Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQIH MUNAHAKAT

“SEBAB-SEBAB LAIN PUTUSNYA PERKAWINAN”

Dosen Pembibing :

Rohmadi, S.Ag.,MA

Disusun oleh :

Randi Arianto : 2011110064

Muhammad Ali A. : 2011110082

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU

TAHUN 2021
KATA PENGATAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillahirrahmaaniirahim.

Puji syukur atas kehadiran Allah Azza wa Jalla, Tuhan semesta alam. Atas
izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan
Insya Allah bermanfaat bagi para pembaca dan kami sendiri yang menulis. Tak
lupa pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita, kekasih
kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semoga kita
mendapat syafaatnya di hari akhir kelak.

Adapun tujuan dari penulisan tugas makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari bapak Rohmadi, S.Ag.,MA pada mata kuliah Fiqh Munahakat Selain
itu, tugas ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Sebab Lain
Putusnya Perkawinan” bagi para pembaca dan juga bagi kami para penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Rohmadi, S.Ag.,MA


selaku dosen mata kuliah Fiqh munahakat yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.

Kami para penulis menyadari makalah ini juah dari sempurna. Oleh sebab
itu, kami mengharpkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini selanjutnya . Terlepas dari kekurangan makalah ini,
kami berharap semogavmakalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan
para pembaca pada umumnya. Aamiin ya Robbal Alamin.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Bengkulu, 02 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................


B. Rumusan Masalah ................................................................................
C. Tujuan Masalah ...................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................

1. Apa itu ‘IIa ........................................................................................


2. Apa itu Li’an .....................................................................................
3. Apa itu Dzihar ...................................................................................
4. Apa itu Khulu’ ..................................................................................
5. Apa itu Syiqaq ...................................................................................
6. Apa itu Nusyuz .................................................................................
7. Apa itu Fasakh ..................................................................................

BAB III PENUTUP .......................................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran ....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan
atau kontrak perdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Oleh
karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggung
jawaban secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa disamping
mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan istri serta
anak-anak yang lahir dalam perkawinan.
Namun dalam pergaulan antara suami dengan istri tidak jarang
terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-
sebab lain kadang-kadang menimbulkan suatu keadaan yang
menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi,
sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak
maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada
akhirnya jalan keluar harus ditempuh tidak lain adalah jalan perceraian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu ‘IIa


2. Apa itu Li’an
3. Apa itu Dzihar
4. Apa itu Khulu’
5. Apa itu Syiqaq
6. Apa itu Nusyuz
7. Apa itu Fasakh
C. Tujuan Masalah

1. Memahami Apa itu ‘IIa


2. Memahami Apa itu Li’an
3. Memahami Apa itu Dzihar
4. Memahami Apa itu Khulu’
5. Memahami Apa itu Syiqaq
6. Memahami Apa itu Nusyuz
7. Memahami Apa itu Fasakh
BAB II

PEMBAHASAN

A . Pengertian ‘IIa
Kata ila’ berasal dari bahasa Arab al-Aliyatu yang berarti sumpah. Al-
Juzairi memberi keterangan bahwa kata ila’ secara bahasa lebih umum dari
pengertian secara syarak, di mana syarak mengkhususkan hanya terhadap soal
watha’ dari suami kepada istrinya. Dengan demikian sumpah tidak makan,
minum atau lainnya tidak termasuk sumpah itu.

Syekh Zainuddin bin Aziz al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in,


mendefinikan sumpah ila’ sebagai sumpah tidak menyetubuhi istrinya selama
jangka waktu lebih dari empat bulan atau tidak dibatasi waktu yang dilakukan
oleh suami yang sah untuk mentalaknya. Contohnya, seorang suami berkata si
istri: “Demi Allah, aku bersumpah untuk tidak menyetubuhimu selama lima
bulan.”

Dasar dari syariat ini adalah surat al-Baqarah (2) : 226 dengan lafadz :
ْ َ َ ُ ُّ ْ ِّ ْ ُْ َّ
‫ص ا ْربع َِة اش ُه َر‬َ ‫ن نسا ِئ ِه َم ترب‬َ ‫ِلل ِذ ْينَ ُيؤل ْونَ ِم‬

Artinya:
“Kepada orang-orang yang meng-ila’ isterinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya).”

