Anda di halaman 1dari 17

ALAT BUKTI, BARANG BUKTI DAN TEORI PEMBUKTIAN

DALAM PERKARA PIDANA

1. Alat Bukti
Macam-macam alat bukti dalam perkara pidana adalah :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat Pasal 184 ayat (1)
KUHAP
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
f. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya Psl
5 ayat (1) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jo.
UU No. 19 Tahun 2016 ttg Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008.

Dari gambaran macam-macam alat-alat bukti di atas diketahui bahwa dalam perkara
pidana alat-alat bukti yang sah bukan saja sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal
184 ayat (1) KUHAP, melainkan pula alat bukti sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
5 ayat (1) No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang
menyebutkan: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.

Mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti telah ditegaskan dalam Pasal 185 ayat
(1) KUHAP yang menyebutkan bahwa “keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Dalam perkara pidana alat bukti keterangan
saksi dapat dikatakan merupakan alat bukti utama, karena dalam perkara pidana hampir
semua pembuktiannya menggunakan alat bukti keterangan saksi. Namun demikian dalam
praktek peradilan pidana tidak semua keterangan saksi yang disampaikan didepan sidang
pengadilan mempunyai nilai dan kekuatan pembuktian. Oleh karena itu agar keterangan
saksi memiliki nilai dan kekuatan pembuktian dan dianggap sah sebagai alat bukti, maka
menurut Yahya Harahap harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. saksi harus mengucapkan sumpah atau janji;


2. saksi melihat sendiri peristiwa pidana, saksi dengar sendiri, dan saksi mengalami
sendiri serta saksi harus menyebut alasan dari pengetahuannya itu;
3. keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;
4. keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup;
5. keterangan para saksi harus mempunyai saling hubungan serta saling menguatkan
tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu.1

Satu saksi bukan saksi (Unus Testis Nulus Testis)

Sifat Keterangan Saksi :


1. Saksi Fakta= Saksi yg mengetahui sendiri peristiwa pidana, saksi dengar
sendiri, dan saksi mengalami sendiri.
2. Saksi Cerita = saksi yg keterangannya berdasar cerita dari orang. Jadi cerita yg
diceritakan (Testimonium de auditu)

Keterangan saksi sebagai alat bukti dalam perkara pidana berbeda dengan keterangan
ahli, karena ahli dalam memberikan keterangannya tidak perlu melihat, mendengar dan
mengalami peristiwa atau keadaan tertentu terkait tindak pidana yang akan diterangkan,
melainkan ahli memberikan keterangan berdasarkan keahliannya. Dalam ketentuan Pasal 1
angka 28 KUHAP menyebutkan: ”keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Dari rumusan pengertian keterangan ahli sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 28


KUHAP di atas jika dilihat dari segi pembuktian, maka tujuan pemeriksaan keterangan
khusus dari ahli adalah untuk membuat terang suatu perkara pidana untuk penyelesaian
pemeriksaan perkara pidana yang bersangkutan. Oleh karena itu menurut Yahya Harahap
kalau perkara pidana sudah cukup terang tidak perlu diminta keterangan ahli, karena
bertentangan dengan tujuan pemeriksaan keterangan ahli ditinjau dari segi pembuktian.
Selanjutnya menurut Yahya Harahap untuk apa membuang waktu dan merepotkan
meminta keterangan ahli jika dari hasil pemeriksaan alat bukti lain kesalahan terdakwa
sudah cukup terang dan terbukti. Akan tetapi sebaliknya sidang pengadilan segera meminta
keterangan ahli, jika seandainya menurut majelis hakim pemeriksaan perkara itu gelap dan
samar tentang sesuatu keadaan yang memerlukan pemecahan oleh seorang ahli.2

1 Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, Dan Peninjauan Kembali”. Jakarta, Sinar Grafikasi Edisi Kedua cetakan kesepuluh, 2008, hlm. 286-290.
2 Ibid. hlm. 299
Keterangan ahli sebagai alat bukti dalam perkara pidana tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Menurut Koesparmono Irsan dkk.
bahwa nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli adalah :

a. Keterangan ahli mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau


vrijbewijskracht. Di dalam dirinya tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang
sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian Hakim, Hakim bebas
menilainya dan tidak terikat padanya, tidak ada keharusan bagi Hakim untuk
harus menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.
b. Disamping itu berdasarkan prinsip minimum pembuktian sebagaimana diatur
dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa
didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai
untuk membuktikan kesalahan terdakwa.3

