Anda di halaman 1dari 12

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA INDONESIA DI WTO TERKAIT PEMBATASAN

IMPOR HORTIKULTURA DAN DAGING SAPI


Oleh : ROBBY ANDRIAN, SH
Emai : babersell@yahoo.com

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara anggota WTO berdasarkan ratifikasi Agreement Establishing

World Trade Organization ( WTO Agreement) melalui Undang-undang No.7 Tahun 1994.

Dengan demikian Indonesia secara Yuridis terikat untuk mengimplementasikan WTO

Agreement tersebut, termasuk ketentuan-ketentuan Remidi Perdagangan, dalam hokum

Nasionalnya. Indonesia sebagai Negara anggota WTO diberikan kebebasan untuk membuat dan

mengaplikasikan prosedur hokum nasionalnya sendiri yang secara otomatis harus konsisten

dengan ketentuan-ketentuan WTO.

Secara umum pengertian remedi perdagangan mengacu kepada tindakan atau kebijakan

pemerintah untuk meminimalkan dampak negatif dari impor terhadap industri dalam negeri.

Remedi perdagangan ini diperlukan mengingat impor, baik yang dilakukan secara tidak jujur

(unfair trade) maupun secara jujur (fair trade) tidak jarang dapat merugikan industri dalam

negeri. Impor yang dilakukan secara tidak jujur dan merugikan industri dalam negeri adalah

impor produk-produk asing dengan harga dumping, yaitu harga di bawah harga normal, dan

impor produkproduk asing yang bersubsidi. Sedangkan impor yang dilakukan secara jujur tetapi

dapat merugikan industri dalam negeri adalah impor yang jumlahnya melonjak secara cepat dan

tidak wajar. 1

1
Nandang Sutrisno, Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri,
JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007, hlm.231

1
Kebijakan perdagangan Indonesia di sektor agribisnis disorot sejumlah negara. Dua

kebijakan terakhir yang menuai gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade

Organization (WTO) salah satunya adalah aturan pengetatan impor hortikultura dan

pemberlakuan kuota impor daging sapi. Selain pembatasan impor daging Indonesia, AS

mengeluhkan pengetatan impor produk hortikultura oleh Indonesia. Negeri Barack Obama itu

menilai kebijakan pengetatan impor tersebut merupakan bentuk dan upaya melindungi industri

dalam negeri. Cara-cara seperti ini dinilai Amerika Serikat melanggar aturan WTO. 2

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Pertanian resmi melarang impor sejumlah

komoditas buah dan sayur mulai 1 Januari 2013.Aturan Impor hortikultura juga tertuang dalam

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor

Produk Hortikultura.Dan Permentan nomor 60 Tahun 2012 tentang rekomendasi impor produk
3
hortikultura (RIPH) Dari 20 komoditas tersebut ada 7 komoditas hortikultura yang dibatasi

jumlah kuota impornya masuk ke Indonesia sampai 30 Juni 2013. "7 komoditas tersebut antara

lain, Bawang yang terdiri dari bayang bombay, bawang merah dan bawang putih, jeruk yang

terdiri dari jeruk siam, jeruk mandarin, lemon dan pamelo, Anggur, Apel dan lengkeng. 4

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Proses Penyelesaian Sengketa Indonesia Di Wto Terkait Pembatasan Impor

Hortikultura Dan Daging Sapi?

2. Bagaimana kebijakan pembatasan impor tersebut ditinjau dari ketentuan Special and

Differential Treatment (S&D) dan tindakan Safeguard ?


2
http://industri.kontan.co.id/news/kuota-impor-daging-sapi-menuai-gugatan-di-wto,
diakses 25 Agustus 2013
3
http://bisnis.liputan6.com/read/550858/Sengketa-Hortikultura-AS-versus-RI-Diputuskan-oleh-150-Negara-
WTO, diakses 25 Agustus 2013
4
http://www.neraca.co.id/harian/article/25680/Soal.Pembatasan.Impor.RIAS.Belum.Capai.Titik.Temu,
diakses 25 Agustus 2013

2
PEMBAHASAN

Perjanjian World Trade Organisation (WTO) telah mengakomodasi kepentingan negara

berkembang melalui berbagai ketentuan yang disebut Special and Differential Treatment (S&D).

Secara umum S&D merujuk kepada hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang

diberikan WTO kepada negara berkembang, dan tidak diberikan kepada negara maju. Dimuatnya

ketentuan-ketentuan S&D dimaksudkan untuk memfasilitasi proses integrasi negara

berkembang ke dalam sistem perdagangan multilateral, dan untuk membantu negara berkembang

mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO.5

Dispute Settlement Understanding (DSU) adalah tulang punggung dari rejim perdagangan

multilateral saat ini. Sistem ini diciptakan oleh para Negara anggota WTO pada saat Uruguay

Round dengan harapan untuk menciptakan suatu sistem yang kuat dan dapat mengikat semua

pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan system

penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar negara anggota dapat mematuhi peraturan-

peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement.6

Sistem penyelesaian perselisihan WTO dibentuk setelah berakhirnya GATT. Ketentuan yang

menetapkan penyelesaian perselisihan baru ini adalah the Uruguay Round Understanding on

Rules and Procedure Governing the Settlement of Disputes (Dispute Settlement Understanding

atau DSU).