B . Li’an
a. Pengertian Li’an

Secara etimologis, kata li’an berasal dari bahasa Arab, La’ana bentuk
mashdar dari susunan fi’il (kata kerja) ‫ لعن‬-‫ یلعن‬-‫ لعنا‬yang berarti laknat atau
kutukan.1 Dinamakan dengan li’an ini karena apa yang terjadi antara suami

1
Ahmad Wirson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm.
1274.
istri, sebab masing-masing suami istri saling melaknat dirinya sendiri pada kali
yang kelima jika dia berdusta2.

Secara terminologi, banyak ahli fiqh yang mendefinisikan li’an sebagai


berikut:

1. Mazhab Maliki
mendefinisikannya sebagai sumpah suami yang Muslim, yang telah akil
baligh bahwa dia melihat perbuatan zina yang dilakukan oleh istrinya, atau
penolakannya terhadap kehamilan istrinya darinya. Dan si istri bersumpah
bahwa suami berdusta dengan empat kali sumpah, dengan ucapan ”Aku bersaksi
dengan nama Allah bahwa aku menyaksikannya melakukan zina ”dan kalimat
lain yang sejenisnya, di hadapan hakim. Apakah pernikahan ini sah ataupun
fasid. Maka tidak sah sumpah yang dilakukan oleh orang yang selain suami,
seperti: orang asing, orang kafir, anak kecil, ataupun orang gila.

2. Mazhab Syafi’i
mendefinisikannya sebagai kalimat yang diketahui yang dijadikan alasan
bagi orang yang merasa terpaksa untuk menuduh orang yang telah mencemari
tempat tidurnya dan mendatangkan rasa malu kepadanya, atau menolak anak
yang dia kandung.3

3. Mazhab Hanafi
‫ وأنھ يف جانب‬،‫أن اللعان شھادة مؤكدة باألیمان مقرونة باللعن وبالغضب‬
ّ ّ
‫وف جانبھا قائم حد الزنا‬
‫ ي‬،‫الزوج قائم مقام حد القذف‬
Artinya:
“Li’an adalah beberapa kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah, yang mana
kesaksian suami disertai dengan laknat dan kesaksian istri disertai dengan ghadab,
yang

2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Juz x , (Jakarta: Darul Fikir, 2011), hlm. 481
3
Ibid, hlm. 482.
menduduki kedudukan had qodzab pada suami dan menduduki kedudukan had zina
pada hak istri.

b. Dasar Hukum Li’an

Setiap peristiwa hukum yang diatur oleh syara’ baik itu merupakan perkara
yang diperbolehkan maupun perkara yang dilarang sekalipun, pada dasarnya
memiliki rujukan atau landasan sebagai dasar landasan berpijak. Demikian halnya
dengan perkara li’an juga tidak terlepas dari dasar hukumnya, firman Allah Swt:

َ‫اَّلل إِنَّهُ لَمِ ن‬


ِ َّ ِ‫ت ب‬ َ ‫ش َهادَة ُ أ َ َح ِد ِه ْم أ َ ْربَ ُع‬
ٍ ‫ش َهادَا‬ ُ ُ‫ش َهدَا ُء إِ ََّّل أ َ ْنف‬
َ َ‫س ُه ْم ف‬ ُ ‫َوالَّذِینَ یَ ْر ُمونَ أ َ ْز َوا َج ُه ْم َولَ ْم یَ ُك ْن لَ ُه ْم‬
َ‫صا ِدقِين‬
َّ ‫ال‬

َ‫علَ ْي ِه إِ ْن َكانَ مِ نَ ْالكَا ِذبِين‬ َ ِ‫َو ْالخَام‬


ِ َّ َ‫سةُ أ َ َّن لَ ْعنَت‬
َ ‫َّللا‬

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka


tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia
adalah termasuk orang- orang yang benar. Dan (sumpah) yangkelima: bahwa
la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An-
Nur: 6-7).4

