Anda di halaman 1dari 16

PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT ADAT

DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI ERA OTONOMI DAERAH


KAB. HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA
Salha Marasaoly, Siti Barora, Mulyadi Tutupoho

Abstrak
Pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UU NRI 1945 termasuk masyarakat adat
hibualamo yang berada di Kab. Halmahera Utara. Dalam konteks penataan ruang,
peran serta masyarakat adat diperlukan dalam rangka menyeimbangkan kebutuhan
pembangunan dengan hak tenurial sehingga selaras dengan nilai-nilai kearifan
lokal yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Abstract
Recognition and respect for human rights can be affirmed in Article 18B
paragraph (2) of the 1945 NRI Law including indigenous peoples hibualamo
residing in Kab. North Halmahera. In the context of spatial planning, the
participation of indigenous peoples is necessary in order to balance development
needs with tenure rights so as to align with the value of local wisdom that
supports sustainable development.

A. Pendahuluan
Amandemen Kedua UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2)
menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal
ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas tanah yang dikuasai
berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang.
Pengakuan terhadap persekutuan masyarakat hukum adat beserta
lebensraum yang masih tetap hidup juga ditegaskan pada Pasal 3 UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa pelaksanaan
hak masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataanya masih ada harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara.
Desentralisasi penyelenggaraan otonomi daerah pada tahun 2014
dikonstruksi melalui penggabungan fungsi self governing community dengan
local self government khususnya berkaitan dengan masyarakat hukum adat
sebagaimana terumus secara eksplisit dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah maupun UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Terkait
hak ulayat masyarakat adat, UU Nomor 23 Tahun 2014 memberikan kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah otonom dengan titik berat
otonom pada daerah Kabupaten/Kota termasuk menyelenggarakan pengaturan
bidang pertanahan khususnya tanah ulayat.
Konsep Hak Menguasai Negara terintegrasi dalam penyelenggaraan
Penataan Ruang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang khususnya kebijakan perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Kebijakan perencanaan Tata Ruang dalam
sistem perencanaan pembangunan terimplementasi melalui Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) maupun Rencana Rinci Tata Ruang1 yang menjadi arah
penyelenggaraan pembangunan yang memanfaatkan ruang dalam jangka panjang.
Provinsi Maluku Utara secara administrasi terbentuk berdasarkan UU
Nomor 46 tahun 1999, saat ini terdiri dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota dari
aspek hukum pertanahan merupakan tanah bekas swapraja yang merupakan
bagian dari wilayah 4 (Empat) Kesultanan “Moloku Kieraha” dimana
penguasaan/pemilikan tanah oleh Kesultanan sampai lahir UU Nomor 5 Tahun
1960 beralih statusnya menjadi tanah Negara melalui “landreform”.
Konflik Agraria, konflik pengelolaan sumber daya hutan, kerusakan
lingkungan, alih fungsi kawasan hutan merupakan contoh-contoh krisis yang
lahirnya dari kebijakan pembangunan yang lebih menempatkan hutan dan tanah
sebagai sumber ekonomi meningkatkan devisa negara terutama PAD. Dalam
konteks Maluku Utara, hasil pemetaan AMAN Malut menunjukkan potret
kebijakan pembangunan yang lebih akomodatif terhadap pemodal terlihat pada
eksploitasi wilayah adat suku Pagu oleh PT. Nusa Halmahera Minerals, PT Antam
(PT Harita sub con) yang menguasai wilayah suku Tobelo Dalam.2
Oleh karena itu, penyelenggaraan kebijakan penataan ruang di Provinsi
Maluku Utara perlu dilakukan harmonisasi dengan mengakomodasi hak
masyarakat adat (hak ulayat/tenurial) pada pengaturan struktur ruang dan pola
ruang dengan berpedoman pada UU Nomor 6 Tahun 2016 berserta regulasi
pelaksanaannya sehingga terdapat sinkronisasi penyelenggaraan pembangunan
didaerah.
Dengan demikian, teridentifikasi permasalahan yakni (1) Bagaimana Status
Kedudukan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi
Maluku Utara? dan (2) Bagaimana Pelaksanaan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat Dalam Kebijakan Penataan Ruang di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi
Maluku Utara? Disisi lain, pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
masyarakat adat di Kab. Halmahera Utara telah melakukan penandaan terhadap
kawasan hutan konsesi perusahaan (hutan produksi) sebagai wilayah adat. Hal ini

1
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi/Kabupaten/Kota; Rencana Detail Tata Ruang
2
http://amanmalut.blogspot.com/diakses 20 Mei 2016

2
tentunya kontra produktif terhadap penyelenggaraan investasi yang merupakan
implementasi dari kebijakan pemanfaatan ruang.

B. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Secara terminologis, “pengakuan” (erkenning) berarti proses, cara,
perbuatan mengaku atau mengakui. Sedangkan kata “mengakui” berarti
menyatakan “berhak”.3 Husen Alting menyatakan bahwa pengakuan hak
masyarakat hukum adat tidak hanya terbatas dalam bentuk pengakuan dalam
hukum Negara, tetapi karena secara faktual masyarakat Indonesia bersifat
majemuk (plural) maka pengakuan dapat diperoleh melalui hukum yang hidup
dalam masyarakat yaitu hukum adat.4 Pengakuan hak atas tanah baik yang diatur
dalam hukum Negara maupun hukum yang hidup dalam masyarakat, memiliki
makna apabila ketentuan tersebut diikuti oleh tindakan perlindungan dari Negara.
Kata “perlindungan” tersusun dari kata dasar lindung yang berarti tempat
berlindung atau hal (perbuatan). Perlindungan bermakna pemberian jaminan atas
sesuatu sebagai konsekuensi dari sang pelindung. Berkaitan dengan perlindungan
hukum yang dilakukan oleh Pemerintah, Philipus M. Hadjon membedakan
menjadi 2 (dua) macam yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan
hukum represif.5
Perlindungan hukum preventif, rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan
keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
diformulasikan dalam bentuk yang defenitif. Perlindungan hukum preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Sedangkan perlindungan hukum
represif merupakan upaya perlindungan yang dilakukan melalui Badan peradilan,
baik peradilan umum maupun peradilan administrasi Negara. Perlindungan
hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

2. Pengertian dan Sifat Masyarakat Hukum Adat


Masyarakat adat adalah terjemahan dari kata Indigenous peoples6. Banyak
orang membedakan pengertiannya dengan istilah masyarakat hukum adat yang
3
Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Jakarta, Hlm. 24
4
Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat Atas Tanah, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, Hlm. 67
5
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
Hlm. 2-3
6
Istilah “Indigenous People” berarti kelompok orang/masyarakat yang hanya memiliki hak-hak
individual, sedangkan “Indigenous People” merujuk kepada kelompok orang/masyarakat yang
memiliki hak-hak kolektif.

3
merupakan terjemahan dari istilah Belanda Rechtsgemeenschap. Penggunaan
istilah masyarakat adat akan lebih luas maknanya bila dibandingkan dengan
masyarakat hukum adat. Istilah masyarakat adat diyakini mempunyai dimensi
makna yang luas dari sekedar aspek hukum, padahal dalam masyarakat adat
sangat erat terkait dengan dimensi kultural, religi dan sebagainya, namun sebagai
pendukung hak dan kewajiban, akan lebih tepat entitas masyarakat ditetapkan
pada masyarakat hukum adat.
Pengertian masyarakat hukum adat menurut Ter Haar dalam Husen 7 adalah
kelompok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai
kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang
terlihat maupun benda yang tidak terlihat dimana para anggota kesatuan masing-
masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut
kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran
atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-
lamanya.
Masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap)
yakni kumpulan manusia yang teratur dan membentuk kesatuan (unity) memiliki
ciri-ciri, sebagai berikut :
1) Menempati secara tetap pada suatu daerah tertentu atau ada dalam kesatuan
wilayah;
2) Mempunyai penguasa atau kesatuan penguasa dalam komunitasnya;
3) Mempunyai kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud;
4) Mempunyai kesatuan hukum (legal entity); dan
5) Memiliki nilai dan religi yang diyakini kebenarannya.

3. Penyelenggaraan Kebijakan Penataan Ruang


Menurut M. Daud Silalahi8, salah satu konsep dasar pemikiran tata ruang
menurut hukum Indonesia terdapat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 yang tersusun
berlandaskan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yakni konsep hak
menguasai dari Negara yang memuat wewenang untuk: (1) Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa; (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; (3) Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Ketentuan tersebut memberikan hak penguasan kepada negara atas seluruh
sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk

7
Husen Alting, ibid, Hlm. 30-31
8
M. Daud Silalahi, 2001. Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia, Alumni, Bandung, Hlm. 78

4
menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kalimat tersebut
mengandung makna, negara mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna
terlaksananya kesejahteraan rakyat yang dikehendaki.
Melalui UU Nomor 26 Tahun 2007, Negara menetapkan arah pengelolaan
sumber daya alam melalui kebijakan strategis berjangka panjang yang tertuang
dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Rinci Tata
Ruang seperti Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis dan Rencana Detail Tata
Ruang Kab/Kota. Juniarso Ridwan menyatakan bahwa permasalahan penataan
ruang merupakan suatu gambaran yang bersifat multi sektoral, terutama setelah
diberlakukan otonomi daerah. Kebijakan otonomi dalam pelaksanaan penataam
ruang dengan berbagai pro dan kontranya, merupakan salah satu peluang yang
dapat mendekatkan penerapan tata ruang pada permasalahan lokal, keterlibatan
public secara nyata dan membangun komitmen masyarakat madani pada masalah
tata ruang.9

C. Metode Penelitian
Penelitian “Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Kebijakan
Penataan Ruang Di Era Otonomi Daerah (Studi Pada Kab. Halmahera Utara
Provinsi Maluku Utara)” merupakan penelitian hukum empiris (yuridis empiris)
yakni penelitian hukum yang bertujuan untuk mengetahui sejauhmana bekerjanya
hukum didalam masyarakat yang berpangkal tolak dari fenomena hukum
masyarakat atau fakta sosial yang terdapat dalam masyarakat.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Status Kedudukan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten
Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara
Berdasarkan sejarah, pada abad ke-8, terdapat beberapa suku besar yang
mendiami wilayah Halmahera Utara, yakni : Suku Tobaru, suku Pagu, suku
Madole, suku Boeng dan suku Towiliko. Suku-suku ini kemudian bersepakat
untuk melakukan pembagian wilayah. Selain itu juga teridentifikasi suku yang
dikenal dengan Togutil/suku tobelo dalam.
Terdapat beberapa sistem kekerabatan di Halmahera Utara. Suku Kao (4
sistem kekerabatan), suku Galela Suku Galela (2 sistem kekerabatan), memiliki 4
Hoana (wilayah petuanan) sedangkan suku Tobelo memiliki 4 sistem
kekerabatan/Hoana diantaranya Hoana Lina, Hoana Huboto, Hoana Momulati,
Hoana Gura.10
9
Juniarso Ridwan, 2008, Hukum Tata Ruang Dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah,
Nuansa, Bandung, Hlm. 158
10
Jesaya Banari, Tokoh Adat, wawancara 21 Oktober 2017

5
Dalam paparan E.J. Papilaya istilah suku lebih dikenal nama hoana. Hoana
mengandung arti persekutuan kehidupan masyarakat dalam satu area tertentu yang
disebut kampung. Persekutuan tersebut memiliki hubungan kekeluargaan dengan
adat istiadat yang dimiliki. Adapun 'soa' adalah rumpun keluarga seasal-muasal
atau satu pancaran keturunan turun-temurun. Soa dapat cenderung disamakan
dengan marga atau fam. Entitas hamparan Hoana Ngimoi, terdiri dari: Hoana
Modole, Hoana Pagu, Hoana Boeng, Hoana Towiliko, Hoana Morodina/ Towara,
Doitia, Hoana Morodai/Toweka, Hoana Lina, Hoana Gura, Hoana Mumulati, dan
Hoana Huboto.
Kelembagaan adat pada suku Modole hingga kini masih eksis. Secara
struktural, pimpinan tertinggi suku disebut Sangaji, selanjutnya Kepala adat untuk
memimpin kelembagaan adat di desa, Himo (sesepuh), Mirino (Pembantu Kepala
Adat) dan Kapita. Suku Boeng menempati wilayah pesisir Halmahera Utara sejak
berabad-abad lalu. Masyarakat suku Boeng masih memiliki kelembagaan adat
yang terbentuk melalui tata cara adat yang berlaku di sana, dipimpin oleh seorang
Kepala Suku (sangaji). Suku Pagu adalah orang-orang yang menempati belantara
Halmahera utara tepatnya didaerah Maliput (yang sekarang dikenal dengan nama
Malifut) dengan kelembagaan adat mulai dari Tubolmalamok/Sangaji sebagai
tampuk kepemimpinan di level suku kemudian Fanyira (Kepala desa), Kapita
(panglima perang), Let (kepala-kepala adat), Bobangu Madungu (ahli hukum),
Galihi Madungu (ahli agama), Baru-baru (pemuda), Langasa (protokoler),
Mirino (kurir) dan Bonganamadadanu (penjaga hutan). Suku Kao mendapat
keistimewaan dari Kesultanan Ternate, melalui pengangkatan Kepala suku Kao
sebagai Sangaji Jiko Makolano (pemimpin dari 4 suku yakni Kao, Modole, Pagu
dan Boeng). Artinya ke-empat suku ini meskipun masing-masing memiliki klaim
wilayah, dan klaim atas SDA namun tetap akan dikoordinir oleh Sangaji Jiko
Makolano. Suku Tobelo memiliki 4 sistem kekerabatan/Hoana diantaranya Hoana
Lina, Hoana Huboto, Hoana Momulati, Hoana Gura.
Untuk memperoleh perlindungan Negara, masyarakat hukum adat secara de
jure harus memperoleh pengakuan melalui Keputusan Kepala Daerah
sebagaimana ditegaskan dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 201411 setelah
dilakukan identifikasi oleh Camat, verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat
Hukum Adat Kabupaten/Kota. Norma hukum materiil pengakuan masyarakat
hukum adat dalam regulasi ini merumuskan indikator yang bersifat kumulatif
yakni: sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan
dan/atau benda-benda adat, dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat yang
sedikit banyak terdistorsi akibat politik hukum yang berubah-ubah.

