Anda di halaman 1dari 19

Eksistensi Hukum Adat dalam Penyusunan

Undang-Undang Pokok Agraria


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah
Hukum Adat

Disusun Oleh :
Rangga Khumara Murty
15/382575/HK/20642

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, pantaslah saya memanjatkan
puji syukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis, baik kesempatan
maupun kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah hukum adat ini
dengan baik. Salam dan salawat selalu tercurah kepada junjungan kita baginda
Rasulullah SAW, yang telah membawa manusia dari alam jahiliyah menuju alam yang
berilmu seperti sekarang ini.

Makalah hukum adat yang telah penulis buat berjudul Eksistensi Hukum Adat
dalam Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria. Makalah ini dapat hadir seperti
sekarang ini tak lepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu sudah sepantasnya penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besar buat mereka yang telah berjasa
membantu penulis selama proses pembuatan makalah ini dari awal hingga akhir.

Namun, kami menyadari bahwa makalah ini masih ada hal-hal yang belum
sempurna dan luput dari perhatian penulis. Baik itu dari bahasa yang digunakan
maupun dari teknik penyajiannya. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dan
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian
demi perbaikan makalah ini kedepannya.

Akhirnya, besar harapan penulis agar kehadiran makalah hukum adat ini dapat
memberikan manfaat yang berarti untuk para pembaca. Dan yang terpenting adalah
semoga dapat turut serta memajukan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, November 2016


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang terletak di antara dua benua yaitu Benua
Asia dan Australia dan di antara dua samudra yaitu Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia, tentu saja dengan letak geografis yang seperti ini membuat Indonesia menjadi
negara yang memiliki banyak pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Dalam perkembangan yang lebih jauh membuat Indonesia memiliki berbagai macam
adat dan budaya yang beragam dan berbeda satu sama lain. Adat dan budaya tersebut
memiliki aturan tersendiri yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat
adatnya mulai dari hal yang sederhana seperti masalah sosial sehari-hari sampai ke
masalah yang rumit seperti pernikahan, warisan, dan pertanahan di masyarkat. Dalam
makalah kali ini mungkin akan disinggung lebih banyak tentang permasalahan yang
berhubungan dengan masalah pertanahan di msayarakat.
Sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, tanah memegang peran
penting dalam kehidupan dan penghidupan bangsa sebagai pendukung negara yang
bersangkutan, terutama wilayah yang corak agrarisnya berdominasi. Masyarakat adat
awalnya hidup secara nomaden (berpindah-pindah), sehingga dalam
perkembangannya mengakibatkan semua tanah yang telah dimanfaatkan menjadi
milik bersama dan pemanfaatannya juga berdasarkan sifat gotong royong, akan tetapi
dengan perkembangan zaman yang sudah semakin meningkat dan juga kebutuhan
manusia yang semakin kompleks, maka hal ini akan membuat kondisi kebersamaan
masyarakat adat tidak berjalan lagi seperti dahulu yang selalu dipenuhi rasa
kebersamaan.
Tanah memang memiliki arti penting dan tidak terpisahkan dalam kehidupan
suatu masyarakat hukum adat. Hubungan antara masyarakat adat dan tanah memiliki
hubungan yang sangat erat dan bersifat religio-magis, yang mengakibatkan
masyarakat berhak untuk memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud,
memanfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang
yang hidup diatas tanah tersebut. Hak pemilikan bersama atas tanah ini lebih lanjut
disebut dengan hak persekutuan adat atau yang lebih sering didengar dengan hak
ulayat.
Kedudukan dari hak persekutuan ini berlaku ke dalam dan keluar. Hak ini
dikatakan berlaku ke luar karena pada prinsipnya jika seseorang itu bukan merupakan
bagian dari masyarakat adat, maka tidak diperbolehkan turut menggarap tanah yang
merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan tanpa seizin
masyarakat\persekutuan adat tersebut. Selain itu hak ini juga dikatakan berlaku
kedalam, karena hak persekutuan itu bersifat menyeluruh bagi setiap anggota
persekutuannya, sehingga memungkinkan para anggotanya untuk memanfaatkan tanah
dan mengambil serta berburu tumbuhan dan hewan yang hidup di atas tanah tersebut.
Namun dengan semakin meningkatnya jumlah anggota masyarakat dan
semakin berkembangnya tingkat kebutuhan membuat para anggota masyarakat harus
memiliki suatu hak yang dapat menjamin kehidupan mereka secara individu. Dengan
kondisi yang sepereti ini maka terjadilah pembagian tanah persekutuan yang tadinya
milik bersama-sama menjadi milik masing-masing dari anggota masyarakat tersebut.
Selain itu masalah yang lebih penting lagi adalah bagaimana cara pengaturan terhadap
kedua hak ini yang saling berbeda antara satu masyarakat dengan satu masyarakat lain.
Berangkat dari permasalahn seperti ini maka pada tanggal 24 Sepetember 1960
dikeluarkanlah sebuah undang-undang yang mengatur dan menyeragamkan tentang
pengaturan pertanahan di Indonesia yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-
Undang Pokok Agraria yang diresmikan oleh Ir.Soekarno dan diundangkan dalam
Lembaran Negara RI no.104 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria UUPA.
Dalam UUPA dimuat tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum
dan garis-garis besar ketentuan pokok Hukum Agraria Nasional. Tujuan UUPA adalah
akan mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa
bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya
ditugaskan kepada negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. UUPA ini menciptakan Hukum Agraria Nasional
berstruktur tunggal, berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah, sebagai hukum
aslinya sebagian terbesar rakyat Indonesia.
Dengan mulai berlakunya UUPA maka terjadilah perubahan fundamental pada
Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum dibidang pertanahan. Perubahan
tersebut bersifat mendasar atau fundamental, karena terjadinya perubahan pada
struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari dan isinya yang menyatakan
bahwa UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia sertasesuai dengan
perkembangan zaman.
Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hukum adat. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa
sumber dari UUPA adalah hukum adat itu sendiri, yang dalam perkembangannya
hukum adat dijadikan sumber untuk mengambil bahan-bahan yang diperlukan dalam
pembentukan UUPA, dengan memakai hukum adat sebagai dasar dari pembentukan
UUPA maka diharapkan akan dapat menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan
masyarakat di Indonesia yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran yang mengarah pada terwujudnya cita-cita dan tujuan
nasional bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi nilai-nilai hukum adat di dalam UUPA?
2. Bagaimana kedudukan hukum adat dalam pembentukan UUPA?
2. Bagaimana kualifikasi hukum adat yang digunakan dalam pembentukan UUPA?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui eksistensi nilai-nilai hukum adat dalam UUPA.
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum adat dalam pembentukan UUPA.
3. Untuk mengetahui kualifikasi dari hukum adat yang digunakan dalam
pembentukan UUPA.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Eksistensi Nilai-Nilai Hukum Adat dalam UUPA