C . Dzihar
Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata ‫ ظهر‬yang
bermakna punggung. Hal ini dikarenakan orang-orang Yahudi mengibaratkan
istri yang digauli sebagai kendaraan yang ditunggangi, sehingga mereka
melarang menggauli istri dari belakang karena dapat mengakibatkan lahirnya

4
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an,َal-Qur’anَdanَTerjemahnya,َ(Jakarta:DepagَRI,َ1989),َhlm.َ
544
anak yang cacat. Kemudian di dalam syari‟at Islam, zhihar digunakan untuk
seluruh anggota tubuh sebagai qiyas (analogi) dari kata zhihar itu sendiri.5
Penduduk Madinah yaitu para pengucap zhihar ini bergaul dengan
orang orang Yahudi yang mana mereka mengharamkan menggauli istri dari
belakang karena dapat melahirkan anak yang cacat, kata punggung ini
dimaksudkan untuk menekankan keharaman untuk menggauli istri dari
belakang itu. Jadi zhihar inimerupakan pengaruh kepercayaan Yahudi.
Sedangkan zhihar secara istilah adalah ucapan seorang mukallaf
(dewasa dan berakal) kepada istrinya bahwa dia sama dengan ibunya, namun
Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak hanya ibu akan tetapi bisa juga wanita
lain yang haram untuk dinikahi baik karena hubungan darah, perkawinan,
penyusuan maupun sebab lain seperti lafadz "Punggung kamu seperti
punggung saudara perempuanku" sebagaimana juga dikatakan oleh Quraish
Shihab dalam tafsirnya.
Namun Jumhur Ulama' mengatakan bahwa yang dikatakan zhihar
hanya mempersamakan istri dengan ibu saja seperti yang termaktub dalam al-
Qur'an dan sunnah Rasul. Sehingga mempersamakan istri dengan wanita
muharramat selain ibu belum dikatakan zhihar.

D . Khulu’
Dalam Islam, berakhirnya ikatan pernikahan atas kehendak istri disebut
dengan isilah khulu. Secara bahasa, khulu artinya melepas, mencopot, atau
menanggalkan. Sedangkan secara istilah, khulu adalah memutuskan hubungan
pernikahan dengan kesediaan istri membayar iwald (ganti rugi) kepada pemilik
akad, yaitu suami, dengan perkataan tertentu.

Dalam Bidayatul Mujtahid, khulu termasuk ke dalam macam-macam talak.


Hukum talak pada dasarnya adalah makruh. Ini didasarkan pada sabda Nabi
Muhammad SAW yang artinya:
"Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak/perceraian." (HR. Abu Daud, Ibn Majah, dan Al-Hakim)

5
Abdul Ghofar EM., Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 379
Namun, mengutip buku Alquran dan Perempuan karya Prof. Dr. Zaitunah
Subhan, jumhur ulama memperbolehkan khulu, sebagaimana diperbolehkannya
nikah dan talak dalam Islam. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan
tentang khulu lengkap dengan hukumnya dalam Islam.
Pengertian Khulu dan Hukumnya dalam Islam
Khulu artinya permintaan cerai yang dilakukan oleh istri kepada suami
dengan pembayaran yang disebut iwadl atau ganti rugi. Terkait ganti rugi ini, para
ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya.
Sebagian jumhur ulama membolehkan mengambil tebusan atau ganti rugi.
Sedangkan yang lain sepakat melarang pengambilan harta tersebut, kecuali jika
hubungan keluarganya rusak karena sebab istri.
Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa seorang istri sangat benci
suaminya, tetapi suaminya sangat mencintainya, maka Rasulullah SAW
menceraikan keduanya dengan cara khulu dan itu adalah permulaan khulu'
dalam Islam. Malik r.a. berkata:

