PENDAHULUAN
World Trade Organization ( WTO Agreement) melalui Undang-undang No.7 Tahun 1994.
Nasionalnya. Indonesia sebagai Negara anggota WTO diberikan kebebasan untuk membuat dan
mengaplikasikan prosedur hokum nasionalnya sendiri yang secara otomatis harus konsisten
Secara umum pengertian remedi perdagangan mengacu kepada tindakan atau kebijakan
pemerintah untuk meminimalkan dampak negatif dari impor terhadap industri dalam negeri.
Remedi perdagangan ini diperlukan mengingat impor, baik yang dilakukan secara tidak jujur
(unfair trade) maupun secara jujur (fair trade) tidak jarang dapat merugikan industri dalam
negeri. Impor yang dilakukan secara tidak jujur dan merugikan industri dalam negeri adalah
impor produk-produk asing dengan harga dumping, yaitu harga di bawah harga normal, dan
impor produkproduk asing yang bersubsidi. Sedangkan impor yang dilakukan secara jujur tetapi
dapat merugikan industri dalam negeri adalah impor yang jumlahnya melonjak secara cepat dan
tidak wajar. 1
1
Nandang Sutrisno, Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri,
JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007, hlm.231
1
Kebijakan perdagangan Indonesia di sektor agribisnis disorot sejumlah negara. Dua
kebijakan terakhir yang menuai gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade
Organization (WTO) salah satunya adalah aturan pengetatan impor hortikultura dan
pemberlakuan kuota impor daging sapi. Selain pembatasan impor daging Indonesia, AS
mengeluhkan pengetatan impor produk hortikultura oleh Indonesia. Negeri Barack Obama itu
menilai kebijakan pengetatan impor tersebut merupakan bentuk dan upaya melindungi industri
dalam negeri. Cara-cara seperti ini dinilai Amerika Serikat melanggar aturan WTO. 2
komoditas buah dan sayur mulai 1 Januari 2013.Aturan Impor hortikultura juga tertuang dalam
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor
Produk Hortikultura.Dan Permentan nomor 60 Tahun 2012 tentang rekomendasi impor produk
3
hortikultura (RIPH) Dari 20 komoditas tersebut ada 7 komoditas hortikultura yang dibatasi
jumlah kuota impornya masuk ke Indonesia sampai 30 Juni 2013. "7 komoditas tersebut antara
lain, Bawang yang terdiri dari bayang bombay, bawang merah dan bawang putih, jeruk yang
terdiri dari jeruk siam, jeruk mandarin, lemon dan pamelo, Anggur, Apel dan lengkeng. 4
RUMUSAN MASALAH
2. Bagaimana kebijakan pembatasan impor tersebut ditinjau dari ketentuan Special and
2
PEMBAHASAN
berkembang melalui berbagai ketentuan yang disebut Special and Differential Treatment (S&D).
Secara umum S&D merujuk kepada hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang
diberikan WTO kepada negara berkembang, dan tidak diberikan kepada negara maju. Dimuatnya
berkembang ke dalam sistem perdagangan multilateral, dan untuk membantu negara berkembang
Dispute Settlement Understanding (DSU) adalah tulang punggung dari rejim perdagangan
multilateral saat ini. Sistem ini diciptakan oleh para Negara anggota WTO pada saat Uruguay
Round dengan harapan untuk menciptakan suatu sistem yang kuat dan dapat mengikat semua
pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan system
penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar negara anggota dapat mematuhi peraturan-
Sistem penyelesaian perselisihan WTO dibentuk setelah berakhirnya GATT. Ketentuan yang
menetapkan penyelesaian perselisihan baru ini adalah the Uruguay Round Understanding on
Rules and Procedure Governing the Settlement of Disputes (Dispute Settlement Understanding
atau DSU).
5
Nandang Sutrisno, Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan Khusus dan
Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam Penyelesaian Sengketa, JURNAL
HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 16 OKTOBER 2009, hlm.2
6
Freddy Josep Pelawi, artikel “PENYELESAIAN SENGKETA WTO DAN INDONESIA”, Jurnal Departemen
Perdagangan Republik Indonesia, (2006)
3
Pasal 3.1 DSU tersebut menegaskan kembali penerapan Pasal XXII dan XXIII ketentuan GATT
1947. Ketentuan dalam WTO menyediakan ketentuan lain selain yang diatur dalam perjanjian ini
atau dalam Multilateral Trade Agreements, ketentuan WTO akan mengikuti keputusan, Prosedur,
dan cara pelaksanaan perjanjian para pihak berdasarkan ketentuan GATT 1947. Ada tiga
lembaga penyelesaian perselisihan dalam WTO, yang pertama adalah Dispute Settlement Body
(DSB), yang berwenang untuk membentuk panel, menerima laporan panel dan badan banding
(Appellate Body), mengawasi implementasi putusan dan rekomendasi serta berwenang untuk
memberikan sanksi atas tidak dipatuhinya putusan penyelesaian perselisihan. Dewan Umum
(General Council) WTO bertugas sebagai DSB, namun pengurusan DSB berbeda dengan
pengurusan Dewan Umum, DSB memiliki ketua sendiri dan mengikuti prosedur tersendiri yang
bebeda dengan ketentuan-ketentuan Dewan Umum. Karena DSU menerapkan prinsip penafsiran,
maka panel dan badan banding harus mampu untuk menerapkan aturan sesuai dengan keadaan
yang relevan. Atau, beberapa permasalahan hukum yang melibatkan hukum internasional publik
bisa menjadi subyek permohonan WTO untuk berkonsultasi meminta pendapat atau nasehat dari
Mahkamah International. Namun, dalam Prosedur meminta nasehat ini, akan menjadi tidak
praktis dan memakan waktu lama karena DSB dan dewan umum harus setuju untuk membuat
permintaan dan masalah tersebut harus diperdebatkan dan diputuskan secara terpisah oleh
Mahkamah Internasional. System penyelesaian WTO bertujuan memelihara hak dan kewajiban
Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan, negara-negara
anggota yang bersengketa tetap diharapkan untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan
masalah mereka sendiri sebelum terbentuknya panel. Oleh karena itu, tahap pertama yang
7
Peter Van den Bosch, et.al, Pengantar Hukum WTO, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2010 ,Hlm.98
4
dilakukan adalah konsultasi antar pemerintah yang terlibat dalam suatu kasus. Bahkan sekiranya
kasus tersebut melangkah ke kasus berikutnya, konsultasi dan mediasi tetap dimungkinkan.
Dalam prosedur penyelesaian sengketa, pertama yang dilakukan antar Negara yang bersengketa
adalah melakukan konsultasi , konsultasi adalah tahap pertama penyelesaian sengketa dan
biasanya berlangsung dalam bentuk informal atau negosiasi formal, seperti melalui saluran
diplomatic.8 Kedua Negara yaitu Indonesia dan Amerika Serikat telah melakukan tahap
konsultasi yaitu Delegasi Kementerian Perdagangan Amerika Serikat dan Indonesia telah
berunding mengenai kisruh pembatasan impor hortikultura di Jakarta pada 21 Februari 2013.
Namun, pertemuan tersebut belum menemui titik terang.9 Pada tahap berikutnya adalah
pembentukan Panel. Pembentukan Panel ini sebagai upaya akhir ketika penyelesaian secara
bilateral gagal, fungsi utama panel adalah membantu penyelesaian secara obyektif dan untuk
memutuskan apah suatu subyek atau obyek perkara telah melanggar perjanjian cakupan WTO.
Panel memformulasikan rekomendasi atau putusan.10 Faktanya Setelah gagal pada fase konsultasi,
yang terdiri dari negara-negara anggotanya untuk memberikan persetujuan atau penolakan
tentang kebijakan perdagangan Indonesia.11 Putusan panel dan badan banding WTO akan
mengikat kepada para pihak yang bersengketa setelah badan penyelesaian sengketa tersebut
menetapkanya, putusan tersebut tidak terikat dengan isi perjanjian WTO, dan tidak memiliki
pengaruh hukum pada anggota WTO lainnya. Putusan tersebut juga tidak menjadi yurisprudensi
yang mengikat secara hukum dalam kasus-kasus berikutnya. Namun demikian, putusan tersebut
8
Pasal 4 DSU. Uraian mengenai status proses konsultasi berdasarkan system penyelesaian sengketa WTO, lihat
WTO website:http://www.wto.org/wto/dispute/bulletin.htm diakses tanggal 25 Agustus 2013
9
http://www.neraca.co.id/harian/article/25680/Soal.Pembatasan.Impor.RIAS.Belum.Capai.Titik.Temu,
diakses 25 Agustus 2013
10
Pasal 4 paragraf 1 DSU
11
http://bisnis.liputan6.com/read/550858/Sengketa-Hortikultura-AS-versus-RI-Diputuskan-oleh-150-Negara-
WTO, diakses 25 Agustus 2013
5
merupakan bukti telah diterapkanya perjanjian WTO, dan mekanisme penyelesaian sengketa
panel dan badan banding berikutnya bebas untuk mengutipnya dengan mengandalkan penalaran
mereka. Dengan menggunakan penalaran persuasif, meskipun putusan tersebut tidak diterapkan
secara keseluruhan, namun putusan tersebut dapat dikutip dan digunakankan oleh panel
berikutnya. Pada kenyataannya, panel dan badan banding selanjutnya akan meneliti dan
mengkaji putusan terdahulu ketika berhadapan dengan perselisihan yang sama dan mencoba
untuk tidak menyimpang dari interpretasi yang ditetapkan oleh putusan terdahulu tersebut.12
Terdapat 145 ketentuan S&D, tersebar dalam berbagai perjanjian WTO, 107 di antaranya
diadopsi pada Putaran Uruguay, dan 22 secara khusus diperuntukkan bagi negara terbelakang
berkembang;
6
(vi) Ketentuan-ketentuan khusus bagi negara terbelakang.13
Akan tetapi ternyata pada prakteknya ketentuan-ketentuan S&D belum diterapkan dengan baik ,
ketentuan-ketentuan S & D termasuk penegakan hokum atas penyelesaian sengketa yang terjadi
berkembang, tetapi juga, terutama oleh karakter hukum dari ketentuan-ketentuan S&D sendiri
yang pada umumnya tidak dapat ditegakkan. Hal ini disebabkan, sebagaimana yang
dikemukakan Indonesia, karena ketentuan ketentuan S&D tidak operasional dan tidak mengikat
secara hokum. Padahal didalam ketentuan S&D tersebut, seolah banyak sekali memberikan
kesempatan dan perlindungan bagi Negara-negara berkembang dalam menyesuaikan aturan dan
kebijakan-kebijakan agar sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh WTO. Indonesia
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.Dan Permentan nomor 60 Tahun 2012 tentang
rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) terkait pembatasan impor beberapa produk
hortikultura pada dasarnya mengacu pada kepentingan dalam negerinya sebagaimana layaknya
Negara berkembang yang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan petani lokal didalam
negerinya.
Dilihat dari sisi penegakan hokum dalam proses penyelesaian di WTO, dimana kembali
Negara berkembang disejajarkan dengan Negara-negara maju yang sudah terlebih dulu
menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam WTO di Negara mereka. Maka dari itu ketika
muncul persoalan terkait sengketa, Negara berkembang tidak dapat mengacu kepada ketentuan-
7
tertentu, dan pada saat yang sama mereka juga tidak dapat mempertahankan hak-hak mereka
berdasarkan ketentuan-ketentuan S&D. Sebagaimana yang tercermin dalam laporan CTD, negara
ketentuanketentuan S&D dan menyatakan tidak adanya kepastian sama sekali bahwa ketentuan-
14
ketentuan S&D dapat ditegakkan dalam praktek penyelesaian sengketa. Dalam penyelesaian
sengketa juga telah dikemukakan dalam kaitannya dengan metode interpretasi yang diterapkan
oleh para hakim, baik pada tingkatan Panel maupun Appellate Body. Dalam menginterpretasikan
ketentuan-ketentuan tersebut, para hakim cenderung untuk menerapkan metode penafsiran yang
lebih ketat. Sebagaimana dikemukakan oleh Mesir, misalnya, “developing countries have been
15
witnessing a trend towards stricter interpretation of S&D provisions.” hal ini tidak menutup
kemungkinan akan diberlakukan juga pada Indonesia pada saat siding Panel nantinya.
Indonesia sebagai negara anggota WTO juga memiliki kewenangan untuk malakukan
tuduhan anti dumping berupa pengenaan bea masuk anti dumping, tuduhan anti subsidi dalam
hal ini yaitu pengenaan bea masuk imbalan dan tindakan safeguard berupa pengenaan tarif, kuota
atau keduanya.16
Secara umum penerapan remedi perdagangan didesain untuk meratakan kembali lapangan
permainan (to level the playing field) yang sempat terganggu akibat adanya praktek dagang yang
curang yang dimainkan produsen asing atau akibat meningkatnya secara drastis kompetisi yang
14
Committee on Trade and Development, ‘Concerns Regarding Special and Differential Treatment Provisions in
WTO Agreements and Decisions,’ WT/COMTD/W/66, 16 February 2000, 31. Dikutip dari Nandang Sutrisno,
Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan Khusus dan Berbeda Bagi Negara
Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam Penyelesaian Sengketa, JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS
VOL. 16 OKTOBER 2009
15
General Council and Committee on Trade and Development, ‘Special and Differential Treatment for
Developing Countries in the Multilateral Trading System: Communication from Egypt,’ T/GC/W/109;
WT/COMTD/W/49, 5 November 1998, [93], Dikutip dari Nandang Sutrisno, Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World
Trade Organization tentang Perlakuan Khusus dan Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek
dan dalam Penyelesaian Sengketa, JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 16 OKTOBER 2009
16
Freddy Josep Pelawi, Op.Cit.
