Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA SEBELUM

DIBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960


TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (UUPA)

Haykal Afdhol Bagaskara


haykalbagas903@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Jember

PEMBAHASAN

Tujuan pokok dibentuknya UUPA tidak terlepas dari upaya untuk


meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak atas
tanah. Kepastian hukum itu mencakup: kepastian mengenai subjek hukum atas
tanah; kepastian mengenai letak, batas, ukuran atau luas tanah (kepastian
mengenai objek hak); dan kepastian mengenai status hak atas tanah yang menjadi
landasan hubungan-hubungan antar tanah dengan orang/badan hukum .1

Pada masa primitif kebiasaan-kebiasaan pada masa itu ialah kebiasaan


hidup berburu, belum mengenalnya adanya hak atas tanah perorangan, sifat
masyarakat yang masih berkelompok atau komunal, relatif tidak ada sengketa
karena pada masa itu jumlah manusia masih sedikit dibandingkan luasnya tanah,
belum mengetahui hak apa yang mereka kuasai namun mengetahui dari wilayah
mana mereka kuasai atau punyai (hak ulayat atau pertanahan).

Masa Pengembaraan. Pada masa pengembaraan dilihat dari bidang


usahanya, ada dua golongan masyarakat yaitu golongan pemburu yang sekaligus
menjaga wilayahnya dari serangan pihak atau keompok lain, dan golongan petani
yang sudah tidak nomaden dan memiliki penghasilan yang lebih jelas
dibandingkan dengan kelompok masyarakat pemburu. Dari kedua golongan
tersebut selanjutnya memliki perubahan siklus kehidupan. Golongan pemburu
akan beralih ke pertanian sehingga terdapat yang namanya tuan tanah. Tuan tanah
ini menguasai para petani, meminta bagian hasil yang lebih banyak, meminta
bagian tanah. Dari siklus kehidupan golongan masyarakat tersebut kemudian

1
Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Cetakan Kedua, (Jakarta: Djambatan, 1997), hlm.48.

1
berkembang menjadi sistem kekerajaan yang menguasai tuan tanah yang ditandai
dengan adanya upaya untuk mengeklaim tanah.

Upaya untuk mengeklaim tanah tersebut disebut domein verklaring. Pada


masa berlakunya domein verklaring, terdapat hak atas tanah yang diciptakan oleh
Pemerintah Hindia Belanda yang tidak termasuk dalam hak-hak barat atas tanah
yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana hak atas tanah
itu adalah hak Agrarische Eigendom. Hak atas tanah ini merupakan hak yang
berasal dari hak milik adat yang permohonan pemiliknya melalui suatu prosedur
tertentu diakui keberadaannya oleh Pengadilan.

Hukum Agraria Adat. Ciri-ciri dari hukum agraria adat antara lain:

a. Bentuknya tidak tertulis, keberlakuannya hanya diikuti oleh beberapa


kelompok masyarakat saja, yang mana kebiasaan tersebut sudah ada sejak
nenek moyang mereka bertempat. Cakupan dari keberlakuan hukum adat
tersebut di beberapa daerah biasanya disimbolkan dengan terdengarnya
“kentongan”, jika bunyi kentongan masih terdengar disuatu wilayah tertentu,
maka dalam suatu wilayah tersebut masih menggunakan hukum adat yang
dimaksud.

b. Tidak dikenal istilah lembaga hak jaminan atas tanah. Dalam hukum agraria
adat, selama diperjanjikan bahwa hutangnya belum dibayar lunas, debitor tidak
akan melakukan perbuatan hukum apapun dengan pihak lain mengenai tanah
yang dijadikan jaminan (jonggolan).

c. Sifatnya yang komunalistik religius. Hal ini menunjukkan bahwa hukum


agraria adat dalam penggunaan haknya dimiliki secara bersama oleh para
anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum
disebut Hak Ulayat. Oleh masyarakat adat, hak ulayat dianggap sebagai
karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada
kelompok masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi
kehidupan dimasa yang akan datang.

d. Penguasaan tanah secara individual. Pengusaan dan penggunaan tanah tersebut


dapat dilakukan sendiri secara individual atau bersama-sama dengan kelompok

2
lain. Tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakan secara kolektif.
Karena itu, penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual. Hak
penguasaan yang individual tersebut merupakan hak yang bersifat pribadi,
karena tanah yang diakuasainya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan
pribadi dan keluarganya. Bukan untuk pemenuhan kebutuhan kelompoknya.

e. Hak-hak atas tanah bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.


Hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi semata. Disadari, bahwa yang
dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Karena itu
dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi
semata, melainkan juga harus diingat kepentingan bersama, yiatu kepentingan
kelompoknya. Sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya mengandung
apa yang disebut unsur kebersamaan.

Hukum adat tampaknya relavan dengan kondisi Negara Indonesia yang


bercorak multikultural, multi etnik, agama, ras dan multi golongan dan sesuai
dengan Bhineka Tunggal Ika yang mencerminkan kemajemukan Indonesia.2 Hak
Ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya,
yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan
wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh
seseorang, maupun yang belum. Batas wilayahnya hak ulayat Masyarakat Hukum
Adat tradisional tidak dapat ditentukan secara pasti.

Hukum Agraria Barat adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum agraria


yang bersumber pada Hukum Perdata Barat khusunya yang bersumber pada
KUHPerdata. Kaidah-kaidah Hukum Agraria Barat sebagian besar merupakan
hukum tertulis, tetapi disamping hukum agraria tertulis yang bersumber dari BW,
juga mengenal hukum tidak tertulis yang bersumber dari kebiasaan. Hukum
Agraria Barat berlaku terhadap tanah-tanah tertentu, yaitu tanah yang dihaki

2
I Made Suwitra, Konsep Komunal Religius Sebagai Bahan Utama Dalam Pembentukan
UUPA Dan Dampaknya Terhadap Penguasaan Tanah Adat Bali, Jurnal Prespektif, Vol.XV, No.2,
2010, April, hlm.176.

3
dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam BW atau hukum kebiasaan yang
disebut dengan Tanah Barat Atau Tanah Eropa.

Zaman VOC juga berpengaruh terhadap adanya Hukum Agraria di


Indonesia. Daerah yang ditaklukan VOC dibuatkan peraturan-peraturan yang
sepihak mengenai tentang tanah yang hanya menguntungkan pihak VOC saja.
Misalnya di Maluku, Makassar dan Jawa. Peraturan tersebut antara lain: (1)
Contingenten yaitu pajak kepada VOC yang besarnya 1/5 dari hasil bumi.
Ketentuan ini akibatnya akan berdampak kepada double-nya pajak yaitu kepada
Raja dan VOC. (2) Verplicte Leverente, adanya perjanjian para raja termasuk
rakyatnya dengan VOC hanya untuk menjual hasil tanah kepada VOC yang
harganya ditentukan VOC. Dari adanya kebijakan tersebut, VOC mengalami
keuntungan yang sangat besar.

Kebijakan Pada Masa Gubernur Jenderal Deandles (1808-1811) yaitu


adanya Culturstelsel dan lahirlah Agrarische wet, dan memberikan hak-hak atas
tanah menurut hukum barat (Eigendom,Erpacht,Opstal). Hak Eigendom adalah
hak atas tanah yang pemiliknya mempunyai kekuatan mutlak atas tanah tersebut.
Hak Erpacht adalah hak untuk diusahakan atau mengelola tanah orang lain dan
menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut. Hak Opstal
yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
memiliki sesuatu yang diatas tanah eigendom, pihak lain yang dapat berbentuk
rumah atau bangunan, tanaman dan atau seterusnya. Adanya praktek Domein
Verklaring. Dalam prakteknya memiliki dua fungsi yaitu: (1) Sebagai landasan
hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak barat
seperti yang diatur dalam BW, (2) Untuk keperluan pembuktian kepemilikan,
yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak perlu membuktikan hak
eigendom atas tanah, tetapi pihak lainlah yang harus membuktikannya.