Sebelum membahas lebih lanjut tentang eksistensi dari nilai-nilai hukum adat
dalam UUPA, maka sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari hukum
adat itu sendiri. Hukum adat menurut Prof. Djojodiguno adalah suatu hukum yang
tidak bersumber pada peraturan-peraturan, tetapi timbul langsung sebagai pernyataan
kebudayaan dalam masyarakat dan rasa keadilan dalam hubungan pamrih, sedangkan
menurut Konvensi hukum adat, dijelaskan bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundangan yang disana-sini terdapat
masalah yang berhubungan dengan keagamaan. Dari pendapat para ahli tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa hukum adat adalah sebuah hukum yang bersifat folk law
yang merupakan hukum yang ditetapkan oleh rakyat, berlaku untuk rakyat, dan
dipertahankan oleh rakyat. Hukum adat merupakan suatu bentuk hukum yang masih
sangat sederhana, karena sejatinya hukum tersebut tidak dibuat oleh orang/badan
hukum tertentu melainkan terbentuk dan berkembang dengan sendirinya di
masyarakat.1
Hukum adat adalah salah satu dari cagar kehidupan dan kebudayaan yang di
dalamnya terdapat saripati yang tersusun dari kebutuhan hidup, cara hidup, dan
pandangan hidup bangsa Indonesia.2 Selain itu, hukum adat yang ada di masyarakat
juga berbeda satu sama lain karena hukum adat itu sendiri terbentuk dari pola perilaku
dan kebiasaan masyarakat di suatu daerah yang berbeda satu dengan yang lain.
Perbedaan itu juga bisa terjadi karena adanya bahasa yang berbeda, kebudayaan yang
berbeda, dan tentunya norma-norma yang berbeda antara satu masyarakat dengan
masyarakat lain, akan tetapi walaupun berbeda-beda, hukum adat mempunyai
beberapa wujud yang secara umum memiliki kesamaan antara satu masyarakat dengan
yang lainnya.
Hukum adat secara umum dapat berwujud sebagai suatu komplek ide/gagasan
yang hidup dalam masyarakat dan dapat juga berwujud sebagai suatu kumpulan
norma-norma yang dulunya dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk mengatur
kehidupan sehari-hari. Hukum adat juga dapat berwujud sebagai suatu kompleksitas
1
Saleh Adiwinata, 1970, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960, Penerbit Alami, Bandung,
hlm. 12.
2
Bushar Muhammad, 1961, Pengantar Hukum Adat, Ichtiar, Jakarta, hlm. 47.
pola perilaku masyarakat dalam suatu masyarakat yang dianggap baik dan dilakukan
secara terus menerus. Oleh karena sudah sangat tertanam sejak lama dan sudah
dilakukan secara terus menerus, maka hukum adat ini tidak mungkin dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat.

Salah satu wujud nyata dari hukum adat yang akan saya bahas kali ini adalah
mengenai permasalahan tanah dan hubungannya dengan masyarakat adat. Zaman
dahulu tanah adat mempunyai hubugan yang bersifat religio-magis dan sangat erat
dengan masyarakat hukum adat. Hubungan ini menyebabkan masyarakat adat
memiliki hak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah dan berhak untuk mengambil
tumbuhan-tumbuhan atau berburu binatang yang terdapat di atas tanah tersebut. Hak
masyarakat ini sering kita sebut dengan hak persekutuan atau hak ulayat.
Perkembangan zaman yang semakin pesat dan kebutuhan masyarakat yang
semakin kompleks membuat kondisi di atas tidak sesuai lagi untuk diterapkan pada
saat ini. Bertambahnya jumlah masyarakat adat dan semakin kompleksnya kebutuhan
hidup membuat pemanfaatan tanah yang bersifat gotong royong dan kebersamaan
tidak mungkin lagi dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi ini mendorong
masyarakat untuk mendapatkan suatu hak yang dapat menjamin kehidupan mereka,
oleh karena itu mulai timbullah suatu gagasan untuk membagi tanah tersbut kepada
masing-masing masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, yang mana
nantinya akan menjadi dasar dari lahirnya hak milik perorangan.
Hubungan antara hak milik dengan hak persekutuan itu bersifat tarik menarik,
dimana jika kekuatan hak milik di masyarakat semakin besar, maka hak persekutuan
yang ada menjadi semakin kecil dan kondisi ini sering terjadi di daerah yang sudah
cukup modern. Selain itu, jika kekuatan hak persekutuan semakin besar maka
kekuatan hak milik di masyarakat menjadi semakin kecil dan kondisi ini biasa terjadi
di suku-suku yang masih belum terlalu terpengaruh dengan perkembangan informasi
dan tekhnologi. Perubahan yang seperti ini memang akan terjadi dan walaupun
nantinya jika kekuatan hak milik di suatu masyarakat sudah semakin kuat, sangat
diharapkan bahwa pemanfaatannya juga harus melihat kondisi sosial di masyarakat
setempat.
Permasalahan diatas mengharuskan pemerintah untuk membuat suatu
peraturan yang bertujuan untuk meyeragamkan bentuk pengaturan terhadap
permasalahan yang menyangkut pertanahan, hak milik, maupun hak persekutuan atau
hak ulayat, yang nantinya akan kita kenal dengan sebutan Undang-undang Pokok
Agraria. Dengan mulai berlakunya UUPA, maka terjadi perubahan fundamental pada
hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan, yang kita sebut
hukum tanah, yang di kalangan pemerintah dan masyarakat umum sering kita kenal
dengan sebutan hukum agraria. Perubahan itu bersifat mendasar atau fundamental,
karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya, mengenai konsepsi yang
mendasarinya, maupun isinya, harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta
memenuhi pula keperluannya menurut perkembangan zaman.3
Pokok masalah yang harus dihadapi adalah bagaimana cara agar UUPA itu
dapat diterima dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sehingga nantinya
diharapakan dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena
itu maka UUPA itu sendiri harus menggunakan hukum adat yang merupakan hukum
asli masyarakat pribumi sebagai dasar dari pembentukannya. Hal ini juga disebutkan
dalam konsiderans UUPA huruf (a) yang menyatakan bahwa, “perlu adanya suatu
hukum agraria nasional yang berdasarakan atas hukum adat”. Dengan ini sudah dapat
ditarik kesimpulan cepat bahwa dasar dari UUPA adalah hukum adat yang berlaku di
masyarakat Indonesia.
Keputusan ini memang sangat tepat, karena hukum adat kita adalah
implementasi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang menjiwai Pancasila. Nilai-
nilai diatas diantaranya adalah nilai keagamaan, nilai perikemanusiaan/nilai sosial,
nilai persatuan, nilai permusyawaratan perwakilan, dan nilai keadilan sosial. Jika
semua nilai itu sudah menjadi landasan atau dasar filosofis dari suatu UUPA maka
diharapkan peraturan dan keputusan yang dibuat dapat memberikan jaminan kepastian
hukum bagi masyarakat, yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat yang mengarah pada terciptanya cita-cita dan tujuan nasional
bangsa Indonesia.