8
fair dengan produsen asing. Dengan kalimat lain, tindakan Anti Dumping dan Anti Subsidi
didisain untuk memberikan kesempatan kepada industri domestik untuk melakukan penyesuaian
tindakan safeguard adalah bahwa tindakan tersebut diperlukan mengingat akibat terbukanya
terhadap liberalisasi seringkali membawa dampak melonjaknya impor secara tibatiba dan dalam
jumlah yang tidak wajar. Hal ini merugikan atau berpotensi merugikan industri lokal, meskipun
harus diakui bahwa tidak ada unsurunsur kecurangan atau ketidakjujuran dalam praktek
perdagangan eksportir asing. Remedi perdagangan, dalam hal ini tindakan safeguard baik berupa
pengenaan bea masuk tambahan dan/atau pembatasan impor diperlukan untuk memberi
kesempatan kepada industri lokal untuk “bernafas” dari masifnya kompetisi asing. Selama masa
dengan kondisi persaingan baru, baik dengan cara menambah permodalan atau pembelian mesin-
mesin baru, sehingga di akhir masa remedi industri lokal bisa bersaing dengan eksportir asing.
Selain berdasarkan teori-teori ekonomi, remedi perdagangan juga bertumpu pada teori-teori non-
ekonomi, seperti teori keadilan distribusi (distributive justice) dan teori komunitarian
moral. Sikap Indonesia soal pembatasan impor hortikultura juga sama, demi menjaga keamanan,
kesehatan dan keselamatan. Pemerintah perlu mengatur impor hortikultura demi melindungi
17
William H. cooper, “Trade Remedy Law Reform in the 108th Congresds,” CRS Report for Congress, 22 Juli
2003, hlm. 2.dikutip dari Nandang Sutrisno, Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri
Dalam Negeri, JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007
18
Lihat Thomas M. Boddez and Michael J. Trebilcock, “The Case for Libarazing North American Trade Remedy,”
91995) 4 Minnesota Journal of Global Trade Remedy 1, hlm. 13-18, dikutip dari Nandang Sutrisno, Memperkuat
Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri, JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007
9
produksi hortikultura domestic.19 Indonesia menerapkan ketentuan tindakan safeguard
sebagaimana yang masuk didalam ketentuan WTO, demi melindungi produsen dan petani dalam
pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan
kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan
pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat
Dalam proses penyelesaian sengketa Kedua Negara yaitu Indonesia dan Amerika Serikat
telah melakukan tahap konsultasi yaitu Delegasi Kementerian Perdagangan Amerika Serikat dan
Indonesia telah berunding mengenai kisruh pembatasan impor hortikultura di Jakarta pada 21
Februari 2013. Namun, pertemuan tersebut belum menemui titik terang. Pada tahap berikutnya
adalah pembentukan Panel. Pembentukan Panel ini sebagai upaya akhir ketika penyelesaian
secara bilateral gagal, fungsi utama panel adalah membantu penyelesaian secara obyektif dan
untuk memutuskan apah suatu subyek atau obyek perkara telah melanggar perjanjian cakupan
WTO.
19
http://industri.kontan.co.id/news/kuota-impor-daging-sapi-menuai-gugatan-di-wto,
diakses 25 Agustus 2013
20
http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=13&P=Multilateral&l=id
Diakses tanggal 12 mei 2013
10
Kebijakan Indonesia dalam membatasi import atas hortikultura dan daging sapi adalah telah
sesuai dengan ketentuan WTO melalui tindakan safeguard untuk melindungi petani local dalam
negeri, dan Indonesia sebagai Negara berkembang yang berhak atas ketentuan yang tercantum
11
DAFTAR PUSTAKA
Nandang Sutrisno, Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri,
JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007
Peter Van den Bosch, et.al, Pengantar Hukum WTO, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2010
Nandang Sutrisno, Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan Khusus
dan Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam Penyelesaian
Sengketa, JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 16 OKTOBER 2009
Freddy Josep Pelawi, artikel “PENYELESAIAN SENGKETA WTO DAN INDONESIA”, Jurnal Departemen
Perdagangan Republik Indonesia, (2006)
Pasal 4 DSU. Uraian mengenai status proses konsultasi berdasarkan system penyelesaian sengketa WTO,
lihat WTO website:http://www.wto.org/wto/dispute/bulletin.htm diakses tanggal 25 Agustus
2013
http://industri.kontan.co.id/news/kuota-impor-daging-sapi-menuai-gugatan-di-wto,
diakses 25 Agustus 2013
http://bisnis.liputan6.com/read/550858/Sengketa-Hortikultura-AS-versus-RI-Diputuskan-oleh-150-
Negara-WTO, diakses 25 Agustus 2013
http://www.neraca.co.id/harian/article/25680/Soal.Pembatasan.Impor.RIAS.Belum.Capai.Titik.Temu,
diakses 25 Agustus 2013
http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?
Name=MultilateralCooperation&IDP=13&P=Multilateral&l=id
Diakses tanggal 12 mei 2013
12