"Suami yang tidak menyakiti dan tidak pula berbuat salah kepada istrinya
kemudian istri merasa tidak cocok dan ingin diceraikan, maka boleh mengambil
seluruh harta tebusan istrinya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
terhadap istri Tsabit r.a. Adapun kesalahan disebabkan oleh suami yang
menyebabkan kemudharatan bagi istrinya, maka wajib mengembalikan harta
yang telah diambil kembali kepada istri.“
Mengutip buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashi karya Ibnu
Rusyd, khulu boleh dilakukan dalam keadaan suci ataupun haid. Berbeda dengan
talak, khulu sepenuhnya berada pada kehendak sang istri dan suami tidak bisa
mencampurinya.
Jumhur ulama berpendapat, termasuk imam empat madzhab, bahwa suami
tidak boleh rujuk kepada istri karena harta sudah dikeluarkan oleh istri dalam
proses perceraiannya. Jika suami mengembalikan uang ganti rugi kepada istrinya
dan diterima, maka mereka tidak boleh rujuk sebelum memenuhi masa iddah yang
telah ditentukan.
Suami boleh menikahinya pada masa iddah dan membuat akad baru, dengan
catatan harus atas ridha dan kemauan dari sang istri. Khulu dilakukan karena ada
sebab yang mendorongnya, seperti suami yang cacat fisik, suami yang tidak
memenuhi hak istrinya, tidak mampu menjalankan perintah Allah SWT yang
diwajibkan atas keduanya, dan tidak bisa menjaga hubungan baik mereka.
E . Syiqaq
Syiqaq secara bahasa berarti perselisihan, percekcokan, dan permusuhan.
Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami dan istri. Kamal
Muchtar, peminat dan pemerhati hukum Islam dari Indonesia, pengarang buku
Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan,mendefinisikannya sebagai
perselisihan sebagai perselisihan antara suami dan istri yang didamaikan oleh
dua orang hakam.6
Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara suami
dan istri agama Islam memerintahkan agar diutuskan dua orang hakam
(jurudamai). Pengutusan hakam ini bermaksud untuk menelusuri sebab-sebab
terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan
penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami
istri tersebut.2
Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua
belah pihak suami dan istri secara bersama-sama. Dengan demikian, Syiqaq
berbeda denganNusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada
salah satu pihak, yaitu dari pihak suami atau istri.3

Dasar Hukum Syiqaq :


Dasar hukum syiqaq ialah firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 35 yang
berbunyi:
ُ ‫اق َب ْينه َما َف ْاب َع ُث ْوا َح َك ًما ِّم ْن َا ْهله َو َح َك ًما ِّم ْن َا ْهل َها ۚ ا ْن ُّير ْي َدآ ا ْص ََل ًحا ُّي َو ِّفق ه‬
‫اّٰلل‬
َ َ ُْْ ْ َ
‫وِان ِخفتم ِشق‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِٖ ِِ
َ َ
َ َ ‫َ ْ َ ُ َ َّ ه‬
‫اّٰلل كان َع ِل ْي ًما خ ِب ْْ ًيا‬ ‫بينهما ۗ ِان‬.
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari
keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah
Mahateliti, Maha Mengenal.

6
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1997) hlm.1708
F . Nusyuz
Secara bahasa (etimologi) nusyuz adalah masdar atau infinitive dari kata,
, ‫ْْ شض‬ٝ -‫ ّشض‬- yang mempunyai arti tanah yang terangkat tinggi ke atas. ‫س ا‬
‫ ٍ)ا ٍرسرعاغ اب‬suatu yang terangkat ke atas dari bumi).nusyuz dengan arti sesuatu
yang menonjol di dalam, atau dari suatu tempatnya. Dan jika konteksnya
dikaitkan dengan hubugan suami-isteri maka diartikan sebagai sikap isteri yang
durhaka, menentang dan membenci kepada suaminya.7
Nusyuz bisa diartikan “menentang” (al-isyan). Karena istilah nusyuz
Mujadalah (58):11, “waiz\a qila unsyuzu”.
Secara terminologis nusyu berarti sikap tidak tunduk kepada Allah SWT
untk taat kepada suami.Sedangkan menurut Imam Ragib sebagaimana dikutip
oleh Asghar Ali Engineer dalam bukunya menyatakan bahwa nusyuz merupakan
perlawanan terhadap suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan
erselingkuhan.
Al-Tabari juga mengasumsikan makna kata nusyuz ini dengan
mengartikannya sebagai suatu tindakan bangkit melawan suami dengan
kebencian dan mengalihkan pandangan dari suaminya. dan makna literer dari
nusyuz adalah menentang dan melawan. Sedangkan menurut az-Zamakhsyari,
nusyuz bermakna menentang suami dan berdosa terhadapnya (an ta‟s\a
zawjaha).
Imam Fakhr al-Din al-Razi juga berpendapat bahwa nusyuz dapat berupa
perkataan (qawl) atau perbuatan (fa‟l). Artinya, ketika isteri tidak sopan
terhadap suaminya ia berarti nusyuz dengan perkataan dan ketika ia menolak
tidur bersamanya atau tidak mematuhinya maka ia telah nusyuz dalam perbuatan
(fa‟l).
Ali Ibnu Qasim al-Gozi memaknai nusyuz “keluar dari ketaatan (secara
umum) dari isteri atau suami atau keduanya” kemudian secara istilah ini nusyuz
mempunyai beberapa pengertian di antaranya: Menurut fuqaha Hanafiyah
seperti yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan

7
Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyadkarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1418
ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki
berpendapat bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri.
Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah nusyuz adalah perselisihan
diantara suami-isteri, sementara itu ulama Hambaliyah mendefinisikanya dengan
ketidak-senangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan pergaulan
yang tidak harmonis.8

G . Fasakh
Secara bahasa, fasakh berarti pembatalan, pemisahan, penghilangan,
pemutusan, atau penghapusan. Sedangkan secara istilah, fasakh adalah
pembatalan perkawinan karena sebab yang tidak memungkinkan perkawinan
diteruskan, atau karena cacat atau penyakit yang terjadi pasca akad dan
mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai. (Lihat Az-Zuhaili, Al-
Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid X, halaman 3147).
Fasakh diputuskan oleh hakim pengadilan berdasarkan pengajuan dari
suami, istri, wakilnya, atau pihak berwenang yang sudah mukallaf, balig, dan
berakal sehat, dengan catatan bila yang menjadi penyebab fasakh adalah
perkara-perkara yang membutuhkan tinjauan dan pertimbangan hakim.
Sementara penyebab fasakh akibat tidak terpenuhinya syarat pernikahan dapat
diputuskan tanpa melalui keputusan hakim.
Dengan demikian, melalui meja pengadilan, istri memiliki hak yang sama
dengan suami untuk membatalkan pernikahan atas alasan yang dibenarkan
syariat. Penetapan hak fasakh bagi suami dan istri akibat cacat atau penyakit
antara lain berdasarkan hadis riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar bin Al-
Khathab.
Disebutkan, pada suatu ketika Nabi SAW menikah dengan seorang perempuan
dari Bani Ghifar. Ketika perempuan itu memasuki kamar, Rasulullah SAW
melihat bagian lambungnya berwarna putih.
َ ‫دَلَّ ْست ُ ْم‬: ‫ َو ْالحقي بأ َ ْهلكَ َوقَا َل ِل َ ْهل َها‬، َ‫ا ْلبَسي ثيَابَك‬: ‫فَقَا َل‬
َّ َ‫عل‬
‫ي‬

8
Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI (Jakarta: Gema Insani Press, 2004),
hlm. 25-26.
Artinya,
“Rasulullah SAW bersabda kepadanya, ‘Kenakanlah pakaianmu dan kembalilah
kepada keluargamu. Kemudian beliau bersabda kepada keluarganya, ‘Kalian
sembunyikanlah kekurangannya dariku!’ (HR Al-Baihaqi dan Abu Ya‘la). Sa‘id
bin Al-Musayyib meriwayatkan:

ْ َ‫ارق‬
‫ت‬ َ َ‫ت ف‬ ْ ‫ت قَ َّر‬
ْ ‫ َوإ ْن شَا َء‬. ‫ت‬ َ ‫ أ َ ْو‬،‫ون‬
ْ ‫فَإ ْن شَا َء‬. ‫ فَإنَّ َها ت ُ َخي َُّر‬،‫ض َر ٌر‬ ٌ ُ‫ َوبه ُجن‬،ً‫أَيُّ َما َر ُج ٍل ت َزَ َّو َج ا ْم َرأَة‬
Artinya,
“Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dan laki-laki itu
mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit berbahaya, maka si
perempuan diberi pilihan (khiyar). Jika mau, ia boleh meneruskan perkawinan.
Jika tidak, ia boleh bercerai,” (HR Malik). Dalam suatu riwayat, ‘Umar bin Al-
Khathab pernah berkomentar tentang laki-laki yang lemah syahwat:

ٌ‫ي ت َْطليقَةٌ بَائنَة‬


َ ‫ َوه‬،‫ َوإ َّّل فُرقَ بَ ْينَ ُه َما َولَ َها ْال َم ْه ُر كَام ًًل‬،‫ص َل إلَ ْي َها‬
َ ‫ فَإ ْن َو‬،ً‫سنَة‬
َ ‫يُ َؤ َّج ُل‬
Artinya, “Dia harus ditangguhkan selama satu tahun. Itu pun jika dia
sampai pada tempo tersebut. Jika tidak, maka pisahkanlah di antara keduanya.
Namun, si istri berhak atas mahar dan berstatus talak bain.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan disebutkan dalam Atsar Abu Yusuf.
Hanya saja dalam riwayat Sa‘id bin Manshur ditambahkan,
“Dia ditangguhkan sejak diajukan kepada penguasa.” Sebab-sebab yang
Membolehkan Fasakh Berdasarkan sejumlah hadits di atas,

para ulama berkesimpulan bahwa pasangan yang menderita penyakit


judzam (kusta), barash (balak), junun (gangguan jiwa), atau penyakit lain yang
menular dan tergolong berbahaya, berhak mengajukan fasakh. Begitu pula suami
yang memiliki cacat jubb (terpotong kemaluan) atau ‘unnah (lemah kemaluan);
atau istri yang memiliki cacat rataq (kemaluan perempuan tertutup daging),
qaran (kemaluan perempuan tertutup tulang). Dalam kaitan dengan ini, Syekh
Mushthafa Al-Khin merinci jenis-jenis cacat atau penyakit yang membolehkan
terjadinya fasakh. Menurutnya, secara umum, jenis cacat atau penyakit yang
membolehkan fasakh ada dua:
(1) cacat atau penyakit yang menghalangi hubungan badan, seperti jubb
atau ‘unnah pada suami dan qaran atau rataq pada istri;
(2) cacat atau penyakit yang tidak menghalangi hubungan badan, namun
membahayakan, seperti judzam, barash, atau gangguan jiwa walau terkadang
sembuh
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut hukum perkawinan di Indonesia segala bentuk putusnya


perkawinan, harus melalui keputusan Pengadilan. Sedang yang dimaksud murtad
dalam perundang-undangan di Indonesia disebutkan dalam KHI pasal 116 (h)
bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena peralihan agama atau murtad
yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Secara fiqh dari pendapat mayoritas ulama, jika salah seorang suami atau
isteri telah murtad ditengah-tengah perkawinan mereka, maka nikahnya dihukumi
fasakh, tanpa perlu melihat apakah murtad tersebut mengakibatkan perselisihan
di dalam rumah tangga ataupun tidak. Bahkan perkawinan mereka fasakh seketika
itu juga tanpa memerlukan keputusan hakim. Maka, idelanya perkara perceraian
sebab murtad ini diputus fasakh.

B. Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan.
Harapan kami untuk mengembangkan potensi yang ada dengan harapan
dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca.
Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca,
khususnya dari Bapak dosen yang telah membimbing kami dan para
Mahasiswa demi kesempurnaan
makalah ini.
Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR

PUSTAKA

Abbas, Syahrial, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, Jakarta: Kencana, 2009.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo,


2007.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Al-Tarablisi, ‘Ala al-Din, Muin al-Hukkam: fi ma Yatararaddad bayn alKhasamayn min


al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Asikin, Amirudin Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Cet Ke-1, 2006.

Anonimous, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung TI No. 1 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, tt: Japan Internasional Cooperation Agency
(JICA) dan Indonesia Institute for Confliket Tranformation (IICT), 2008

Anda mungkin juga menyukai