Anda di halaman 1dari 18

PERBEDAAN HAK WARGA ASLI DAN PENDATANG , UNIFIKASI HUKUM

TANAH DI INDOENSIA DAN HUKUM ADAT PERSEORANGAN


Diajukan sebagai salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Adat

Dosen Pengampuh:
Ahmad Shidiq Ridha, M. Kn

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Novia Wulandari 2011110071
Kemas Mulia Subakti 2011110078
Krisna Wilantara 2011110080

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
BENGKULU
2022

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..2
BAB I………………………………………………………………………………………….3
PEMBAHASAN………………………………………………………………………………3
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………3
B. Rumusan Pembahasan…………………………………………………………………4
BAB II…………………………………………………………………………………………5
PEMBAHASAN………………………………………………………………………………5
A. Perbedaan Hak Warga Asli dan Pendatang …………………………………………....5
B. Unifikasi Hukum Tanah di Indonesia………………………………………………….8
C. Hukum Adat Perseorangan………………………………………………………...…14
BAB III……………………………………………………………………………………….17
PENUTUP……………………………………………………………………………………17
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………...17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………..18

2
BAB I

PEMBAHASAN

A.Pendahuluan

Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui adanya hak
ulayat masyarakat hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia yang telah lebih dulu ada dan
mendiami tanah-tanah di Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Walaupun tidak
dijelaskan secara detail mengenai pengertian hak ulayat, namun Pasal 3 Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) memberikan pengakuan terhadap adanya hak ulayat dalam hukum
pertanahan nasional.Hak ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum
adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya. Meskipun
demikian, ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan eksistensi dari hak
ulayat masyarakat hukum adat. Adapun batasan tersebut adalah sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

G. Kertasapoetra menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah yang
dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum untuk menjamin ketertiban
pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Masyarakat memiliki hak untuk menguasai tanah dimana
pelaksanaannya diatur oleh kepala suku atau kepala desa1. Sedangkan Imam Sudiyat
mengatakan bahwa hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada
masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya
dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.

Hak ulayat terdapat dalam Hukum Adat. Hal ini disebabkan karena penyelenggaraan dan
pengelolaan hak ulayat sesuai dengan hukum adat dari masing- masing daerah dimana hak
ulayat itu berada. Hal ini kemudian menyebabkan hak ulayat antara daerah yang satu dengan
daerah lainnya pengaturannya berbeda-beda.Keadaan ini kemudian melahirkan keragaman
dalam Hukum Adat yang secara tidak langsung berpengaruh pula bagi hukum pertanahan,
karena hak ulayat merupakan hak pengusaaan atas tanah hak milik adat.

B.Rumusan Pembahasan

Dari latar belakang di atas, maka rumusan yang akan dibahas adalah:

3
1. Apa perbedaan hak warga asli dan pendatang ?

2. Bagaimana unifikasi hukum tanah di indonesia ?

3. Apa itu hukum adat perseorangan ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A.Perbedaan Hak Warga Asli dan Pendatang

Pendatang yang ingin ikut mempergunakan tanah dalam lingkungan hak pertuanan,
harus membayar uang pemasukan (Aceh) atau mesi (Jawa) sebagai bukti bahwa di wilayah
tersebut ia adalah orang asing. Ia dianggap sebagai penumpang sehingga hak yang
diperolehnya tidak sama dengan hak warga asli. Walaupun pendatang yang sudah lama menjadi
penduduk wilayah yang bersangkutan mendapat hak hak lebih kuat menyerupai hak orang asli
di wilayah tersebut. Apabila ia meninggalkan kediamannya, sikap persekutuan hukum
terhadapnya seperti sikap semula, yaitu orang tersebut kembali pula menjadi orang asing. 1

Selanjutnya, selain konstitusi, peraturan terpenting yang mengatur pengelolaan dan


distribusi manfaat sumber daya alam adalah TAP MPR IX/2001. Peraturan ini disahkan sebagai
dasar hukum oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001.Secara umum,
peraturan ini dipandang sebagai peraturan yang menjangkau jauh dan merupakan pernyataan
hukum yang eksplisit yang mengharuskan pemerintah untuk berkomitmen secara penuh
terhadap pengelolaan sumber daya alam dan pembaruan agraria. Dasar hukum tersebut
mensyaratkan pemerintah untuk meninjau-ulang, menyesuaikan dan melakukan harmonisasi
semua peraturan perundang undangan yang menyangkut tanah dan sumber daya alam lainnya.
Dasar hukum ini menjadi instrumen kebijakan yang ampuh bagi proses reformasi Undang-
undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960.

