pertanahan untuk memberikan kepastian hukum akan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dinegeri yang penuh
dengan sumber daya ala ini.
a. Pengkajian Konflik.
Ada dua teori konflik yaitu teori fungsionalisme structural dan teori
pendekatan konflik.

9 Rachmad Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Penerbit


Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal 1.
10 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Media

Yogjakarta 2006, hal 3.

82
Pertama, Teori fungsional structural yang menyatakan bahwa
masyarakat pada dasarnya terintegrasi diatas dasar ‘kata sepakat’ para
anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Teori ini memiliki
daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di
antara para anggota masyarakat.
Masyarakat harus dipandang sebagai suatu system dari bagian-
bagian yang saling berhubungan satu terhadap yang lain. Karena itu,
hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut bersifat
ganda dan timbale balik. Dalam teori ini dikatakan bahwa sekalipun
integrasi social tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara
fundamental system social selalu cenderung bergerak kearah ekuiliberium
yang bersifat dinamis artinya keadaan yang tidak mempunyai keseimbang
menjadi kekuatan-kekuatan yang mantap karena adanya keseimbangan)
sehingga integrasi social dapat menanggapi perubahan-perubahan yang
datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-
perubahan yang terjadi dalam system sebagai akibatnya hanya akan
mencapai derejat yang minimal.
Perbahan social terjadi karena tiga hal kemungkinan, yaitu
penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar,
pertumbuhan melalui proses diferensiasi structural dan fungsional, serta
penemuan-penemuan baru dari anggota.
Kedua, Pendekatan Teori Konflik yang beranggapan tentang
beberapa hal berikut ini yaitu setiap masyarakat senantiasa berubah dan
perubahan itu tidak pernah berakhir karena perubahan social merupakan
gejalah yang inheren pada setiap masyarakat; setiap masyarakat
mengandung konflik di dalam dirinya karena konflik merupakan gejalah
inheren pada setiap masyarakat; setiap unsure dalam masyarakat member
kontribusi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan social; dan
setiap masyarakat terintegrasi atas penguasaan dan dominasi sejumlah
orang terhadap sejumlah orang yang lain.
Dengan kata lain, konflikn berasal dari faktor-faktor yang ada di
dalam masyarakat itu sendiri. Ia timbul dari realitas akan adanya unsur-
unsur yang saling bertentangan dalam setiap masyarakat. Dan pertentang
secara intern terjadi karena pembagian otoritas yang dilakukan secara tidak
merata. Karena itu, ada pola pemisahan antara masyarakat yang memiliki
otoritas dan yang tidak memiliki otoritas dalam suatu masyarakat. Mereka
yang memiliki otoritas cenderung mengukuhkan status quo mereka,
sedangkan yang tidak memiliki otoritas akan berusaha untuk merubah
status quo mereka.
Dalam kaitan dengan konflik pertanahan, teori tantang konflik di
atas sangat relevan, karena masalah pertanahan merupakan salah satu
masalah pertanahan yang sangat kuat menjadi pusat perhatian seluruh
masyarakat republic ini seperti konflik pertanahan di Mesuji.
Dalam proses pengkajian konflik pertanahan, tujuan yang ingin
dicapai adalah untuk mengetahui factor penyebab terjadinya konflik; selain
itu melalui proses ini juga, kita dapat memeroleh gambaran untuk
menyelesaikan konflik pertanahan tersebut. Untuk melakukan pengkajian,