Nilai-nilai luhur diatas diantaranya tercermin dalam beberapa pasal UUPA, yaitu :

1. Nilai ketuhanan secara jelas mengharuskan bahwa dalam pelaksanaanya, UUPA


tidak boleh mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama, karena
hal ini termasuk salah satu komponen dari nilai-nilai ketuhanan yang terdapat
dalam sila pertama pancasila. Selain itu dalam hukum adat, hubungan antara
masyarakat dengan tanah dan bumi merupakan suatu hubungan yang sifatnya bukan
3
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 1.
hanya sosial-ekonomis atau yuridis saja, tetapi juga merupakan suatu hubungan
yang bersifat religio magis. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai upacara adat,
seperti upacara tedak siti, upacara panen, upacara jual beli tanah, dll, yang
semuanya itu merupakan bentuk pengucapan syukur atas karunia yang diberikan
oleh Tuhan Yang Maha Esa4. Nilai ketuhanan/keagamaan dari hukum adat ini
juga tercermin dari pasal 1 UUPA yang menyatakan bahwa, “Seluruh bumi, air, dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi,
air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
2. Nilai kemanusiaan dalam hukum adat dapat kita lihat dalam pasal 6 UUPA yang
menyatakan bahwa, “Semua hak atas tanah memiliki nilai sosial”. Dalam pasal ini
secara tersirat sudah sangat menjelaskan bahwa bangsa Indonesia bukan merupakan
suatu bangsa yang bersifat liberalistik maupun individualistik, akan tetapi bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang didasarkan atas sifat gotong royong,
kebersamaan, dan rasa kekeluargaan. Hal ini dibuktikan dalam pengaturan
permerintah terhadap penggunaan tanah untuk usaha, yang mana harus
memperhatikan kondisi dan fungsi sosial dari tanah tersebut terhadap masyarakat
sekitar.
3. Nilai persatuan dalam hukum adat tercermin dalam pasal 6 UUPA yang menyatakan
bahwa,”Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Pasal ini lebih jauh
menjelaskan bahwa Hukum Tanah Nasional sudah barang tentu harus sesuai
dengan kepentingan rakyat banyak, yang artinya rakyat Indonesia, dan bukan
merupakan kepentingan rakyat secara perorangan ataupun golongan, apalagi
kepentingan rakyat asing.5
4. Nilai permusyawaratan perwakilan diwujudkan dalam pasal 14 ayat (2) UUPA yang
menyatakan bahwa,“Berdasarkan renccana umum tersebut pada ayat 1 ini dan
mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk
daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing”. Permusyawaratan
perwakilan disini dilihat dari adanya pelimpahan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, yang mana Pemerintah Daerah merupakan perwakilan dari
4
Ibid, hlm. 164.
5
Ibid, hlm. 167.
pemerintah pusat untuk mengatur penggunaan dan pemanfaaatan sumber daya
diatas sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
5. Nilai keadilan sosial dapat dilihat dari pasal 9 angka (2) yang menyatakan bahwa,
“Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dari hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Nilai
keadilan disini sudah terwujud dari adanya pengakuan terhadap persamaan gender
untuk tetap dapat menikmati hasil dari sumber daya diatas.

