Anda di halaman 1dari 9

“Analisis Penyusunan Fakta Hukum dalam Putusan Pidana”

Oleh : Rina Wahyu Yuliati, S.H.

NIP. 199507302018022003

A. PENDAHULUAN

Putusan hakim (vonnis) sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan keadilan. Para pencari keadilan (the seeker of
justice) tentu saja berharap bahwa putusan seorang hakim benar-benar memenuhi rasa keadilan
masyarakat (sense of justice). Namun mewujudkan putusan hakim yang sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat ternyata tidak mudah. Bahkan dalam beberapa putusan pengadilan justru
bermasalah dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.1 Yang menarik adalah adanya
komentar dari penuntut umum maupun penasehat hukum terdakwa, yang menyatakan bahwa
hakim dalam memutus perkara telah mengabaikan atau tidak berdasarkan fakta hukum. Lalu
apa sebenarnya fakta hukum tersebut, bukankah baik penuntut umum, penasehat hukum
terdakwa maupun hakim di dalam persidangan yang sama sehingga seharusnya juga
menemukan fakta hukum yang sama?

Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas dibidang yudisial, yaitu menerima,
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Para
pencari keadilan tentu sangat mendambakan perkara-perkara yang diajukan kepengadilan dapat
diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat
melahirkan keputusan-keputusan yang sesuai dengan aturan perundang- undangan.2

Putusan hakim sangat berkaitan dengan bagaimana hakim dalam mengemukakan


pendapat atau pertimbangannya berdasarkan fakta-fakta serta alat bukti dipersidangan serta
keyakinan hakim atas suatu perkara. Oleh sebab itu hakim memiliki peran sentral dalam
menjatuhkan putusan pengadilan. Hukum acara dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAPidana
menyebut putusan pemidanaan harus memuat pertimbangan yang disusun secara ringkas
mengenai fakta dan keadaan, beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Jadi sebutannya adalah Fakta dan

1
M. Guntur Hamzah, dalam papernya yang berjudul “Hubungan antara Fakta, Norma, Moral dan Doktrin Hukum
dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
2
Sutiyoso Bambang, Metode Penemuan Hukum, Yogyakarta, 2006, hlm. 5.
1
Keadaan. Lebih lanjut dalam Pasal 197 ayat (2) diatur bahwa tidak dipenuhinya ketentuan
tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. Apakah fakta dan keadaan yang dimaksud
dalam pasal tersebut adalah fakta hukum yang menjadi satu kesatuan dengan pertimbangan
unsur dalam putusan?

Masalah penegakan hukum sesungguhnya bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Ada
rangkaian yang saling mempengaruhi sehingga melahirkan putusan hakim yang bermasalah.
Berdasarkan Laporan Jejaring KY di 33 Provinsi tahun 2009, Komisi Yudisial RI (KY) telah
menerima 968 laporan tentang putusan hakim yang dikomplain oleh masyarakat karena diduga
mengandung unsur kesalahan. Bahkan sampai saat ini, KY telah menyerahkan rekomendasi
untuk 39 hakim yang diduga bermasalah kepada Mahkamah Agung RI. 3 Salah satu putusan
hakim yang dikomplain oleh masyarakat karena diduga mengandung unsur kesalahan tersebut
adalah tidak mencantumkan fakta hukum dalam pertimbangan putusan. Sehingga timbul
pertanyaan, apakah dalam suatu putusan pidana harus ada fakta hukumnya?

Diantara para Hakim sendiri ada suatu dualisme pendapat mengenai perlu tidaknya
menyusun fakta hukum dalam putusan pidana. Pendapat pertama, fakta hukum disusun sesudah
seluruh keterangan saksi dan keterangan terdakwa yang bertujuan untuk memudahkan
pembahasan pertimbangan unsur-unsur pasal yang didakwakan. Pendapat kedua, tidak
menuliskan fakta hukum melainkan langsung ke pembahasan atau pertimbangan terbukti/
tidaknya unsur-unsur pasal yang didakwakan dengan cara menunjuk atau mengambil alat bukti
keterangan saksi-saksi dan atau keterangan terdakwa. Mana yang benar?