TAP MPR IX/2001 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan sektor yang


terkait dengan penguasaan sumber daya alam harus dicabut karena memiliki pengaruh negatif
terhadap pemberantasan kemiskinan serta pengelolaan dan konservasi sumber daya alam.
Peraturan perundang undangan tersebut harus direvisi, dengan menggunakan pendekatan yang
holistik. Pada saat yang sama, TAP MPR IX/2001 memandatkan penyelesaian konflik melalui
proses yang hukum yang berkeadilan. UUPA tahun 1960 dan UU Kehutanan Nomor 41 tahun
1999 merupakan dua peraturan perundang-undangan yang sangat penting yang berada dalam

1
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas…, hlm 6.

5
tatanan hukum di bawah payung TAP MPR IX/2001 dalam mengatur tanah dan sumber daya
alam.

Undang-undang tersebut mengatur pengelolaan dan distribusi manfaat dari sumber


daya alam. Peraturan lain yang mencantumkan hak-hak masyarakat adat dalam ketentuan
peraturannya adalah UU Kehutanan No.5 tahun 1967, tetapi undang-undang ini
memperlakukannya sebagai hak-hak pemanfaatan dan pemungutan yang lemah dan
menyubordinasinya dengan kepentingan nasional. Lebih jauh, UO'Pemerintahan Desa No. 5
tahun 1979 melucuti lembaga adat dan peran pemimpin adat. Sementara itu, pada UU No.41
tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagai produk hukum di era reformasi, tidak mengubah
konsep tentang hak-hak penguasaan masyarakat adat, bahkan menambah bingung dengan
menyatakan bahwa sebagian dari kawasan hutan dapat diakui sebagai ‘hutan adat, tetapi
kawasan tersebut harus diklasifikasi sebagai “hutan negara”.Hal tersebut merupakan
kontradiksi hukum yang sangat jelas karena kawasan “hutan negara” adalah hutan yang di
dalamnya tidak terdapat hak hak yang berlaku atas lahan di dalamnya, dan “hutan negara hanya
diakui sepanjang dapat dibuktikan keberadaannya Pengaturan dan ketentuan dalam pembagian
kawasan di dalam UU No. 41 tahun 1999, terbagi atas dua macam, yaitu:

1. Hutan negara, pemerintah (Departemen Kehutanan) telah Menetapkan bahwa tidak ada hak
atas tanah, dan

2. hutan hak, tanah dan tutupan tanah dapat dikualifikasikan sebagai hutan, tetapi terdapat hak-
hak atas tanah di atasnya.

Berdasarkan ketentuan pembagian kawasan tersebut, UU No. 41 tahun 1999 menjadi


momok yang “menghantui” masyarakat adat untuk mengelola hutan adatnya karena hutan-
hutan adat yang telah dikelola masyarakat adat diklaim sebagai hutan negara. Situasi tersebut
yang menjadikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan tegas menolak
pemberlakuan UU Kehutanan ini. Dalam salah satu butir Keputusan Kongres Masyarakat Adat
Nusantara I (1999), mereka menyatakan dengan tegas, “Jika negara tidak mengakui kami, kami
pun tidak mengakui negara ini”.