11
Pasal 5 dan Pasal 6, Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

6
Di Kabupaten Halmahera Utara, komitmen pengakuan Pemerintah Daerah
terhadap masyarakat adat teridentifikasi melalui Keputusan Bupati Halmahera
Utara Nomor 189/133/HU/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat Hibualamo sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Kabupaten
Halmahera Utara dimana Masyarakat hukum adat hibualamo meliputi wilayah
adat hoana Modole, Hoana Pagu, Hoana Towiliko, Hoana Boeng, Hoana Lina,
Hoana Huboto, Hoana Mumulati, Hoana Gura, Hoana Morodina, Hoana Morodai,
dan Hoana Loloda.

2. Pelaksanaan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dalam


Kebijakan Penataan Ruang di Kabupaten Halmahera Utara
Provinsi Maluku Utara

Kebijakan penataan ruang berkaitan dengan perencanaan, pemanfaatan, dan


pengendalian pada wilayah darat, laut dan udara. Berkaitan dengan bagian teratas
permukaan bumi yang disebut tanah (wilayah daratan) bagi masyarakat adat
merupakan ruang hidup utama yang berwujud tanah pekarangan, tanah
perkebunan, tempat keramat bertahta roh nenek moyang sebagai warisan leluhur.
Demikian pentingnya wilayah pertuanan masyarakat adat ini sehingga dalam
Konstitusi menjabarkan pengakuan tidak hanya terhadap masyarakat hukum adat
akan tetapi juga beserta hak-hak tradisional yang dalam kepustakaan Ilmu Hukum
dikenal dengan hak ulayat atau beschikkingsrecht.
Tanah adat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum
adat dipandang sebagai tanah bersama yang merupakan “pemberian/anugerah”
dari suatu kekuatan gaib, sehingga semua hak perorangan bersumber dari tanah
bersama tersebut. Status hak atas tanah pada beberapa suku masih bersifat kolektif
namun juga terdapat klaim wilayah yang dimiliki oleh perseorangan. Berdasarkan
keterangan dari Sangaji Boeng, status kepemilikan tanah oleh warga adalah hak
pakai sehingga warga tidak memiliki sertifikat. Status tanah di Boeng merupakan
tanah adat dengan status kepemilikan secara kolektif oleh masyarakat hukum adat
setempat. Pada wilayah-wilayah hutan tertentu masih diklaim kolektif merupakan
tanah ulayat masyarakat adat Pagu. Masyarakat adat suku Kao secara kolektif
memiliki klaim wilayah tanah ulayat namun sebagian masyarakatnya juga sudah
memiliki sertifikat hak kepemilikan atas tanah. Dalam mengelola SDA,
masyarakat terikat dengan kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang
secara turun temurun. Beberapa kearifan lokal yang masih ada, diantaranya
Masiloloa (meminta izin atau permisi kepada penunggu hutan, ketika masuk
mengelola hutan), Dolabololo yakni “gena tonyawa ya akun wa wa’ae” artinya
jangan mengambil apa yang menjadi milik orang”, “gena tonyawa omasingasusi

7
ala odiai” artinya jika ingin sesuatu dari orang lain, maka minta izinlah terlebih
dahulu.
Pengakuan hak atas tanah berdasarkan hukum adat yang berlaku
merupakan suatu konsekuensi dari keberadaan masyarakat yang otonom, untuk
mengatur hubungan-hubungan hukumnya. Dengan kata lain, pada masyarakat
hukum adat terdapat kepastian kelompok-kelompok sosial (social field) dalam
menciptakan mekasime-mekanisme pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan
tanah tersendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan pemaksa pentaatannya
melalui norma hukum dan istitusi yang diakui. Namun pada saat yang bersamaan
terdapat campur tangan dari pihak luar (negara) maka keberadaan masyarakat
berserta norma yang telah disepakati tersebut menjadi semi otonom karena
dipengaruhi oleh faktor eksternal. Pengaruh faktor eksternal inilah yang
menyebabkan terjadinya keberagaman hukum yang saling mempengaruhi secara
dinamis dalam prilaku sosial masyarakat yang beragam. Hal ini sejalan dengan
teori Semi-Autonomous Social Field yang dikemukakan oleh Moore. Realitas ini,
oleh Achmad Sodiki dinamakan terjadi pengaruh pada dinamika internal dan
eksternal hukum dalam masyarakat.
Dalam kaitan tanah adat, B.F. Sihombing membagi dalam dua jenis, yakni
hukum tanah adat yang terjadi pada masa lampau dan hukum tanah adat yang
terjadi pada masa kini. Ciri-ciri tanah adat masa lampau12 adalah tanah-tanah yang
dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat,
memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun
berpindah-pindah dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara
turun temurn masih berada di lokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-
tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa makam, patung,
rumah-rumah adat, dan dan bahasa daerah sesuai dengan daerah yang ada di Negara
Republik Indonesia. Sedangkan ciri-ciri hukum tanah adat masa kini13 yakni:
12
Hukum Tanah Adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang
tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Serta pada zaman Indonesia merdeka tahun
1945, tanpa bukti kepemilikan secara otentik maupun tertulis, jadi hanya pengakuan. Adapun
ciri-ciri hukum tanah masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh
seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta
menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah dengan daerah, suku, dan
budaya hukumnya, kemudian secara turun temurn masih berada di lokasi daerah tersebut, dan
atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa
makam, patung, rumah-rumah adat, dan dan bahasa daerah sesuai dengan daerah yang ada di
Negara Republik Indonesia. B.F. Sihombing, op cit, Hlm. 67
13
Hukum Tanah Adat Masa Kini ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman
sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti otentik berupa girik, petuk pajak,
pipil, hak agrarische eigendom, milik yasan, hak atas druwe atau hak atas druwe desa, pesini,
Grant Sultan. Landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht hak usaha atas tanah bekas
partekelir, fatwa hali waris, akta peralihan, dan surat-surat segel dibawah tangan dan bahkan
ada yang telah memperoleh sertifikat, serta surat pajak hasil bumi (verponding Indonesia), dan
hak-hak lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta masih dikaui

