Anda di halaman 1dari 7

Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Hukum Agraria

Analisis Mengenai Eksistensi Hak Ulayat Suku Beilel Di Nusa Tenggara


Timur

Dosen Pengampu : Aprila Niravita, S.H., M.Kn.

Disusun Oleh :

Nama : Muhammad Iqbal Wiranugraha

NIM : 8111418366

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. hal tersebut karena
beberapa aspek dalam kehidupan manusia dipengaruhi oleh tanah. Selain sebagai sumber
ekonomi dan sumber penghidupan manusia, tanah juga memiliki suatu aspek yang sakral dan
harus dilindungi. Terlebih untuk masyarakat hukum adat. Sesuai dengan pandangan hukum adat
yang komunalistik religius, maka dengan adanya pandangan tersebut dan jika dihubungkan
dengan ruang lingkup pertanahan dapat menimbulkan adanya hak-bersama para anggota
masyarakat hukum adat atas penguasaan tanah, yang selanjutnya dapat disebut dengan hak
ulayat. Hak ulayat dapat diartikan sebagai hak kepemilikan yang termasuk dalam unsur
keperdataan serta kewenangan dalam menggunakan, memperoleh, serta memanfaatkan tanah di
lingkungan masyarakat Hukum Adat.

Keberadaan Hukum Adat terutama Hak Ulayat di Indonesia diakui keberadaannya oleh
negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 18B Ayat 2 yang mana jika
disimpulkan mengatur tentang negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta pengakuan
yang sama juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria Pasal 3, yaitu selama dalam kenyataanya masih ada, hak ulayat dan hak-
hak serupa dari masyarakat hukum adat, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan yang lebih tinggi. Hal tersebut menegaskan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai
hak untuk menguasai hal-hal yang berkaitan dengan tanah ulayat mereka.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Hak Ulayat.
2. Untuk mengetahui keberadaan Hak Ulayat lingkup masyarakat Hukum Adat.
BAB II

PENGERTIAN HAK ULAYAT

Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat Hukum Adat
adalah serangkaiam wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan
dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.1 Tanah Ulayat tersebut merupakan
tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai suatu karunia Kekuatan Gaib atau peninggalan
Nenek Moyang kepada suatu kelompok masyarakat Hukum Adat, sebagai suatu unsur utama
bagi kehidupan serta penghidupan kelompok tersebut. Dalam hal tersebut sangat terlihat sifat
religius dalam hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah ulayatnya tersebut. Hak Ulayat
merupakan sebuah wewenang dan kewajiban yang berhubungan dengan tanah masyarakat
Hukum Adat.

Warga dalam masyarakat Hukum Adat masing-masing memiliki hak menggunakan serta
hak untuk menguasai sebagian tanah-tanahnya tersebut guna memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka. Hak ulayat mempunyai dua unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk didalamnya
bidang hukum perdata dan unsur kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas
kewenangan yang termasuk hukum publik.2 Walaupun demikian unsur keperdataan dalam Hak
Ulayat masyarakat Hukum Adat bukanlah bersifat pribadi semata. Mengingat, bahwa yang
dikuasai dan digunakan merupakan sebagian dari tanah bersama. Karena itu, dalam
penggunannya tidak boleh semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk
kepentingan bersama. Sifat penguasaan berikut yang mengandung apa yang dinamakan unsur
kebersamaan.

Dalam sistem hukum adat, tanah merupakan hak milik bersama masyarakat hukum adat.
Hak tersebut merupakan hak ulayat yang mana merupakan hak yang tertinggi kedudukannya.
Obyek hak ulayat ini adalah tanah dan juga mencakup perairan, seperti sungai dan perairan
pantai laut, dan juga atas tanaman yang tumbuh sendiri, seperti pohon-pohon, buah-buahan, dan
batang kayu, begitu juga dengan binatang-binatang liar yang hidup dalam lingkungan tanah
ulayat tersebut.

1
Boedi Harsono (Boedi Harsono – I), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 185- 186.
2
Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Pertanahan, Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur, (Medan: USU Press,
2005), hal. 132.
BAB III

KEBERADAAN HAK ULAYAT SUKU BEILEL DI NUSA TENGGARA TIMUR

Suku Beilel merupakan salah satu suku yang bermukim di Dusun A Lola, Desa Probur
Utara Habollat, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Barat. Salah satu
bukti adanya kepemilikan tanah ulayat Suku Beilel adalah adanya pengakuan suku lain atau
orang luar. Hal ini ditunjukan pada prosedur yang harus dijalankan bila suku lain atau orang luar
akan menggunakan tanah untuk berbagai kepentingan, harus meminta izin terlebih dahulu
kepada Kepala Adat Suku Beilel. Misalnya, untuk membuka lahan perkebunan seseorang harus
meminta izin terlebih dahulu kepada Kepala Adat Suku Beilel. Untuk memohon izin tersebut,
terdapat ketentuan adat harus disampaikan dengan kata dan sikap yang sopan.

