Pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilaksanakan jika ada tanah yang
tersedia dan hanya pengambilan tanah hak masyarakat. Walaupun tanah-tanah telah
dikuasai dengan suatu hak bukan berarti pemegang hak mempunyai kebebasan yang mutlak
dalam pemanfaatan tanah dan penggunaannya akan tetapi harus memperhatikan
kepentingan umum dan kebijakan pembangunan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang pokok Agraria Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi social.
Ketentuan tersebut mangndung arti bahwa kepentingan umum, kepentingan perorangan
harus berjalan seimbang, sehingga akan tercapai tujuan pokok kemakmuran bagi bangsa
dan negara.
-Hak Ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas
tanah yang merupakan kepunyaan Bersama para warganya. Hak ulayat ini meliputi semua
tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang
sudah dimiliki hak oleh seseorang maupun yang belum. Subjek hak ulayat adalah masyarakat
hukum adat, yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat
tinggal (territorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genelogis), yang dikenal dengan
berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dusun dan lain
sebagainya.
-Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa hak
ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan lingkungan para warganya
untuk mengambil manfaat sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya . Sedangkan masyarakat hukum adat di anggap masih
ada apabila terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga Bersama suatu persekutuan hukum tertentu, terdapat tanah ulayat tertentu yang
menjadi lingkungan hidup para warga masyarakat adat, dan terdapat tatanan hukum adat
mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang ditaati oleh warga
masyarakat adat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penetapan dan pembayaran ganti kerugiannya terhadap pengadaan tanah bandara
antariksa dengan objek hak ulayat masyarakat adat Saukobye?
2. Apakah faktor-faktor penghambat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan bandara
antariksa Masyarakat Hukum Adat Saukobye, Distrik Biak Utara?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan dan memberi pengetahuan baru bagi pembaca mengenai
penentuan/penetapan ganti kerugian terhadap pengadaan tanah Bandara Antariksa dengan objek
hak ulayat masyarakat kampung Saukobye, Biak Utara
2. Untuk menjelaskan dan memberi pengetahuan bagi pembaca mengenai Faktor-faktor
penghambat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Bandara Antariksa MHA Saukobye.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara praktis, bahan ini dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca agar lebih luas
dalam mengekspor ilmu pengetahuan dari daerah Biak, Papua.
2. Sebagai syarat menyelesaikan Pendidikan Sarjana Hukum (SH) Fakultas Hukum Universitas
Kristen Indonesia Paulus.
3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk memperdalam penelitian tentang
eksistensi pembangunan Bandara Antariksa di Kampung Saukobye, Biak Utara, Papua.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
E. Ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomot 52 Tahun 2014 tentang Pedoman
dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 1 Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah warga Indonesia
yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelomlpok secara harmonis sesuai hukum adatnya,
memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan
yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya system nillai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, social, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu
secara turun temurun.
F. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
1. Perspektif Pengadaan Tanah
Kata pengadaan tanah merupakan istilah asal mulanya atau istilah asli sesuai dengan ketentuan yang
diatur dengan hukum, akan tetapi istilah ini menurut ketentuan yang diatur dengan keputusan
Mendagri lebih dikenal dengan sebutan istilah Pembebasan, sedangkan yang dimaksud dengan
pembebasan tanah menurut Kepmendagri Nomor Ba. 12/108/1275 adalah setiap perubahan yang
bemaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang berhak/penguasa tanah
itu.
Ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah. Sedangkan Bentuk ganti ruginya berupa:
a. Uang
b. Tanah Pengganti
c. Permukiman kembali
d. Kepemilikan saham atau
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak
Jenis yang dapat diberikan ganti rugi adalah:
a. Tanah
b. Ruang atas tanah dan bawah tanah
c. Bangunan
d. Tanaman
e. Benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau
f. Kerugian lain yang dapat dinilai
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian data Kualitatif, yaitu dengan
data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pimpinan atau kepala adat kampung warbon serta pihak
lain yang berkaitan dengan objek penelitian.
B. Pendekatan Penelitian
pendekatan yang dipakai yaitu pendekatan Socio Legal, mengkaji bagaimana perundang-undangan dari
hukum yang diterapkan pada Pengadaan Tanah Bandar Antariksa.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Biak, Provinsi Papua, Biak Utara, Kabupaten Numfor, Kelurahan Warbon
dipilih menjadi lokasi penelitian karena lokasi wilayah tersebut akan dilakukan pembangunan Bandara
Antariksa di atas hak ulayat masyarakat adat setempat.
D. Populasi Dan Sampel
a. Populasi
Dalam penelitian ini, Penulis mengambil populasi dari dua orang Pemangku Adat/pemegang hak atas
tanah dan juga Masyarakat Hukum Adat Warbon yang terdiri dari marga Abraw, marga Rumander dan
juga marga Kapitaraw sebagai pemilik hak atas tanah tersebut.
b. Sampel
Penulis mengambil sampel secara purposive/sengaja yamg terdiri dari pemangku adat dan juga Kepala
pimpinan adat kampung Saukobye atau yang disebut dengan Mananwir Keret.
A. Kesimpulan
1. Penetapan dan pembayaran ganti kerugian yang diberikan sebesar Rp.39.380.000 untuk
tanah seluas 100 hektar tidak adil dan layak bagi Masyarakat Hukum Adat Warbon
berdasarkan prosedur (tahapan) yang di atur di dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Karena pemegang
hak menerima ganti rugi secara terpaksa atas desakan pihak keamanan (militer). Selain itu
tidak semua tanah di beri ganti kerugian karena yang masyarakat sepakati melepaskan tanah
seluas 25 hektar namun pada saat dikeluarka sertifikat tanah terjadi perluasan yang tertera di
dalam sertifikat seluas 100 hektar.
2. Pembangunan bandara antariksa hingga saat ini belum berjalan sebagaimana diharapkankan
karena mengalami hambatan diantaranya, yaitu ganti kerugian yang di anggap tidak adil oleh
Masyarakat Hukum Adat Warbon, surat pelepasan tanah yang tidak diketahui oleh pemilik hak
ulayat tanah adat dan ketidakadilan pemerintah dalam menyembunyikan surat pelepasan
tersebut, tidak dilibatkannya MHA Warbon selaku pemegang hak dalam pertemuan-pertemuan
yang membahas mengenai pembanguan tersebut dan tidak adanya penjelasan secara terbuka
mengenai dampak adanya pembangunan bandara antariksa bagi masyarakat adat dan peruasan
lokasi yang di lakukan tanpa sepengetahuan MHA Warbon.
B. Saran
1. Panitia Pengadaan Tanah dan pengguna lahan dalam melakukan
prosedur/tahapan dalam perencanaan mestinya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang di atur
dalam Perundang-undangan yang berlaku
2. Perlu dilakukan sosialisasi antara Panitia dan pengguna terhadap pentingnya Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Kepada Masyarakat Hukum Adat
Warbon sehingga dapat mengubahpla pikir masyarakat sehingga dapat merelakan penggunaan
tanah untuk kepentingan umum.
TERIMA KASIH.