8
a. Ada masyarakat, Badan Hukum Pemerintah/Swasta.
b. Masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan.
c. Turun-temurun atau telah berpindah tangan atau dialihkan.
d. Mempunyai bukti pemilikan berupa girik, verponding Indonesia, petuk,
ketitir, sertifikat, fatwa waris, penetapan pengadilan, hibah, akta peralihan,
surat di bawah tangan, dan lain-lain.
e. Menguasai secara Fisik, berupa Masjid, Kuil, Gereja, Pura, Candi, danau,
patung, makam, sawah, ladang, hutan, rumah adat, gedung, sungai, gunung
dan lain-lain14.
Dalam hukum adat atas tanah Kesultanan Ternate, dikenal dengan beberapa
bentuk hak antara lain : (1) Aha Kolano (seluruh tanah yang berada dalam wilayah
adat, dan belum terdistribusi. Aha Kolano merupakan hak induk dimana
penguasaannya berada di tangan Sultan; (2) Aha Soa (Aha Soa dalam bahasa
Ternate bermakna Tanah Soa. Soa itu sendiri merupakan sebuah atau masing-
masing wilayah perkampungan baik itu dalam arti besar maupun perkampungan
kecil yang dihuni oleh klan, suku, marga tertentu yang berada dalam wilayah adat
Ternate); (3) Aha Cocatu (hak penguasaan atas tanah yang diberikan oleh Sultan
atau lembaga adat kepada seseorang dalam arti pribadi maupun klan).
Suku Tobelo memiliki kearifan lokal dalam mengelola SDA, untuk
meminimalisir konflik antar warga di sana, ada adagium (dalam bahasa lokal:
dolabolo) yang kemudian dimaknai memiliki ketegasan untuk mengontrol
hubungan interaksi antar sesama yakni “uha homadadi odidali mangutuku ha
babu owowango gena ore’ehe deo hininga” artinya janganlah selalu menjadi
sumber pertengkaran karena hidup itu adalah keseimbangan jasmani dan rohani.
Disamping itu, ada dolabolo yang terkait dengan bagaimana warga semestinya
menghargai alam semesta “akere tonaka hongana gena de maduhutu” artinya
hutan, tanah dan sesungguhnya itu bertuan.
Pada praktiknya, penyelenggaraan pembangunan yang berkonsekuensi
terhadap pemanfaatan ruang cenderung menegasikan kebutuhan/kepentingan
masyarakat hukum adat dan berdampak buruk terhadap tatanan nilai sosial,
ekonomi dan religi. Kebijakan pemekaran wilayah mendorong Pemerintah Daerah
pemekaran melaksanakan pembangunan fisik prasarana dan pengembangan
kawasan startegis dalam wilayah administrasi baru. Disisi lain, problem
demografi terwujud dalam laju pertumbuhan penduduk beserta aktivitas sosial
ekonomi lainnya menempatkan ruang/tanah tidak lagi sebagai social asset akan
tetapi beralih menjadi capital asset. Hal ini mengakibatkan ruang hidup
masyarakat adat menjadi obyek komodifikasi melalui kebijakan kawasan strategis
penataan ruang, perizinan korporasi pada sektor pertambangan/kehutanan hingga
secara internal dan eksternal. B.F. Sihombing, Ibit, Hlm. 68
14
B.F. Sihombing, Ibid, Hlm. 70

9
pembangunan infrastruktur hingga penetapan dan pengelolaan kawasan hutan
Negara berupa kawasan hutan lindung hingga Taman Nasional yang menerapkan
sistem Zonasi.
Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Halmahera Utara saat ini
berlandaskan pada Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang RTRW Kab.
Halmahera Utara Tahun 2012-2032 dimana penetapan ruang lingkup kegiatan
dalam penyusunan RTRW Kabupaten Halmahera Utara mengacu pada peraturan
penataan ruang yakni UU Nomor 26 Tahun 2007 dan Pedoman Penyusunan
RTRW Kabupaten. Sedangkan secara substantif, penyusunan RTRW Kabupaten
Halmahera Utara memperhatikan RTRWN dan RTRW Propinsi serta peraturan
yang lebih tinggi lainnya, di samping melihat RTR Pulau Maluku dan RTRW
Kabupaten di sekitarnya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Halmahera
Utara, serta rencana pembangunan daerah.
Dalam hal pembuatan hukum (law making), penyusunan rencana umum tata
ruang harus melibatkan peran serta masyarakat termasuk didalamnya masyarakat
adat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 65 UU Nomor 26 Tahun 2007 yang
menyatakan bahwa :
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Namun dalam pelaksanaannya, penyusunan dokumen RTRW Kab.


