Anda di halaman 1dari 18

PEMBAHASAN

FAKTA HUKUM YANG MENJADI PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM


MENJATUHKAN PUTUSAN NOMOR 11/Pdt.Sus-Parpol/2022/PN LSM

Hakim bertugas untuk mempertimbangkan, mengevaluasi, dan menerapkan hukum


berdasarkan fakta-fakta yang diajukan dalam persidangan. Fakta hukum adalah informasi
atau kejadian yang menjadi dasar untuk memutuskan suatu perkara secara hukum.

Dalam proses pengadilan, pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan, baik


penggugat maupun tergugat, mempresentasikan fakta-fakta yang mereka klaim sebagai dasar
dari klaim atau pembelaan mereka. Pihak-pihak tersebut menyajikan bukti-bukti, kesaksian
saksi, dokumen, atau argumen untuk mendukung klaim mereka.1

Tugas hakim adalah untuk mengevaluasi fakta-fakta yang diajukan oleh pihak-pihak
tersebut.2 Hakim akan memeriksa keabsahan dan keandalan bukti, menguji kredibilitas saksi,
dan menganalisis argumen yang diajukan. Kemudian, berdasarkan fakta-fakta yang diajukan,
hakim akan menerapkan hukum yang relevan untuk memutuskan perkara tersebut.

Hakim dapat melakukan penelitian hukum untuk memastikan pemahaman yang tepat
tentang hukum yang berlaku. Namun, penting untuk diingat bahwa tugas hakim adalah
menafsirkan dan menerapkan hukum berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam kasus, bukan
untuk "menciptakan" atau "memberikan" fakta hukum.3

Dalam pengambilan keputusan, hakim harus memastikan bahwa fakta-fakta yang


diajukan oleh pihak-pihak terbukti secara meyakinkan dan sesuai dengan standar bukti yang
berlaku. Putusan hakim didasarkan pada evaluasi objektif dan pemahaman hukum yang
relevan terhadap fakta-fakta yang ada.

Seorang hakim dalam mempertimbangkan dapat pada pasal-pasal yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin hukum ataupun hukum kebiasaan.4
Pasal 50 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang juga
menegaskan bahwa Alasan-alasan sebagai dasar putusan dan pasal peraturan perundang-
undangan yang terkait ataupun sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan sebagai dasar

1
---------, 2014, Karakteristik Pertimbangan Hukum Hakim dan Urgensinya dalam Perkara Perdata, disampaikan
dalam Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata Indonesia, 15–17 Oktober 2014.
2
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti) hlm. 116
3
Sunarto, 2014, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, Kencana, Jakarta.
4
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan (Cet. VIII; Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 58.
dalam mengadili harus termuat didalam suatu putusan pengadilan. Jabatan seorang hakim
mewajibkannya untuk mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para
pihak yang berperkara.

Dalam membuat putusan perdata, seorang hakim harus mempertimbangkan beberapa


faktor dan prinsip hukum yang relevan. Pertimbangan hakim dalam putusan perdata
didasarkan pada prinsip keadilan, hukum yang berlaku, dan fakta-fakta yang ada dalam
perkara yang diajukan.5

Berikut adalah beberapa pertimbangan yang umumnya dipertimbangkan oleh hakim


dalam membuat putusan perdata:6

1. Fakta Persidangan: Hakim akan mengevaluasi semua fakta dan bukti yang diajukan
dalam persidangan. Fakta-fakta ini mencakup semua informasi yang relevan dan
terkait dengan perkara, seperti kesaksian, dokumen, kontrak, dan bukti-bukti lainnya.

2. Hukum yang Berlaku: Hakim harus mengaplikasikan hukum yang berlaku dalam
perkara tersebut. Ini termasuk mengacu pada peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan sebelumnya, prinsip hukum yang telah terbentuk, dan preseden yang
relevan.

3. Prinsip Keadilan: Pertimbangan penting lainnya adalah prinsip keadilan. Hakim harus
mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam perkara dan
memastikan bahwa putusannya adil dan seimbang. Hakim juga dapat
mempertimbangkan pertimbangan moral dan etika dalam mengambil keputusan.

4. Interpretasi Kontrak atau Perjanjian: Jika perkara melibatkan interpretasi kontrak atau
perjanjian antara pihak-pihak, hakim harus menganalisis isi kontrak atau perjanjian
tersebut untuk menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

5. Asas Persamaan di Depan Hukum: Hakim harus memperlakukan semua pihak secara
adil dan sama di hadapan hukum. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh memihak
kepada satu pihak secara sepihak dan harus memperlakukan semua pihak dengan
proporsionalitas yang tepat.

5
Maggalatung, A.S. (2014, Desember). Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim. Jurnal Cita Hukum, 2 (2), 185-192.
6
Wibowo, Basuki Rekso, 1996, Penemuan, Penafsiran dan Penciptaan Hukum oleh Hakim Berkaitan dengan
Jurisprudensi sebagai Pedoman Penerapan Hukum bagi Pengadilan, Yuridika, No. 5 & 6, Tahun XI, Sept–Des
1996.
6. Putusan Pengadilan Sebelumnya: Hakim dapat mempertimbangkan putusan
pengadilan sebelumnya yang memiliki fakta dan masalah hukum yang serupa.
Meskipun putusan pengadilan sebelumnya tidak mengikat, hakim dapat
menggunakannya sebagai panduan dalam membuat keputusan.