Berdasarkan uraian tersebut di atas, persoalan fakta hukum dalam suatu putusan pidana
inilah yang akan dibahas dalam paper.

B. PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan fakta hukum?
2. Bagaimana cara menyusun fakta hukum dalam putusan pidana?

3
Lihat Berita Waspada On Line, KY Terima 968 Laporan Putusan Hakim Bermasalah,
(http://www.waspada.co.id/), tanggal 2 Desember 2009.
2
C. PEMBAHASAN

1. Pengertian Fakta Hukum


Setiap putusan hakim harus berdasarkan fakta yang jelas. Fakta 4 memegang
peranan penting dalam setiap putusan hakim. Bahkan fakta hukum merupakan “conditio
sine qua non” bagi terwujudnya putusan yang adil. Oleh karena itu, dalam memutuskan
perkara pasti membutuhkan fakta hukum dari suatu perkara. Putusan hakim akan adil jika
berdasarkan fakta yang benar. Dengan demikian, hukum tidak akan bisa diputus dengan
adil jika fakta hukum tidak ada.
Dalam kaitan ini, sangat menarik tanggapan Mantan Ketua KY Busyro Muqoddas
yang menyatakan bahwa, jika hakim telah menyampingkan fakta persidangan, fakta saksi,
bukti lain, dan fakta pembelaan, itu berarti hakim telah melakukan kesalahan fatal. "Fakta-
fakta itu harus dimuat dalam pertimbangan hakim," secara normatif putusan hakim
seharusnya memperhatikan fakta persidangan, baik itu fakta saksi, bukti, maupun fakta
pembelaan.5
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah sama antara fakta persidangan dengan
fakta hukum? Jawabannya adalah tidak. Sebagaimana yang disampaikan oleh Mantan
Ketua KY Busyro Muqoddas, yang dimaksud fakta persidangan adalah fakta saksi, fakta
terdakwa, barang bukti, dan fakta pembelaan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh
Bapak Happy Try Sulistiyono, S.H.,M.H., bahwa fakta hukum dan fakta persidangan tidak
sama. Yang dimaksud dengan fakta hukum adalah fakta / keadaan yang tidak dibantah atau
yang bersesuaian satu sama lain yang relevan dengan unsur dakwaan. Hal-hal yang masih
dipertentangkan antara alat bukti satu dengan lainnya tidak dapat menjadi fakta hukum.

2. Cara Menyusun Fakta Hukum dalam Putusan Pidana


Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, fakta hukum adalah fakta / keadaan
yang tidak dibantah atau yang bersesuaian satu sama lain berdasarkan keterangan saksi dan
keterangan terdakwa serta barang bukti yang relevan dengan unsur dakwaan. Yang menjadi
masalahnya apabila dalam suatu perkara terjadi pertentangan antar keterangan saksi dan
keterangan terdakwa serta barang bukti, kemudian bagaimana Hakim memperoleh fakta
hukum dalam perkara tersebut?

4
Kata “fakta” berasal dari bahasa latin “factum” yang artinya “a thing done or permormed” sesuatu yang ada atau
senyatanya, kenyataan, realitas atau fenomena.
5
Lihat Media Indonesia.Com atau klik http://www.mediaindonesia.com/index.php/2010/02/02.
3
Fakta hukum dapat diperoleh dari alat bukti yang sah sebagaimana telah ditentukan
secara limitatif dalam Pasal 184 ayat 1 KUHPidana. Yang artinya di luar alat bukti dalam
Pasal 184 ayat 1 KUHPidana, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa6. Alat bukti sah
dalam Pasal 184 ayat 1 KUHPidana, yaitu:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Apabila terdapat kontradiksi antar keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan
keterangan terdakwa maka Hakim dapat menggunakan alat bukti petunjuk. Yahya Harahap
mendefenisikan petunjuk dengan menambah beberapa kata yakni petunjuk adalah suatu
“isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi
mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai
persesuaian dengan tidak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut
“melahirkan” atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinnya
suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat 1 huruf d KUHAPidana, petunjuk merupakan
bagian keempat sebagai alat bukti. Esensi alat bukti petunjuk ini diatur dalam ketentuan
Pasal 188 KUHAPidana yang selengkap-lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik
antara satu dan yang lain, maupun tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.