Halmahera Utara cenderung eksklusif tidak melibatkan masyarakat, dimana
berdasarkan hasil riset sebesar 98% responden menyatakan belum pernah
dilibatkan dalam proses penyusunan RTRW bahkan pada tahun 2012 atau tahun
sebelumnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Elfrida Ngato, Sangaji Pagu
yang menyatakan bahwa:
“dalam penyusunan RTRW mestinya harus ada aspirasi masyarakat adat
karena yang memiliki ruang hidup adalah masyarakat adat sehingga tidak
terjadi over lapping, namun sejauh ini masyarakat bahkan Saya sendiri tidak
pernah dilibatkan dalam penyusunan RTRW”.15

Pandangan lain dikemukakan oleh Jesaya Banari, salah satu tokoh adat
Tobelo yang menyatakan bahwa:

15
Elfrida Ngato, Sangaji Pagu, wawancara 7 November 2017

10
“RTRW merupakan dokumen strategis perencanaan ruang yang berjangka
panjang yang disusun secara teknokratik oleh ahli yang ditunjuk. Dalam
penyusunannya dilakukan penggalian gagasan, pembahasan dokumen
RTRW dimaksud meskipun pada forum yang sangat terbatas karena secara
garis besar, dokumen ini susah dipahami oleh orang awam. Terkait
kurangnya keterlibatan masyarakat adat, Saya sependapat karena dalam
pembahasan RTRW yang dibahas adalah mimpi pemda untuk
memakmurkan negeri melalui modernitas dan profesionalitas.”16

Pasal 3 ayat (2) Perda Nomor 9 Tahun 2012, Kebijakan penataan ruang
Kab. Halmahera Utara, terdiri atas:
a. Pengembangan kawasan-kawasan perkotaan dalam suatu sistem hierarki
kota yang harmonis, nyaman, efisien dalam pengelolaan dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan;
b. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana
transportasi, telekomunikasi, energi dan sumber daya air yang terpadu dan
merata diseluruh wilayah;
c. Pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
d. Pengembangan dan perwujudan kegiatan budidaya unggulan (pertanian,
pertambangan dan kelautan) yang secara optimal mampu meningkatkan
perekonomian kabupaten dengan tetap memperhatikan daya dukung dan
daya tampung lingkungan; dan
e. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.

Arah kebijakan pengembangan kawasan-kawasan perkotaan dalam suatu


sistem hierarki kota yang harmonis, nyaman, efisien dalam pengelolaan dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, berupa:
1) Mendukung penetapan kawasan perkotaan Tobelo sebagai pusat kegiatan
wilayah (PKW);
2) Mendukung penetapan kawasan perkotaan Galela, Malifut dan Kao sebagai
Pusat Kegiatan Lingkungan (PKL) dan kawasan perkotaan Loloda Utara
sebagai PKL persiapan;
3) Menetapkan kawasan-kawasan perkotaan kecamatan sebagai pusat-pusat
kegiatan yang melayani skala kecamatan dan desa berupa Pusat Kegiatan
kecamatan dan PPL;
4) Mengembangkan pusat pertumbuhan baru dikawasan yang belum terlayani
oleh pusat pertumbuhan;
5) Menjaga keterkaitan antar kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan
dan kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah
sekitarnya.
6) Mendorong kawasan perkotaan dan Pusat pertumbuhan agar lebih
kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya;
7) Mengendalikan perkembangan kota-kota pantai.

16
Jesaya Banari, tokoh adat Tobelo, wawancara 23 Oktober 2017

11
Arah kebijakan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan
prasarana transportasi, telekomunikasi, energi dan sumber daya air yang terpadu
dan merata diseluruh wilayah, dilakukan melalui:
a) Meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan
pelayanan transportasi darat, laut dan udara;
b) Memberikan akses antar pusat-pusat kegiatan dan pusat-pusat pemasaran;
c) Mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama dikawasan
terisolasi;
d) Meningkatkan pasokan energy dan peningkatan aksesibilitas masyarakat
terhadap energy;
e) Meningkatkan jaringan energy untuk memanfaatkan energy terbarukan dan
tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem
penyediaan tenaga listrik;
f) Meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan
sistem jaringan sumber daya air.