B. Kedudukan Hukum Adat dalam UUPA


Setelah kita mengetahui, bahwa dalam Konsiderans huruf (a) UUPA yang
menyatakan bahwa,”perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas
hukum adat tentang tanah”, dan dalam pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa,
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat”.
Pernyataan tersebut membuat banyak penafsiran yang terfokus pada kata
“berdasarkan”, yang diantaranya menganggap bahwa dengan pernyataan tersebut,
pembangunan hukum tanah nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-
norma hukum adat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan menjadi hukum
yang tertulis, dan selama peraturan-peraturan tersebut masih belum ada, maka norma-
norma hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh.
Berangkat dari permasalahan tersebut, banyak sekali pihak yang
menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan dalam UUPA tersebut hanyalah perkataan
kosong belaka, karena setidak-setidaknya hukum adat yang dijadikan sebagai dasar
pembentukan UUPA bukanlah hukum adat yang sebenarnya, melainkan hukum adat
yang sudah hilang isinya dan tinggal bajunya saja.6 Bahkan ada juga beberapa pihak
yang berusaha memisahkan hukum adat dan mempertentangkannya dengan sistem
hukum tanah nasional atau Undang-Undnag Pokok Agraria.
Setelah menimbang dan menelaah lebih jauh, maka menurut saya apa yang
dicantumkan dalam UUPA mengenai hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA,
bukanlah sekedar suatu pernyataan kosong atau pemanis belaka, melainkan harus kita
terima dan tafsirkan sebagai kehendak yang sebenarnya dari Pembentuk Undang-
Undang yang melahirkan UUPA. Saya berpendapat bahwa hubungan antara hukum
adat dengan hukum tanah nasional memiliki suatu hubungan yang bersifat fungsional.

6
Ibid, hlm. 205.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa dalam pembangunan hukum tanah
nasional, hukum adat berfungsi sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan
yang diperlukan, sedangkan dalam huukm tanah nasional positif, norma-norma hukum
adat berfungsi sebagai hukum yang melengkapi hukum tersebut.

Kedudukan hukum adat dalam hukum tanah nasional adalah :

1.Hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional
Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan
sumber utama untuk memperoleh bahan-bahannya berupa konsepsi, asas-asas, dan
lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang
tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat. Hukum tanah nasional yang
dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, berupa norma-norma
hukum yang dituangkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai
hukum yang tertulis.
Hukum tanah nasional disusun sebagai bentuk norma hukum tertulis yang di
dalamnya tersusun dari suatu sistem dalam bentuk hukum adat yang tidak tertulis. Jadi
UUPA adalah produk murni dari hukum adat itu sendiri. Hal itu terlihat antara lain
dalam sistem hak-hak penguasaan tanah, yang dimulai dengan :
 Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek
hukum keperdataan dan publik ;
 Hak Menguasai dari Negara yang bersumber pada hak bangsa dan beraspek hukum
publik semata. Pelaksanaan sebagian kewenangannya dapat dilimpahkan kepada
pihak lain dalam bentuk hak pengelolaan
 Hak-hak penguasaan Individual, yang terdiri atas :
a. Hak-hak atas tanah
b. Wakaf
c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut juga hak tanggungan7

2. Hukum adat sebagai pelengkap hukum tanah nasional positif yang tertulis
Pembentukan suatu hukum agraria yang dapat mewujudkan suatu kesatuan
hukum, memberikan jaminan kepastian hukum, dan memberikan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas tanah merupakan suatu proses yang tidak singkat dan
membutuhkan waktu yang lama, oleh karena itu dalam hubungannya dengan proses
7
Ibid, hlm. 208.
pembentukan yang belum sempurna maka hukum adat disini berfungsi sebagai
pelengkap.8
Hal ini juga dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 56 UUPA , yang menyatakan
bahwa, “Selama Undang-Undang mengenai Hak Milik sebagaimana tersebut dalam
Pasal 50 (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum
adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang
memberikan wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal
20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-
undang ini”.
Dari pernyataan tersebut diterangkan lebih jelas bahwa dalam hubungannya
dengan hukum tanah nasional tertulis yang belum lengkap, maka hukum adat menjadi
pelengkap dari undang-undang tersebut. Penetapan hukum adat sebagai pelengkap dari
hukum agraria memang merupakan suatu keputusan yang bisa dibilang sangat tepat,
karena dengan adanya hukum adat tidak akan terjadi kekosongan hukum yang dapat
mengakibatkan pelaku kejahatan atau terdakwa bebas dari hukuman. Sebagai
pelengkap hukum adat juga bisa menjadi masukan dalam penyempurnaan hukum
agraria agar bisa mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang mengarah
pada tercapainya cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia.