Untuk memperoleh atau mendapatkan alat bukti keterangan ahli dapat dilakukan
dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1. Pada tahap penyidikan, penyidik dapat meminta keterangan ahli sebagaimana


tergambar dari ketentuan Pasal 133 KUHAP ayat (1) yang menyebutkan : dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban, baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga merupakan peristiwa tindak pidana, ia
berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
dan atau ahli lainnya;
2. Ahli dapat diminta memberi keterangan secara lisan di depan sidang pengadilan
sebagaimana ketentuan Pasal 179 dan Pasal 186 KUHAP yang pada intinya
menyatakan bahwa setiap orang yang diminta keterangannya sebagai ahli wajib
memberikan keterangannya demi keadilan. Keterangan ahli adalah apa yang
disampaikan di depan sidang pengadilan.

Alat bukti lainnya dalam perkara pidana yang dikenal dalam KUHAP adalah alat
bukti surat. Dalam ketentuan Pasal 187 KUHAP, menyebutkan : Surat sebagaimana
tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, adalah:

3 Koesparmono Irsan dkk. “Panduan Memahami Hukum Pembuktian Dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana”,
Bekasi, Gramata Publishing, 2016. Hlm. 256-257
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.

Dari ketentuan di atas tergambar bahwa tidak dijelaskan nilai kekuatan pembuktian
alat bukti surat. Hal ini berarti alat butki surat dalam perspektif Hakim memiliki nilai
kekuatan yang bebas, sehingga Hakim dapat menggunakan atau menyingkirkan alat bukti
surat. Dasar ketidakterikatan Hakim atas alat bukti surat menurut Koesparmono Irsah dkk.
didasarkan pada sejumlah asas:

a. Asas mencari kebenaran


Karena pemeriksaan perkara pidana adalah bermakna mencari kebenaran materiil
atau kebenaran sejati (materiil waarheid), bukan mencari kebenaran formal.
Berdasarkan asas mencari kebenaran ini maka Hakim bebas menilai kebenaran
yang terkandung dalam alat bukti surat. Walaupun dari segi formal alat bukti surat
sudah benar dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal itu masih
dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil
atau kebenaran sejati;
b. Asas keyakinan hakim
Asas ini tampak pada jiwa ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berhubungan erat
dengan ajaran sistem pembuktian yang dianut KUHAP, yaitu pembuktian
menurut undang-undang secara negatif. Disebut wettelijk atau menurut undang-
undang untuk pembuktian karena undang-undanglah yang menentukan tentang
jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada, dan disebut negatif karena adanya
jenis-jenis dan banyaknya alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang itu
belum dapat membuat Hakim harus menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa
apabila jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan
keyakinan Hakim bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya;
c. Asas batas minimum pembuktian
Alat bukti surat tidak mampu untuk mempunyai kekuatan pembuktian yang
berdiri sendiri, walaupun dari segi formal alat bukti surat resmi atau autentik
berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan undang-undang adalah alat bukti
yang sah dan sempurna. Namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti
surat yang bersangkutan tidak mendukungnya untuk berdiri sendiri. Ia tetap
memerlukan dukungan alat bukti lain.4

Penentuan bersalah tidaknya terdakwa yang dituding sebagai pelaku tindak pidana
dapat pula ditentukan berdasarkan alat bukti petunjuk yang merupakan salah satu alat
bukti yang sah dalam perkara pidana. Mengenai batasan alat bukti petunjuk dan
darimana diperoleh alat bukti petunjuk maupun nilai kekuatan pembuktiannya telah
digariskan dalam ketentuan Pasal 188 KUHAP yang menyebutkan :
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a.keterangan saksi;
b.surat;
c.keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan
berdasarkan hati nuraninya.

Dari ketentuan di atas diketahui bahwa alat bukti petunjuk seperti halnya alat-alat
bukti lainnya dalam perkara pidana tidak dapat berdiri sendiri untuk dapat menentukan
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut
umum dalam surat dakwaannya. Bahkan alat bukti petunjuk tidak tampil secara konkrit dan
kasat mata seperti halnya alat bukti lainnya, melainkan ia ada dari alat bukti keterangan
saksi, surat dan keterangan terdakwa atas penilaian dan pertimbangan Hakim.