5
Nandang Sutrisno, Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan Khusus dan
Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam Penyelesaian Sengketa, JURNAL
HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 16 OKTOBER 2009, hlm.2
6
Freddy Josep Pelawi, artikel “PENYELESAIAN SENGKETA WTO DAN INDONESIA”, Jurnal Departemen
Perdagangan Republik Indonesia, (2006)

3
Pasal 3.1 DSU tersebut menegaskan kembali penerapan Pasal XXII dan XXIII ketentuan GATT

1947. Ketentuan dalam WTO menyediakan ketentuan lain selain yang diatur dalam perjanjian ini

atau dalam Multilateral Trade Agreements, ketentuan WTO akan mengikuti keputusan, Prosedur,

dan cara pelaksanaan perjanjian para pihak berdasarkan ketentuan GATT 1947. Ada tiga

lembaga penyelesaian perselisihan dalam WTO, yang pertama adalah Dispute Settlement Body

(DSB), yang berwenang untuk membentuk panel, menerima laporan panel dan badan banding

(Appellate Body), mengawasi implementasi putusan dan rekomendasi serta berwenang untuk

memberikan sanksi atas tidak dipatuhinya putusan penyelesaian perselisihan. Dewan Umum

(General Council) WTO bertugas sebagai DSB, namun pengurusan DSB berbeda dengan

pengurusan Dewan Umum, DSB memiliki ketua sendiri dan mengikuti prosedur tersendiri yang

bebeda dengan ketentuan-ketentuan Dewan Umum. Karena DSU menerapkan prinsip penafsiran,

maka panel dan badan banding harus mampu untuk menerapkan aturan sesuai dengan keadaan

yang relevan. Atau, beberapa permasalahan hukum yang melibatkan hukum internasional publik

bisa menjadi subyek permohonan WTO untuk berkonsultasi meminta pendapat atau nasehat dari

Mahkamah International. Namun, dalam Prosedur meminta nasehat ini, akan menjadi tidak

praktis dan memakan waktu lama karena DSB dan dewan umum harus setuju untuk membuat

permintaan dan masalah tersebut harus diperdebatkan dan diputuskan secara terpisah oleh

Mahkamah Internasional. System penyelesaian WTO bertujuan memelihara hak dan kewajiban

Negara anggotanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam lampiran-lampiran

persetujuan WTO, atau selanjutnya disebut (General Agreements).7

Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan, negara-negara

anggota yang bersengketa tetap diharapkan untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan

masalah mereka sendiri sebelum terbentuknya panel. Oleh karena itu, tahap pertama yang
7
Peter Van den Bosch, et.al, Pengantar Hukum WTO, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2010 ,Hlm.98

4
dilakukan adalah konsultasi antar pemerintah yang terlibat dalam suatu kasus. Bahkan sekiranya

kasus tersebut melangkah ke kasus berikutnya, konsultasi dan mediasi tetap dimungkinkan.

Dalam prosedur penyelesaian sengketa, pertama yang dilakukan antar Negara yang bersengketa

adalah melakukan konsultasi , konsultasi adalah tahap pertama penyelesaian sengketa dan

biasanya berlangsung dalam bentuk informal atau negosiasi formal, seperti melalui saluran

diplomatic.8 Kedua Negara yaitu Indonesia dan Amerika Serikat telah melakukan tahap

konsultasi yaitu Delegasi Kementerian Perdagangan Amerika Serikat dan Indonesia telah

berunding mengenai kisruh pembatasan impor hortikultura di Jakarta pada 21 Februari 2013.

Namun, pertemuan tersebut belum menemui titik terang.9 Pada tahap berikutnya adalah

pembentukan Panel. Pembentukan Panel ini sebagai upaya akhir ketika penyelesaian secara

bilateral gagal, fungsi utama panel adalah membantu penyelesaian secara obyektif dan untuk

memutuskan apah suatu subyek atau obyek perkara telah melanggar perjanjian cakupan WTO.

