Anda di halaman 1dari 7

POLITIK HUKUM AGRARIA

POLITIK HUKUM AGRARIA NASIONAL DAN KEBERADAAN HAK ULAYAT


MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

(DOSEN : Prof. Dr. I Made Suwitra, S.H., M.H)

OLEH :

NAMA : LIA SITI SAWALIAH, SH

NPM: 2110123045

MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Tanah merupakan sesuatu hal yang sangat fundamental dan sekaligus diperlukan oleh
setiap manusia. Bahkan tanah menjadi tolak ukur dari kesejahteraan manusia. Oleh karena itu,
tanah tidak hanya dilihat dari aspek ekonominya saja melainkan dari semua aspek kehidupan.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pertauran Dasar Poko-pokok Agraria ,


dinyatakan sebagai tonggak yang sangat penting dalam sejarah perkembangan
agraria/pertanahan di indonesia yaitu sebagai salah satu upaya mewujudkan unifikasi hukum
dalam bidang pertanahan, walaupun unifikas tesebut dapat dinyatakan bersifat “unik” karena
masih memberikan kemungkinan berlakunya hukum adat dan agama.

Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu melalui
Konsiderans/ berpendapat yang menyatakan, bahwa “perlu adanya hukum agraria Nasional,
yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Lebih lanjut dalam pasal 5 UUPA ditemukan
adanya pernyataan, bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah
hukum adat.”1

Secara khusus perlu dicatat sikap ambivalen yang dianut oleh Undang-undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa hukum adat merupakan sumber dari hukum
agraria nasional kita. Namun pada sisi lain eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-haknya
dibebani beberapa kondisionalitas yang cepat atau lambat membuka peluang untuk
dimarginalkannya masyarakat hukum adat tersebut.

Sebelum berlakunya Undang-undang Pokok Agraria UUPA sebagai akibat politik


pemerintahan hindia belanda. Hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia bersifat dualistis.
Akibat dari hukum yang bersifat dualistis tersebut timbul bebrbagi kelembagaan hak atas tanah
yang bersumber pada hukum barat dan hukum adat. Hak atas tanah yang bersumber pada
hukum adat adalah hak ulayat. Menurut Boedi Harsono “ Hak Ulayat merupakanserangkaian
wewenang dan kewajiban suatu hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan termasuk
hukum publik, berupa tugas wewenang untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan,
dan pemeliharaanya.2

Secara garis besar, perkembangan politik hukum agraria nasional dapat diklasifikasikan
menjadi dua fase, yaitu sebelum dan sesudah UUPA. Sebelum berlakunya UUPA hukum agraria
lama bersifat dualistis, sedangkan setelah berlakunya UUPA hukum agraria disatukan dalam
sebuah peraturan yang sifatnya unifikasi dan memunculkan hak menguasai dalam negara.

1 I Made Suwitra, Konsep Komunal Religius sebagai Bahan utama dalam pembentukan UUPA

dan Dampaknya terhadap penguasaan tanah adat di Bali, Fakultas Hukum Universitas Warmadewa
Denpasar, Perspektif Volume XV No. 2 tahun 2010 edisi April. Hal 174
2 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan 1990 jilid I Hukum Tanah Nasional, hal 185.
Kecenderungan produk hukum agraria nasional kedepan akan lebih responsif. Hal ini
sejalan dengan kenyataan politik pemerintahan yang demoktris sekarang, sehingga
berimpilikasi terhadap watak produk hukum agraria, yakni berkarakter responsif. Dalam artian
bahwa rechbeleid (kebijakan hukum) pemerintah dalam bidang pertanahan mulai
memperhatikan hak-hak adat masayarakat terhadap tanah.

2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis memiliki rumusan masalah adalah
bagaimana Politik hukum agraria nasional dan keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat
dalam menghadapi Globalisasi?

3. METODE PENULISAN

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif (normatif) yaitu merajuk pada logika
deduktif dan penelitian ini menggunakan data berupa kata-kata, gambaran dan Undang-
unDang yang bersangkutan mengenai Politik Hukum Agraria.
BAB II

PEMBAHASAN

A. POLITIK HUKUM AGRARIA NASIONAL DAN KEBERADAAN HAK ULAYAT


MASYARKAT HUKUM ADAT DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

Hukum agraria nasional tidak bisa diisolasikan dari perkembangan global yang lebih
modern. Meskipun harus diakui bahwa sebgaaian besar masyarakat indonesia masih terikat
dengan adat kebiasaannya terhadap tanah, seperti halnya tanah ulayat (beschikkingsrecht) itu
sendiri.