7. Kepentingan Umum: Terkadang hakim juga harus mempertimbangkan kepentingan


umum dalam membuat putusan. Ini terutama terjadi dalam perkara yang melibatkan
kepentingan publik atau masalah sosial yang lebih luas.

Fakta hukum memegang peranan penting sebagai bahan pertimbangan bagi hakim
dalam pengambilan keputusan. akta hukum membentuk dasar penyelesaian sengketa di
pengadilan. Hakim harus memahami fakta-fakta yang relevan dengan perkara yang dia
hadapi untuk memutuskan dengan benar. Fakta hukum dapat mencakup informasi seperti
kejadian yang terjadi, pernyataan pihak terkait, dokumen atau bukti yang diperoleh, dan
catatan-catatan lainnya yang relevan dengan kasus tersebut.

Hakim menggunakan fakta hukum untuk memeriksa konsistensi antara bukti yang
diajukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perkara. Hakim akan menilai kekuatan dan
keandalan bukti yang disajikan, serta memeriksa apakah bukti tersebut mendukung klaim
atau pembelaan yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut.

Fakta hukum memainkan peran penting dalam menentukan tanggung jawab hukum
para pihak yang terlibat dalam perkara. Hakim akan menganalisis fakta-fakta yang ada untuk
menentukan apakah suatu perbuatan melawan hukum telah terjadi, apakah ada pelanggaran
kontrak, atau apakah ada kecacatan dalam suatu transaksi hukum.

Fakta hukum dapat mempengaruhi penerapan hukum dalam sebuah kasus. Hakim
harus mempertimbangkan fakta-fakta khusus yang terkait dengan kasus yang sedang dia
hadapi untuk memutuskan apakah ada keadaan khusus yang dapat mempengaruhi penerapan
hukum yang berlaku.

Fakta hukum menjadi penting dalam menjamin prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Hakim harus mengandalkan fakta-fakta yang obyektif dan terverifikasi untuk membuat
keputusan yang adil dan dapat diprediksi. Fakta hukum memberikan landasan yang kuat
untuk memastikan bahwa keputusan hakim didasarkan pada informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.7
7
Sunaryati Hartono, “Peranan Hakim Dalam Proses Pembentukan Hukum”, Majalah Hukum Nasional, BPHN,
No.1, Jakarta, 2003.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa fakta hukum adalah uraian mengenai hal-hal
yang menyebabkan timbulnya perkara, misalnya apakah ada perjanjian antara penggugat dan
tergugat sebelumnya dan salah satu pihak ingkar janji, atau melakukan perbuatan melawan
hukum yang akibatnya menimbulkan kerugian bagi penggugat8. Penyajian alat-alat bukti
yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada hakim dalam persidangan dengan
tujuan kepada hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil
tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh kepastian
untuk dijadikan dasar putusannya. Fakta-fakta tersebut adalah keterangan saksi dibawah
sumpah, keterangan tergugat dan bukti-bukti. Dalam Putusan Nomor
11/Pdt.Sus-Parpol/2022/PN LSM ini fakta-fakta hukum tersebut menjadi dasar pertimbangan
majelis hakim dalam memutus perkara ini.

Sebagaimana dalam pokok perkara disebutkan fakta-fakta hukum yang menjadi


landasan putusan hakim;

1) Bahwa berdasarkan Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, anggota
Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai politik apabila:
a. Meninggal dunia
b. Mengundurkan diri secara tertulis
c. Menjadi anggota partai politik lain
d. atau melanggar AD dan ART
2) Bahwa pada diri Penggugat tidak terdapat prasyarat untuk dapat diberhentikan
sebagai anggota Partai Politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut
3) Bahwa selain itu, Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
menerbitkan Surat Keputusan Dewan Pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera,
Nomor 280/SKEP/DPP-PKS/2022, tanggal 11 Agustus 2022 tentang Pergantian
Antar Waktu Anggota DPRK Kota Lhokseumawe Provinsi Aceh atas nama
saudara Dicky Saputra
4) Bahwa selanjutnya Tergugat III melakukan perbuatan hukum dengan
mengusulkan Pergantian Antar Waktu (PAW) Penggugat kepada Tergugat II dan
Tergugat IV sesuai dengan Surat Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan

8
Laila M. Rasyid & Herinawati, “Modul Pengantar Hukum Acara Perdata”, (Lhoksumawe; Unimal Press, 2015),
hlm
Sejahtera Kota Lhokseumawe, Nomor 182/D/AA-07-PKS/VIII/2022 perihal
Usulan PAW Anggota DPRK Kota Lhokseumawe, tanggal 1 Agustus 2022
5) Bahwa Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
mengeluarkan rekomendasi PAW terhadap Penggugat sesuai dengan Surat Dewan
Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Aceh Nomor
298/D/PMH/AA-PKS/VIII/2022 perihal Rekomendasi PAW Anggota DPRK Kota
Lhokseumawe, tanggal 3 Agustus 2022
6) Bahwa Tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerima
dan menindaklanjuti usulan pergantian antar waktu Penggugat yang diajukan oleh
Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III, padahal diketahuinya bahwa pergantian
antar waktu terhadap Penggugat tersebut telah melanggar hukum
7) Bahwa Tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerima
dan menindaklanjuti usulan pergantian antar waktu Penggugat
8) Bahwa perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat
V tersebut di atas bertentangan dengan peraturan perundangundangan baik dari
segi prosedur atau mekanisme serta maupun secara substantif karena melanggar
hak-hak dasar Penggugat yang dijamin dalam konstitusi, peraturan perundang-
undangan dan AD/ART Partai Keadilan Sejahtera
9) Bahwa berdasarkan Pasal 405 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), “Anggota
DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena:
a. Meninggal dunia
b. Mengundurkan diri
c. Diberhentikan

Selanjutnya dalam Pasal 405 Ayat (2) UU MD3 dinyatakan bahwa Anggota DPRD
kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, apabila:

a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap


sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
tanpa keterangan apa pun
b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota
c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
d. Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD
kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah
e. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
f. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan
umum
g. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
h. Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
i. Menjadi anggota partai politik lain
10) Bahwa pada diri Penggugat tidak terdapat keadaan atau prasyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 405 UU MD3 di atas, sehingga Tergugat I, Tergugat II,
Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V yang mengeluarkan SK PAW dan/atau
melakukan pengusulan Pergantian Antar Waktu terhadap Penggugat telah
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
11) Bahwa selain itu, perbuatan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III sebagaimana
telah diuraikan di atas telah bertentangan dengan Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang menegaskan bahwa
“Pengambilan keputusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan secara
demokratis
12) Bahwa tindakan atau perbuatan dari Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat
IV, dan Tergugat V berkaitan dengan Pergantian Antar Waktu (PAW) Penggugat
dari Anggota DPRK Lhokseumawe Periode 2019- 2024 telah nyata-nyata
melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 193 Undang-Undang Nomor
23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah jo. Pasal 38 Ayat 2 huruf a. Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh jo. Pasal 405 Ayat (2)
huruf e. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah jo. Pasal 102 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah jo. Pasal 8 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
22 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Verifikasi Syarat Calon Pengganti Antar
Waktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Hasil Pemilihan Umum
13) Bahwa tindakan atau perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV,
dan Tergugat V tersebut di atas sangatlah merugikan Penggugat karena
mengakibatkan pemberhentian Penggugat sebagai anggota Partai Keadilan
Sejahtera dan sebagai Anggota DPRK Lhokseumawe Periode 2019-2024,
sehingga Penggugat kehilangan hak sebagai anggota Partai Keadilan Sejahtera
dan sebagai Anggota DPRK Lhokseumawe masa jabatan 2019-2024 serta
kerugian lain karena tidak dapat menjalankan amanah konstituen sebagai wakil
rakyat di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Kota Lhokseumawe
14) Bahwa Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan sebagai
berikut: ”tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”
15) Bahwa Perbuatan melawan hukum berarti adanya perbuatan dari pelaku yang
melanggar hukum. Putusan Mahkamah Agung Belanda tahun 1919 dalam kasus
Arrest Cohen-Lindenbaum (H.R. 31 Januari 1919) telah memperluas pengertian
melawan hukum sebagai berikut:
a. Melanggar Undang-Undang
b. Melanggar hak subjektif orang lain
c. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
d. Bertentangan dengan kesusilaan
e. Bertentangan dengan sikap kehati-hatian
f. Ada kesalahan
16) Bahwa terpenuhinya “unsur kerugian” terbukti dari adanya kerugian materiil yang
diderita Penggugat akibat dari perbuatan melawan hukum dari Tergugat I,
Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V berupa:
Kerugian Materiil
a. Biaya Panjar Perkara sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah);
b. Biaya Jasa Pengacara sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
c. Biaya administrasi lainnya sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah);

Total kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat berjumlah Rp 125.000.000


(seratus dua puluh lima juta rupiah)

17) Bahwa mengingat perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, dan
Tergugat V telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat berupa diberhentikannya
Penggugat dari keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera dan sebagai Anggota
DPRK Lhokseumawe Periode 2019-2024, maka demi melindungi hak-hak hukum
Penggugat, termasuk untuk menghindari kerugian-kerugian yang lebih besar bagi
pihak Penggugat, maka merujuk ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 180
HIR dan Pasal 191 RBG cukup beralasan hukum bagi majeIis hakim yang
mengadili dan memutus perkara ini untuk mengabulkan permohonan provisi yang
diajukan oleh Penggugat agar semua perbuatan dan keputusan yang telah diambil
oleh Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V haruslah
dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (null and
void)
18) Bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Penggugat sebagai Anggota
DPRK Lhokseumawe Periode 2019-2024 dan untuk mencegah adanya tindakan di
luar hukum yang dilakukan oleh Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV,
dan Tergugat V, maka Penggugat berpendapat adalah perlu dan beralasan hukum
untuk majelis hakim mengabulkan permohonan putusan provisi yang
memerintahkan kepada Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, dan
Tergugat V untuk menghentikan segala perbuatan dan tidak menjalankan
keputusan pergantian antar waktu terhadap Penggugat sampai adanya putusan
pengadilan atas perkara ini yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
19) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, Penggugat berpendapat cukup alasan
hukum bagi Majelis Hakim untuk memerintahkan Tergugat I, Tergugat II,
Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V untuk tidak mengambil atau membuat
keputusan baru yang melanjutkan pergantian antar waktu Penggugat sebagai
anggota Anggota DPRK Lhokseumawe Periode 2019-2024

