Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HUKUM ADAT PERTAHANAN


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat
Dosen Pengampu :
Jeddah SH., MH

Di susun oleh :
KASYFIL AZIZ TADORE (19111040)
MUHAMMAD HASYIM ASYARI (191110042)

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL QURAN JAKARTA


FAKULTAS HUKUM DAN SYARI’AH
JURUSAN AL AHWALU ASY SYAKHSIYYAH
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamin, puji syukur kita kepada Allah SWT atas segala nikmat yang
telah Allah berikan kepada kita semua dan juga yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayahnya kepada kita semua. Sholawat beserta salam tak lupa kita haturkan kepada
Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada para sahabat, keluarga dan
seluruh Anbiya’I wal mursaliin. Sebab melalui keberkahan beliaulah kita mendapatkan
nikmat yang dapat kita rasakan sekarang ini.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing dari mata kuliah Hukum Adat yaitu al
mukarram bapak Jeddah, dan juga kepada orang tua kami terkhususnya yang telah berjuang
banyak untuk kami para anak-anaknya yang ingin menuntut ilmu di Institute Perguruan
Tinggi Ilmu Alquran Jakarta, dan para sahabat yang selalu mendukung terhadap perkuliahan
yang sedang berlangsung tiap harinya sehingga dalam hal ini kami juga diberi kesempatan
untuk membuat makalah yang berjudul “Hukum Adat Pertanahan” pada perkuliahan hari ini.

Dalam penulisan makalah ini, kami tentunya menyadari pasti memiliki kekurangan, adapun
kekurangan dari yang kami tulis, kami selaku teman seperjuangan meminta izin diberitahu
kesalahan dan kekurangan yang kami tulis sehingga kami bisa menjadi seorang yang lebih
baik lagi terkhususnya dalam menulis karya ilmiah tertentu yang akan di presentasikan untuk
kedepan.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat dan juga dapat menambah wawasan
kita dalam memahami konsep hukum adat dalam bernegara terkhususnya di Negara Republik
Indonesia ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah mempunyai arti penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat di
Indonesia. Tanah sebagai sumber kehidupan, karena disinilah setiap orang dapat
bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-haru, tempat mendirikan rumah
bersama keluarga melanjutkan keturunan dan sebagai tempat masyarakat adat tanah
dianggap mempunyai sifat magis religius.
Hukum pertanahan di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat
kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda, sehingga
ada dua macam tanah yaitu tanah-tanah dengan hak barat dan tanah-tanah dengan hak
adat, yang berakibat pada berbedaan dalam peralihannya, termasuk perolehan hak
melalui jual beli, perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik tanah yang
bersangkutan.
Dengan sistem tertutup dari masyarakat adat tersebut telah cukup membuktikan
kepemilikan tanah tersebut karena masing-masing individu di dalam lingkungan
masyarakat adat tersebut saling mengenal satu sama lain dengan baik.
Demikian pula dalam hal peralihan hak atas tanah, khusus untuk jual beli tanah
dilakukan menurut sistem hukum yang dianut oleh para pihak yang bertransaksi. Bagi
golongan Eropa, hukum yang berlaku untuk jual beli tanah berdasarkan hukum perdata.
Sedangkan bagi golongan masyarakat pribudi, jual beli tanah berdasarkan hukum
kebiasaan.
Secara formal, kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan
tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat (3) Undnag-undang Dasar 1945 yang
menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara untuk dipergunakan bagi kemakmuran rakyat. “Sebelum berlakunya
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dikenal lembaga hukum jual beli tanah, ada
yang diatur oleh Kitab Undang-undang Perdata yang tertuli, dan ada yang diatur oleh
hukum adat yang tidak tertulis”.
Dengan semakin kompleksnya persoalan hukum pertanahan di Indonesia
menyebabkan diundangkannya peraturan dasar pokok-pokok agrarian dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960, yang lebih populer dengan nama Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA) yaitu tepat pada tanggal 24 September 1960.
Dengan diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal
tersebut, sejak itu tanggal 24 September tercatat sebagai salah satu tonggak yang sangat
penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia pada umumnya
dan pembaharuan hukum agraria/hukum tanah di Indonesia pada khususnya.

B. Rumusan Masalah
1. Pengantar Hukum Adat Pertanahan
2. Kedudukan Hukum Adat dalam UUPA
3. Tanah Ulayat dan Tanah Hak Individual
4. Perlindungan Hukum Adat dan Hak Masyarakat dalam Sistem Hukum Agraria
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengantar Hukum Adat Pertanahan