Merujuk pada alur sejarah hukum di Indonesia terkait pada hak-hak masyarakat adat
dalam pengelolaan sumber daya alam, undang-undang dan peraturan lain yang
mengonsolidasikan kekuasaan negara atas lahan hutan yang diberlakukan sepanjang masa

6
pasca-kemerdekaan ,memperdalam konflik dan mengintensifkan penghancuran kelembagaan
adat. Dewasa ini hanya sebagian kecil saja dari tanah di wilayah Indonesia yang telah memiliki
sertifikat hak milik. Sebagian besar lahan hutan masih dimiliki oleh adat, tetapi tidak diakui
oleh negara, yang mengalokasikan konsesi hutan di atas tanah-tanah adat dari secara turun-
temurun dimiliki dan dikelola oleh masyarakat.

Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Umumnya,
hutan adat dapat dibedakan secara konseptual. Dalam praktik kehidupan sehari-hari,
masyarakat adat dan hutan biasa dalam pemahaman publik. Hutan adat tidak hanya memiliki
fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial, juga memiliki fungsi budaya dalam konteks nilai dan
ekspresi budaya setempat. Hal ini bersumber dari pandangan hidup atau paradigma kesatuan
manusia dengan alam. Pada umumnya, komunitas masyarakat adat penghuni hutan di
Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara
dan menjaga keseimbangan serta harmoni.

Dengan demikian, persoalan utama dalam menjaga hutan adat adalah persoalan
benturan dua paradigma, yaitu antara alam sebagai bagian yang menyatu dengan manusia dan
alam sebagai objek yang harus dieksploitasi dan dikonsumsi. Dalam era global dan liberalisasi
perdagangan, ketika semua sumber daya mengalami proses komodifikasi, terjadi penekanan
fungsi ekonomis hutan secara berlebihan akibat tekanan global. Pada sisi lain, fungsi sosial dan
budaya mengalami pelemahan, juga akibat tekanan pandangan dominan yang menyerbu lewat
globalisasi informasi dan komunikasi.

Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis


melalui berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang dikeluarkan rezim pemerintahan
Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa, ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi
membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan
adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem sistem lokal ini berbeda satu sama lain serta
berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem
setempat.

7
B. Unifikasi Hukum Tanah di Indonesia

Untuk mengatasi dualisme hukum agraria yang ada, yang Undang-Undang Pokok
Agraria tahun 1960 mengonversi "Hak-hak Barat" dan "Hak-hak Adat" menjadi hak-hak baru.
Hak-hak Barat misalnya eigendom (hak milik), agrarische eigendom (hak kepemilikan tanah
penduduk Indonesia asli), The Indische Staatsregeling, Pasal 51 (7) dan grant sultan (hak
kepemilikan tanah yang dipegang Sultan), dan hak-hak adat, misalnya yasan (Hak berdasarkan
hukum adat), gogolan (Tanah bersama yang diberikan kepada penduduk asli desa dengan hanya
mempunyai hak untuk menggarap saja), sanggan (Sinonim untuk tanah bersama yang diberikan
kepada penduduk desa dengan hak untuk menggunakannya), dan pekulen (Sinonim untuk
tanah bersama yang diberikan kepada penduduk desa dengan hak untuk menggarap atau
menggunakan), semua menjadi hak milik berdasarkan Undang-Undang yang baru.

Hak-hak Barat seperti vruchtgebruik (Hak menggunakan hasil dari tanah sebagaimana
diuraikan dalam Pasal 756 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan gebruik (Hak Pakai
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan hak-hak adat seperti bengkok (Tanah
yang digarap oleh pejabat pejabat desa sebagai pengganti gaji), lungguh (Nama lain untuk
tanah bersama yang diberikan kepada pejabat desa sebagai pengganti gaji), anggaduh (Tanah
yang dimiliki oleh kerajaan yang diberikan kepada orang-orang dengan hak garap),semua
menjadi hak pakai. Hak erfpacht (hak menyewa sampai 75 tahun) dan hak konsesi menjadi hak
guna usaha. Secara teoretis, unifikasi hukum tanah sudah tercapai di Indonesia. 2" Walaupun
dikatakan bahwa, undang-undang agraria yang baru didasarkan pada hukum adat, hukum adat
yang dimaksud adalah hukum adat yang telah dipilih, yaitu hukum adat yang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional atau sosialisme Indonesia atau unsur-unsur lainnya
berdasarkan hukum agama. 3 Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan 20 kapan hukum adat
bertentangan dengan kepentingan nasional, sosialisme Indonesia, atau hukum agama. Definisi
tersebut memunculkan berbagai penafsiran yang berbeda.

Sekalipun tidak seorang pun memungkiri bahwa hukum adat adalah sumber yang
penting dari undang-undang ini, dalam kenyataannya tidak mudah untuk menafsirkan hukum
adat yang dapat diterima atau yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Undang-Undang
Pokok Agraria. Sebagai contoh, bagaimana menafsirkan hak menguasai dari negara? Pasal 33

2
Erman Rajagukguk, Indonesia Setelah Merdeka: Menyusun Hukum Tanah untuk Rakyat, makalah
disampaikan pada Seminar Antarbangsa, "Tanah Kelerhakisan Sosial dan Ekologi: Pengalaman Malaysia dan
Indonesia", Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan
Malaysia, Kuala Lumpur, 4-5 Desember 2007, hlm. 2.
3
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, Pasal 5.

8
ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa, tanah dan sumber daya alam di dalamnya dikuasai oleh
negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa. Kekuasaan negara harus dilihat dalam
kapasitas untuk mengatur masalah pertanahan. 4" Ini menunjukkan, berlainan dengan prinsip
domain negara, bahwa istilah hak menguasai tidak berarti hak memiliki. Sekalipun prinsip
domain negara telah dikritik karena bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dan
konsep negara merdeka. Melalui penggeseran logika, dengan konsep hak menguasai oleh
negara, prinsip domain negara muncul lagi dalam praktik di bawah nama baru tanah negara.
Konsep tanah negara dalam pelaksanaannya tidak terlihat berbeda dari prinsip domain negara.

Sejak kemerdekaan, perselisihan mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara
umum terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah. Perbedaan
pandangan tersebut bukanlah hal yang baru karena telah terjadi sejak masa dahulu. Frekuensi
perselisihan semakin meningkat sehubungan dengan pertumbuhan penduduk, sementara tanah
relatif tetap terbatas luasnya.

Berdasarkan hak erfpacht, tanah-tanah perkebunan yang sangat luas sejak awal hingga
tanah-tanah tersebut tidak mempunyai batas-batas yang nyata. Orang-orang mengambil alih
tanah-tanah yang belum dibuka, sering dengan tidak mengetahui telah adanya hak atas tanah
tersebut berdasarkan "Hak Barat" Mereka membuka dan menggarapnya bertahun tahun, dan
percaya bahwa mereka memiliki tanah tersebut berdasarkan hukum adat.

Sebagai akibatnya, terjadi perselisihan antara pemilik perkebunan dan para petani.
Sebelum berlakunya Undang undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
pokok Agraria (LN. 1960-104, TLN. 2043) atau lebih terkenal dengan nama Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA), sebagai warisan hukum tanah pada zaman Hindia Belanda, hukum
tanah di Indonesia bersifat dualistis. Artinya, dua perangkat hukum tanah berlaku secara
berdampingan, yaitu hukum tanah adat dan hukum tanah Barat. Hukum tanah adat berlaku bagi
tanah dengan hak-hak adat (tanah adat), sedangkan hukum tanah Barat berlaku bagi tanah
dengan hak-hak Barat (tanah barat), tanpa memerhatikan pemegang haknya. Tanah mempuyai
suatu "Statuut" tersendiri, hukum yang berlaku atas bidang tanah terlepas dari hukum yang
berlaku bagi pemegang haknya.

Tanah-tanah adat tunduk pada ketentuan-ketentuan hakum adat tanpa memerhatikan


siapa pemegang haknya. Demikian pula tanah-tanah Barat tunduk pada ketentuan Ketentuan

4
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, memori penjelasan, bagian A (1) (a) (b).