C. Kualifikasi Hukum Adat dalam UUPA


Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam
pulau yang antara satu dengan lainnya dipisahkan oleh lautan, teluk ataupun selat.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang sangat kaya akan
keragaman, mulai dari keragaman suku, bahasa, agama, dan kebudayaan yang
berbeda-beda. Semua unsur keragaman tadi semakin lama semakin mengendap
menjadi suatu komplek aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat yang
dianggap baik, dilakukan secara terus menerus, dan dijadikan pedoman untuk
mengatur kehidupan masyarakat.
Kompleksitas inilah yang nantinya akan menjadi dasar dari terbentuknya
hukum adat dari suatu masyarakat yang tentunya berbeda antara satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya.Perbedaan inilah yang nantinya akan menimbulkan
kebingungan, mengenai hukum adat manakah yang akan digunakan sebagai dasar
dalam pembentukan UUPA. Berangkat dari permasalahan tersebut, di dalam UUPA
8
Ibid, hlm. 209.
juga sudah terdapat kualifikasi atau persyaratan tertentu yang harus dipenuhi dari
hukum adat yang akan dijadikan sebagai dasar dalam pembentukan UUPA. Hal inilah
yang akan saya bahas lebih lanjut dalam pembahasan masalah kali ini.
Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi,
air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Sepintas mungkin kita bisa membenarkan bahwa keputusan ini sangat tepat karena
menggunakan hukum adat sebagai dasar dalam pembentukan UUPA, akan tetapi
permasalahan lain yang tidak kalah penting yaitu bagaimanakah kualifikasi hukum
adat yang digunakan sebagai sumber dalam pembentukan UUPA.
Diadakannya kualifikasi atau persyaratan bagi norma hukum adat disebabkan
karena pada zaman ini hukum adat sudah tidak lagi terbebas dari pengaruh-pengaruh
luar, yaitu pemikiran-pemikiran masyarakat barat yang individualistika-liberal dan
pengaruh masyarakat feodal, yang tidak sesuai dengan asas-asas tata susunan dan
semangat masyarakat Pancasila yang sedang kita bangun. Melihat kenyataan tersebut,
maka norma-norma hukum adat yang akan digunakan sebagai sumber dari UUPA
harus dibersihkan dari unsur-unsurnya yang asing dan harus di “saneer” terlebih
dahulu sehingga menjadi murni kembali.

Hal-hal mendasar yang harus diperhatikan mengenai hukum adat yang akan
dijadikan sebagai sumber pembentukan UUPA adalah :

1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional negara


Hukum tanah itu harus mengabdi terhadap kepentingan nasional dan cita-cita
dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Hal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya,
karena banyak kasus UUPA mengakui adanya hak ulayat tersebut, tetapi tidak
menutup kemungkinan terhadap para penguasa yang menyalahgunakan wewenangnya
untuk menghalang-halangi atau merintangi usaha-usaha Pemerintah untuk mencapai
kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Misalnya banyak penguasa yang
merintangi pemberian dan pengakuan hak ulayat, karena ingin melaksanakan
pembukaan tanah yang luas untuk areal perkebunan.9
9
Ibid, hlm. 215.
Untuk menghindari dan memberantas hal yang seperti ini maka pemerintah
seharusnya lebih intensif dalam melakukan pembinaan dan sosialisasi mengenai
hukum adat dalam kaitannya dengan dasar pembentukan UUPA. Hukum adat ini harus
selalu kita bina dan kita uji kelayakannya dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu bukan
karena untuk menghentikan atau menghalang-halangi perkembangan masyarakat
hukum, akan tetapi untuk mewujudkan suatu masyarakat yang benar-benar terintegrasi
ke dalam masyrakat nasional Indonesia yang adil dan makmur seperti yang kita idam-
idamkan.

2. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia


Indonesia bukanlah suatu negara dengan paham individualistik yang hanya
mengutamakan kepentingan satu golongan saja dan bukan juga negara dengan paham
liberalistik yang hanya mengutamakan keuntungan saja, akan tetapi Indonesia adalah
negara dengan jiwa sosialisme yang megutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi yang didasarkan atas sifat gotong royong dan dilandasi oleh asas
kekeluargaan. Oleh karena itu, salah satu tujuan perjuangan bangsa Indonesia yaitu
mewujudkan suatu masyarakata yang adil dan makmur yang mengarah pada
tercapainya cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka hukum tanah nasional kita yang
baru sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan perjuangan tersebut, dengan sendirinya
tidak boleh memuat ketentuan yang bertentangan dengan sosialisme yang ada di
Indonesiaa. Pemerintah sedikit demi sedikit telah melakukan usaha untuk ini, yang
diantaranya dengan mengubah dan mengatur ulang tentang perjanjian bagi hasil tanah
pertanian Undang-Undang no.2 tahun 1960 dan tentang bagi hasil perikanan Undang-
Undang no.16 tahun 1964. Kaidah hukum tersebut dirubah karena dianggap
mengandung unsur pemerasan yang sangat tidak sesuai dengan jiwa nasionalisme
yang terdapat di Indonesia.10
Hukum adat harus berlaku sesuai dengan jiwa sosialisme yang ada di
Indonesia, karena jika tidak, maka hukum adat tersebut sudah dianggap tidak berlaku
lagi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk menghindari keragua-raguan dari
para pelaksana hukum dan pihak yang berkepentingan, diperlukan adanya penegasan
oleh pembentuk Undang-Undang itu sendiri. Jika selama pembentukan undang-

10
Ibid, hlm. 216.
undang belum selesai dengan sempurna, maka keinginan dan kesadaran pribadi
masyarakatlah yang harus berusaha untuk mewujudkan tujuan perjuangan bangsa
Indonesia selama ini.

3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA


Dengan diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka telah
terjadi perubahan yang bersifat mendasar dan fundamental terhadap sistem pertanahan
di Indonesia, karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya, maupun mengenai
isinya harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia dan memenuhi keperluannya
sesuai dengan perkembangan zaman. Setelah itu, terjadilah unifikasi yang dengan
sendirinya melarang bentuk peraturan tanah baik tertulis maupun tidak tertulis, yang
bertentangan dengan kekuatan UUPA.11
Selain itu sebenarnya di dalam UUPA, ingin lebih ditekankan lagi terhadap
permasalahan keadilan sosial dalam UUPA, yang dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 9
angka (2) yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki
maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas
tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya”. Jadi jika diimplikasikan, maka sebenarnya UUPA sudah menjamin
keadilan bagi seluurh rakyat Indonesia.

4. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya


Wewenang untuk memberi izin terhadap pembukaan tanah yang didasarkan
atas ketentuan hukum adat seringkali disalahgunakan oleh Penguasa adat yang
bersangkutan. Sebeagai contohnya adalah kasus pemberian izin membuka tanah yang
diikuti dengan pemberian hak milik selaus 25 kilometer persegi oleh seorang Kepala
Kampung Sarang-Halang di daerah Kalimantan Selatan, kepada seorang warga negara
Indonesia keturunan asing.12 Berangkat dari permasalahan ini maka dibutuhkan suatu
pengaturan yang lebih tegas dan mendalam terhadap UUPA yang mengharuskan
hukum adat tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang bersangkutan terhadap
UUPA tersebut.
Peraturan yang terdapat dalam hukum adat yang akan dijadikan sumber dari
UUPA tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lain, yang