Perihal hak ulayat (beschikkingsrecht) secara yuridis (ius consitutum) telah diatur dalam
pasal 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 yang menegaskan bahwa :

“dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1dan 2 pelaksanaan hak ulayat


dan hak-hak yang serupa itu dari masyaraat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Norma yang terkandung dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tersebut,
kemudian lebih dijelaskan bahwa:3

“ Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu di
dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya
hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-kepetusan
hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam keputusan-keputusan
hakim dan undang-undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-
peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan.
Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam UUPA yang pada hakekatnya berarti
pula pengajuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan memang masih ada
pada masyarakat hukum yang bersangkutan “

Arah politik hukum agraria nasional kedepan dalam menghadapi globalisasi adalah tetap
dalam kerangka pluralisme dan penyelarasan hyukum, yakni dengan mempararelkan anatara
kepentingan masyarakat adat dalam bentuk hak ulayat yang masih ada dengan kepentingan
pembangunan ekonomi nasional yang membutuhkan peranan hukum agraria nasional yang
lebih besar. Justru itu, agar hak ulayat masyarakat adat ini tidak “mengada-ada” atau “diada-
adakan”, maka perlu dibuat satu desain riset yang menuntukan masih ada atau sudah tidak ada
hak ulayat.

Penyelarasan hukum agraria adalah. Pertama, bahwa hukum agraria yang didasarkan
pada hukum adat didasarkan pada hukum adat berdasarkan pluralisme hukum akan
diselaraskan dengan kepentingan nasional kedepan. Kedua, bahwa hukum agraria yang
didasrakan pada hukum adat akan diselaraskan dengan keadaan dunia yang semkain

3 Darwin Ginting, “Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Bagi Penanaman Modal Bidang
Agrrobisnis di Indonesia”, (Bandung: Unpad Press, 2009), hal. 93
mengglobal, sehingga dibutuhkan moderniasasi hukum agraria nasional yang tidak
meninggalkan nilai-nilai budaya masyarakat yang berkenaan dengan tanah.

Ada tiga peran dalam menghadapi globalisasi politik hukum agararia, antara lain :

1. Peran masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Peran Wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menajdi lingkungan hidup
(labensraum) para warga persekuuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari.
3. Peran hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayatnya yang masih berlaku dan diatati oleh warga persekutuan hukum tersebut

Mengenai ketiga peran tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat dapat dilakukan
oleh Pemerintah daerah dengan mengikut-sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan
pihak-pihak yang dapat menyumbangkan dan perannya secara obyektif, yaitu antaara lain para
tertua adat, pakar adat, wakil lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wakil instansi yang
bertanggungjawab.

Dalam rangka mewujudkan politik hukum agraria yang responsif dan sesuai dengan
tuntunan era globalisasi, maka perlu dilakukan langkah-langkah yang strategis sehingga dapat
memperkecil kemungkinan terjadinya konflik dan sengketa tanah hak ulayat di indonesia.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Peran kebijakan hukum agraria nasional pada era globalisasi yang berkenaan dengan
hak ulyaat masyarakat hukum adat tetap pada kebijakan pluralisme hukum, dan peran-peran
lainnya yang berkaitan itu adalah peran masyarakat adat, peran wilayah, dan peran hubungan
anatara masyarakat tersbut dengan wilayahnya.

B. SARAN

Dalam menghadapi terpaan globalisasi masih perlu dipertahankan melalui cara


mengkombainnya dengan upaya pembaruan hukum lewat riset tentang ada tidaknya hak ulayat
masyarakat hukum adat disetiap daerah. Dari hasil riset itu juga perlu ditindak lanjuti dengan
melkaukan pemtaan hak ulayat sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Harsno, Boedi 1990, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA isi dan
pelaksanaannya, hukum tanah nasional, Jakarta
Ginting, Darwin 2009, Kepastian Hukum Hak atas Tanah bagi Penanaman Modal bidang
agrobisnis di Indonesia, Unpadpress, Bandung

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

JURNAL :

I Made Suwitra, Konsep Komunal Religius sebagai Bahan utama dalam pembentukan
UUPA dan Dampaknya terhadap penguasaan tanah adat di Bali, Fakultas Hukum Universitas
Warmadewa Denpasar, Perspektif Volume XV No. 2 tahun 2010 edisi April

Anda mungkin juga menyukai