9
hukum Barat tanpa memerhatikan siapa pemegang haknya. Inilah yang terkenal dengan asas
"Intergentiele Grondenregel".5 Asas Intergentiele Grondenregel tidak berlaku mutlak, karena
ada pembatasan berlakunya asas ini, yaitu atas sebidang tanah yang sama dapat berlaku secara
bersama-sama dua macam aturan hukum, yaitu hukum Barat dan hukum adat, dan status tanah
dipengaruhi oleh pemegang haknya. Tanah ulayat yang sudah dibuka dan dimiliki hak adat
oleh orang Bumiputra, tidak dapat ditundukkan dan diatur oleh hukum tanah Barat, walaupun
tanah itu dinyatakan sebagai tanah milik negara tidak bebas (onvrij landsdomein). Jadi, tanah
adat tetap diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum adat.

Tanah ulayat yang belum dibuka dan masih berupa hutan belukar (woeste gronden),
yang menurut ketentuan hukum adat dikuasai secara penuh oleh masyarakat hukum adat
setempat dan tunduk pada hukum adat, dinyatakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai
tanah milik negara bebas (vrij landsdomein), karena hak itu sudah dipasrahkan (prijsgegeven)
atau telah "afgesleten" atau memang tidak pernah ada. Menurut pandangan umum, tanah-tanah
tersebut diatur oleh hukum tanah Barat.

Setelah berlakunya UUPA, sifat dualisme hukum tanah itu diganti dengan unifikasi
hukum tanah, artinya memberlakukan satu macam hukum tanah, yaitu hukum tanah nasional.
Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanan dalam hukum pertanahan. Kesatuan hukum tanah
artinya, memberlakukan satu macam hukum tanah (unifikasi hukum) untuk semua tanah yang
ada di wilayah Indonesia.

Unifikasi hukum tanah itu tidak hanya ditujukan pada hukumnya, tetapi juga pada hak
atas tanah. Setelah berlakunya UUPA, hanya ada satu macam hak atas tanah, yaitu hak atas
tanah yang diatur dalam UUPA. Oleh karena itu, hak-hak atas tanah sebelum berlakunya
UUPA, yaitu hak-hak atas tanah hukum adat dan hukum Barat, harus diubah (dikonversi)
menjadi hak-hak atas tanah menurut UUPA

Penyeragaman hukum (unifikasi hukum) pada masyarakat yang majemuk (beragam)


seperti di Indonesia, akan menimbulkan ketidakadilan, sama tidak adilnya dengan menerapkan
hukum yang beragam (pluralisme hukum) pada masyarakat yang seragam. Keragaman
masyarakat Indonesia tersebut tercermin pada semboyan negara yang terkenal yaitu, "Bhinneka
Tunggal Ika", yang artinya bermacam-macam, tetapi satu jua. Di Indonesia terdapat bermacam-

5
Muhammad Bakri, Unifikasi dalam Pluralisme Hukum Tanah di Indonesia, Jurnal: Kertha Patrika Vol. 33 No.
1, Januari 2008), hlm. 1.

10
macam suku, ras, agama, kebudayaan, hukum, dan lain-lain, tetapi semua itu merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu bangsa Indonesia.

Untuk menghindari ketidakadilan ini, Majelis Permusya waratan Rakyat (MPR)


membuka peluang untuk mengadakan pluralisme hukum pertanahan sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 huruf c Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang "Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam" yang menyebutkan menghormati supremasi hukum dengan
mengakomodasi keragaman dalam unifikasi hukum.

Namun, apa yang dimaksud dengan mengakomodasi keragaman dalam unifikasi


hukum itu, tidak ada kejelasan dalam ketetapan MPR tersebut.Arti kata unifikasi adalah
memberlakukan satu macam hukum tertentu kepada semua rakyat di negara tertentu. Jika suatu
hukum dinyatakan berlaku secara unifikasi di suatu negara berarti hanya berlaku satu macam
hukum atau tidak berlaku bermacam-macam hukum. Selanjutnya, arti kata keragaman menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal atau keadaan beranekaragam (bermacam-macam).
Keragaman hukum (dalam ilmu hukum dinamakan pluralisme hukum) adalah memberlakukan
bermacam-macam (lebih dari satu) hukum tertentu kepada semua rakyat dalam suatu negara.
Kedua hal tersebut (unifikasi dan pluralisme) tidak dapat disatukan karena masing-masing
mengandung hal yang saling bertentangan. Dalam unifikasi hukum yang memberlakukan satu
macam hukum, tidak mungkin ada pluralisme hukum. Demikian pula sebaliknya, dalam
pluralisme hukum yang memberlakukan bermacam-macam hukum, tidak mungkin ada
unifikasi hukum.

Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu, dan secara


sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa
yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. 6 Dengan sendirinya, hukum
agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat banyak. Karena sebagian
besar rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat, hukum agraria yang baru tersebut akan
didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli. Kemudian
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan
dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme
Indonesia.

6
Muhammad Bakri, Unifikasi dalam Plurisme Hukum …, hlm.2

11
Adapun yang dimaksud dengan hukum agraria yang baru dalam penjelasan tersebut
adalah, hukum agraria nasional yang bersifat unifikasi (kesatuan hukum) yang berdasar pada
hukum adat yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam
negara modern serta dengan sosialisme Indonesia.

Selanjutnya, hukum agraria nasional berdasar hukum adat diatur dalam Pasal 5 UUPA
yang menyebutkan, "Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan paraturan-
peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Menurut pasal 5 tersebut, hukum adat dijadikan dasar oleh hukum agraria nasional
dengan beberapa syarat, yaitu tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara;
sosialisme Indonesia; peraturan perundang-undangan; dan dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama. Dengan adanya persyaratan tersebut, ketentuan pasal 5
UUPA mengandung pembatasan (restriksi) terhadap berlakunya hukum adat, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa,
sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan-
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama. Dengan adanya pembatasan tersebut, sejarah terulang kembali. Jika pada zaman
Hindia Belanda terjadi dikotomi antara hukum adat dan hukum Eropa yang dimenangkan oleh
hukum Eropa, saat ini terjadi dikotomi antara hukum adat dan peraturan perundang-undangan
nasional yang dimenangkan oleh peraturan perundang undangan nasional.

Masalah yang muncul berkenaan dengan hukum tanah nasional berdasar hukum adat
adalah berkenaan dengan letak kedudukan hukum adat terhadap hukum tanah nasional yang
sebanyak mungkin dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan itu. Jika
memerhatikan salah satu syarat hukum adat dipakai dasar oleh hukum tanah nasional, yaitu
tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan, dapat disimpulkan bahwa
kedudukan hukum adat lebih rendah daripada peraturan perundang-undangan. Apabila ada
ketentuan hukum adat yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hukum
adatnya yang dikesampingkan.

Hal ini bertentangan dengan asas yang sangat terkenal dalam hukum antargolongan
yaitu, “asas persamaan”, artinya semua stelsel hukum sama nilainya, sama rata, sama harga.

12
Menurut asas tersebut, semua stelsel hukum (hukum adat dan peraturan perundang-undangan)
sama nilainya atau derajatnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tidak dapat
mengesampingkan atau tidak memberlakukan hukum adat. Demikian pula, sebaliknya hukum
adat tidak dapat mengenyampingkan atau tidak memberlakukan peraturan perundang-
undangan.

Persyaratan hukum adat adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Jika terjadi konflik hukum antara hukum adat dan peraturan perundang-undangan,
hukum adat yang dikesampingkan. Berdasar asas persamaan tersebut, hal tersebut tidak dapat
dibenarkan. Kedudukan hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat (living law) terhadap
peraturan perundang-undangan sama derajatnya atau sejajar, sehingga tidak dapat saling
menjatuhkan.