Uraian ini menunjukan bahwa perkembangan perkotaan memerlukan sistem


jaringan prasarana dalam struktur ruang kota sehingga akan terdapat banyak
kegiatan pembangunan infrastruktur yang merupakan kegiatan pembangunan
untuk kepentingan umum seperti pasar, peningkatan ruas jalan, transportasi dan
prasarana pendukung, telekomunikasi, dan lain sebagainya yang dilakukan pada
wilayah pertuanan adat Modole, pagu, boeng, lina, dan lain-lain.
Penyelenggaraan pembangunan infrastruktur yang disebutkan sebagai
bagian dari kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum menurut UU Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum harus didahului dengan kesepahaman dan kesepakatan warga atas kegiatan
yang dilakukan meskipun bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dan
kesejahteraan warga masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 9, yang
menyatakan bahwa:
“Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin
kepentingan hukum pihak yang berhak. Penyelenggaraan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pembangunan dan kepentingan masyarakat yang dilaksanakan dengan
pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.”17

Uraian Pasal diatas bermakna bahwa pelaksanaan pembangunan untuk


kepentingan umum telah ditetapkan peruntukan kategori pembangunan, dengan
prosedur pengadaan tanah mulai dari persiapan hingga penyerahan hasil kegiatan
17
Pasal 9 UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum

12
pengadaan tanah. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan
sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis; dan
d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.

Dalam pelaksanaannya menurut salah satu warga masyarakat Desa


Wangeotak Kec. Kao yang merupakan bagian dari suku Pagu, Bernard Hoata
bahwa:
“…kami adalah warga Negara yang patuh pada hukum namun sudah
seharusnya Negara menghormati kami, tanah kami, hutan kami, dan laut
kami. Namun sepertinya kami dipandang seperti orang bodoh saja, sehingga
jika ada pembangunan yang dilaksanakan kami tinggal terima saja tidak
pernah dibicarakan dengan kami.”18

Hal lainnya disampaikan Jeremiyah Laranga, warga desa Daru Kec. Kao
Utara mengatakan bahwa:
“Saya tidak pernah melihat dan mendengar RTRW, tapi seharusnya jika
ingin membangun ada rencananya sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Kao ini dianugerahi emas dan hutan berlimpah, namun kami hanya tahu
Pemerintah yang berkuasa untuk mengizinkan siapapun di tanah leluhur ini,
contoh NHM dahulu sebelum ada kami bebas melawati jalan kebun untuk
mencari damar, dan kayu tapi sekarang tidak bisa lagi karena dijaga oleh
NHM. Sampai sekarang NHM ada semakin berkembang tapi masyarakat
sini hidupnya tidak berubah, hanya sedikit orang saja yang maju karena
mengabdi pada perusahaan.”19

Uraian diatas menunjukan bahwa warga masyarakat sendiri memiliki


pandangan terkait bagaimana mengelola sumber daya yang terberi sebagai
warisan leluhur namun sejak lama ruang hidup khususnya tanah yang menjadi
social asset berlahir fungsi menjadi capital asset sehingga cenderung
dikomodifikasi oleh Negara, salah satunya adalah melalui investasi penanaman
modal contohnya PT. Nusa Halmahera Mineral. Meskipun kebijakan moratorium
oleh Pemerintah Pusat melemahkan sektor pertambangan namun NHM masih
tetap bertahan dan melakukan kegiatan pertambangan.
Kearifan lokal berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam terutama
hutan menjadi masalah hingga saat ini terutama setelah masuknya investasi baik
penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal luar negeri. Hal ini
menjadikan masyarakat adat semakin termarginal atas penguasaan ruang hidup
bahkan sejalan dengan pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
18
Bernard Hoata, warga desa Wangeotak, wawancara 27 Oktober 2017
19
Jeremiyah Laranga, warga desa Daru, wawancara 28 Oktober 2017

13
dilakukan beberapa proyek nasional diantaranya pencetakan sawah padahal
masyarakat adat juga memiliki dusun sagu dan kobong kasbi untuk makanan
sehari-hari.
Kebijakan pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan
hidup dilakukan selaras dengan kebijakan pola ruang, antara lain:
a. menetapkan kawasan-kawasan yang berfungsi lindung;
b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah dalam satu
daerah aliran sungai (DAS) dan pulau dengan luas paling sedikit 30% dari
luas DAS dan Pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemya;
c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang sudah
menurun akibat kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan
memelihara keseimbangan ekosistem wilayah;
d. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau
dampak negative yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu
mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya;
e. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energy,
dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
f. mencegah terjadinya tindakan yang secara langsung atau tidak langsung
dapat menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan
lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan
berkelanjutan;
g. mengendalikan pemanfaatan sumbe daya alam secara bijaksana untuk
menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
h. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan
untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun masyarakat hukum