ANALISA UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN YANG BERLAKU DI


INDONESIA TERKAIT PEMRASALAHAN ANTARA PENGGUGAT DENGAN
PARA TERGUGAT PADA PUTUSAN NOMOR 11/Pdt.Sus-Parpol/2022/PN LSM
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak
memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap
peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim
baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu
akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa
yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo.
UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Analisis peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan bagian penting


dalam proses pengambilan keputusan hakim. Hakim menggunakan peraturan perundang-
undangan sebagai acuan untuk menentukan bagaimana hukum diterapkan dalam kasus yang
mereka hadapi. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis peraturan
perundang-undangan oleh hakim:9

1. Identifikasi dan Interpretasi: Hakim harus mengidentifikasi peraturan perundang-


undangan yang relevan dengan perkara yang dia hadapi. Ini melibatkan memahami
isi, tujuan, dan lingkup aplikasi dari peraturan tersebut. Hakim harus memahami kata-
kata dan frasa yang digunakan dalam peraturan serta konteks hukum di mana
peraturan itu diberlakukan.

2. Penafsiran dan Makna: Hakim harus menafsirkan peraturan perundang-undangan


dengan seksama untuk memahami makna dan tujuan dari setiap ketentuan yang ada.
Ini melibatkan mempertimbangkan teks peraturan itu sendiri, niat legislator,
penjelasan resmi, dan putusan pengadilan terdahulu yang berhubungan dengan
peraturan tersebut.

3. Hubungan dengan Peraturan Lain: Peraturan perundang-undangan sering kali terkait


dan saling mempengaruhi satu sama lain. Hakim perlu mempertimbangkan hubungan
dan konsistensi peraturan tersebut dengan peraturan lain yang terkait dalam konteks
perkara yang sedang dihadapi.

9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hal.140
4. Perkembangan Hukum: Hakim harus mengikuti perkembangan hukum yang terkait
dengan peraturan yang berlaku. Jika ada putusan pengadilan yang lebih tinggi atau
perubahan undang-undang yang relevan, hakim harus memperhitungkan hal ini dalam
analisisnya.

5. Prinsip-prinsip Hukum: Hakim juga dapat mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang
umumnya diterima dalam memutuskan perkara. Prinsip-prinsip seperti keadilan,
kesetaraan, kepastian hukum, dan kebebasan berkontrak dapat membantu hakim
dalam menginterpretasikan dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Dalam mengambil keputusan, hakim menggunakan analisis peraturan perundang-


undangan ini sebagai landasan hukum untuk mencapai keputusan yang adil dan sesuai dengan
hukum yang berlaku. Namun, penting untuk diingat bahwa penafsiran peraturan perundang-
undangan dapat bervariasi dan tergantung pada kebijaksanaan hakim yang berwenang dalam
memutuskan perkara.

Penerapan undang-undang dan peraturan yang berlaku adalah salah satu elemen kunci
dalam putusan perkara perdata. Dalam menganalisa undang-undang dan peraturan yang
berlaku di Indonesia terkait permasalahan antara penggugat dengan para tergugat, hakim akan
melibatkan beberapa langkah dalam prosesnya.

Dalam Perkara ini pada pokok perkara digunakan pasal 271 dan 272 RV sebagai
acuan dalam penetapan perkara. Pasal 271 dan Pasal 272 Regiment od de Rechtsvordering
(RV) adalah ketentuan mengenai pencabutan gugatan. Pencabutan gugatan adalah tindakan di
mana penggugat atau pihak yang mengajukan tuntutan secara sukarela membatalkan atau
menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Ini berarti penggugat mengundurkan diri
dari tuntutannya dan tidak akan melanjutkan proses pengadilan terkait kasus tersebut.

Pencabutan gugatan dapat dilakukan dalam beberapa tahap proses hukum, tergantung
pada yurisdiksi dan peraturan hukum yang berlaku di negara tersebut. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan tentang pencabutan gugatan adalah sebagai berikut:

1. Sukarela: Pencabutan gugatan harus dilakukan secara sukarela oleh penggugat. Ini
berarti bahwa penggugat secara sadar dan tanpa paksaan memutuskan untuk
menghentikan tuntutan hukumnya.
2. Izin Pengadilan: Terkadang, pengadilan memerlukan izin atau persetujuan tertentu
sebelum gugatan dapat dicabut. Ini terutama berlaku jika ada pihak lain yang terlibat
dalam proses hukum, seperti pihak tergugat atau pihak ketiga yang memiliki
kepentingan dalam kasus tersebut.