Kedua hukum tersebut hidup secara berdampingan (dualisme hukum tanah),


sebagaimana pernah terjadi pada masa pemerintah Hindia Belanda. Pada masa tersebut, terjadi
dualisme hukum tanah. Artinya, berlaku secara berdampingan dua perangkat hukum tanah
yaitu, hukum adat dan hukum Barat. Sekalipun pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa
semua tanah selain yang dipunyai dengan hak eigendom adalah milik negara, tanah adat
dibiarkan tunduk pada hukum adatnya masing-masing.7

Pada akhirnya, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di daerah-daerah yang
masih ada hak ulayatnya, hukum adat setempat dibiarkan hidup atau berlaku secara tenang
tanpa gangguan dari pihak mana pun. Adapun untuk daerah-daerah yang tidak ada hak
ulayatnya secara alamiah, makin lama makin melemah, dan pada akhirnya menjadi hilang,
sejalan dengan semakin menguatnya hak-hak individu atas tanah dan diberlakukannya secara
penuh ketentuan hukum tanah nasional yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, di Indonesia berlaku secara berdampingan dua perangkat hukum


tanah yaitu, hukum tanah adat dan hukum tanah nasional yang masing-masing berlaku pada
tempat yang berbeda. Hukum tanah adat berlaku di daerah-daerah yang masih ada hak
ulayatnya, sedangkan untuk daerah-daerah yang tidak ada hak ulayatnya berlaku hukum agraria
nasional. Hal ini membongkar paradigma lama yaitu, memberlakukan satu macam hukum
tanah untuk semua tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia (unifikasi hukum tanah),

7
Muhammad Bakri, Unifikasi dalam Plurisme Hukum …, hlm. 3-4

13
diganti dengan paradigma baru, yaitu unifikasi hukum tanah yang mengakomodasi keragaman
hukum adat, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR Nomor. IX/ MPR/2001 tersebut.

C. Hukum Adat Perseorangan

Hukum perseorangan adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kedudukan


manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan
mempergunakan hak-hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk
bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya, juga hak hak yang memengaruhi kedudukan
subjek hukum.

Subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia (natuurlijk
persoon) dan badan hukum (rechts persoon). Demikian pula, dalam hukum adat terdapat dua
subjek hukum, yaitu manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum, wakaf, yayasan desa,
suku nagar, dan lain-lain (rechts persoon). Manusia menurut pengertian hukum terdiri atas tiga
pengertian berikut.

1 Mens, yaitu manusia dalam pengertian biologis yang mempunyai anggota tubuh, kepala,
tangan, kaki, dan sebagainya.

2.Person, yaitu manusia dalam pengertian yuridis, baik sebagai individu/pribadi maupun
sebagai makhluk melakukan hubungan hukum dalam masyarakat.

3.Rehts subject (subjek hukum), yaitu manusia dalam hubungan dengan hubungan hukum
(rechts relatie), maka manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Dalam hukum adat, semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang
hukum yang sama. Djojodigoeno memakai istilah “kecakapan berhak”, tetapi dalam
kenyataannya di beberapa daerah terdapat pengecualian, seperti:

1.Di Minangkabau orang perempuan tidah berhak menjadi Penghulu Andiko atau Mamak
kepala waris;

2 di daerah-daerah Jawa Tengah yang berhak menjadi kepala desa anak anak laki-laki;

14
3. lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum (Djojo
Digoeno meng gunakan istilah “kecakapan bertindak”). Menurut hukum adat, cakap
melakukan perbuatan hukum adalah orang orang yang sudah dewasa.8

Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang penting
untuk meneruskan garis keturunan (clan), baik garis keturunan lurus atau menyamping. Seperti
masyarakat Bali yang anak laki-laki nanti akan meneruskan Pura keluarga untuk menyembah
para leluhurnya.

Pada umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada


hubungan darah, antara lain antara orangtua dan anak-anaknya. Juga ada akibat hukum yang
berhubungan dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan leluhurnya, tetapi
akibat hukum tersebut, di seluruh daerah tidak sama.

Meskipun akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur di seluruh


daerah tidak sama, dalam kenyataannya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap
masalah keturunan ini di seluruh daerah, yaitu: bahwa keturunan merupakan unsur yang hakiki
serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan agar garis keturunannya
tidak punah, sehingga ada generasi penerusnya.