Setelah itu barulah permohonan tersebut diajukan kepada Tuan Tanah, yang nantinya
Tuan Tanah akan meninjau lokasi untuk menentukan apakah lokasi yang diinginkan sudah ada
orang lain yang menggarapnya atau belum. Apabila tanah tersebut sudah dimiliki oleh orang
lain, pihak pemohon diharuskan meminta izin kepada penggarap sebelumnya. Dan bila diizinkan,
maka Tuan Tanah akan memberi izin untuk menggarapnya. Atas jasa Tuan Tanah, maka pada
tiap akhir panen Tuan Tanah mendapatkan imbalan berupa pemberian sebagian hasil panen, yang
besarnya tergantung keikhlasan si penggarap.

Sesuai dengan ketentuan adat, hak yang diberikan kepada seseorang hanya bersifat hak
garap, dan bukan hak kepemilikan. Hak garap ini tidak bisa dipindah tangankan tanpa
sepengetahuan Tuan Tanah. Hak garap ini bisa diwariskan kepada ahli warisnya atas persetujuan
Tuan Tanah. Tanah Garapan ini juga tidak boleh diperjualbelikan, karena tanah adalah warisan
leluhur untuk dapat melangsungkan kehidupan anak cucunya. Bagi orang yang membuka lading
tanpa seizin Kepala Adat, bila ketahuan akan mendapatkan sanksi adat, berupa membayar denda
adat berupa moko, dan atas kesalahannya orang akan si arak keliling kampung sambal berteriak
mengakui kesalahannya.

Kepala Adat Suku Beilel yang memiliki kewenangan atas penggarapan tanah ulayat,
menyatakan bahwa izin yang diberikan hanya sebatas hak menggarap, dan penggarap tidak
dibenarkan untuk mengalihkan hak garapnya kepada orang lain. Penggarap juga tidak dibenarkan
untuk mewariskan hak garapnya kepada ahli waris tanpa sepengetahuan Kepala Suku Beilel.
Kepala Suku Juga mempunyai hak ikut campur dalam pemanfaatan tanah yang ada dalam
Garapan orang lain. Seperti misalnya melarang menebang tanaman kayu-kayu adat oleh
penduduk. Dan oleh karena itu apabila ada seseorang yang menebang kayu tanpa sepengetahuan
Kepala Adat akan dikategorikan sebagai tindak pencurian.

Kendati demikian seiring berjalannya waktu harus diakui dalam perkembangannya


menunjukan adanya kecenderungan terkikisnya kewenangan Tuan Tanah Suku Beilel dalam
mengatur peruntukan tanah ulayatnya. Hal tersebut dikarenakan adanya marjinalisasi
kewenangan seiring dengan hadirnya pemerintahan desa yang mengakibatkan merosotnya
kewibawaan pemimpin adat. Kewenangan kepala desa dalam legalisasi tanah pekarangan dan
tanah garapan telah mengakhiri kewenangan Tuan Tanah dalam mengatur peruntukan tanah pada
tanah pekarangan. Hak untuk mengatur peruntukan tanah oleh Tuan Tanah hanya tersisa pada
tanah-tanah ulayat yang belum digarap penduduk. Dengan diadakannya sertifikasi pertanahan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Alor, kepemilikan tanah ulayat sebagian telah mengalami
pergeseran dari kepemilikan yang bersifat komunal menjadi kepemilikan yang bersifat individu.
KESIMPULAN

Hak ulayat merupakan hak yang bersifat komunalistik yang merujuk kepada adanya hak-
bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah. Warga dalam masyarakat Hukum Adat
masing-masing memiliki hak menggunakan serta hak untuk menguasai sebagian tanah-tanahnya
tersebut guna memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Eksistensi daripada Hak Ulayat memang
seiring berjalannya waktu mulai memudar dikarenakan adanya sertifikasi pemerintahan
setempat. Hal tersebut juga karena adanya marjinalisasi kewenangan dengan adanya
pemerintahan desa.
DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi (Boedi Harsono – I), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003).

Kalo, Syafruddin, Kapita Selekta Pertanahan, Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur,
(Medan: USU Press, 2005).

Sudiyono. (2015). Sejarah Dan Dinamika Praktik Hak Ulayat Tanah Di Desa Probur Utrara
Habollat Kabupaten Alor. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17, 191-201.

Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat. (Jakarta: Pradny Panata, 1999).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Anda mungkin juga menyukai