Anda di halaman 1dari 8

ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH

2.1 Pengertian Tanah dan Konsep Hak hak Tanah yang Terdapat Agraria
Nasional
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi
manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan
(pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk
bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu atas dasar hak menguasai dari negara sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional
membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk yaitu
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang
mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli
warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak
menyewa atas tanah pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-
satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan
hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA
yang berbunyi: Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.
Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya
menguasai hak atas tanah dengan title Hak Milik yang secara hukum memiliki
kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya
terhadap siapapun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh
yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak
terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu
hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam
ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak
dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah)
semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan
kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat
hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai
tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh
satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak
milik.
Didalam pasal pasal tersebut terdapat asas fungsi sosial atas tanah yaitu asas
yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak hak
orang lain dan kepentingan umum,serta keagamaan.Sehingga tidak diperbolehkan
jika tanah digunakan sebagai kepentingan pribadi yang menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung
beberapa prinsip keutamaan antara lain :
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang
merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-
hak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep
Hukum Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang
mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan
ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
b. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang
mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya.
Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan
tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga
harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan
adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat.
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai
hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya.
Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik
dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan
tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi
juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu
tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang
bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan
hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan
tanah.

UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya
yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat.Sehingga timbul
keseimbangan,kemakmuran,keadilan,kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi
yang memiliki tanah.Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam
memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka
haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.

B. IMPLEMENTASI ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH


TERHADAP WARGA NEGARA (KEWARGANEGARAAN)

Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada
Negara kita. Untuk itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha
mengaturnya dengan baik. Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang
menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya manusia
yang memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi
salah satu inti permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan pembangunan,
diadakan proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang sudah dihaki oleh
rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama, oleh karena salah satu
pihak merasa adanya ketidak-adilan. Proses yang cukup lama ini, otomatis membuat
jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu dengan memperkenalkan pada
masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang dipunyai oleh seluruh hak-hak atas
tanah kiranya dapat membantu mengubah cara berpikir individual masyarakat.
Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas tanah tidak dibiarkan merugikan
kepentingan banyak orang (umum). Apalagi ditambah dengan peraturan baru yaitu
PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dan PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Begitu
juga dengan pihak pemerintah, harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar,
layak dan adil untuk pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari
keseimbangan antara dua kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan
individu dapat segera terwujud dengan baik.
Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah
adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya
terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya untuk
diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan umum. Namun dari tanah yang
direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik tanah mendapatkan uang
ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya pemilik tanah memiliki
kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan umum.
Contoh kasus Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan Mijen aturan
kerjanya Keppres No.55/1993, akan tetapi dalam pelaksanaan pembebasan tanahnya
tidak melalui/memakai proses pelaksanaan pengadaan tanah tidak melalui panitia
pengadaan tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu
Keppres No.55/1993, tetapi melalui tim yang dibentuk Pemerintah Kotamadya
Semarang, Panitia Pembebasan Tanah dan cara penetapan ganti ruginya tidak
memakai dasar NJOP. Besarnya ganti rugi uang yang diberikan kepada warga yang
tanahnya terkepras sebesar Rp.20.000,-/m2, dengan perincian Rp.15.000,- sebagai
uang ganti rugi dan Rp.5.000,- sebagai uang tali asih, ditambah tanah pengganti
berlokasi di Jatisari. Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan Mijen
sampai sekarang belum selesai karena terbatasnya dana yang tersedia di Pemkot
melalui APBD dan masih adanya masyarakat yang belum mengambil ganti rugi
sehingga tanahnya tidak dapat dibebaskan sehingga Pembangunan Pelebaran Jalan
Ngaliyan Mijen tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Jalan Tol Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Jalan Tol Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang dengan Surakarta. Tol ini
mulai dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga dan diperkirakan akan selesai tahun
2012. Panjang jalan tol ini adalah 75,7 km. Adapun jalan tol ini terbagi menjadi lima
seksi:
Pembangunan Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar 6,1
triliun rupiah, biaya konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan biaya pengadaan tanah 800
miliar rupiah (inilah.com, 2009). Konstruksi tol seksi I Semarang (Tembalang)-
Ungaran dimulai pada awal tahun 2009. Ditargetkan tol Semarang-Ungaran dapat
diselesaikan dalam 13 bulan konstruksi. Tol seksi II Ungaran-Bawen akan mulai
dibangun pada November 2009 (ANTARA, 2009).
Walaupun telah didukung penuh oleh pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat, namun pengerjaan jalan tol tersebut tidak menjamin menemui kendala, bahkan
terkesan proyek jalan tol tersebut terindikasi korupsi serta perbedaan rencana antar
berbagai pihak mengenai proyek tersebut. Menurut berita ANTARA 14 Juni 2010,
pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo rute Kota Semarang hingga Ungaran,
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terancam tidak selesai sesuai target waktu yang
ditentukan. Indikasi itu terlihat dari permohonan kontraktor yang meminta
perpanjangan waktu pengerjaan lima bulan lagi terhitung sejak Juni 2010. Banyak
berbagai faktor penghambat proyek tersebut selesai tepat waktu, adapun faktor-faktor
tersebut adalah pembebasan dan pembayaran ganti rugi lahan, masih ada bangunan
milik penduduk yang belum dibongkar, musim hujan yang masih terjadi.
Permasalahan yang lebih besar dihadapi adalah adanya kasus di Desa
Jatirunggo, Kabupaten Semarang yang terindikasi adanya korupsi serta negosiasi
fiktif harga tanah antara warga desa dengan Tim Pengadaan Tanah. Kasus yang
memprihatinkan di Desa Jatirunggo adalah pada tanggal 30 April 2010 tabungan
senilai Rp 13,2 miliar yang disimpan di Bank Mandiri milik warga Desa Jatirunggo
hilang. Uang tersebut merupakan pembayaran atas tanah warga yang dibeli untuk
mengganti lahan PT. Perhutani yang terkena proyek Jalan tol Semarang-Solo.
Pengadaan tanah di Desa Jatirunggo dinailai merugukan keuangan negara
sekitar Rp 8,1 miliar karena pemerintah membayar penggantian lahan Rp 50.000 per
meter persegi namun warga hanya menerima Rp 20.000 per meter persegi. Kasus
transaksi pemindahbukuan rekening tersebut dinilai Komisi D DPRD Jateng
berpindah ke rekening diduga milik broker. Kejadian tersebut semakin tidak wajar
karena pihak bank tidak mengklarifikasi pemindahbukuan itu ke warga. Kejati Jateng
juga menemukan bukti awal adanya rekayasa musyawarah penentuan harga tanah
serta menemukan bukti keterlibatan Agus Sekmaniharto sebagai broker.
Jika dilihat dari permasalahan pembangunan proyek Jalan Tol Solo-Semarang
tersebut menunjukkan bahwa lemahnya birokrasi serta semakin besarnya peluang
melakukan korupsi di daerah. Rencana pembanguangan yang simpang siur arahnya
tersebut menunjukkan bahwa koordianasi antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota lemah. Lemahnya koordinasi ini terlihat dari
keinginan dari Kota Salatiga untuk meminta interchange berada di pusat Salatiga,
padahal interchange di pusat Kota Salatiga tidak ada dalam rencana awal. Hal ini
menunjukkan bahwa konsistensi pemerintah dalam menjalankan proyek sangat
rendah.
faktor dominan penghambat pelaksanaan pengadaan lahan Jalan Tol Ruas
Semarang-Solo Seksi Semarang-Ungaran adalah nilai lahan dan sumber pembiayaan.
Faktor nilai lahan disebabkan oleh perbedaan dasar pemikiran antara pemilik lahan
dengan panitia dalam penentuan besarnya ganti rugi. Sedangkan faktor sumber
pembiayaan disebabkan karena swasta enggan untuk mencairkan dana pengadaan
lahan. Adanya risiko pengadaan lahan yaitu tidak adanya kepastian mengenai besaran
biaya yang harus dibayar investor dan kepastian waktu kapan lahan dapat dibebaskan
menyebabkan investor tidak dapat melanjutkan investasinya karena lahan belum
bebas.
Kasus inidikasi korupsi yang berupa perbedaan antara harga tanah yang
disepakati negara serta jumlah yang diterima warga menunjukkan bahwa Tim
Pengadaan Tanah yang dibentuk pemerintah tidak memiliki intergritas yang baik.
Tim tersebut juga diniliai tidak bekerja secara profesional karena ditemukannya kasus
negosiasi harga fiktif. Belum lagi adanya peran dari bank yang memindahbukukan
renening warga kepada salah satu rekening yang diduga broker semakin
menunjukkan bahwa kinerja Tim rendah.
Kasus yang melibatkan perbankan juga memberi sinyal negatif bagi
pemberantasan korupsi, padahal perbankan dituntut untuk hati-hati serta profesional
dalam menjalankan bisnisnya. Peranperbankan dalam dugaan korupsi semakin
meyakinkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia telah berjalan sistematis.
Kejadian ini semakin menguatkan kegagalan pemerintah dalam membagun fasilitas
publik yang bersih dari korupsi dan profesional dalam menjalankan proyek publik.
http://jagalan.blog.uns.ac.id/kegagalan-pemerintah-dalam-proyek-pembangunan-
jalan-tol-solo-%E2%80%93-semarang/BimoSatrioWicaksono

Anda mungkin juga menyukai