Hak atas tanah atau Hak Agrarische Eigendom adalah hak yang berasal
dari hak milik adat yang atas permohonan pemiliknya melalui suatu prosedur

4
tertentu diakui keberdaannya oleh pengadilan (diatur dalam Koninlijk Besluit Stb.
1872 No. 117 dan Stb. 1873 No. 38).3

Hukum Agraria Antargolongan. Hukum agraria perdata lama memiliki


sifat yang dualistis yaitu berupa Hukum Agraria Barat dan Hukum Agraria Adat.
Jika dihubungkan dalam kenyataan lainnya bahwa hukum perdata yang dualistis
secara garis besar terdapat pembedaan dalam hal pemberlakuan antar golongannya
yaitu Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan hukum yang berlaku bagi
Orang Indonesia Asli. Jadi lahirlah cabang hukum agraria yang ketiga yaitu
Hukum Agraria Antargolongan. Pemberlakuan Hukum Agraria Antargolongan.
Bagi Golongan Eropa dan Timur Asing yaitu sepanjang mengenai hukum
kekayaan atau benda berlaku hukum Barat (BW atau KUHD), terkait dengan
hubungan dan peristiwa hukum diselesaikan menurut hukum Barat. Sedangkan
bagi Golongan Indonesia (Bumi Putera) yaitu berlaku hukum adat seperti kegiatan
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam diselesaikan dengan cara hukum
adat.

Hubungan Hukum Antargolongan di bidang pertanahan. Tanah Indonesia


dan Tanah Barat, Orang Indonesia dan Bukan Indonesia semuanya saling
bersilangan. Keadaan tersebut diistilahkan dengan pasar bebas atau lalu lintas
bebas dari pada tanah-tanah Indonesia. Namun tanah Indonesia tidak sebenuhnya
bebas untuk dijual-belikan kepada golongan lain dalam arti dibatasi.
Ketidakbebasan tersebut dinamakan larangan pengasingan tanah yang diatur
dalam Stb. 1875 No. 179 dimana larangan pengasingan tanah ini tidak
membenarkan pemindahan hak atas tanah Indonesia oleh orang Indonesia asli
kepada bukan Indonesia asli.

Orang Indonesia Asli dapat memperoleh tanah barat dengan syarat:


membeli dari golongan eropa; kawin dengan orang bukan Indonesia asli;
pemberian oleh pemerintah. Implikasinya yaitu ada kemungkinan tanah dan
pemiliknya masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan misalnya Tanah
Barat yang dipunyai oleh Orang Indonesia Asli, dan Tanah Indonesia yang

3
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 23.

5
dipunyai oleh bukan Indonesia asli. Dalam ketentuan Hukum Agraria terdapat
ketentuan bahwa tanah itu mempunyai status hukum tersendiri yang terlepas dan
tidak dipengaruhi oleh status atau hukum dari subjek yang menghakinya. Apabila
hukum dari tanah itu mengikuti hukum dari yang mempunyai tanah, maka tidak
akan timbul persoalan hukum agraria antar golongan. Namun, tidak demikian
halnya, karena tanah ditentukan mempunyai status hukum tersendiri yang terpisah
dan tidak dipengaruhi oleh status hukum yang mempunyainya. Yang berlaku
adalah asas Hukum Agraria Antargolongan. Jadi sudah jelas bahwa tanah
Indonesia tunduk kepada Hukum Agraria Adat meski tanah tersebut dimiliki oleh
orang barat. Tanah Barat tunduk kepada Hukum Agraria Barat meski tanah
tersebut dimiliki oleh orang Indonesia asli.

DAFTAR PUSTAKA

Harsono Boedi. 1997. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-


Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya. Cetakan Kedua, (Jakarta:
Djambatan). hlm.48.

I Made Suwitra. 2010. Konsep Komunal Religius Sebagai Bahan Utama Dalam
Pembentukan UUPA Dan Dampaknya Terhadap Penguasaan Tanah Adat
Bali. Jurnal Prespektif. Vol. XV. No. 2. April. hlm.176.
Urip Santoso. 2007. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. (Jakarta: Kencana).
hlm. 23.

Anda mungkin juga menyukai