3. Dampak Terhadap Hak-hak: Pencabutan gugatan dapat memiliki konsekuensi hukum


tertentu. Misalnya, dalam beberapa yurisdiksi, pencabutan gugatan dapat
mengakibatkan penggugat kehilangan hak untuk mengajukan tuntutan yang sama
terhadap pihak yang sama di masa depan. Oleh karena itu, penggugat harus
mempertimbangkan secara seksama dampak pencabutan terhadap hak-hak hukumnya
sebelum mengambil keputusan.

4. Biaya dan Biaya: Terkadang, pencabutan gugatan tidak membebaskan penggugat dari
kewajiban membayar biaya pengadilan atau biaya hukum yang sudah dikeluarkan
selama proses hukum. Penggugat mungkin masih bertanggung jawab untuk
membayar biaya tersebut, kecuali ada kesepakatan atau peraturan yang mengatur
sebaliknya.

Pencabutan gugatan adalah langkah yang penting dalam proses hukum yang
menunjukkan bahwa penggugat tidak lagi ingin melanjutkan tuntutan hukumnya. Namun,
penting bagi penggugat untuk berkonsultasi dengan pengacara atau penasihat hukum yang
berpengalaman sebelum membuat keputusan tentang pencabutan gugatan, karena dapat
memiliki konsekuensi hukum yang signifikan.

Pada perkara ini, Penggugat mengemukakan alasan bahwa ingin mencabut gugatan
dikarenakan akan menempuh upaya lain di luar pengadilan. Namun, Tergugat I mengatakan
tidak sah jika pencabutan gugatan hanya dilakukan oleh kuasa penggugat tanpa adanya surat
kuasa khusus mengenai pencabutan gugatan. Dengan menggunakan pasal 271 dan pasal 272
ini Hakim meninmbang bahwa gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila tergugat belum
memberikan tanggapan atau jawaban terhadap gugatan penggugat dan jika tergugat sudah
memberikan jawaban maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari Tergugat.

Jika Penulis teliti lebih lanjut dari alasan mengapa gugatan dicabut, terlihat dari alasan
Penggugat ingin mengajukan pencabutan gugatan karena ingin melakukan menyelesaikan
perkara diluar pengadilan atau yang bisa dikenal dengan jalur damai (sukarela). Unsur
sukarela dalam pencabutan gugatan menunjukkan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan
kehendak bebas dan tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Ini berarti penggugat atau pihak
yang mengajukan tuntutan secara sadar dan sukarela memutuskan untuk menghentikan proses
hukum yang sedang berjalan. Pencabutan gugatan harus menjadi keputusan yang disengaja
dan tidak dipaksakan oleh faktor eksternal. Penggugat harus secara sukarela memutuskan
untuk menghentikan tuntutannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, strategi
hukum, atau alasan lain yang dianggap tepat.

Penting untuk memastikan bahwa pencabutan gugatan adalah keputusan yang benar-
benar didasarkan pada keinginan sukarela dan bukan akibat dari tekanan, ancaman, atau
manipulasi dari pihak lain. Ketika pencabutan gugatan diajukan secara sukarela, hal ini
menunjukkan bahwa pihak yang mengajukan tuntutan secara sadar mengubah niatnya dan
tidak ingin melanjutkan proses hukum tersebut.

Dalam beberapa yurisdiksi, pengadilan mungkin memerlukan persetujuan atau izin


tertentu dari pihak lain atau pengadilan itu sendiri sebelum gugatan dapat dicabut. Namun,
unsur sukarela tetap menjadi faktor kunci dalam proses pencabutan gugatan tersebut.

Penting untuk berkonsultasi dengan pengacara atau penasihat hukum yang


berpengalaman sebelum mengambil keputusan tentang pencabutan gugatan. Mereka dapat
memberikan nasihat yang tepat berdasarkan situasi hukum yang spesifik dan memastikan
bahwa pencabutan gugatan dilakukan dengan benar dan dalam kehendak sukarela penggugat.

Tidak ada alasan lain yang tertulis dalam putusan pengadilan ini berkaitan dengan
pencabutan gugatan. Penulis dapat menjelaskan juga mengapa setelah pencabutan gugatan
segala biaya pengadilan dibebankan kepada penggugat. Pada umumnya, ketika seorang
penggugat mengajukan pencabutan gugatan setelah proses pengadilan dimulai, pengadilan
dapat meminta penggugat untuk membayar biaya persidangan yang telah dikeluarkan
sebelum pencabutan tersebut dilakukan. Ada beberapa alasan mengapa penggugat mungkin
masih harus membayar biaya persidangan setelah mengajukan pencabutan gugatan, antara
lain:

1. Biaya yang Telah Dikeluarkan: Selama proses persidangan, biaya yang dikeluarkan
oleh pengadilan, seperti biaya administratif, biaya pengiriman surat, biaya
pendaftaran, dan biaya lainnya, mungkin telah terjadi sebelum pencabutan gugatan.
Meskipun gugatan dicabut, pengadilan masih berhak meminta penggugat untuk
membayar biaya-biaya ini yang telah dikeluarkan.
2. Biaya Pihak Tergugat: Jika proses persidangan telah mencapai tahap tertentu, pihak
tergugat mungkin telah mengeluarkan biaya untuk mempersiapkan dan
mempertahankan diri dalam persidangan. Meskipun penggugat mencabut gugatannya,
pihak tergugat mungkin masih memiliki klaim untuk mendapatkan penggantian biaya
yang telah dikeluarkan.

