Anda di halaman 1dari 17

PENGADAAN TANAH BANDARA ANTARIKSA

DENGAN OBJEK HAK ULAYAT MASYARAKAT


ADAT DI KAMPUNG SAUKOBYE DISTRIK BIAK
UTARA, KABUPATEN BIAK NUMFOR

NAMA : GLEDIS MARSELINA WR. LAPOD


NIM : 6161101190019
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Lembaga Negara, Kementrian, Lembaga
Pemerintahan Non Kementrian, Badan Usaha Milik Negara, Pemerintah Daerah dan badan
hukum lainya yang memerlukan tanah. Kegiatan perolehan tanah oleh pihak yang membutuhkan
tanah terhadap tanah hak pihak lain dikenal dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
Pihak yang memerlukan tanah dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah
instansi, instansi tersebut ialah, lembaga Negara, kementrian, lembaga pemerintah non
kementrian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN.

Pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilaksanakan jika ada tanah yang
tersedia dan hanya pengambilan tanah hak masyarakat. Walaupun tanah-tanah telah
dikuasai dengan suatu hak bukan berarti pemegang hak mempunyai kebebasan yang mutlak
dalam pemanfaatan tanah dan penggunaannya akan tetapi harus memperhatikan
kepentingan umum dan kebijakan pembangunan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang pokok Agraria Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi social.
Ketentuan tersebut mangndung arti bahwa kepentingan umum, kepentingan perorangan
harus berjalan seimbang, sehingga akan tercapai tujuan pokok kemakmuran bagi bangsa
dan negara.
-Hak Ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas
tanah yang merupakan kepunyaan Bersama para warganya. Hak ulayat ini meliputi semua
tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang
sudah dimiliki hak oleh seseorang maupun yang belum. Subjek hak ulayat adalah masyarakat
hukum adat, yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat
tinggal (territorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genelogis), yang dikenal dengan
berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dusun dan lain
sebagainya.
-Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa hak
ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan lingkungan para warganya
untuk mengambil manfaat sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya . Sedangkan masyarakat hukum adat di anggap masih
ada apabila terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga Bersama suatu persekutuan hukum tertentu, terdapat tanah ulayat tertentu yang
menjadi lingkungan hidup para warga masyarakat adat, dan terdapat tatanan hukum adat
mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang ditaati oleh warga
masyarakat adat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penetapan dan pembayaran ganti kerugiannya terhadap pengadaan tanah bandara
antariksa dengan objek hak ulayat masyarakat adat Saukobye?
2. Apakah faktor-faktor penghambat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan bandara
antariksa Masyarakat Hukum Adat Saukobye, Distrik Biak Utara?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan dan memberi pengetahuan baru bagi pembaca mengenai
penentuan/penetapan ganti kerugian terhadap pengadaan tanah Bandara Antariksa dengan objek
hak ulayat masyarakat kampung Saukobye, Biak Utara
2. Untuk menjelaskan dan memberi pengetahuan bagi pembaca mengenai Faktor-faktor
penghambat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Bandara Antariksa MHA Saukobye.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara praktis, bahan ini dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca agar lebih luas
dalam mengekspor ilmu pengetahuan dari daerah Biak, Papua.
2. Sebagai syarat menyelesaikan Pendidikan Sarjana Hukum (SH) Fakultas Hukum Universitas
Kristen Indonesia Paulus.
3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk memperdalam penelitian tentang
eksistensi pembangunan Bandara Antariksa di Kampung Saukobye, Biak Utara, Papua.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Hak Ulayat


1. Pengertian Hak Ulayat
Istilah “hak ulayat” terdiri dari dua kata, yakni kata “hak” dan “ulayat”. Secara etimologi kata
ulayat identic dengan arti wilayah, kawasan, marga, dan nagari. Kata “hak” mempunyai arti
milik (kepunyaan), kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang benar atau
untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Kata “hak” diartikan peranan bagi seseorang
atau pihak untuk bertindak atas sesuatu menjadi objek dari haknya itu.

2. Subjek dan Objek Hak Ulayat


a. Subjek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum yang mendiami suatu wilayah tertentu
b. Objek Hak Ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat Hukum Adat teritorial dan
genelogis yang bersangkutan.

3. Eksistenti Hak Ulayat


Pengakuan atas eksistensi perlu dilengkapi dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak
yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Tidak ada eksistensi tanpa pemenuhan hak dan
kebebasan dasar. Manusia hanya mungkin menjadi manusia apabila hak dan kebebasan
dasarnya terpenuhi.
B.Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau the
indigenous people, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan popular disebut
engan istilah “masyarakat adat”. Masyarakat hukum adat adalah komunitas manusia yang
patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya
satu sama lain berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup
karena diyakini dan dianut, dan jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat.
Pengertian masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah
tertentu, yang berdirinya tidak tetap atau tidak diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi
atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara para anggota
masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang
hanya dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.

C. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat


Hak ulayat diartikan sebagai kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah dalam
lingkungan/wilayah/daerah tertentu untuk menguasai dalam arti mengambil dan memanfaatkan
tanah untuk kepentingan masyarakat hukum dan anggota-anggotanya.Rumusan masyarakat
hukum adat terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dengan rumusan bahwa Masyarakat Hukum Adat
adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau dasar keturunan.
D. kedudukan Hukum Adat dan Masyarakat Adat Dalam Hukum Nasional
1. Hukum Adat
Pengertian hukum adat lebih sering diidentikkan dengan kebiasaan atau kebudayaan
masyarakat setempat di suatu daerah. Mungkin belum banyak masyarakat umum yang
mengetahui bahwa hukum adat telah menjadi bagian dari system hukum nasional Indonesia,
seingga pengertian hukum adat juga telah lama menjadi kajian dari para ahli hukum.

2. Kedudukan Masyarakat Hukum Adat dalam Hukum Nasional


Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat adat. Pengakuan atas
eksistensi ini perlu dilengkapi dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak yang
menyertai keberadaan masyarakat adat.

E. Ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomot 52 Tahun 2014 tentang Pedoman
dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 1 Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah warga Indonesia
yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelomlpok secara harmonis sesuai hukum adatnya,
memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan
yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya system nillai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, social, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu
secara turun temurun.
F. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
1. Perspektif Pengadaan Tanah
Kata pengadaan tanah merupakan istilah asal mulanya atau istilah asli sesuai dengan ketentuan yang
diatur dengan hukum, akan tetapi istilah ini menurut ketentuan yang diatur dengan keputusan
Mendagri lebih dikenal dengan sebutan istilah Pembebasan, sedangkan yang dimaksud dengan
pembebasan tanah menurut Kepmendagri Nomor Ba. 12/108/1275 adalah setiap perubahan yang
bemaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang berhak/penguasa tanah
itu.

2. Tahapan Pelepasan Tanah


Pengadaan tanah punya kaitan langsung dengan penggunaan atau
pemanfaatan tanah sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah.
Prosedur hukum pengadaan tanah harus disertai dengan pelepsan/penyerahan hak dari pemegang hak
atas tanah kepada pihak lain. Pelepasan hak itu sendiri biasa berupa jual beli, penyerahan, hibah atau
pencabutan. Khusus pelepasan yang berlaku untuk pengadaan tanah dalam artipenyerahan dengan
imbalan ganti kerugian, atau pelepasan hak sepihak dengan pencabutan hak yang dilakukan oleh
pemerintah.

3. Pencabutan Hak Tanah


Arti pencabutan tanah secara bebas adalah pengambilalihan hak atas tanah oleh Negara dengan tujuan
untuk kepentingan umum, yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, hal itu bukan karena
pemilik tanah melakukan pelanggaran hukum dan mengakibatkan ha katas tanahnya dicabut. Alas an
Negara melakukan pencabutan ha katas tanah semata mata demi kepentingan umum yang mutlak
harus terpenuhi.
4. Ganti Rugi atas tanah
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (12) sebagai
berikut : Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik maupun non fisik sebagai
akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat
kehidupan social ekonomi sebelum terkena proyek pengadaan tanah. Sedangkan bentuk ganti ruginya
berupa uang, Tanah pengganti, pemukiman kembali dan atau penyertaan modal (saham).
Ganti rugi menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 angka 10:

Ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah. Sedangkan Bentuk ganti ruginya berupa:
a. Uang
b. Tanah Pengganti
c. Permukiman kembali
d. Kepemilikan saham atau
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak
Jenis yang dapat diberikan ganti rugi adalah:
a. Tanah
b. Ruang atas tanah dan bawah tanah
c. Bangunan
d. Tanaman
e. Benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau
f. Kerugian lain yang dapat dinilai
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian data Kualitatif, yaitu dengan
data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pimpinan atau kepala adat kampung warbon serta pihak
lain yang berkaitan dengan objek penelitian.

B. Pendekatan Penelitian
pendekatan yang dipakai yaitu pendekatan Socio Legal, mengkaji bagaimana perundang-undangan dari
hukum yang diterapkan pada Pengadaan Tanah Bandar Antariksa.

C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Biak, Provinsi Papua, Biak Utara, Kabupaten Numfor, Kelurahan Warbon
dipilih menjadi lokasi penelitian karena lokasi wilayah tersebut akan dilakukan pembangunan Bandara
Antariksa di atas hak ulayat masyarakat adat setempat.
D. Populasi Dan Sampel
a. Populasi
Dalam penelitian ini, Penulis mengambil populasi dari dua orang Pemangku Adat/pemegang hak atas
tanah dan juga Masyarakat Hukum Adat Warbon yang terdiri dari marga Abraw, marga Rumander dan
juga marga Kapitaraw sebagai pemilik hak atas tanah tersebut.
b. Sampel
Penulis mengambil sampel secara purposive/sengaja yamg terdiri dari pemangku adat dan juga Kepala
pimpinan adat kampung Saukobye atau yang disebut dengan Mananwir Keret.