Seiring dengan perkembangan modus tindak pidana menggunakan media elektronik


maupun sarana mengungkap tindak pidana dengan menggunakan informasi elektronik,
maka secara khusus dalam tindak pidana korupsi alat bukti petunjuk bukan saja diperoleh
dari alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana digariskan
dalam ketentuan Pasal 188 KUHAP, melainkan alat bukti petunjuk juga dapat diperoleh
dari alat bukti Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, misal dalam tindak
pidana korupsi menyebutkan alat bukti Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

4 Ibid. hlm. 267-270


merupakan alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan Pasal 26A Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan :

“alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat
(2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak
pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu;
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan
atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan atau tanpa bantuan sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, poto, huruf,
tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna”.

Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, alat bukti petunjuk terikat pada prinsip
batas minumum pembuktian. Dengan demikian agar alat bukti petunjuk memperoleh nilai
kekuatan pembuktian yang cukup dan dapat digunakan sebagai dasar penjatuhan pidana
pada terdakwa, maka alat bukti petunjuk harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu
alat bukti yang lain.

Penetapan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang


didakwakan penuntut umum dapat pula terungkap dari keterangan terdakwa di depan
sidang pengadilan, karena keterangan terdakwa merupakan salah satu alat bukti yang sah
selain alat bukti yang lain. Mengenai pengertian dan kedudukan keterangan terdakwa
sebagai alat bukti dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 189 KUHAP yang menyebutkan:

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh
suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap diri sendiri;
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain.
Keterangan terdakwa di depan sidang pengadilan pada umumnya adalah keterangan
yang telah disampaikan pada pemeriksaan tingkat penyidikan dan telah tergambar dalam
berkas penyidikan. Namun demikian dalam praktek peradilan pidana seringkali terdakwa
mencabut apa yang telah diterangkan pada tingkat penyidikan dengan berbagai alasan
seperti ketika dalam proses penyidikan terdakwa berdalih ia ditekan dan dipaksa mengakui
perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya. Pencabutan keterangan terdakwa di depan
sidang pengadilan terhadap apa yang telah diterangkan dalam Berita Acara Penyidikan
seringkali pula atas anjuran penasihat hukumnya dengan maksud untuk menghindari
jeratan hukum.

Dewasa ini seiring dengan dinamika modus operandi tindak pidana sebagai dampak
perkembangan teknologi informasi, maka alat-alat bukti yang sah bukan saja sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut, melainkan pula alat bukti
sebagaimana diatur dalam ketentuan UU ITE. Dalam ketentuan Pasal 5 UU ITE
menyebutkan :

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya


merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU ITE tersebut di atas diketahui bahwa Informasi


Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah. Alat bukti ini tidak ada diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP. Oleh
karena itu alat bukti Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik merupakan
perluasan dari alat-alat bukti yang diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP. Alat bukti
ini baru dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008.
Mengenai apa yang dimaksud dengan Informasi Elektronik dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 1 angka 1 UU ITE yang menyebutkan :

“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya”.

Adapun dokumen elektronik menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 UU ITE


menyatakan :

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,


dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar
melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan 4 UU ITE tersebut di atas tergambar tiga unsur
penting dari alat bukti informasi elektronik dan atau dokumen elektronik, yaitu pengiriman,
penerimaan dan penyimpanan informasi elektronik melalui dan pada dokumen elektronik
yang cakupan bentuknya sangat beragam tidak hanya dalam bentuk pesan tulisan
elektronik, suara maupun gambar/poto dan video serta telecomprence.

Di dalam ketentuan Pasal 5 UU ITE terbaca pula bahwa alat bukti informasi
elektronik dan atau dokumen elektronik bukan menjadi domain publik untuk dapat
memahaminya, melainkan hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu yang memiliki
keahlian khusus dibidang teknologi informasi. Informasi elektronik dan atau dokumen
elektronik baru dapat dipandang sah sebagai alat bukti apabila menggunakan system
elektronik. Sedangkan batasan apa yang dimaksud dengan sistem elektronik dapat dibaca
dari ketentuan Pasal 1 angka 5 UU ITE yang menyatakan bahwa :

“sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang


berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi
Elektronik”.
Penggunaan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik sebagai alat bukti
berkenaan dengan telah dilakukan perbuatan hukum atau hubungan hukum melalui
transaksi elektronik. Sebab ketentuan Pasal 1 angka 2 UU ITE menyebutkan bahwa
“transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya”.

2. Barang Bukti

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ditemukan


satu pasal pun yang memberi pengertian tentang barang bukti. Menurut Ratna Nurul Afiah
benda-benda yang dapat disita seperti disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat
disebut barang bukti.5 Adapun benda-benda yang dapat disita sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP, yaitu:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak
pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.

Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti
mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik
dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang
merupakan hasil dari suatu delik.6 Istilah delik sama dengan tindak pidana, peristiwa
pidana dan perbuatan pidana. Tindak pidana jika mengacu Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) terdiri dari kejahatan dan pelanggaran. Dengan demikian apabila mengacu
pendapat Andi Hamzah, maka barang bukti terkait dengan dilakukannya kejahatan atau
pelanggaran. Beda dengan Andi Hamzah, Martiman Prodjohamidjojo, menyatakan
bahwa barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan.7 Dengan demikian

5 Ratna Nurul Afiah, dalam Hukum Online.com. diupload tangal 10 Nopember 2011, dan diakses pada tanggal 3
Maret 2017.
6 Andi Hamzah, “ Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta , Sinar Grafika, 2006. hlm. 254
7Martiman Prodjohamidjojo, dalam Hukum Online.com.
menurut Martiman Prodjohamidjojo barang bukti hanya berkenaan dengan tindak pidana
dalam ranah kejahatan, dan bukan pelanggaran.

Dari doktrin hukum di atas memberi petunjuk bahwa barang bukti dalam tindak
pidana adalah barang yang dipergunakan untuk melakukan dan membantu tindak pidana,
barang yang menjadi sasaran tindak pidana, barang sebagai hasil dari tindak pidana dan
barang yang menunjukkan telah terjadinya tindak pidana.

Barang yang menunjukkan telah terjadinya tindak pidana dapat pula berupa rekaman
atau hasil rekaman yang tersimpan dalam media elektronik, baik berupa suara
pembicaraan, foto, video, tulisan dan sebagainya. Dalam Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer karangan Peter Salim dkk. menyatakan bahwa rekaman adalah cetakan dan
sebagainya yang direkam; hasil merekam. 8 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
20/PUU 20/PUU-XIV/ 2016, tanggal 7 September 2016 pada bagian pertimbangan hukum
halaman 96 menyatakan bahwa dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan adalah
real evidence atau physical evidence.

Menurut Hj. Efa Laela Fakhriah bahwa real evidence biasanya berbentuk benda atau
barang yang dijadikan bukti dalam pemeriksaan di pengadilan yang dapat digunakan untuk
membuktikan baik secara langsung ataupun tak langsung. 9
Adapun macam-macam real
evidence menurut Adrian Keane sebagaimana dikutip oleh Hj. Efa Laela Fakhriah adalah
material objects (benda/barang); the appearance of persons and animal (orang atau
binatang); the demeanour of witnesses (sikap/tingkah laku saksi); documents (surat-surat);
tape recordings (tape perekam) dan pictorial evidence seperti photographs (foto); x-rays
(sinar x), dan motion picture (film); views (pendapat/pandangan) dan demonstration
(demonstrasi) misalnya peta, diagram atau model.10

Menurut Elisabeth Nurhaini Butarbutar bahwa dalam praktek dikenal barang bukti
sebagai alat bukti yaitu benda bergerak atau tidak berwujud yang dikuasai oleh penyidik
sebagai hasil dari serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan dan atau

8 Peter Salim dkk, “Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer”. Jakarta, Modern English Press. 2002, hlm. 1253.
9 Hj. Efa Laela Fakhriah, “ Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata”, Bandung, Alumni, 2011, hlm. 172.
10 Ibid.
penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan peradilan.11

Dalam praktek peradilan pidana, barang bukti merupakan penunjang dan menguatkan
alat bukti dalam rangka mencari dan menemukan kebenaran materiil. Oleh karena itu
barang bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam perkara pidana.
Signifikansi keberadaan barang bukti dalam perkara pidana tergambar dari pendapat
Syaiful Bakhri yang menyatakan bahwa barang bukti adalah alat atau sarana yang dipakai
untuk melakukan tindak pidana untuk menjadi obyek tindak pidana dan hasilnya akan
dijadikan bukti fisik atau materiil yang dapat menjadi bukti dilakukannya tindak pidana.12

Dalam pemeriksaan perkara pidana di depan sidang pengadilan, Hakim akan


menanyakan dan menunjukkan atau memperlihatkan barang bukti kepada saksi dan
terdakwa. Dalam ketentuan Pasal 181 KUHAP menyebutkan bahwa majelis Hakim harus
memperlihatkan segala barang bukti kepada terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah
terdakwa mengenali barang bukti tersebut.

Tujuan Hakim menunjukkan atau memperlihatkan barang bukti kepada saksi dan
terdakwa dalam persidangan pengadilan untuk membuat terang terjadinya suatu tindak
pidana yang akan digunakan sebagai bahan pembuktian untuk menunjang keyakinan hakim
atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum dalam
surat dakwannya. Namun demikian meskipun barang bukti mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam perkara pidana, tetapi keberadaan barang bukti menurut Ratna Nurul
Afiah tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada sejumlah tindak pidana yang
dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti seperti tindak pidana
penghinaan secara lisan.13

11 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, “Hukum Pembuktian Analisis terhadap Kemandirian Hakim sebagai Penegak
Hukum dalam Proses Pembuktian”, Bandung, Nuansa Aulia, 2016, hlm. 146.
12 Syaiful Bakhri, “Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktek Peradilan”, Jakarta, Gramata Publishing, 2012,
hlm. 84
13 Ratna Nurul Afiah, Op. cit.
3. Teori Pembuktian Dalam Perkara Pidana

Pembuktian adalah jantung dan roh dalam perkara di depan sidang pengadilan.
Perbuatan hukum, peristiwa hukum dan hubungan hukum sebagai dasar melakukan
tuntutan hukum kepada seseorang atau badan hukum harus dapat dibuktikan di depan
sidang pengadilan. Demikian pula dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap seseorang
yang dituding pelaku tindak pidana maupun bantahan/sanggahan yang disampaikan oleh
seseorang atas dakwaan yang dituduhkan kepadanya harus pula dapat dibuktikan di depan
sidang pengadilan.
Mengenai apa yang dimaksud dengan pembuktian, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun berbagai peraturan hukum acara pidana yang
tersebar di luar KUHAP tidak memberikan batasan tentang pengertian pembuktian.
Namun demikian meskipun KUHAP dan peraturan hukum acara pidana yang tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak memberikan pengertian mengenai
pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari
pembuktian. Dalam arti yuridis Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa pembuktian
adalah memberi dasar-dasar yang cukup pada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan untuk memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.14
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo di atas dapat diperoleh petunjuk
bahwa pembuktian merupakan usaha dan tindakan untuk meyakinkan hakim tentang
kebenaran peristiwa atau fakta yang disampaikan oleh pihak yang menuntut atau pihak
yang dituntut untuk meyakinkan hakim terhadap peristiwa atau fakta dalam versi pihak
yang dituntut. Mengenai hal ini Subekti menyatakan bahwa pembuktian ialah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
sengketa15.
Berkenaan dengan tujuan pembuktian, Martiman Prodjohamidjojo juga
menyatakan bahwa pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha
untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut16.
14 Sudikno Mertokusumo “Hukum Acara Perdata” Liberti Jogyakarta, 2006, halaman 109.
15 Subekti “Hukum Pembuktian”, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001, halaman 1.
16 Martiman Prodjohamidjojo “Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana",
Jakarta: Pradnya Paramitha, 1984, halaman 11.
Pendapat Subekti dan Martiman di atas diperoleh petunjuk bahwa pembuktian
atau membuktikan adalah upaya mengungkap kebenaran tentang fakta kejadian atau
peristiwa yang disampaikan oleh pihak yang menunut di depan sidang pengadilan.
Secara hukum upaya mengungkap kebenaran tentang fakta kejadian atau peristiwa
bukan saja menjadi domain pihak yang mengajukan tuntutan hukum, melainkan pula
menjadi hak dari pihak yang dituntut. Dalam konteks ini pihak yang dituntut menurut
hukum dapat mengajukan fakta kejadian atau peristiwa yang berbeda dengan pihak
yang menuntut melalui media pembuktian.
Dalam perkara pidana, pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-
ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan17.
Dari pendapat Yahya Harahap di atas, diperoleh gambaran bahwa pembuktian
dalam perkara pidana harus mengacu pada alat-alat bukti yang telah digariskan dalam
peraturan perundang-undangan. Pembuktian tentang kesalahan terdakwa di depan
persidangan baru dipandang sah apabila menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut
hukum. Sebaliknya pembuktian tentang benar tidaknya tindak pidana sebagaimana yang
dituduhkan kepada terdakwa dalam surat dakwaan penuntut umum dengan
menggunakan alat-alat bukti yang tidak ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan menurut hukum dipandang tidak sah dan tidak memiliki nilai kekuatan
pembuktian.
Dalam sejarah dan perkembangan hukum acara pidana dikenal sejumlah teori
pembuktian yang bervariasi menurut waktu dan tempat (negara). Adapun sejumlah teori
pembuktian yang dikenal dalam perspektif hukum acara pidana adalah sebagai berikut :
a) Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Positif (Positief
Wettelijk Bewijs Theorie)