6
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.
11.
4
3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan
kekuatannya dengan alat bukti yang lain yaitu mempunyai sifat kekuatan pembuktian
“yang bebas” artinya:7
a. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk,
oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya
dalam pembuktian;
b. Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan
terdakwa, dia tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena
itu agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus
didukung sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.

Kongkretnya, dengan titik tolak Pasal 188 ayat 2 KUHAPidana kata diperoleh
berarti diambil dari cara menyimpulkan yang hanya dapat ditarik atas keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa (de waarneming van de rechter) serta diperlukan apabila
bukti lain belum mencukupi batas minimum pembuktian. Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 183 KUHPidana yang menyebut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukanya”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur
untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana pada
seorang terdakwa, harus:8
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”.
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim
“memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukanya.

Dalam Pasal 197 ayat 1 huruf d KUHPidana menyebut putusan pemidanaan harus
memuat pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar

7
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 317.
8
Ibid., hlm. 280.
5
penentuan kesalahan terdakwa. Apabila mencermati secara komprehensif ketentuan Pasal
197 ayat 1 huruf d KUHPidana maka fakta dan keadaan yang dimaksud adalah fakta yang
dijabarkan didalam pertimbangan Hakim terkait terbukti/ tidaknya unsur-unsur pasal yang
didakwakan tersebut dengan cara menunjuk atau mengambil alat bukti sah sebagaimana
diatur dalam Pasal 184 ayat 1 KUHPidana. Apabila tidak dipenuhi mengakibatkan putusan
batal demi hukum (Pasal 197 ayat 2 KUHPidana).
Dalam praktek peradilan, sesudah penyusunan keterangan saksi dan keterangan
terdakwa serta barang bukti, hakim akan menyusun fakta atau fakta hukum yaitu ringkasan
fakta atau keadaan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan
barang bukti. Disusunnya fakta hukum dimaksudkan untuk mengumpulkan keterangan
saksi dan terdakwa yang mengarah atau relevan dengan unsur pasal yang didakwakan guna
menyingkat dan memudahkan penyusunan pertimbangan unsur-unsur pasal yang
didakwakan. Namun demikian ada pula putusan yang tidak menuliskan fakta hukum
melainkan langsung ke pembahasan atau pertimbangan terbukti/tidaknya unsur-unsur pasal
yang didakwakan dengan cara menunjuk atau mengambil alat bukti keterangan saksi-saksi
dan atau keterangan terdakwa.9
Jadi kedua-duanya tepat, yang tidak tepat adalah kalau hakim menyusun lagi fakta
hukum tidak secara ringkas. KUHAP dan Mahkamah Agung sudah mewajibkan hakim
menyusun putusan secara ringkas. Yang tidak tepat lagi dan tidak seharusnya dilakukan
adalah mengutip lagi keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sampai detil di dalam
penyusunan fakta hukum, bahkan tidak jarang sudah menyatakan terdakwa pelaku yang
bersalah atau menyebut kualifikasi pidana, padahal hakim belum mempertimbangkan
terbukti/ tidaknya unsur-unsur pasal dakwaan.10

Contoh penyusunan fakta hukum yang kurang tepat:

- “Bahwa benar terdakwa melakukan penganiayaan kepada saksi korban”


- “Bahwa benar akibat perbuatan terdakwa saksi korban menderita luka berat”

Sebutan tersebut sudah bersifat kualifikasi pidana. Seharusnya dalam fakta hukum
hanya ditulis:

9
Modul Diklat Tahap 3, Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu Peradilan Umum, mengenai
“Teknik Membuat Putusan Pidana”, hlm. 12.
10
Ibid., hlm. 12.
6
- “bahwa terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban dengan
menggunakan barang bukti sebilah kayu ..dst”
- “bahwa saksi korban menderita luka-luka pada bagian tubuhnya sebagaimana
visum et repertum…”