E. Jenis dan Sumber Data


1. Data primer
Data primer di dapatkan peneliti dengan cara melakukan wawancara dan mengumpulkan data dari kepala
kampung sebagai informan dan juga Masyarakat Hukum Adat pemilik hak atas tanah adat tersebut.
2. Data Sekunder
Data sekunder di dapatkan peneliti dengan menelaah Pustaka dan dokumen yang diperoleh dari
pemangku adat (Mananwir Keret) dan MHA Warbon.
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Telaah Pustaka dan dokumen yang diperoleh dari informen yang terdiri dari pemangku adat
(Mananwir), Masyarakat Hukum Adat Warbon selaku pemilik ha katas tanah adat.
2. Wawancara (interview) adalah teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal kecil
dari narasumber yang lebih mendalam.

G. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder yang dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif, deskriptif yaitu suatu rumusan masalah yang
memandu penelitian untuk mengeksplorasi situasi sosial yang diteliti secara menyeluruh dan mendalam.
Deskriptif kualitatif meruakan sebuah metoe penelitian yang memanfaatkan data kualitatif dan dijabarkan
secara deskriptif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penetapan dan Pembayaran ganti kerugian terhadap pengadaan tanah Bandara


Antariksa
a. Penyiapan Pelaksanaan
1) Pembentukan Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah
2) Sosialisasi
3) Inventarisasi dan Identifikasi

b. Musyawarah penetapan ganti kerugian


Arti ganti rugi berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 angka 10 berbunyi :
“Ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah.
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan luas tanah 100 hektar yang diambil oleh
LAPAN dan pihak tersebut memberikan ganti kerugian yang diterima MHA Warbon sebesar
Rp.39.380.000 (tigapuluh Sembilan juta tigaratus delapanpuluh ribu rupiah) dengan rincian sebagai
berikut:
1. Ganti Rugi Tanah lokasi proyek Rp.24.240.000,-
2. Ganti Rugi Tanah Jalan tembus Rp. 760.000,-
3. Ganti rugi tanaman Rp. 14.380.000,-
Jumlah Rp. 39.380.000
B. Faktor-faktor Penghambat dalam Pengadaan Tanah Bandara Antariksa
Pembangunan bandara antariksa sudah direncanakan sejak 1980
namun hingga saat ini belum terlaksanakan akibat beberapa faktor,
Yaitu :
1. Penetapan dan pemberian ganti kerugian yang tidak layak
2. Pelepasan hak tanah tidak sepenuhnya diterima oleh pemangku adat dan Masyarakat Hukum Adat
Warbon.
3. Musyawarah tidak Melibatkan Semua Wakil Masyarakat Adat
4. Perluasan Lokasi
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penetapan dan pembayaran ganti kerugian yang diberikan sebesar Rp.39.380.000 untuk
tanah seluas 100 hektar tidak adil dan layak bagi Masyarakat Hukum Adat Warbon
berdasarkan prosedur (tahapan) yang di atur di dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Karena pemegang
hak menerima ganti rugi secara terpaksa atas desakan pihak keamanan (militer). Selain itu
tidak semua tanah di beri ganti kerugian karena yang masyarakat sepakati melepaskan tanah
seluas 25 hektar namun pada saat dikeluarka sertifikat tanah terjadi perluasan yang tertera di
dalam sertifikat seluas 100 hektar.
2. Pembangunan bandara antariksa hingga saat ini belum berjalan sebagaimana diharapkankan
karena mengalami hambatan diantaranya, yaitu ganti kerugian yang di anggap tidak adil oleh
Masyarakat Hukum Adat Warbon, surat pelepasan tanah yang tidak diketahui oleh pemilik hak
ulayat tanah adat dan ketidakadilan pemerintah dalam menyembunyikan surat pelepasan
tersebut, tidak dilibatkannya MHA Warbon selaku pemegang hak dalam pertemuan-pertemuan
yang membahas mengenai pembanguan tersebut dan tidak adanya penjelasan secara terbuka
mengenai dampak adanya pembangunan bandara antariksa bagi masyarakat adat dan peruasan
lokasi yang di lakukan tanpa sepengetahuan MHA Warbon.
B. Saran
1. Panitia Pengadaan Tanah dan pengguna lahan dalam melakukan
prosedur/tahapan dalam perencanaan mestinya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang di atur
dalam Perundang-undangan yang berlaku
2. Perlu dilakukan sosialisasi antara Panitia dan pengguna terhadap pentingnya Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Kepada Masyarakat Hukum Adat
Warbon sehingga dapat mengubahpla pikir masyarakat sehingga dapat merelakan penggunaan
tanah untuk kepentingan umum.
TERIMA KASIH.

Anda mungkin juga menyukai