3. Prinsip Keadilan dan Pemulihan Kerugian: Dalam beberapa kasus, pengadilan dapat
menganggap bahwa pihak tergugat mengalami kerugian karena harus menghadapi
proses persidangan yang telah dimulai. Dalam rangka memulihkan kerugian tersebut
dan menjaga prinsip keadilan, pengadilan dapat memerintahkan penggugat untuk
membayar biaya persidangan yang telah dikeluarkan oleh pihak tergugat.

Namun, perlu dicatat bahwa aturan dan kebijakan terkait pembayaran biaya
persidangan setelah pencabutan gugatan dapat berbeda-beda dalam setiap yurisdiksi. Jadi,
penting untuk mengacu pada hukum dan praktik hukum yang berlaku di negara atau
yurisdiksi tempat proses hukum tersebut berlangsung untuk memahami secara tepat
bagaimana ketentuan biaya persidangan berlaku dalam situasi pencabutan gugatan.

PUTUSAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN NOMOR 11/Pdt.Sus-Parpol/2022/PN


LSM

Sebagai penegak hukum, hakim memiliki kewenangan untuk mengabulkan gugatan yang
diajukan oleh penggugat dalam persidangan. Ketika seorang hakim mengabulkan gugatan,
artinya hakim setuju dengan tuntutan dan argumen yang diajukan oleh penggugat.

Putusan hakim dalam perkara perdata adalah keputusan akhir yang dikeluarkan oleh
hakim setelah mempertimbangkan fakta-fakta dan argumen yang diajukan oleh para pihak
yang terlibat dalam persidangan.10 Putusan hakim berisi penilaian hukum yang memutuskan
hak dan kewajiban para pihak dalam sengketa perdata tersebut. Berikut adalah beberapa
elemen yang dapat ditemukan dalam putusan hakim dalam perkara perdata:11

1. Pihak yang Menang dan Kalah: Putusan hakim akan menyebutkan pihak yang
menang dan pihak yang kalah dalam persidangan. Pihak yang menang biasanya
mendapatkan keputusan yang menguntungkan sesuai dengan tuntutan atau

10
Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata tata cara dan proses persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, tt.
11
Adiasih, Ning. “Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata Yang Hukumnya Tidak Ada Atau
Hukumnya Tidak Jelas.” Jurnal Prioris, Volume 6, Nomor 1 (2017): 35.
permintaannya, sementara pihak yang kalah biasanya akan diberi keputusan yang
merugikan.

2. Alasan-alasan Hukum: Hakim akan menjelaskan alasan hukum yang menjadi dasar
putusannya. Ini termasuk referensi kepada undang-undang, peraturan, prinsip hukum,
dan putusan pengadilan sebelumnya yang relevan. Hakim akan menjelaskan mengapa
hukum tersebut diterapkan dalam kasus tersebut dan bagaimana hukum tersebut
mendukung keputusannya.

3. Penerapan Fakta: Hakim akan menganalisis fakta-fakta yang dihadirkan dalam


persidangan dan menerapkannya pada hukum yang berlaku. Hakim akan memutuskan
bagaimana fakta-fakta tersebut mendukung atau menentang argumen pihak-pihak
yang terlibat. Penerapan fakta ini penting untuk menentukan kesimpulan hukum
dalam kasus tersebut.

4. Kewajiban dan Tanggung Jawab: Putusan hakim akan menentukan kewajiban dan
tanggung jawab para pihak dalam kasus tersebut. Ini dapat mencakup pembayaran
kompensasi, restitusi, pelaksanaan atau pembatalan perjanjian, atau tindakan lain yang
harus dilakukan oleh pihak yang kalah atau pihak yang diberi keputusan merugikan.

5. Eksekusi Putusan: Hakim juga dapat menyertakan instruksi mengenai pelaksanaan


putusan, termasuk waktu dan prosedur untuk melaksanakannya. Hakim dapat
menentukan batas waktu untuk melaksanakan putusan dan memberikan instruksi
kepada pihak yang menang atau otoritas eksekusi hukum yang relevan.

Setiap putusan hakim harus didasarkan pada prinsip keadilan, hukum yang berlaku, dan
pertimbangan fakta-fakta dalam kasus tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa putusan
hakim dapat diajukan banding atau kasasi, dan masih dapat diperiksa dan diperdebatkan di
tingkat pengadilan yang lebih tinggi.12

Dalam sub bab ini, penulis akan menjelaskan masing-masing elemen dari hasil
putusan hakim terhadap putusan ini yang pertama ialah mengenai Pihak yang Menang dan
yang Kalah. Dalam hal ini Penggugat sebagai pihak yang menang dalam perkara ini berhasil
membuktikan tuntutan atau gugatan mereka dengan fakta dan hukum yang kuat, serta telah
meyakinkan hakim mengenai klaim mereka. Hakim akan mempertimbangkan argumen
12
Nur Iftitah Isnantiana, Legal Reasoning Hakim Dalam Pengambilan Putusan Perkara Di Pengadilan, Jurnal
Islamadina Vol. 28 No. 2, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 2017, Purwokerto.
hukum, bukti-bukti, kesaksian, kontrak, atau dokumen lain yang diajukan oleh pihak-pihak
yang terlibat untuk mencapai keputusan. Sedangkan pihak yang kalah, tergugat adalah pihak
yang gagal membuktikan tuntutan mereka atau tidak mampu meyakinkan hakim mengenai
klaim yang mereka ajukan. Hakim akan menilai argumen hukum, bukti-bukti, kesaksian,
kontrak, atau dokumen lain yang diajukan oleh pihak-pihak yang terlibat dan dapat
menyimpulkan bahwa klaim pihak tersebut tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat hukum
yang berlaku.

Namun, penting untuk dicatat bahwa penentuan pihak yang menang dan kalah tidak selalu
sederhana, dan terkadang hakim dapat mencapai keputusan campuran di mana beberapa
tuntutan atau permintaan dari masing-masing pihak diterima sedangkan beberapa lainnya
ditolak. Putusan hakim biasanya berisi penjelasan rinci mengenai alasan mengapa pihak
tertentu dianggap sebagai pihak yang menang atau kalah dalam perkara perdata tersebut.

Kedua mengenai alasan-alasan hukum dalam putusan hakim dalam perkara perdata dapat
bervariasi tergantung pada kasus yang sedang dipertimbangkan. Namun, berikut adalah
beberapa contoh umum dari alasan-alasan hukum yang sering digunakan oleh hakim dalam
putusan perkara perdata:

1. Penerapan Undang-Undang dan Peraturan yang Berlaku telah di paparkan pada sub-
bab sebelumnya. Dalam hal ini penulis melihat Hakim merujuk pada ketentuan hukum
yang berlaku dan menjelaskan bagaimana hukum tersebut diterapkan dalam konteks
kasus yang sedang dipertimbangkan.
2. Precedent atau Putusan Pengadilan sebelumnya, Hakim dapat mengacu pada putusan
pengadilan sebelumnya yang memiliki fakta dan hukum yang serupa sebagai dasar
argumentasi dan keputusannya. Namun dalam putusan ini Hakim tidak melihat
putusan pengadilan sebelumnya. Hanya saja dalam pokok perkara gugatan
dibandingkan dengan melihat pengertian melawan hukum dari putusan sebelumnya
yaitu kasus Arrest Cohen-Lindenbaum (H.R. 31 Januari 1919).
3. Interpretasi Kontrak atau Perjanjian, dalam putusan ini Hakim melihat dari Surat
Keputusan yaitu; 1. Surat Keputusan Dewan Pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera,
Nomor 280/SKEP/DPP-PKS/2022, Surat Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan
Sejahtera Provinsi Aceh Nomor 298/D/PMH/AA-PKS/VIII/2022, Surat Dewan
Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera Kota Lhokseumawe, Nomor 182/D/AA-
07-PKS/VIII/2022. Hakim menganalisa surat keputusan tersebut untuk menentukan
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hakim akan mempertimbangkan ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam Surat tersebut dan menjelaskan bagaimana Surat
tersebut harus ditafsirkan berdasarkan hukum yang berlaku.
4. Prinsip Keadilan dan Pemeriksaan Fakta: Hakim akan mempertimbangkan prinsip
keadilan dalam membuat keputusan. Ini melibatkan mempertimbangkan semua fakta
yang diajukan dalam persidangan dan mengadilinya dengan adil dan obyektif. Hakim
akan menganalisis fakta-fakta yang relevan, kesaksian, bukti-bukti, dan argumen yang
disampaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut untuk memastikan
keputusannya adil dan seimbang.
5. Prinsip-Prinsip Hukum yang relevan, dalam hal ini hakim juga mempertimbangkan
prinsip-prinsip hukum yang relevan. Dalam kasus ini, pada saat Penggugat
mengajukan surat permohonan pencabutan gugatan tanggal 4 Oktober 2022 dengan
mengemukakan alasan akan menempuh upaya lain di luar pengadilan. Namun tergugat
membantah bahwa hal tersebut tidak bisa terjadi hanya dengan menggunakan surat
kuasa penggugat. Namun dalam hal ini, hakim berpendapat dalam perkara a quo
permohonan pencabutan Gugatan yang diajukan oleh Penggugat masih dalam
persidangan untuk pembacaan gugatan dan Para Tergugat belum memberikan
tanggapan atau Jawaban terhadap Gugatan Penggugat tersebut, sehingga berdasarkan
pertimbangan tersebut, Hakim menyatakan bahwa permohonan Pencabutan perkara ini
dapat dikabulkan. Karena menurut hakim hal ini sah secara prinsip hukum yaitu in
casu permohonan pencabutan gugatan.

