Anda di halaman 1dari 7

Nama : Abiyan Maulana Wirayuda

NIM : A.111.21.0257

Kelas : Hukum Agraria D PAGI 2022

PEMBAHASAN PEMANFAATAN FUNGSI SOSIAL ATAS TANAH DI INDONESIA

Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik
dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian)
di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun
yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal. Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian
yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum. Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum
agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk yaitu

1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai
waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak
Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).

2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas
tanah pertanian.

Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak
primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya.
Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi: “Hak milik
adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”

Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya


menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan
terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun.
Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik
menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat,
karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang
paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai
berikut:

- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak
dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata
hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan
masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika
kepentingan umum menghendakinya.

- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang
boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan
hukum.

- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

Didalam pasal pasal tersebut terdapat asas fungsi sosial atas tanah yaitu asas
yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak hak orang
lain dan kepentingan umum,serta keagamaan.Sehingga tidak diperbolehkan jika tanah
digunakan sebagai kepentingan pribadi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Fungsi
sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip
keutamaan antara lain :
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang
merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah
menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah Nasional memiliki
sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

b. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang
mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan
individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan
masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan masyarakat.

c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah,
sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat
dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga
kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga
masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan
kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban
bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum
dengan tanah. UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya
yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat.Sehingga timbul keseimbangan,kemakmuran,keadilan,kesejahteraan
bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah.Jadi pemilik tanah tidak akan
kehilangan haknya dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan
umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.
B. IMPLEMENTASI ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH TERHADAP
WARGA NEGARA (KEWARGANEGARAAN)

Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada
Negara kita. Untuk itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha mengaturnya
dengan baik. Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang menuntut kita melakukan
banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya manusia yang memerlukan tanah, tetapi
tidak bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi salah satu inti permasalahannya. Mau
tidak mau untuk menjalankan pembangunan, diadakan proses pengadaan tanah yang asalnya
dari tanah yang sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama,
oleh karena salah satu pihak merasa adanya ketidak-adilan. Proses yang cukup lama ini,
otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu dengan
memperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang dipunyai oleh seluruh
hak-hak atas tanah kiranya dapat membantu mengubah cara berpikir individual masyarakat.
Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan
banyak orang (umum). Apalagi ditambah dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36
Tahun 2005 dan PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Begitu juga dengan pihak pemerintah,
harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk pemegang tanah.
Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan antara dua kepentingan rakyat
(pembangunan) dan kepentingan individu dapat segera terwujud dengan baik.

Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah
adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya terkena
pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya untuk diberikan guna
pelebaran jalan untuk kepentingan umum. Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan
pelebaran jalan tersebut pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari
contoh tersebut seharusnya pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial
atas tanah bagi kepentingan umum.
Contoh kasus Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen aturan kerjanya
Keppres No.55/1993, akan tetapi dalam pelaksanaan pembebasan tanahnya tidak
melalui/memakai proses pelaksanaan pengadaan tanah tidak melalui panitia pengadaan tanah
sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu Keppres No.55/1993, tetapi
melalui tim yang dibentuk Pemerintah Kotamadya Semarang, Panitia Pembebasan Tanah dan
cara penetapan ganti ruginya tidak memakai dasar NJOP. Besarnya ganti rugi uang yang
diberikan kepada warga yang tanahnya terkepras sebesar Rp.20.000,-/m2, dengan perincian
Rp.15.000,- sebagai uang ganti rugi dan Rp.5.000,- sebagai uang tali asih, ditambah tanah
pengganti berlokasi di Jatisari. Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen
sampai sekarang belum selesai karena terbatasnya dana yang tersedia di Pemkot melalui
APBD dan masih adanya masyarakat yang belum mengambil ganti rugi sehingga tanahnya
tidak dapat dibebaskan sehingga Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Jalan Tol Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Jalan
Tol Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang dengan Surakarta. Tol ini mulai
dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga dan diperkirakan akan selesai tahun 2012. Panjang
jalan tol ini adalah 75,7 km. Adapun jalan tol ini terbagi menjadi lima seksi:

Pembangunan Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar 6,1 triliun


rupiah, biaya konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan biaya pengadaan tanah 800 miliar rupiah
(inilah.com, 2009). Konstruksi tol seksi I Semarang (Tembalang)-Ungaran dimulai pada awal
tahun 2009. Ditargetkan tol Semarang-Ungaran dapat diselesaikan dalam 13 bulan
konstruksi. Tol seksi II Ungaran-Bawen akan mulai dibangun pada November 2009
(ANTARA, 2009).

Walaupun telah didukung penuh oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat,
namun pengerjaan jalan tol tersebut tidak menjamin menemui kendala, bahkan terkesan
proyek jalan tol tersebut terindikasi korupsi serta perbedaan rencana antar berbagai pihak
mengenai proyek tersebut. Menurut berita ANTARA 14 Juni 2010, pembangunan Jalan Tol
Semarang-Solo rute Kota Semarang hingga Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah,
terancam tidak selesai sesuai target waktu yang ditentukan. Indikasi itu terlihat dari
permohonan kontraktor yang meminta perpanjangan waktu pengerjaan lima bulan lagi
terhitung sejak Juni 2010. Banyak berbagai faktor penghambat proyek tersebut selesai tepat
waktu, adapun faktor-faktor tersebut adalah pembebasan dan pembayaran ganti rugi lahan,
masih ada bangunan milik penduduk yang belum dibongkar, musim hujan yang masih terjadi.

Permasalahan yang lebih besar dihadapi adalah adanya kasus di Desa Jatirunggo,
Kabupaten Semarang yang terindikasi adanya korupsi serta negosiasi fiktif harga tanah antara
warga desa dengan Tim Pengadaan Tanah. Kasus yang memprihatinkan di Desa Jatirunggo
adalah pada tanggal 30 April 2010 tabungan senilai Rp 13,2 miliar yang disimpan di Bank
Mandiri milik warga Desa Jatirunggo hilang. Uang tersebut merupakan pembayaran atas
tanah warga yang dibeli untuk mengganti lahan PT. Perhutani yang terkena proyek Jalan tol
Semarang-Solo.

Pengadaan tanah di Desa Jatirunggo dinailai merugukan keuangan negara sekitar Rp


8,1 miliar karena pemerintah membayar penggantian lahan Rp 50.000 per meter persegi
namun warga hanya menerima Rp 20.000 per meter persegi. Kasus transaksi
pemindahbukuan rekening tersebut dinilai Komisi D DPRD Jateng berpindah ke rekening
diduga milik broker. Kejadian tersebut semakin tidak wajar karena pihak bank tidak
mengklarifikasi pemindahbukuan itu ke warga. Kejati Jateng juga menemukan bukti awal
adanya rekayasa musyawarah penentuan harga tanah serta menemukan bukti keterlibatan
Agus Sekmaniharto sebagai broker.

Jika dilihat dari permasalahan pembangunan proyek Jalan Tol Solo-Semarang


tersebut menunjukkan bahwa lemahnya birokrasi serta semakin besarnya peluang melakukan
korupsi di daerah. Rencana pembanguangan yang simpang siur arahnya tersebut
menunjukkan bahwa koordianasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota lemah. Lemahnya koordinasi ini terlihat dari keinginan dari Kota
Salatiga untuk meminta interchange berada di pusat Salatiga, padahal interchange di pusat
Kota Salatiga tidak ada dalam rencana awal. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi
pemerintah dalam menjalankan proyek sangat rendah.

faktor dominan penghambat pelaksanaan pengadaan lahan Jalan Tol Ruas Semarang-
Solo Seksi Semarang-Ungaran adalah nilai lahan dan sumber pembiayaan. Faktor nilai lahan
disebabkan oleh perbedaan dasar pemikiran antara pemilik lahan dengan panitia dalam
penentuan besarnya ganti rugi. Sedangkan faktor sumber pembiayaan disebabkan karena
swasta enggan untuk mencairkan dana pengadaan lahan. Adanya risiko pengadaan lahan
yaitu tidak adanya kepastian mengenai besaran biaya yang harus dibayar investor dan
kepastian waktu kapan lahan dapat dibebaskan menyebabkan investor tidak dapat
melanjutkan investasinya karena lahan belum bebas.

Kasus inidikasi korupsi yang berupa perbedaan antara harga tanah yang disepakati
negara serta jumlah yang diterima warga menunjukkan bahwa Tim Pengadaan Tanah yang
dibentuk pemerintah tidak memiliki intergritas yang baik. Tim tersebut juga diniliai tidak
bekerja secara profesional karena ditemukannya kasus negosiasi harga fiktif. Belum lagi
adanya peran dari bank yang memindahbukukan renening warga kepada salah satu rekening
yang diduga broker semakin menunjukkan bahwa kinerja Tim rendah.

Kasus yang melibatkan perbankan juga memberi sinyal negatif bagi pemberantasan
korupsi, padahal perbankan dituntut untuk hati-hati serta profesional dalam menjalankan
bisnisnya. Peranperbankan dalam dugaan korupsi semakin meyakinkan bahwa korupsi yang
terjadi di Indonesia telah berjalan sistematis. Kejadian ini semakin menguatkan kegagalan
pemerintah dalam membagun fasilitas publik yang bersih dari korupsi dan profesional dalam
menjalankan proyek publik.

Anda mungkin juga menyukai