Mengapa belum boleh mencantumkan sebutan kualifikasi pidana atau sebab akibat
di dalam fakta hukum, karena memang masih berupa fakta yang belum dinilai hakim/
belum dilakukan pembuktian dakwaannya. Dalam contoh kasus tersebut fakta bahwa saksi
korban menderita luka masih akan dilakukan pembuktian apakah luka korban tersebut
tergolong sebagai luka berat atau bukan dan masih akan dibuktikan apakah terdakwa
pelaku yang bersalah (punya kesalahan). Katakanlah misalnya terdakwa benar melakukan
pemukulan dengan sengaja. tetapi pemukulan tersebut dilakukan oleh terdakwa dalam
rangka pembelaan diri atau ada suatu keadaan memaksa (noodweer). Jika ternyata terbukti
dilakukan karena pembelaan diri atau noodweer tentu tidak dapat digunakan sebutan
melakukan “penganiayaan”. Demikian juga misalnya terdakwa terbukti melakukan
penganiayaan yang menimbulkan luka belum tentu luka tersebut ”luka berat”. Karenanya
tidak tepat jika hakim terlalu panjang lebar dan detil menyusun uraian fakta hukum dengan
menggunakan kalimat/ sebutan yang bersifat kualifikasi pidana.11

11
Ibid., hlm. 13.
7
D. PENUTUPAN
1. KESIMPULAN
Fakta hukum adalah fakta / keadaan yang tidak dibantah atau yang bersesuaian satu
sama lain berdasarkan keterangan saksi dan keterangan terdakwa serta barang bukti yang
relevan dengan unsur dakwaan. Hal-hal yang masih dipertentangkan antara alat bukti satu
dengan lainnya tidak dapat menjadi fakta hukum. Hal ini berbeda dengan fakta persidangan
yang berisi keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang bukti, dan fakta pembelaan.
Fakta hukum dapat disusun dengan 2 (dua) cara yaitu 1. Fakta hukum yang
diperoleh dari fakta persidangan yang sudah tidak dibantah atau diperdebatkan lagi,
disusun sesudah seluruh keterangan saksi dan keterangan terdakwa yang bertujuan untuk
memudahkan pembahasan pertimbangan unsur-unsur pasal yang didakwakan, 2. Tidak
menuliskan fakta hukum melainkan langsung ke pembahasan atau pertimbangan
terbukti/tidaknya unsur-unsur pasal yang didakwakan dengan cara menunjuk atau
mengambil alat bukti keterangan saksi-saksi dan atau keterangan terdakwa (Pasal 197 ayat
1 huruf d KUHPidana).

2. SARAN
1. Tidak perlu diperdebatkan lagi dualisme dalam penyusunan fakta hukum dalam suatu
putusan pidana. Kedua-duanya tepat, yaitu fakta hukum yang disusun diawal dan tidak
ada fakta hukum. Meskipun demikian ada atau tidaknya fakta hukum diawal hakim
wajib menyusun pertimbangan secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa (Pasal 197 ayat 1 huruf d KUHPidana). Fakta dan
keadaan yang dimaksud adalah fakta yang dijabarkan didalam pertimbangan Hakim
terkait terbukti/ tidaknya unsur-unsur pasal yang didakwakan tersebut dengan cara
menunjuk atau mengambil alat bukti sah. Apabila tidak dipenuhi mengakibatkan
putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat 2 KUHPidana).

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku
 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar
Maju, Bandung, 2003.
 M. Guntur Hamzah, dalam papernya yang berjudul “Hubungan antara Fakta, Norma,
Moral dan Doktrin Hukum dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Makassar.
 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2003.
 Modul Diklat Tahap 3, Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu
Peradilan Umum, mengenai “Teknik Membuat Putusan Pidana”.
 Sutiyoso Bambang, Metode Penemuan Hukum, Yogyakarta, 2006.

2. Artikel
 Berita Waspada On Line, KY Terima 968 Laporan Putusan Hakim Bermasalah,
(http://www.waspada.co.id/), tanggal 2 Desember 2009.
 Media Indonesia.Com atau klik
http://www.mediaindonesia.com/index.php/2010/02/02.

3. Perundang-undangan
 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana

Anda mungkin juga menyukai