Penulis melihat yang menjadi poin dari putusan hakim disini menitikberatkan saat
keadaan Penggugat mengajukan permohonan pencabutan gugatan. Hal ini kemudian
menjadi jelas bahwa Hakim menggunakan Prinsip-Prinsip hukum yang relevan dengan
menggunakan pasal 271 dan Pasal 272 sebagai acuan keputusan hakim terhdapat
permohonan pencabutan gugatan dari pihak penggugat.

Ketika seorang hakim menghadapi permohonan pencabutan gugatan, mereka akan


mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang relevan untuk memandu keputusan mereka.
Beberapa prinsip hukum yang dapat menjadi pertimbangan dalam pencabutan gugatan
adalah sebagai berikut:13

13
Sarwohadi, Sekitar Pencabutan Gugatan, Bandung, Alumni, 2002.
1. Kehendak Sukarela: Hakim akan memeriksa apakah pencabutan gugatan diajukan
dengan kehendak sukarela dan tanpa adanya tekanan atau paksaan dari pihak lain.
Jika ada indikasi bahwa pencabutan gugatan terjadi karena pengaruh yang tidak sah
atau kekurangan kehendak sukarela, hakim mungkin menolak pencabutan tersebut.

2. Keadilan dan Kepentingan Pihak Lain: Hakim akan mempertimbangkan keadilan bagi
pihak lain yang terlibat dalam proses hukum, seperti pihak tergugat atau pihak ketiga
yang terlibat dalam kasus tersebut. Jika pencabutan gugatan akan merugikan secara
tidak adil pihak lain atau melanggar hak-hak mereka, hakim mungkin menolak
pencabutan atau mengenakan persyaratan atau pembayaran tertentu.

3. Kepentingan Umum: Hakim juga akan mempertimbangkan kepentingan umum dalam


pencabutan gugatan. Jika pencabutan tersebut akan merugikan kepentingan umum
atau menyebabkan gangguan yang signifikan terhadap sistem peradilan atau proses
hukum secara keseluruhan, hakim mungkin menolak pencabutan atau memberikan
syarat-syarat tertentu.

4. Prinsip Efisiensi dan Kepastian Hukum: Hakim juga dapat mempertimbangkan


prinsip efisiensi dan kepastian hukum. Jika pencabutan gugatan akan menghambat
efisiensi proses peradilan atau mengganggu kepastian hukum, hakim mungkin
menolak pencabutan atau memberikan tuntutan biaya atau syarat-syarat lainnya.

Selain itu hakim juga melihat salah satu fakta hukum dalam perkara ini. Pencabutan
gugatan oleh hakim biasanya terjadi dalam situasi-situasi tertentu yang didasarkan pada
fakta hukum yang relevan dalam kasus tersebut. Berikut adalah beberapa fakta hukum
yang dapat mempengaruhi keputusan hakim dalam pencabutan gugatan:14

1. Kekuatan Hukum yang Melekat pada Gugatan: Hakim akan menilai kekuatan hukum
dari argumen dan bukti yang disajikan oleh penggugat dalam gugatannya. Jika hakim
merasa bahwa gugatan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat atau tidak memenuhi
persyaratan hukum yang relevan, maka hakim dapat mempertimbangkan untuk
mencabut gugatan.

2. Keterlambatan atau Ketidakpatuhan Prosesual: Jika penggugat gagal memenuhi


tenggat waktu atau tidak mematuhi prosedur hukum yang berlaku, hakim dapat
mencabut gugatan sebagai akibat dari keterlambatan atau ketidakpatuhan tersebut.
14
Mahyuni. “Lembaga Damai Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan” Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum. Vol. 16 No. 4. Oktober 2009. Yogyakarta; FH UII
Misalnya, jika penggugat tidak mematuhi perintah pengadilan atau tidak mengambil
tindakan yang diperlukan dalam waktu yang ditentukan, hakim dapat memutuskan
untuk mencabut gugatan.

3. Kesepakatan antara Para Pihak: Jika pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan
mencapai kesepakatan untuk mencabut gugatan, hakim dapat mengakui dan
menyetujui kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini bisa berarti bahwa pihak-pihak
telah menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan atau bahwa pihak penggugat
telah mengubah niatnya dan ingin mencabut gugatannya secara sukarela.

4. Keadilan dan Kepentingan Umum: Hakim juga akan mempertimbangkan aspek


keadilan dan kepentingan umum dalam pencabutan gugatan. Jika hakim berpendapat
bahwa pencabutan gugatan akan menghasilkan keadilan yang lebih baik atau bahwa
kepentingan umum akan terlayani dengan mencabut gugatan, maka hakim dapat
memutuskan untuk mencabut gugatan tersebut.

Pada dasarnya, hakim akan menilai fakta hukum yang relevan dalam kasus tersebut untuk
membuat keputusan yang adil dan sesuai dengan hukum. Keputusan hakim tentang
pencabutan gugatan didasarkan pada penilaian obyektif terhadap argumen, bukti,
prosedur hukum yang diikuti, dan kepentingan yang terlibat dalam kasus tersebut.

Anda mungkin juga menyukai