11
Ibid, hlm. 217.
12
Ibid, hlm. 218.
dijelaskan lebih dalam padapasal 53 UUPA yang mengharuskan diadakannya
peraturan mengenai hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa
tanah pertanian. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, maka secara otomatis
sesuatu yang terdapat dalam hukum adat tidak boleh bertentangan dengan perturan-
peraturan tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum adat adalah suatu hukum yang dibuat oleh rakyat, berlaku untuk
rakyat, dan dipertahankan oleh rakyat, sehingga hukum ini juga sering disebut “the
living law” karena hukum ini akan tetap ada dan berkembang selama masyarakat itu
tetap ada. Hukum adat adalah dasar bagi pembentukan UUPA, yang merupakan suatu
undang-udang yang mengatur tentang permasalahan keagrariaan di Indonesia.
Eksisitensi dari nilai-nilai hukum adat dalam UUPA bisa terlihat dalam beberapa pasal
yang secara ekplisit mengandung beberapa nilai-nilai yang terangkum dalam lima nilai
luhur yang menjadi jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan perwakilan, dan nilai keadilan
sosial.
Sebagai dasar dari terbentuknya UUPA, maka dapat disimpulkan bahwa
hukum adat mempunyai kedudukan sebagai sumber utama dari pembentukan hukum
agraria di Indonesia, dimana hukum agraria dapat dijadikan sebagai sumber masukan
dan pertimbangan bagi penyempurnaan hukum agraria yang lebih baik. Selain sebagai
sumber utama, hukum agraria juga mempunyai kedudukan sebagai pelengkap bagi
hukum agraria saat ada kekosongan hukum, yang bertujuan untuk menghindarkan
terdakwa terbebas dari hukuman karena tidak ada peraturan hukum yang mengaturnya,
sehingga nantinya hukum adat sendiri akan menjadi suatu check and balances bagi
UUPA itu sendiri agar selalu memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Selain itu dari beberapa kriteria mengenai kualifikasi hukum adat yang
digunakan sebagai dasar dalam pembentukan UUPA, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa sebenarnya penetapan hukum adat menjadi dasar dari UUPA seperti dua sisi
dari mata uang. Di satu pihak, bila hak ulayat memang sudah semakin menipis
hendaknya hal ini menjadi sebuah kesadaran bersama bahwa sebetunya secara
sosiologis masyarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia sejak
17 Agustus 1945. Di pihak lain, bila memang hak ulayat dinilai sebagai suatu tradisi
atau peninggalan dari nenek moyang, maka selain diberikan pembebanan kewajiban,
maka juga harus diberikan suatu pengakuan atas hak ulayat yang secara konkrit bisa
dirasakan oleh masyarakat.

B. Saran
Untuk mencapai tujuan dibentuknya UUPA yang memberikan jaminan
kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia bukanlah hal yang mudah dan tidak
selesai dalam sekejap mata, akan tetapi memerlukan waktu yang lama dan proses yang
panjang. Berangkat dari permasalahan ini, saya setuju dengan keputusan pemerintah
yang menyatakan bahwa hukum adat juga mempunyai kedudukan sebagai pelengkap
dari UUPA saat terjadi kekosongan hukum, karena dengan adanya hukum adat yang
mengisi kekosongan dapat menghindarkan terdakwa bebas dari jeratan hukuman
karena tidak ada aturan yang mengaturnya.
Untuk yang terakhir dalam masalah penetapan hukum adat menjadi dasar dari
pembentukan UUPA, sebaiknya pemerintah secara berkala mengadakan sosialisasi
tentang UUPA agar terbina suatu intergrasi nasional yang menjelaskan bahwa dengan
adanya UUPA, maka secara sosiologis masyarakat hukum adat telah ditingkatkan
menjadi bangsa Indonesia sejak proklamsi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika memang hak ulayat dinilai sebagai
suatu tradisi atau peninggalan dari nenek moyang, maka selain diberikan pembebanan
kewajiban, maka juga harus diberikan suatu pengakuan atas hak ulayat yang secara
konkrit bisa dirasakan oleh masyarakat, misalnya apabila tanah ulayat sudah diizinkan
untuk digunakan dalam pembangunan suatu perusahaan, maka harus dipertimbangkan
juga agar pembangunan tersebut tidak sampai mengganggu fungsi sosial yang melekat
pada hak ulayat tersebut dan jika diperlukan, maka perusahaan tersebut juga harus
memberikan usaha pemulihan keseimbangan dalam bentuk apapun yang kiranya
bermanfaat bagi keseluruhan anggota masyarakat adat.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwinata, Saleh, 1970, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960, Alumni,
Bandung.

Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.


Muhammad, Bushar, 1961, Pengantar Hukum Adat, Ichtiar, Jakarta.

legal-community.blogspot.co.id/2011/08/hukum-adat-dalam-UUPA.html?m=1

www.academia.edu/13126116/Eksistensi-Hukum-Adat-dalam-Hukum-Agraria-Naisonal

Anda mungkin juga menyukai