adat Hibualamo Kabupaten Halmahera Utara telah memiliki legal standing diakui
oleh Pemerintah Daerah, namun dalam praktik penataan ruang cenderung kurang
bahkan tidak dilibatkan dalam tahapan penyusunan kebijakan penataan ruang
padahal perencanaan spasial pada wilayah Kabupaten menyentuh ruang hidup
masyarakat adat.
Berkaitan dengan pengharapan masyarakat atas kebijakan penataan ruang
diKab. Halmahera Utara berdasarkan hasil riset, masyarakat adat memiliki
ekspetasi masing-masing dalam terhadap Pemerintah dalam kebijakan Penataan
ruang mulai dari pelibatan masyarakat adat dalam penataan ruang wilayah
kabupaten, pengintegrasian kebijakan penataan ruang wilayah adat dengan RTRW
Kabupaten, melakukan bimbingan teknis terhadap masyrakat adat yang
termarginal secara struktural sehingga lebih berdaulat atas tanah, air dan
lebensraum hingga gagasan untuk menyusun perencanaan tata ruang wilayah adat
yang terpisah dari tata ruang wilayah (baik rencana umum maupun rencana rinci).

14
Uraian diatas menunjukan bahwa bagi masyarakat pagu, kao dan Tobelo
harapan pembaharuan Tata ruang wilayah yang responsive terhadap perlindungan
masyarakat adat dapat dilakukan dengan langkah-langkah, diantaranya: mengikut
sertakan masyarakat adat dalam perencanaan dan implementasi RTRW,
memberikan bantuan teknis guna meningkatkan kemampuan masyarakat adat
dalam perencanaan tata ruang wilayah serta mengintegrasikan tata ruang wilayah
adat dalam RTRW.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka Pemerintah Daerah dengan
kewenangan yang dimiliki dalam penyelenggaraan penataan ruang wajib
mengikuti tata aturan penyusunan RTRW yang responsive terhadap kebutuhan
masyarakat yang tidak saja bernilai ekonomi, politik namun budaya yang tidak
sekedar simbol.
Langkah-langkah akomodatif yang dapat dilakukan guna mendorong
keterlibatan masyarakat adat dalam penataan ruang adalah dengan memberikan
pengakuan terhadap entitas masyarakat hukum adat dengan Keputusan Kepala
Daerah, membentuk peraturan daerah perlindungan hak masyarakat hukum adat,
serta melakukan review terhadap rencana umum maupun rencana rinci tata ruang
dengan melibatkan pemangku kepentingan dalam hal ini masyarakat hukum adat
sehingga dapat memperoleh perlindungan sejak awal perencanaan tata ruang
wilayah.

E. Penutup
Komitmen pengakuan Pemerintah Daerah terhadap masyarakat adat
teridentifikasi melalui Keputusan Bupati Halmahera Utara Nomor
189/133/HU/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Hibualamo sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Kabupaten Halmahera Utara
dimana Masyarakat hukum adat hibualamo meliputi wilayah adat hoana Modole,
Hoana Pagu, Hoana Towiliko, Hoana Boeng, Hoana Lina, Hoana Huboto, Hoana
Mumulati, Hoana Gura, Hoana Morodina, Hoana Morodai, dan Hoana Loloda.
Meskipun masyarakat hukum adat Hibualamo Kabupaten Halmahera Utara
telah memiliki legal standing diakui oleh Pemerintah Daerah, namun dalam
praktik penataan ruang cenderung kurang bahkan tidak dilibatkan dalam tahapan
penyusunan kebijakan penataan ruang padahal perencanaan spasial pada wilayah
Kabupaten menyentuh ruang hidup masyarakat adat.
Masyarakat hukum adat memiliki ekspetasi masing-masing dalam terhadap
Pemerintah dalam kebijakan Penataan ruang mulai dari pelibatan masyarakat adat
dalam penataan ruang wilayah kabupaten, pengintegrasian kebijakan penataan
ruang wilayah adat dengan RTRW Kabupaten, melakukan bimbingan teknis
terhadap masyrakat adat yang termarginal secara struktural sehingga lebih
berdaulat atas tanah, air dan lebensraum hingga gagasan untuk menyusun

15
perencanaan tata ruang wilayah adat yang terpisah dari tata ruang wilayah (baik
rencana umum maupun rencana rinci).
Dalam kerangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum
adat dalam kebijakan penataan ruang sebagai berikut:
1) Memberikan pengakuan terhadap entitas masyarakat hukum adat dengan
Keputusan Kepala Daerah, membentuk peraturan daerah tentang
perlindungan hak masyarakat hukum adat;
2) melakukan review terhadap rencana umum maupun rencana rinci tata ruang
dengan melibatkan pemangku kepentingan dalam hal ini masyarakat hukum
adat sehingga dapat memperoleh perlindungan sejak awal perencanaan tata
ruang wilayah.

F. Referensi
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung

Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan


Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta.

Juniarso Ridwan, 2008, Hukum Tata Ruang Dalam Konsep Kebijakan


Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung.

Otje Salman Soemadiningrat, 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer,


Alumni, Bandung,

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,


Bina Ilmu, Surabaya.

16

Anda mungkin juga menyukai