Apabila suatu klan, suku ataupun kerabat khawatir menghadapi kepunahan klan, suku
ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi (pengangkatan anak) untuk meneruskan
garis keturunan maupun pengangkatan anak yang dilakukan dengan perkawinan atau
pengangkatan anak untuk penghormatan. Di masyarakat Lampung misalnya, anak orang lain
yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan ayah
angkatnya.

Individu sebagai keturunan (anggota keluarga) mem punyai hak dan kewajiban tertentu
yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya, boleh
ikut menggunakan nama keluarga (marga) dan boleh ikut menggunakan dan berhak atas
kekayaan keluarga, wajib saling membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan
hukum dengan pihak ketiga, dan lain sebagainya. 9

Keturunan dapat bersifat

8
Bewara Ragawino, Pengantar dan Asas-asa Hukum Adat Indonesia, (Bandung: FISIP UNPAD, tt),hlm.56.
9
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,2006), hlm.3

15
1. Lurus, apabila orang seorang merupakan langsung keturunan dari yang lain, misalnya
antara bapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus ke bawah apabila
rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut lurus ke atas apabila
rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.
2. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih terdapat
ketunggalan leluhur, misalnya sebapak dan seibu (saudara sekandung), atau sekakek
nenek, dan sebagaimya.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendatang yang ingin ikut mempergunakan tanah dalam lingkungan hak pertuanan, harus
membayar uang pemasukan (Aceh) atau mesi (Jawa) sebagai bukti bahwa di wilayah tersebut
ia adalah orang asing. Ia dianggap sebagai penumpang sehingga hak yang diperolehnya tidak
sama dengan hak warga asli. Walaupun pendatang yang sudah lama menjadi penduduk wilayah
yang bersangkutan mendapat hak hak lebih kuat menyerupai hak orang asli di wilayah
tersebut.Apabila ia meninggalkan kediamannya, sikap persekutuan hukum terhadapnya seperti
sikap semula, yaitu orang tersebut kembali pula menjadi orang asing.

Di Indonesia berlaku secara berdampingan dua perangkat hukum tanah yaitu, hukum tanah
adat dan hukum tanah nasional yang masing-masing berlaku pada tempat yang berbeda.
Hukum tanah adat berlaku di daerah-daerah yang masih ada hak ulayatnya, sedangkan untuk
daerah-daerah yang tidak ada hak ulayatnya berlaku hukum agraria nasional. Hal ini
membongkar paradigma lama yaitu, memberlakukan satu macam hukum tanah untuk semua
tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia (unifikasi hukum tanah), diganti dengan
paradigma baru, yaitu unifikasi hukum tanah yang mengakomodasi keragaman hukum adat,
sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR Nomor. IX/ MPR/2001 tersebut.

Hukum perseorangan adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kedudukan


manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan
mempergunakan hak-hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk
bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya, juga hak hak yang memengaruhi kedudukan
subjek hukum.

17
DAFTAR PUSTAKA

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas…, hlm 6.

Erman Rajagukguk, Indonesia Setelah Merdeka: Menyusun Hukum Tanah untuk


Rakyat, makalah disampaikan pada Seminar Antarbangsa, "Tanah Kelerhakisan Sosial
dan Ekologi: Pengalaman Malaysia dan Indonesia", Dewan Bahasa dan Pustaka Institut
Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 4-
5 Desember 2007, hlm. 2.

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, Pasal 5.

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, memori penjelasan, bagian A (1)
(a) (b).

Muhammad Bakri, Unifikasi dalam Pluralisme Hukum Tanah di Indonesia, Jurnal:


Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008), hlm. 1.

Muhammad Bakri, Unifikasi dalam Plurisme Hukum …, hlm.2

Muhammad Bakri, Unifikasi dalam Plurisme Hukum …, hlm. 3-4

Bewara Ragawino, Pengantar dan Asas-asa Hukum Adat Indonesia, (Bandung: FISIP
UNPAD, tt),hlm.56.

Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,2006),


hlm.3

18

Anda mungkin juga menyukai