83
yang pertama dilakukan adalah meneliti dan menganalisis data konflik yang
sedang terjadi. Berdasarkan data hasil analisis tersebut, pokok persoalan
dalam konflik tersebut dapat dipetakan. Hasil peta konflik tersebut tentu
saja memudahkan kita untuk mencari format yang tepat dalam tahap
penyelesaiannya nanti.
Proses pengkajian ini adalah hasil telaahan secara hukum
terhadap konflik pertanahan yang berdasarkan data yuridis, data fisikdan
atau data pendukung lainnya. Hasil telaahan tersebut selanjutnya dikaji
penerapan hukumnya untuk menghasilkan rekomendasi penangan konflik
pertanahan.
b. Penangan Konflik.
Konflik ada di masyarakat dan senantiasa melekat dalam diri setiap
masyarakat. Oleh karena itu, dimana ada masyarakat maka aka nada
potensi munculnya konflik, sedangkan yang dapat dilakukan manusia
hanyalah mengatur dan mengendalikan konflik agar tidak terjadi dalam
berbagai kekuatan yang akhirnya terakumulasi dalam bentuk kekerasan.
Hal ini terjadi dikarenakan penyelesaian konflik pertanahan hanya
menggunakan pendekatan pradigma hukum.
Agar tidak terjadi konflik pertanahan, langka pencegahan yang
harus dilakuka adalah:
1. Penertiban administrasi pertanahan yang berkaitan dengan sumber
konflik;
2. Tindakan proaktif untuk mencegah dan menangani potensi konflik;
3. Penyuluhan hukum dan atau sosialisasi program pertanahan;
4. Pembinaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
5. Pemetaan tanah-tanah yang rawan konflik, baik tanah milik Negara,
milik pengusaha, maupun milik masyarakat hukum adat.
c. Penyelesaian Konflik.
Tahapan yang harus dilewati dalam menyelesaikan konflik
pertanahan adalah
i. Mengenali pihak-pihak yang berkonflik;
ii. Mengenali Objek konflik
iii. Menemukan atau mengetahui kemauan dari subjek;
iv. Menemukan pokok permasalahan konflik yang bersangkutan;
v. Mencari aturan hukum atau peraturan perundang-undangan yang
terkait;
vi. Menemukan alternative institusi penyelesaian konflik yang akan
digunakan;
vii. Serta mengambil keputusan yang tepat dan diterima para pihak.
Mekanisme penangan dan penyelesaian sengketa dan konflik
pertanahan lazimnya diselenggarakan sebagai berikut:
Pertama: Pengaduan, dalam pengaduan berisi hal-hal dan peristiwa
yang menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah pihak-pihak yang
berhak atas tanah yang disengketakan atau konflik dengan dilampiri bukti-
bukti serta mohon penyelesaian dengan disertai harapan agar terhadap
tanah tersebut dapat dicegah mutasinya/pengalihannya sehingga tidak
merugikan pemohon.

84
Kedua, penelitian berupa pengumpulan data atau administrasi
maupun hasil penelitian fisik dilapangan mengenai penguasaanya. Hasil
dari penelitian dapat disimpulkan sementara bahwa apakah pengaduan
tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.
Ketiga, Pencegahan mutasi/pengalihan, tujuannya adalah untuk
menghentikan sementara waktu segala bentuk perubahan terhadap tanah
yang disengketakan atau tanah konflik.
Keempat, musyawarah untuk mempertemukan kedua belah pihak
untuk mengklarifikasi data yang ada pada masing-masing pihak dalam
rangka mengupayakan perdamaian.
Kelima, penyelesaian melalui pengadilan, jika melalui musyawarh
tidak mendatangkan hasil maka sengketa atau konflik tersebut harus
diselesaikan oleh intansi yang berwenang yaitu pengadilan.

D. Penutup.
Dalam rangka pencegahan, penangan, dan penyelesaian konflik
pertanahan, perlukan perubahan paradigm lama yang feodalistik,
sentralistik birokrasi, otoriter dan represif diganti dengan paradigm baru
yang populis, demokratis, desentralistik, dan penghormatan hak asasi
manusia.Kompleksitas masalah agrarian di Indonesia harus ditangani dan
diselesaikan dengan pendekatan holistic. Karena akar konflik agraria sangat
mendasar dan bersifat multidimensional, maka penangan dan penyelesaian
harus menggunakan pendekatan hukum, politik, social, dan budaya.

E. Daftar Pustaka
Bachsan Mustafa, Hukum Agraria DalamPerspektif, Remaja Karya Bandung,
1988.
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta
2007.
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Media
Yogjakarta, 2006.
Edi Ruhiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA No.5
tahun1960, Alumni, Bandung, 1992.
Rachmad Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Penerbit
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Notonagoro, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Cv.
Pancuran Tujuh, Jakarta, 1974.

85

Anda mungkin juga menyukai