Menurut teori positif wetteljik ini pembuktian terhadap perbutaan seseorang yang
dituding sebagai pelaku tindak pidana hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang telah

17 M.Yahya Harahap. Op. Cit hlm. 273.


digariskan dalam peraturan perundang-undangan tanpa memerlukan adanya keyakinan
hakim. Dalam persepktif ajaran teori pembuktian positif wetteljik sekalipun hakim yakin
akan kesalahan terdakwa setelah menggali fakta dan peristiwa berkenaan dengan tindak
pidana yang ditudingkan kepada terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan persidangan
pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-
undang, maka hakim harus membebaskan terdakwa. Menurut teori positif wetteljik
apabila perbuatan terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang
sah menurut undang-undang, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan harus
dijatuhi pidana. Teori positif wetteljik mengenyampingkan subyektifitas hakim
sekalipun didasarkan pada penilaian peristiwa yang melingkupi tindak pidana hakim
tidak yakin terdakwa sebagai pelaku tindak pidana. Namun demikian sekalipun teori
positif wetteljik tidak memberi peluang adanya keyakinan hakim yang
terkomfigurasikan dengan alat-alat bukti sah menurut peraturan perundang-undangan,
akan tetapi disi lain ajaran teori positif wetteljik memiliki kebaikan, yakni hakim akan
berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga
benar-benar obyektif dalam menjatuhkan putusan lantaran mengacu pada cara-cara dan
alat bukti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

b) Sistem Atau Teori Pembuktian Hanya Berdasarkan Keyakinan Hakim Saja


(Conviction Intime)

Teori pembuktian Convition Intime merupakan kebalikan dari teori positif


wetteljik, teori pembuktian Convition Intime mengedepankan penilaian keyakinan
hakim  yang didasarkan hati nuraninya sendiri sebagai dasar satu-satunya alasan
untuk membuktikan perbuatan terdakwa dan menghukum terdakwa. Dalam
perspektif teori convition intime keyakinan hakim tidak perlu didukung oleh alat-
alat bukti sah yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian menurut ajaran teori pembuktian convition intime sekalipun alat bukti
tidak ada, tetapi apabila hakim telah yakin terdakwa sebagai pelaku tindak pidana
sebagaimana dalam surat dakwaan, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan
harus dijatuhi pidana. Implikasi penerapan teori pembuktian convition intime
menjadikan hakim sangat subyektif dalam menentukan kesalahan terdakwa dan
memutus perkara. Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa :

“Teori atau sistem pembuktian convition intime pernah dianut di Indonesia,


yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini
memungkinkan Hakim menyebutkan apa saja yang mendasari keyakinan
hakim, misalnya keterangan medium atau dukun. Sistem pembuktian ini
memberikan kebebasan yang sangat luas kepada hakim, sehingga sangat sulit
untuk diawasi. Hal ini menyebabkan banyak putusan-putusan yang aneh serta
putusan-putusan bebas. Sistem pembuktian conviction intime banyak
digunakan oleh negara-negara yang menggunakan sistem peradilan juri (jury
rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat”.18

c) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
(La Conviction In Raisonee)

