Anda di halaman 1dari 2

Judul Artikel : Unifikasi Dalam Pluralisme Hukum Tanah Di Indonesia

(Rekonstruksi Konsep Unifikasi Dalam UUPA)

Penulis : Muhammad Bakri

Institusi : Universitas Brawijaya

Nama Jurnal : Kertha Patrika Vol. 33 No. 1

Tahun Terbit : Januari 2008

A. PENDAHULUAN - PERMASALAHAN

Pada Pendahuluan, penulis memaparkan bahwa sebelum UUPA berlaku di Indonesia,


ada dua hukum tanah yang diberlakukan di Indonesia, yaitu hukum tanah adat dan hukum
tanah barat. Hukum tanah adat berlaku dan tunduk kepada ketentuan hukum adat tanpa
memperhatikan siapa pemegang haknya, sedangkan hukum tanah barat berlaku dan tunduk
kepada ketentuan hukum barat tanpa memperhatikan siapa pemegang haknya juga. Jadi pada
masa itu, cara menentukan hukum terhadap suatu tanah adalah dengan cara melihat apakah
tanah tersebut sudah dibuka dan dipunyai oleh orang Bumi putra maka tanah tersebut tidak
dapat tunduk kepada hukum barat. Sedangkan bagi tanah yang belum dibuka dan masih hutan
belukar, maka tanah tersebut tunduk kepada hukum tanah barat. Berlakunya dua hukum ini
menyebabkan konflik pada masa itu karena menurut pandangan pemerintah Hindia Belanda,
kedudukan hukum barat lebih tinggi daripada hukum adat.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia berusaha melakukan penyatuan


serta penyederhanaan terhadap hukum tanah di Indonesia melalui UUPA dengan
memberlakukan unifikasi hukum tanah. Unifikasi hukum tanah adalah memberlakukan satu
macam hukum tanah yakni hukum tanah nasional untuk semua tanah yang ada di wilayah
Indonesia. Namun unifikasi hukum ini dianggap akan menimbulkan ketidakadilan karena
realitas sosial masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras,
kebudayaan, dan hukum. Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk mengawinkan kedua
hal yang saling bertentangan itu, dan menjadikan masalah yang diangkat dalam artikel ini

B. PEMBAHASAN

Pada pembahasan, penulis memaparkan bahwa hukum agraria yang baru atau UUPA
berdasar kepada hukum adat dikarenakan masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya
masih tunduk kepada hukum adat, tetapi tetap dengan memperhatikan beberapa syarat, yaitu
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara; sosialisme Indonesia; peraturan
perundang-undangan; dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama. Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut dapat disimpulkan bahwa,
kedudukan hukum adat lebih rendah daripada peraturan perundang-undangan. sehingga jika
terjadi konflik hukum antara hukum adat dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat
lah yang akan dikesampingkan.

Kedua hukum tersebut, dibiarkan hidup secara berdampingan (dualisme hukum


tanah), sebagaimana pernah terjadi pada masa pemerintah Hindia Belanda. Masalah yang
muncul berkenaan dengan dualisme hukum agraria ini adalah, kedua hukum tersebut berlaku
untuk tanah yang mana? Untuk menjawab masalah ini, penulis berpendapat bahwa:

1. Di daerah-daerah yang masih ada (eksis) hak ulayatnya, diberlakukan secara penuh
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat.

Untuk menentukan ada/tidaknya hak ulayat, diatur dalam Pasal 2 Peraturan


Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor. 5 Tahun 1999.
Menurut pasal ini sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adat itu disebut “masyarakat hukum adat” yang merupakan subjek hak ulayat dan
dapat menguasai semua tanah dan seisinya yang ada di wilayah kekuasaan masyarakat
hukum adat. dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999,
masyarakat adat dapat melakukan pemungutan, pengolahan, dan mendapatkan
pemberdayaan dari tanah yang diklaim oleh mereka. Keberadaan masyarakat adat
juga dapat dikukuhkan oleh Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan Peraturan
Daerah sebagai alat bukti eksistensi masyarakat hukum adat.

2. Di daerah-daerah yang tidak ada/sudah tidak ada lagi hak ulayatnya, diberlakukan
secara penuh hukum agraria nasional. Dengan makin menguatkan hak-hak individu
atas tanah, secara alamiah lambat laun hak ulayat masyarakat hukum adat akan
menjadi hilang. Hilangnya hak ulayat itu, harus terjadi secara alamiah tanpa ada
campur tangan dari pemeritah. Oleh karena itu, pada saat ini, hak ulayat hanya ada di
sebagian kecil wilayah Indonesia, sedang sebagaian besar lainnya tidak ada hak
ulayat. Di daerah-daerah yang tidak ada hak ulayatnya inilah, diberlakukan secara
penuh hukum agraraia nasional yang termuat dalam peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai