Anda di halaman 1dari 19

Judul: KONSEP HAK PENGELOLAAN DAN BANK TANAH DALAM

UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA BERDASARKAN PRINSIP


HUKUM AGRARIA

A. Latar Belakang

Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa diatur
penggunaannya oleh negara. Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi rakyat memiliki hak
menguasai. Hak menguasai negara merupakan kewenangan negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Secara fungsional
kewenangan negara dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN.

Salah satu ketentuan yang diatur dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja
Nomor 11 Tahun 2020 yang mulai berlaku terhitung tanggal 2 November 2020 adalah mengenai
Pertanahan yang dimuat dalam Bagian Keempat UU Cipta Kerja. Undang-Undang mengenai
Pertanahan ini mengatur kewenangan Negara dalam mengatur peruntukan, penggunaan dan
pengelolaan tanah. Pengaturan mengenai pertanahan berinduk pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebagaimana diatur dalam UUPA dalam
Pasal 1 bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Dan hubungan
antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa merupakan hubungan yang bersifat
abadi. Berdasarkan ketentuan dalam UUPA ini yang mengandung filosofi bagaimana hubungan
antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan, ruang angkasa yang merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


(UUPA) merupakan pelaksanaan daripada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3)
UndangUndang Dasar dan hal-hal yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara.” Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan konstitusional bagi
pembentukan politik dan Hukum Agraria Nasional, yang berisi perintah kepada negara agar
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang diletakan dalam penguasaan
negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia. Terdapat dua substansi yang termuat dalam UUPA dari segi berlakunya, pertama,
tidak memberlakukan lagi atau mencabut Hukum Agraria Kolonial, dan kedua, membangun
Hukum Agraria Nasional, Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUPA, maka terjadilah
perubahan yang fundamental pada Hukum Agraria Nasional, terutama hukum di bidang
pertanahan. Perubahan fundamental atau mendasar tersebut mengenai struktur perangkat hukum,
konsepsi yang mendasari maupun isinya.

Pada segi formalnya, sifat nasional UUPA dapat dilihat dalam konsiderannya yang
menyebutkan tentang keburukan dan kekurangan dalam Hukum Agraria yang berlaku sebelum
UUPA. Keburukan dan kekurangan tersebut antara lain menyatakan bahwa Hukum Agraria
Kolonial memiliki sifat dualisme dan tiada menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia. Berangkat dari alasan tersebut, maka dibuatlah Hukum Agraria Nasional yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang Indonesia, dibuat di Indonesia, disusun dalam Bahasa Indonesia,
berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. UUPA memenuhi semua persyaratan formal
tersebut sehingga UUPA mempunyai sifat nasional formal. Sedangkan dari segi materiilnya,
haruslah bersifat nasional pula, artinya berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem dan
isinya harus sesuai dengan kepentingan nasional.

Menempatkan hak pengelolaan di bawah HMN merupakan suatu pengaturan yang tidak
memiliki dasar teoritis, normatif, mapun politis. Secara historis, HMN pada dasarnya adalah
suatu proyek politik-hukum dengan visi mendekolonialisasi konsep kepemilikan langsung oleh
negara melalui domein verklaring yang dianut Agrarische Besluit 1870 yang menyebabkan
ketidakadilan agraria hingga 1945 (Harsono 2008; Rachman 2012). Prototipe HMN, menurut
Muhammad Tauchid (2009/1952), adalah hak ulayat yang diangkat ke tingkat nasional (Tauchid
menyebutnya ‘hak ulayat yang dinasionalkan’) yang menurut para penyusun UUPA, hidup di
dalam masyarakat Indonesia sebagai model penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria
untuk kepentingan bersama. Konsep ini dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945:

 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan


 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.
 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konsep penguasaan yang demikian kemudian melahirkan tiga mandat bagi pemerintah dalam
pengelolaan sumber-sumber agraria, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA, yaitu (1)
mengatur dan menyelenggarakan alokasi dan pemeliharaan (2) mengatur hubungan hukum
antara orang dengan sumber-sumber agrari a dan (3) mengatur hubungan hukum antar sesama
subjek hukum dan perbuatan hukum terhadap sumber-sumber agraria. Karena tiga mandat
tersebut secara literal mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, ahli hukum agraria Budi Harsono
(2008: 232) kemudian menyebutnya sebagai ‘interpretasi otentik’ terhadap Pasal 33 UUD 1945.
Baik Pasal 33 UUD 1945 maupun penjelasan UUPA telah memberi batasan dalam penggelolaan
dan pemanfaatan sumber-sumber agraria melalui konsep menguasai Negara, yaitu diupayakan
untuk mencapai ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.

B. Rumusan Masalah

Apakah pengenalan konsep 'hak pengelolaan' dan pendirian Bank Tanah, sebagaimana diatur
dalam UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum agraria
yang ada dalam UUD 1945 dan UUPA?

C. Tinjauan Pustaka

1. Hak pengelolaan
Hak Pengelolaan lahir bukanlah didasarkan atas Undang-Undang akan tetapi didasarkan
atas peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak
Menguasai Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 2 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah dan Ketentuan-Ketentuan tentang kebijaksanaan yang
menentukan bahwa, “Jika tanah nrgara sebagai dimaksud dalam pasal 1, selain dipergunakan
untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan
suatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak
pengelolaan sebagai dimaksud dalam pasal 5 dan 6, yang berlangsug selama tanah tersebut
dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.”

Pemberian hak pengelolaan merujuk pada hak menguasai tanah yang berasal dari negara,
di mana sebagian kewenangan pelaksanaannya diserahkan kepada pemegang hak. Hak ini
memungkinkan pemegangnya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah,
memanfaatkan tanah sesuai dengan tugasnya, menyewakan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga. Mereka yang berhak memiliki status hak pengelolaan melibatkan:
Instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah
i. Badan usaha milik negara
ii. Badan usaha milik daerah
iii. PT Persero
iv. Badan Otoritas
v. Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh pemerintah.

Padahal UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).


Pada bagian Penjelasan Umum tidak menyebutkan dengan istilah “hak pengelolaan”
melainkan”pengelolaan”. Hal itu dapat ditemui pada Penjelasan Umum II angka (2) yang
menyebutkan bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat
memberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah tanah yang tidak dipunyai dengan
suatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepada seseorang atau badan-badan dengan sesuatu
hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan
penguasa untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4).

Perkembangan kebijakan hak pengelolaan atas tanah yang dikonstruksikan pemerintah,


menggambarkan bahwa hak pengelolaan sebagai suatu hak atas permukaan bumi yang
didelegasikan oleh negara kepada suatu lembaga pemerintah, atau pemerintah daerah, badan
hukum pemerintah daerah, masyarakat hukum adat dengan kewenangan untuk: merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; Menggunakan tanah tersebut untuk
keperluan pelaksanaan usahanya; menyerahkan bagian-bagian tanah itu kepada pihak ketiga
menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang hak pengelolaan tersebut, yang meliputi
segi peruntukkan, penggunaan, jangka waktu dan keuangan, dengan ketentuan bahwa pemberi
hak atas tanak kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang
berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 6 Tahun 1972 Tentang pelimpahan
Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.

2. Bank Tanah

Menurut F. Alan Shirk1, Bank Tanah sebenarnya tidak dapat disebut sebagai "bank"
dalam pengertian tradisional atau konvensional seperti Bank Konvensional, karena tidak
menyediakan fasilitas seperti ATM drive-up, teller, dan layanan pinjaman ekuitas. Walaupun
Bank Tanah memiliki perbedaan dengan bank konvensional, konsep dasarnya sebenarnya tidak
jauh berbeda. Kesamaan muncul dalam fungsi intermediasi antara bank konvensional dan Bank
Tanah. Bank konvensional menghimpun dana dari masyarakat melalui giro, deposito, tabungan,
dan simpanan, lalu mengembalikannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana melalui
penjualan jasa keuangan. Di sisi lain, Bank Tanah menghimpun dan mengembangkan tanah dari
masyarakat, terutama tanah yang diterlantarkan dan Tanah Negara yang tidak dimanfaatkan,
untuk kemudian didistribusikan atau disewakan kembali.2

1
Stephen P. Gasteyer dan Rachel Johansen, 2015, Land Banks: Investing in Communities, Banking on Revitalization,
National Association of Realtors, Michigan, hlm. 2.
2
Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta, (Selanjutnya disebut Bernhard Limbong I),
hlm 65.
Terbentuknya bank tanah merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang
Cipta Kerja. "Bank Tanah diberikan kewenangan khusus untuk menjamin ketersediaan tanah
dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan
pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria," bunyi
Pasal 2 ayat (2) aturan tersebut. Bank Tanah sendiri akan bertanggung jawab secara langsung
kepada presiden melalui Komite Bank Tanah. Komite ini mengemban tugas untuk menetapkan
kebijakan strategis Bank Tanah. Menteri ATR/Kepala BPN ditetapkan sebagai ketua merangkap
anggota Komite Bank Tanah. Komite ini diisi oleh Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat.

Dalam kepentingan umum, Bank Tanah mendapatkan mandat untuk mendukung


ketersediaan tanah untuk berbagai pembangunan infrastruktur yang tersebar di seluruh pelosok.
Mulai dari pembangunan jalan, bendungan, bandara, pelabuhan, infrastruktur minyak dan gas,
rumah sakit, kantor pemerintahan, sekolah, hingga pasar maupun lapangan parkir. Selain itu,
Bank Tanah juga mendukung jaminan ketersediaan tanah untuk kepentingan sosial seperti
kepentingan pendidikan, ibadah, olahraga, budaya, konservasi dan penghijauan. Khusus reforma
agraria, Bank Tanah juga perlu menjamin ketersediaan tanah untuk redistribusi tanah.
Setidaknya, 30% tanah negara yang diperuntukkan kepada Bank Tanah akan dipergunakan untuk
reforma agraria.

D. Tinjauan Yuridis

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Falsafah UUPA sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menampilkan dua kata kunci yakni bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan
memperoleh kewenangan dari bangsa Indonesia untuk menguasai bumi (termasuk tanah), air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan bahwa hak menguasai dari negara itu
digunakan dengan tujuan untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Adapun kewenangan negara untuk menguasai itu tidak hanya berisi kewenangan untuk
mengatur, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, namun mencakup pula
kewenangan untuk membuat kebijakan, melakukan pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan
terhadap isi kewenangannya yang terdiri dari tiga hal, yakni berkenaan dengan (1) obyek yang
diatur (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya); (2) hubungan hukum antara
subyek dengan obyek ; dan (3) hubungan hukum dan perbuatan hukum terkait obyek yang diatur.
Perluasan makna Hak Menguasai Negara tersebut sesuai dengan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam uji materi undang-undang terkait SDA.

Demikian juga terhadap makna sebesar-besar kemakmuran rakyat, MK telah memberikan


tolok ukurnya, yakni; (1) manfaatnya bagi rakyat; (2) pemerataan pemanfaatannya; (3)
partisipasi rakyat dalam penentuan manfaatnya; dan (4) penghormatan terhadap hakhak rakyat.
Adapun prinsip-prinsip dasar UUPA itu terdiri dari: (1) asas kenasionalan; (2) Hak Menguasai
Negara; (3) pengakuan terhadap hak ulayat; (4) fungsi sosial hak atas tanah; (5) hubungan
sepenuhnya WNI dengan tanah; (6) kesamaan hak antara WNI lakilaki dan perempuan; (7) land
reform; (8) perencanaan dalam peruntukan, penguasaan dan pemilikan bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Lahan dan hak atas tanah merupakan klaster 7 dari 11 klaster yang ada dalam peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Klaster “Lahan
dan Hak Atas Tanah” tersebut diimplementasikan dalam lima Peraturan Pemerintah (PP) yang
baru. Kelima peraturan pemerintah turunan Undang-Undang Cipta Kerja terkait tanah tersebut
adalah PP No. 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun
(Sarusun) dan Pendaftaran Tanah; PP No. 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; PP No. 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan
Tanah Telantar; PP No. 21 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; serta PP Nomor 64 Tahun
2021 tentang Badan Bank Tanah.

E. Metode Penelitian

Dalam penyusunan penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif, karena penelitian ini beranjak mengenai dari konflik urgensi norma
pembentukan Bank Tanah dan penguatan HPL didalam UU Cipta Kerja serta PP Bank Tanah,
dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Hak
Menguasai Negara yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 2 ayat (2) UUPA.
Pendekatan yang digunakan untuk memecah permasalahan pada penelitian ini yaitu Pendekatan
perundang undangan (The statue approach), Sumber Bahan hukum yang akan digunakan
menunjang pembahasan permasalahan diatas adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.

F. PEMBAHASAN

Prinsip dasar penguasaan negara pada hak atas tanah berasal dari hak bangsa terhadap
tanah, yang lama sudah diakui sebagai wewenang bagi bangsa Indonesia untuk mengelola tanah
melalui alat kelengkapan negara, yakni pemerintah. Maulana Syekh Yusuf menjelaskan bahwa
"Kekuasaan negara yang dimaksud mencakup seluruh elemen bumi, air, dan ruang angkasa,
tanpa memandang apakah tanah tersebut telah dimiliki oleh individu atau belum. Kekuasaan
negara terhadap tanah yang sudah dimiliki seseorang dengan hak tertentu dibatasi oleh ketentuan
dalam hak tersebut, yang berarti sejauh mana negara memberikan wewenang kepada pemilik
untuk menggunakan haknya, sampai batas yang ditetapkan oleh negara."3

Penjelasan lebih lanjut menyatakan bahwa meskipun suatu tanah memiliki status hak
milik (HM) sebagai bentuk hak atas tanah dengan kekuatan hukum tertinggi, ini tidak menjamin
bahwa pemegang HM sepenuhnya menguasai tanah tersebut. Hal ini disebabkan jika negara
membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan umum, maka status HM dapat dicabut demi
kepentingan kolektif.4

Bahwa prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


dengan bumi, air dan ruang angkasa

3
Yusuf, Maulana Syekh. "EKSISTENSI HAK PENGELOLAAN (HPL) DAN KEWENANGAN PELAKSANAANNYA OLEH
PEMERINTAH DAERAH." JURNAL EDUCATION AND DEVELOPMENT 8, No. 3 (2020): 938-938.
4
Ibid.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dari
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Namun, sebagai executor dari kekuasaan negara atas nama seluruh rakyat Indonesia melalui Hak
Pengelolaan Tanah (HPL), HPL tidak secara tegas diatur dalam UUPA secara yuridis normatif.
Istilah HPL mencuat dalam Penjelasan Umum II angka 2 UUPA.13 Dwi Kusumo Wardhani
mengemukakan, "Penjelasan Umum II UUPA berasumsi bahwa untuk mencapai ketentuan Pasal
33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, negara bukanlah pemilik tanah; melainkan berperan sebagai
organisasi kekuasaan tertinggi bagi seluruh rakyat Indonesia, berfungsi sebagai badan penguasa
yang mengatur tujuan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di Indonesia."14 Berdasarkan
penjelasan ini, dapat diartikan bahwa HPL merupakan bagian dari hak negara dalam menguasai
aspek-aspek yang terkait dengan kepentingan publik, termasuk hak negara atas tanah dengan
status HPL, yang berfungsi sebagai bentuk jaminan dan perlindungan terhadap tanah di wilayah
Indonesia. Ini merupakan pendekatan yang sangat berbeda dibandingkan dengan prinsip domein
verklaring yang dianut pada masa penjajahan oleh Belanda, di mana pemerintah menjadi pemilik
tanah dan rakyat tidak memiliki hak pribadi atas kepemilikan tanah.

Sebagai pemilik hak dan pemegang mandat, pemerintah berperan sebagai pelaksana
organisasi kekuasaan negara atas nama seluruh rakyat Indonesia melalui Hak Pengelolaan Tanah
(HPL). Secara yuridis normatif, HPL tidak diatur secara eksplisit dalam UUPA; sebaliknya,
istilah HPL dijelaskan dalam Penjelasan Umum II angka 2 UUPA.13 Dwi Kusumo Wardhani
menyatakan, "Penjelasan Umum II UUPA berasumsi bahwa untuk mencapai ketentuan Pasal 33
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, negara tidak berperan sebagai pemilik tanah, melainkan
berfungsi sebagai organisasi kekuasaan tertinggi bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mengatur
tujuan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di Indonesia."5 Dengan merujuk pada penjelasan
tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa HPL merupakan bagian dari wewenang negara dalam
menguasai aspek-aspek yang terkait dengan kepentingan publik, termasuk hak negara atas tanah
dengan status HPL, yang berfungsi sebagai bentuk jaminan dan perlindungan terhadap tanah di
wilayah Indonesia. Pendekatan ini sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring yang dianut

5
Wardani, Dwi Kusumo. “Disharmoni Antara RUU Cipta Kerja Bab Pertanahan dengan Prinsip– Prinsip UU. No.5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)”, Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas
Pendidikan Ganesha 6, No 2 (2020): 440-44
selama masa penjajahan oleh Belanda, di mana pemerintah menjadi pemilik tanah dan rakyat
tidak memiliki hak pribadi atas kepemilikan tanah.

Ketidakjelasan regulasi terkait Hak Pengelolaan Tanah (HPL) dalam UUPA kemudian
diatasi oleh pemerintah dengan meresmikan beberapa peraturan, termasuk "Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 1999." Meskipun demikian, semua peraturan tersebut tidak secara eksplisit
mendefinisikan HPL dan hanya menyentuh keberadaannya secara singkat.6

Selain itu, Menteri yang bertanggung jawab atas pertanahan mengeluarkan regulasi,
yakni Permenagr No. 9 Tahun 1965, yang mengatur proses terjadinya HPL melalui dua metode:
konversi dan penetapan pemerintah. Menurut peraturan ini, proses konversi merupakan
perubahan status hak atas tanah menjadi hak pengelolaan yang terjadi setelah Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1965 berlaku, di mana hak penguasaan yang awalnya diberikan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 kemudian dikonversi menjadi hak
pengelolaan pada tanah yang nyata/riil dikuasai oleh instansi pemerintah, jawatan, dan daerah
Swatantra yang diberikan hak penguasaan atas tanah negara berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1953.7 Sementara itu, metode kedua, yaitu penetapan pemerintah, terjadi ketika
instansi pemerintah menginginkan hak pengelolaan dan mengajukan permohonan hak kepada
negara melalui pemerintah atau Badan Pertanahan Nasional (BPN), sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Jo Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965.8

Meskipun sudah terdapat dalam Peraturan Menteri, perlu diingat bahwa Peraturan
Menteri bukan merupakan sumber hukum yang telah ditentukan dalam UU Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, berdasarkan hierarki peraturan perundang-undang. 9 Oleh karena

6
Arrizal, Nizam, and Siti Wulandari. "KAJIAN KRITIS TERHADAP EKSISTENSI BANK TANAH DALAM UNDANG-
UNDANG NO. 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA." Keadilan: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulang
Bawang 18, No. 2 (2020): 99-110.
7
Pasambuna, Afra Fadhillah Dharma. "IMPLEMENTASI HAK PENGELOLAAN DAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
NEGARA." Lex et Societatis 5, No. 1 (2017): 35-43.
8
Ibid.
9
Yustiana, Dewi, and Fakultas Hukum UNIYOS. "PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK
PENGELOLAAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA KEPADA PIHAK KETIGA Oleh." Jurnal Liga Hukum 9, No. 2 (2017):
itu, Peraturan Menteri tersebut tidak dapat dianggap sebagai hukum dasar (umbrella act) untuk
HPL, terutama karena timbul dari ketidakjelasan dan/atau kekaburan normanya jika dilihat dari
perspektif hierarki.

Dengan merinci penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peraturan mengenai HPL
belum secara jelas terbentuk dalam norma UUPA maupun peraturan yang masih berlaku hingga
UU Cipta Kerja diberlakukan. Terlebih lagi, ambiguasi mengenai pengaturan HPL dalam UUPA
memunculkan perbedaan pandangan di kalangan ahli, di mana sebagian menyatakan HPL
sebagai hak menguasai negara atas tanah, sementara yang lain menganggap HPL sebagai hak
atas tanah.10 Oleh karena itu, menjadi penting untuk menetapkan definisi HPL secara tegas,
sehingga keberadaannya tetap terjamin sesuai dengan amanat para pendiri bangsa. Hal ini juga
bertujuan untuk membentuk dasar-dasar yang kuat terkait penguasaan negara atas tanah agar
dapat dimanfaatkan dengan benar dan efektif demi kepentingan rakyat.

Pembentukan bank tanah tidak dapat dipisahkan dari prinsip Hak Menguasai Negara
(HMN) dan konsep fungsi sosial tanah. HMN perlu dijadikan dasar konstitusional, sementara
fungsi sosial tanah harus dijadikan dasar hukum (legal standing) yang memungkinkan
pengelolaan tanah di seluruh wilayah Indonesia. Dengan fondasi ini, bank tanah dapat secara
maksimal memanfaatkan peran tanah sebagai objek agraria nasional, dengan tujuan memberikan
manfaat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. 11 Gagasan pembentukan bank tanah
muncul pada tahun 80-an, dan langkah-langkah awal yang dapat dianggap sebagai cikal bakal
bank tanah melibatkan proyek-proyek seperti Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (JIEP) 12 di
Jakarta dan Surabaya Industrial Estate Rangkut (SIER) di Surabaya.13

Urgensi awal pembentukan bank tanah di Indonesia melibatkan beberapa aspek: 1)


Menjamin pencapaian tujuan yang dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945; 2) Berfungsi

100-114.
10
Rafiqi, Rafiqi. "Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Kasus Tanah tentang Hak
Pengelolaan." JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan
11
Sri Susyanti Nur, 2010, Bank Tanah: Alternatif Penyelesaian Maasalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan
Kota Berkelanjutan, AS Publishingi, Makassar, hlm 176.
12
PT. JIEP, “Tentang PT. Jakarta Industrial Estate Pulogadung”, https://www.iiie.co.id/tentang-kami/ptjakarta-
industrial-estate-pulogadung-ptjiep/?gclid=Cj0KCQiAiJSeBhCCARIsAHn
AzT_Yys_V3Vnb55qkCS7j1GLuzYBgvu_b3JqL3CdJ1h 023atk6T9BzsaAqyEEALw_wcB, diakses pada Minggu 17
Desember 2023
13
SIER, Sejarah Singkat PT. SIER, https://sier.id/page/sejarah_singkat_pt_sier, diakses pada Minggu 17 Desember
2023
sebagai instrumen untuk melaksanakan berbagai kebijakan pertanahan dan mendukung
pengembangan wilayah secara efisien dan efektif; 3) Mengawasi pengadaan, penguasaan, dan
pemanfaatan tanah secara adil dan wajar dalam kerangka pembangunan; dan 4) Menanggulangi
permasalahan pertanahan di Indonesia. Namun, setelah terbentuknya UU Cipta Kerja dan PP
Bank Tanah, urgensi pembentukan bank tanah semakin bertambah karena mendesaknya
kebutuhan tanah di Indonesia, terutama untuk kegiatan investasi.14

Inklusi substansi bank tanah dalam UU Cipta Kerja ternyata mengubah paradigma pemerintah
terdahulu dalam merancang bank tanah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
melalui pelayanan publik di sektor pertanahan. Pembentukan bank tanah menjadi terkait erat
dengan semangat investasi yang mendasari UU Cipta Kerja sebagai dasar hukumnya. Langkah
ini ditandai dengan Bank Tanah yang mendorong liberalisasi pasar tanah dan mempermudah
badan usaha asing untuk menguasai tanah. Sayangnya, Bank Tanah tampaknya tidak sepenuhnya
mendukung pemenuhan hak masyarakat kecil atas tanah, melainkan lebih sebagai instrumen
investasi, sesuai dengan Pasal 19 PP Bank Tanah yang menegaskan dukungan dalam jaminan
ketersediaan tanah untuk kepentingan pembangunan nasional sebagai bagian dari upaya
mendukung ekonomi dan investasi.

Regulasi mengenai pembentukan bank tanah di Indonesia muncul setelah disahkannya


UU Cipta Kerja, diikuti dengan pembentukan peraturan pelaksana berupa PP Bank Tanah.
Meskipun Indonesia telah memiliki regulasi terkait bank tanah, lembaga bank tanah itu sendiri
belum terbentuk. Rencananya, bank tanah akan selesai dibentuk pada tahun 2023.

Namun, jika dilihat dari peraturan yang mengatur pembentukan bank tanah di Indonesia,
konsep/jenis bank tanah yang akan dibentuk tidak dijelaskan dengan jelas. Seharusnya,
konsep/jenis bank tanah perlu ditetapkan secara tegas, sebagaimana yang telah dilakukan oleh
negara-negara seperti Belanda dan Amerika yang memiliki lembaga bank tanah. Ketidakjelasan
mengenai konsep/jenis bank tanah terlihat pada kedudukan, tugas, dan fungsi Bank Tanah dalam
PP Bank Tanah, yang mencerminkan konsep dikotomi yang nantinya akan berdampak pada
kewenangan Bank Tanah dalam pengelolaan tanah. Lebih lanjut, Pasal 26, Pasal 32, Pasal 33,

14
Ellen Setiadi, 2021, “Bank Tanah”, makalah pada Webinar Bank Tanah Dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang
Ciptaker: Apakah Manfaatnya Bagi Masyarakat?, Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Rabu, 7 Juli 2021.
Pasal 34, Pasal 44, dan Pasal 48 PP Bank Tanah menuntut untuk mengatur lebih lanjut struktur
dan penyelenggaraan Bank Tanah melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Sebagai respons terhadap PP Bank Tanah, pada tanggal 27 Desember 2021, pemerintah
akhirnya membentuk Peraturan Presiden No. 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan
Penyelenggaraan Badan Bank Tanah, yang mengatur rinci struktur dan penyelenggaraan Bank
Tanah.

Pasca diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 18


Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran
Tanah, terjadi penguatan dalam pengaturan Hak Pengelolaan Tanah (HPL). HPL sebelumnya
tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang merupakan aturan
dasar pertanahan di Indonesia. Meskipun terdapat peraturan terkait HPL dalam peraturan lain,
namun kepastian hukum mengenai HPL tidak dijamin.15

Permasalahan muncul terkait penafsiran apakah HPL termasuk hak atas tanah atau bagian
dari hak menguasai negara. UU Cipta Kerja memberikan penegasan bahwa HPL merupakan hak
menguasai dari negara yang sebagian kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pemegang hak.
Selanjutnya, UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021 menjelaskan bahwa hak pengelolaan
dapat diberikan kepada badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. Hal ini mencakup
hak untuk mengelola tanah negara, termasuk penggunaannya, yang dapat diberikan kepada
instansi pemerintah dan badan hukum lainnya dengan persetujuan pemerintah atau pihak ketiga.

Hak pengelolaan memberikan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan


tanah, baik untuk kepentingan sendiri maupun bekerjasama dengan pihak ketiga. Bentuk
kerjasama ini diatur dalam perjanjian pemanfaatan tanah. Selain itu, UU Cipta Kerja juga
mengatur pemanfaatan tanah HPL oleh pihak ketiga, termasuk pemberian hak guna usaha, hak
guna bangunan, dan/atau hak pakai.

Proses pemberian HPL dapat berasal dari tanah negara dan tanah ulayat, dengan
ketentuan yang diatur oleh menteri. Tanah negara diberikan kepada perorangan atau badan
hukum dengan Hak Atas Tanah sesuai dengan peruntukan dan keperluannya, atau

15
Egi Adyatama, Pemerintah Terbitkan Aturan Turunan UU Cipta Kerja, Berikut Daftarnya, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1435018/pemerintah-terbitkan-aturanturunan-uu-cipta-kerja-berikut-daftarnya/
full&view=ok, diakses pada Senin 18 Desember 2023
memberikannya dengan Hak Pengelolaan. Namun, analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa
rezim HPL yang saat ini diterapkan mengarah pada pengurangan fungsi sosial tanah negara
menjadi fungsi privat. Kewenangan publik dalam pengelolaan tanah negara menjadi tereduksi
dan bermutasi menjadi kewenangan privat, yang dapat membahayakan eksistensi tanah negara
untuk kemakmuran rakyat.

Penting untuk meninjau kembali aturan HPL atas tanah negara setelah berlakunya UU
Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021, karena potensi ancaman terhadap eksistensi tanah negara
yang dapat dimanfaatkan oleh elit ekonomi dengan risiko merugikan masyarakat. Hal ini sejalan
dengan prinsip bahwa tanah di Indonesia adalah milik bangsa Indonesia untuk kemakmuran
rakyat, dan pengaturan tanah tersebut seharusnya di tangan negara untuk pengelolaan yang adil.

Bank tanah memiliki peran strategis sebagai alat pengelolaan pertanahan nasional,
terutama terkait penguasaan dan penatagunaan tanah untuk mencapai kesejahteraan maksimal
bagi rakyat. Praktik efektif bank tanah dari negara-negara maju melibatkan pemanfaatan tanah
yang belum dikembangkan, terlantar, atau ditinggalkan dengan potensi produktif. Beberapa
peraturan mengatur bank tanah untuk memastikan fungsinya memberikan manfaat bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah.16

Regulasi ini mencakup mitigasi pembentukan bank tanah, struktur organisasi, fungsi,
sifat, tugas, dan sumber penghasilan bank tanah. Peraturan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum, memberikan kerangka kerja bagi bank tanah untuk memperoleh
tanah untuk kepentingan umum.

Selanjutnya, Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan
Penyelenggaraan Badan Bank Tanah menetapkan struktur dan pengurus Bank Tanah. Skema
kerja bank tanah ini dirancang untuk merencanakan ketersediaan tanah guna kepentingan umum,
sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, serta reforma agraria dan keadilan
pertanahan.

16
Celine, Djefry, Grace, Pembentukan Bank Tanah Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2020 Dalam Rangka
Menjamin Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Unsrat, Vol X, Oktober 2021, hlm 24
Eksistensi bank tanah dalam mengelola tanah yang dikuasai negara menjadi sangat
penting mengingat kesulitan dalam memperoleh tanah bagi pembangunan. Bank tanah memiliki
tugas normatif, seperti perencanaan kegiatan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan
tanah, pemanfaatan tanah, dan pendistribusian tanah. Dengan demikian, bank tanah menjadi
instrumen vital dalam mendukung pembangunan nasional dan mengendalikan harga tanah,
menciptakan landasan yang kuat untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.17

Adanya institusi bank tanah dapat dijelaskan melalui hambatan pelaksanaan


pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum, yang seringkali terkendala oleh proses
sulitnya pembebasan tanah. Bank tanah, sebagai lembaga, berperan dalam menyediakan tanah
untuk keperluan pembangunan sekaligus mengendalikan harga tanah. Secara normatif, bank
tanah memiliki tugas seperti perencanaan kegiatan, perolehan tanah, pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, pengendalian tanah, pemanfaatan tanah melalui kerjasama dengan pihak
lain, dan pendistribusian tanah.

Ganindha menjelaskan bahwa bank tanah melibatkan beberapa aktivitas dalam proses
perolehan tanah, termasuk tahap penyediaan atau pengadaan tanah, pematangan atau maturasi
tanah, dan penyaluran tanah. Pada tahap pengadaan tanah, bank tanah melakukan penyediaan
tanah melalui akuisisi, transaksi jual beli, dan tukar-menukar. Aktivitas signifikan pada tahap ini
melibatkan perencanaan, peninjauan aspek fisik dan status tanah, serta perencanaan distribusi
biaya pembelian atau penyediaan tanah.

Selanjutnya, pada tahap maturasi atau pematangan tanah, bank tanah mempersiapkan
infrastruktur pendukung, termasuk fasilitas dan layanan publik, pembangunan sarana dan
prasarana, serta akses saluran yang steril. Pada bank tanah swasta, aktivitas ini berlandaskan
perhitungan ekonomi dan tata kelola yang akurat untuk memastikan keuntungan dari investasi
tanah. Tahap ini juga menjadi penentu nilai tanah dan daya tarik bagi masyarakat atau investor. 18

Tahap penyaluran tanah melibatkan persiapan data informasi, seperti luas tanah, bidang
tanah yang diutamakan, dan estimasi pematangan tanah sebelum penyaluran. Mekanisme

17
Sutaryono, (2022), Memahami Urgensi Bank Tanah, Jurnal, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan
Prodi Pembangunan Wilayah Fak. UGM, hlm. 11.
18
Maulana, Dian, (2022), Pembentukan Bank Tanah: Merencanakan Ketersediaan Tanah Untuk Percepatan
Pembangunan di Indonesia, Jurnal Widya Bhumi, Sleman Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan, Vol 2 No. 1 April,
hlm 13-15.
perolehan tanah oleh bank tanah, sesuai dengan PP No. 64 Tahun 2021, mencakup pengadaan
tanah, perolehan tanah, pemanfaatan tanah, dan pendistribusian tanah.

Tugas bank tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 64
Tahun 2021, mencakup perencanaan kegiatan, perolehan tanah, pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah melalui kerjasama, dan
pendistribusian tanah. Bank tanah memiliki kewenangan khusus untuk menjamin ketersediaan
tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan
nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria. Objek tanah yang dapat
dikuasai oleh bank tanah meliputi tanah bekas hak, kawasan dan tanah terlantar, tanah pelepasan
kawasan hutan, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang
terkena kebijakan perubahan tata ruang, dan tanah yang tidak memiliki penguasaan. Selain itu,
bank tanah dapat menguasai tanah dari pemerintah, badan hukum, badan usaha, dan masyarakat
melalui berbagai cara perolehan yang sah, seperti pembelian, hibah, tukar-menukar, pelepasan
hak, dan bentuk perolehan lainnya.

G. KESIMPULAN

Dalam rangkuman kesimpulan mengenai konsep Hak Pengelolaan Tanah (HPL) dan
Bank Tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 serta regulasi terkait
bank tanah di Indonesia, beberapa poin utama dapat diidentifikasi. Konsep HPL memberikan
negara kewenangan mengelola tanah untuk kepentingan umum, bahkan jika tanah tersebut
memiliki status hak milik (HM). Regulasi terkait HPL, meskipun dijelaskan dalam Penjelasan
Umum II UUPA, masih kurang jelas dalam norma UUPA, dengan beberapa regulasi terkait yang
tidak secara eksplisit mendefinisikan HPL.

Pembentukan Bank Tanah, awalnya terkait dengan konsep Hak Menguasai Negara
(HMN) dan fungsi sosial tanah, mengalami perubahan paradigma menjadi lebih terkait dengan
semangat investasi dan liberalisasi pasar tanah setelah UU Cipta Kerja. Meskipun PP Bank
Tanah dan Perpres No. 113 Tahun 2021 mengatur struktur dan penyelenggaraan Bank Tanah,
tetapi masih terdapat ketidakjelasan terkait konsep/jenis bank tanah.

Pasca UU Cipta Kerja, regulasi terkait Hak Pengelolaan Tanah (HPL) diperkuat, dengan
penegasan bahwa HPL adalah hak menguasai dari negara. Bank tanah, dengan peran strategis
dalam pengelolaan pertanahan nasional, memiliki kewenangan khusus untuk menjamin
ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, sosial, dan pembangunan nasional.

Namun, tantangan muncul, seperti ketidakjelasan konsep/jenis bank tanah, potensi


pengurangan fungsi sosial tanah negara, dan perlunya peninjauan kembali aturan HPL untuk
menjaga eksistensi tanah negara untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, kesimpulan ini
menekankan perlunya kejelasan regulasi, peninjauan kembali tujuan bank tanah, dan keterlibatan
publik dalam pengambilan keputusan terkait tanah untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan
masyarakat.

H. SARAN

1. Kejelasan Regulasi:

 Perlu adanya peninjauan dan klarifikasi lebih lanjut terkait HPL dalam norma
UUPA untuk menghindari ambiguitas dan memberikan kepastian hukum.

2. Peninjauan Konsep Bank Tanah:

 Diperlukan peninjauan lebih mendalam terkait konsep dan jenis bank tanah untuk
memastikan peran bank tanah sejalan dengan kepentingan umum dan sosial.

3. Penguatan Fungsi Sosial Tanah Negara:

 Langkah-langkah konkret harus diambil untuk mencegah potensi pengurangan


fungsi sosial tanah negara, dan bank tanah harus diarahkan pada pemanfaatan
tanah yang produktif untuk kesejahteraan masyarakat.

4. Keterlibatan Publik:

 Peningkatan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan terkait tanah dapat


dilakukan melalui mekanisme konsultasi publik, transparansi kebijakan, dan
edukasi masyarakat.

Dengan mengimplementasikan saran-saran di atas, diharapkan regulasi terkait tanah,


HPL, dan Bank Tanah dapat menjadi landasan yang kokoh dalam mendukung pembangunan
nasional dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Arrizal, Nizam, and Siti Wulandari. "KAJIAN KRITIS TERHADAP EKSISTENSI BANK
TANAH DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA
KERJA." Keadilan: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang 18, No. 2
(2020): 99-110.

Celine, Djefry, Grace. "Pembentukan Bank Tanah Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun
2020 Dalam Rangka Menjamin Kesejahteraan Masyarakat." Jurnal Hukum, Fakultas
Hukum Unsrat, Vol X, Oktober 2021, hlm 24.

Egi Adyatama. "Pemerintah Terbitkan Aturan Turunan UU Cipta Kerja, Berikut Daftarnya."
Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1435018/pemerintah-terbitkan-aturan-
turunan-uu-cipta-kerja-berikut-daftarnya/full&view=ok, diakses pada Senin 18 Desember
2023.

Ellen Setiadi. 2021. "Bank Tanah." Makalah pada Webinar Bank Tanah Dalam UU No. 11
Tahun 2020 tentang Ciptaker: Apakah Manfaatnya Bagi Masyarakat?, Fakultas Hukum
Universitas Kristen Indonesia, Rabu, 7 Juli 2021.

Gasteyer, Stephen P., dan Rachel Johansen. 2015. Land Banks: Investing in Communities,
Banking on Revitalization. National Association of Realtors, Michigan, hlm. 2.

Limbong, Bernhard. 2013. Bank Tanah. Margaretha Pustaka, Jakarta. (Selanjutnya disebut
Bernhard Limbong I), hlm 65.

Maulana, Dian. 2022. "Pembentukan Bank Tanah: Merencanakan Ketersediaan Tanah Untuk
Percepatan Pembangunan di Indonesia." Jurnal Widya Bhumi, Sleman Yogyakarta:
Sekolah Tinggi Pertanahan, Vol 2 No. 1 April, hlm 13-15.

Pasambuna, Afra Fadhillah Dharma. "IMPLEMENTASI HAK PENGELOLAAN DAN


PEMBERIAN HAK ATAS TANAH NEGARA." Lex et Societatis 5, No. 1 (2017): 35-
43.

PT. JIEP. "Tentang PT. Jakarta Industrial Estate Pulogadung." https://www.iiie.co.id/tentang-


kami/ptjakarta-industrial-estate-pulogadung-ptjiep/?
gclid=Cj0KCQiAiJSeBhCCARIsAHnAzT_Yys_V3Vnb55qkCS7j1GLuzYBgvu_b3JqL3
CdJ1h023atk6T9BzsaAqyEEALw_wcB. Diakses pada Minggu 17 Desember 2023.
Rafiqi, Rafiqi. "Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Kasus Tanah
tentang Hak Pengelolaan." JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan.

Setiadi, Sri Susyanti Nur. 2010. Bank Tanah: Alternatif Penyelesaian Maasalah Penyediaan
Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan. AS Publishingi, Makassar, hlm 176.

SIER. "Sejarah Singkat PT. SIER." https://sier.id/page/sejarah_singkat_pt_sier. Diakses pada


Minggu 17 Desember 2023.

Sutaryono. 2022. "Memahami Urgensi Bank Tanah." Jurnal, Yogyakarta: Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. UGM, hlm. 11.

Wardani, Dwi Kusumo. “Disharmoni Antara RUU Cipta Kerja Bab Pertanahan dengan Prinsip–
Prinsip UU. No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)”,
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha 6, No 2 (2020): 440-
44.

Yusuf, Maulana Syekh. "EKSISTENSI HAK PENGELOLAAN (HPL) DAN KEWENANGAN


PELAKSANAANNYA OLEH PEMERINTAH DAERAH." JURNAL EDUCATION
AND DEVELOPMENT 8, No. 3 (2020): 938-938.

Yustiana, Dewi, and Fakultas Hukum UNIYOS. "PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN DI
ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA
KEPADA PIHAK KETIGA Oleh." Jurnal Liga Hukum 9, No. 2 (2017): 100-114.

Anda mungkin juga menyukai