Hukum Tanah Adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang berkaitan dengan
tanah dan bersumber pada hukum adat. Objek hukum tanah adat adalah ha katas tanah
adat. Hak atas tanah adat ini terdiri atas hak ulayat dan hak milik adat. Adapun hak
ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya
yang memberi wewenang tertentu kepada penguasa-penguasa adat untuk mwngatur dan
memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut. Hak ulayat ini
terdiri atas hak untuk membuka tanah atau hutan dan hak untuk mengumpulkan hasil
hutan. Hak milik adat adalah hak perorangan dan hak komunal. Pemahaman mengenai
hukum adat pertanahan atau hukum pertanahan adat merupakan sumbangan penting
terutama untuk Pendidikan kajian di bidang ilmu hukum. Bertitik tolak dari dua sistem
hukum menurut cara pandang yang konvensional, yaitu sistem hukum adat dan sistem
hukum nasional. Hal itu disebabkan oleh karena dua Lembaga hukum masyarakat
(persekutuan) hukum adat (adatrechtsgemeenscap) dan hak kolektif masyarakat
(persekutuan) hukum atas tanah (bescikkingscrecht) yang dimasalahkan merupakan
lembaga hukum menurut sistem huku nasional. Kedua lembaga ini berkaitan dengan
hukum pertanahan. Berbicara tentang Hukum Tanah maka di Indonesia ketentuan
utamanya harus mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
2. Kedudukan Hukum Adat dalam UPPA
Hukum adat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 merupakan pengaturan yang
sangat bersentuan langsung dengan masyarakat adat. Dalam pasal 5 UU No. 5 Tahun
1960 ditegaskan: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan undang-
undang lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersumber
padahukum agama.
Dalam Penjelasan Undang-undang disebutkan: Hukum adat yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern
dan dalam hubungannya dunia internasional serta sesuai dengan sosialisme Indonesia.
Ketentuan tersebut merupakan realisasi dari Tap MPRS II/MPRS/1960 Lampiran A
Paragraf 402. Hukum adat yang dimaksud adalah adalah bukan hukum adat asli yang
senyatanya berlaku dalam masyarakat adat, melainkan melainkan hukum adat
yang sudah direkontruksi, hukum adat yang sudah: disempurnakan, disaneer, modern,
yang menurut Moch. Koesnoe menganggap hukum adat yang ada dalam UUPA telah
hilang secara materiil, karena dipengaruhi oleh lembaga-lembaga dan ciri-ciri hukum
barat atau telah dimodifikasikan oleh sosialisme Indonesia sehingga yang tersisa
hanyalah formulasinya (bajunya) saja. Hukum agraria hanya memberlakukan hal-hal
tertentu saja daripadanya.
Pereduksian dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara. Adanya
Hak Menguasai Negara (HMN), merupakan bentuk penarikan ke negara Hak Ulayat
yang dimiliki oleh masyarakat adat atas tanah yang berada di wilayah Indonesia, yang
kemudian dikontruksi kembali sebagai bentuk pelimpahan kewenangan negara
dalam pelaksanaan dapat dilimpahkan kepada pemerintah di bawahnya. Maka Hak
Ulayat dalam masyatakat adat yang semula bersifat mutlak dan abadi, telah direduksi
dengan tergantung kepentingan dan ditentukan oleh negara.
3. Tanah Ulayat dan Tanah Hak Individual
Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak
Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
wilayahnya. UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya
Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya
dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui
“sepanjang menurut kenyataannya masih ada”
Kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 UUPA,
yaitu “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan
hak-hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum
adat, menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi”. Hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan
kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya
Hak perseorangan atas tanah adalah hak atas tanah sebagai hak individual yang
semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa (Pasal
16 dan 51 UUPA), hak atas tanah ditentukan berdasarkan :
Pasal 16 UUPA (1) Hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh perseorangan itu
meliputi :
1) Hak Milik 36
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
4) Hak Pakai
5) Hak Sewa
6) Hak Membuka Tanah
7) Hak memungut Hasil Hutan
8) Hak-hak lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas akan ditetapkan dengan
Undang-Undang serta hakhak yang sifatnya sementara sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Hak-hak individual atas tanah dapat dibagi atas hak yang bersifat primer dan
sekunder.
Hak yang bersifat primer terdiri atas:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak sewa;
f. hak membuka tanah;
g. hak memungut hasil hutan;
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang.

Sedangkan hak sekunder adalah hak yang mengandung sifat yang bertentangan
dengan undang-undang karena mengandung unsur pemerasan dan penindasan,
sehingga diusahakan hapusnya dalam waktu singkat.

4. Perlindungan Hukum Adat dan Hak Masyarakat dalam Sistem Hukum Agraria
Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara
keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2)
UUD 1945 dimana menyebutkan”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui
keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia.
Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap
masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya
sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat adat. Karena dalam pasal 3
UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat
seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya
tidak. Jangan sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya
kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan
hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

a. Hukum pertanahan di Indonesia sebagai sumber kehidupan yang memiliki


manfaat dan memberikan hal yang bermanfaat serta dapat menjadi acuan unutuk
mencukupi kehidupan sehari-hari
b. Hukum pertanahan di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat
kolonial dan feodal yang di tinggalkan oleh Jajahan Belanda kepada Indonesia
c. Peralihan hak tanah yang mengatyr tentang jual beli tanah dilakukan menurut
sistem hukum yang di anut oleh para pihak yang bertransaksi
d. Kewenangan pemerintah mengatur bidang pertanahan mengakar dari pasal 33 ayat
(1) UUD 1945 tentang kekayaan alam yang dikuasai oleh negara sebelum
berlakunya UUPA
e. Pada tanggal 24 september dibentuknya Undang-Undangb Pokok Agraria (UUPA)
yang mengatur tentang hukum pertanahan
f. Keberadaan hukum adat yang termasuk dalam hukum pertanahan diakui oleh
negara, akan tetapi menyandang penggunaaan terbatas yang merujuk pada pasal
18 B ayat (2) UUD 1945
DAFTAR PUSTAKA
Gayo, A. A. (2018). Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat (Studi Kasus Di Provinsi Aceh
Khususnya Kabupaten Bener Meriah) (Legal Protection For Title Over Customary Land
(Case Study In The Province Of Aceh In Particular, The Regency Of Bener Meriah)). De
Jure Jurnal Penelitian Hukum, 18(3), 15.

Ii, B. A. B., Ulayat, A. H., & Ulayat, P. H. (n.d.). G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra,
AG.Kartasapoetra, A. Setiady,. 23–46.

Hayatul Ismi , Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Ulayat
Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional, Jurnal Ilmu Hukum Volume 3 NO. 1 tanpa
tahun

Sembiring. 2017. Hukum pertanahan adat, 978-602-425-161-1

Anda mungkin juga menyukai