Teori atau sistem pembuktian La Convition In Raisone adalah teori atau


sistem pembuktian jalan tengah antara teori pembuktian berdasarkan undang-
undang dan teori berdasarkan keyakinan hakim saja. Teori La Convition In Raisone
mengutamakan penilaian hakim sampai batas tertentu sebagai dasar satu-satunya
alasan untuk menghukum terdakwa. Dalam perspektif teori La Convition In
Raisone hakim dapat memutuskan terdakwa bersalah berdasarkan keyakinan hakim
yang muncul dari dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan dengan
mengacu pada peraturan pembuktian tertentu. Keyakinan hakim atas kesalahan
terdakwa tidak perlu didukung dengan alat-alat bukti sah yang digariskan dalam
peraturan perundang-undangan karena memang tidak disyaratkan. Jadi sekalipun
alat-alat bukti telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi tidak
mengikat hakim untuk mendukung keyakinannya. Bahkan alat-alat bukti yang tidak
digariskan atau tidak ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dapat
dijadikan oleh hakim untuk mendukung keyakinan hakim dalam menentukan
terdakwa bersalah dan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa.
Paradigma teori La  Convition In Raisone mengedepankan keyakinan hakim harus
didasarkan pada alasan-alasan yang logis, sehingga penggunaan alat-alat bukti yang
diatur atau tidak dalam peraturan perundang-undangan untuk mendukung

18. Hari Sasangka dan Lili Rosita, “Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana”. Bandung: Mandar Maju.
2003, hlm. 15.
keyakinan hakim harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Oleh karena teori
La  Convition In Raisone sangat memberikan kebebasan kepada hakim untuk
mengurai alasan-alasan keyakinannya apakah akan mengacu pada alat-alat bukti
yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan atau mengacu pada alat-alat
bukti di luar peraturan perundangan, maka teori La Convition In Raisone disebut
dengan teori atau sistem pembuktian bebas.19

d) Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief


Wettelijke Bewijstheorie)

Teori atau sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem
yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem
pembuktian conviction intime. Sistem pembuktian negatief wettelijk ini merupakan
sistem pembuktian jalan tengah yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas
tertentu. Sama halnya dengan teori pembuktian La Conviction In Raisone yang juga
melekatkan keharusan keyakinan hakim. Artinya hakim hanya boleh menyatakan
dan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
apabila ada keyakinan Hakim. Sedangkan titik perbedaan antara teori pembuktian
La Conviction In Raisone dengan teori pembuktian negatief wettelijk bahwa pada
teori pembuktian la conviction in raisone keyakinan hakim itu harus didasaran
kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis dan tidak didasarkan pada Undang-
undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri,
menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan
dipergunakan. Sedangkan Negatief Wettelijke Bewijstheorie berpangkal pada
aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang,
tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim. Oleh karena itu, walaupun
kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah
menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan
terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya meskipun hakim
yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat

19.Desmon Sitorus, http://thezmoonstr.blogspot.com/2013/07/sistem-atau-teori-pembuktian.html.


diupload tanggal 8 Juli 2013. Diakses tanggal 2 Nopember 2013.
bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan
terdakwa tidak terbukti.20

Dari sejumlah teori pembuktian sebagaimana digambarkan di atas, sistem


peradilan pidana Indonesia menganut teori atau sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie) sebagaimana dapat diketahui
dari amanat ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut, maka hakim peradilan


pidana Indonesia dalam menentukan terbuktinya perbuatan pidana yang didakwakan
oleh jaksa penuntut umum harus berdasarkan minimal dua alat bukti yang telah
ditentukan dalam peraturan perundangan dan ditambah dengan keyakinan hakim.
Dengan demikian minimal dua alat bukti yang sah yang telah digariskan dalam
peraturan perundangan harus dapat memunculkan keyakinan hakim, sebaliknya
keyakinan hakim harus muncul dari dua alat bukti yang sah sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.

20 Adnan Paslyadja. “Hukum Pembuktian. Jakarta: Pusat Diklat Kejaksaan Republik Indonesia”. 1997, hlm.
16-22.

Anda mungkin juga menyukai