Panel memformulasikan rekomendasi atau putusan.10 Faktanya Setelah gagal pada fase konsultasi,

Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) akhirnya membentuk panel

yang terdiri dari negara-negara anggotanya untuk memberikan persetujuan atau penolakan

tentang kebijakan perdagangan Indonesia.11 Putusan panel dan badan banding WTO akan

mengikat kepada para pihak yang bersengketa setelah badan penyelesaian sengketa tersebut

menetapkanya, putusan tersebut tidak terikat dengan isi perjanjian WTO, dan tidak memiliki

pengaruh hukum pada anggota WTO lainnya. Putusan tersebut juga tidak menjadi yurisprudensi

yang mengikat secara hukum dalam kasus-kasus berikutnya. Namun demikian, putusan tersebut

8
Pasal 4 DSU. Uraian mengenai status proses konsultasi berdasarkan system penyelesaian sengketa WTO, lihat
WTO website:http://www.wto.org/wto/dispute/bulletin.htm diakses tanggal 25 Agustus 2013
9
http://www.neraca.co.id/harian/article/25680/Soal.Pembatasan.Impor.RIAS.Belum.Capai.Titik.Temu,
diakses 25 Agustus 2013
10
Pasal 4 paragraf 1 DSU
11
http://bisnis.liputan6.com/read/550858/Sengketa-Hortikultura-AS-versus-RI-Diputuskan-oleh-150-Negara-
WTO, diakses 25 Agustus 2013

5
merupakan bukti telah diterapkanya perjanjian WTO, dan mekanisme penyelesaian sengketa

panel dan badan banding berikutnya bebas untuk mengutipnya dengan mengandalkan penalaran

mereka. Dengan menggunakan penalaran persuasif, meskipun putusan tersebut tidak diterapkan

secara keseluruhan, namun putusan tersebut dapat dikutip dan digunakankan oleh panel

berikutnya. Pada kenyataannya, panel dan badan banding selanjutnya akan meneliti dan

mengkaji putusan terdahulu ketika berhadapan dengan perselisihan yang sama dan mencoba

untuk tidak menyimpang dari interpretasi yang ditetapkan oleh putusan terdahulu tersebut.12

KEBIJAKAN INDONESIA ATAS PEMBATASAN IMPOR HORTIKULTURA DAN


DAGING SAPI DITINJAU DARI KETENTUAN SPECIAL AND DIFFERENTIAL
TREATMENT (S&D) DAN TINDAKAN SAFEGUARD

Terdapat 145 ketentuan S&D, tersebar dalam berbagai perjanjian WTO, 107 di antaranya

diadopsi pada Putaran Uruguay, dan 22 secara khusus diperuntukkan bagi negara terbelakang

(least-developed country Members) Sekretariat WTO mengklasifikasikan ketentuan-ketentuan

S&D ke dalam enam kategori:

(i) Ketentuan-ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan kesempatan perdagangan negara

berkembang;

(ii) Ketentuan-ketentuan yang menghendaki negara-negara anggota WTO untuk melindungi

kepentingan negara berkembang;

(iii) Ketentuan-ketentuan yang memberikan fleksibilitas dalam komitmen, tindakan, dan

penggunaan instrumen-instrumen kebijakan;

(iv) Ketentuan-ketentuan yang memberikan masa transisi;

(v) Ketentuan-ketentuan tentang bantuan teknis; dan


12
Wto, WTO DISPUTE SETTLEMENT

6
(vi) Ketentuan-ketentuan khusus bagi negara terbelakang.13

Akan tetapi ternyata pada prakteknya ketentuan-ketentuan S&D belum diterapkan dengan baik ,

sehingga muncul keprihatinan Negara-negara berkembang mengenai efektifitas implementasi

ketentuan-ketentuan S & D termasuk penegakan hokum atas penyelesaian sengketa yang terjadi

pada Negara - negara berkembang. Keprihatinan negara berkembang mengenai efektivitas

implementasi ketentuanketentuan S&D tidak hanya disebabkan oleh kekurangmampuan negara

berkembang, tetapi juga, terutama oleh karakter hukum dari ketentuan-ketentuan S&D sendiri

yang pada umumnya tidak dapat ditegakkan. Hal ini disebabkan, sebagaimana yang

dikemukakan Indonesia, karena ketentuan ketentuan S&D tidak operasional dan tidak mengikat

secara hokum. Padahal didalam ketentuan S&D tersebut, seolah banyak sekali memberikan

kesempatan dan perlindungan bagi Negara-negara berkembang dalam menyesuaikan aturan dan

kebijakan-kebijakan agar sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh WTO. Indonesia

mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60 Tahun 2012

tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.Dan Permentan nomor 60 Tahun 2012 tentang

rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) terkait pembatasan impor beberapa produk

hortikultura pada dasarnya mengacu pada kepentingan dalam negerinya sebagaimana layaknya

Negara berkembang yang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan petani lokal didalam

negerinya.

Dilihat dari sisi penegakan hokum dalam proses penyelesaian di WTO, dimana kembali

Negara berkembang disejajarkan dengan Negara-negara maju yang sudah terlebih dulu

menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam WTO di Negara mereka. Maka dari itu ketika

muncul persoalan terkait sengketa, Negara berkembang tidak dapat mengacu kepada ketentuan-

ketentuan S&D untuk memaksa negara maju mengimplementasikan ketentuan-ketentuan


13
Ibid.

7
tertentu, dan pada saat yang sama mereka juga tidak dapat mempertahankan hak-hak mereka

berdasarkan ketentuan-ketentuan S&D. Sebagaimana yang tercermin dalam laporan CTD, negara

berkembang mengekspresikan keragu-raguannya mengenai efektivitas penegakan

ketentuanketentuan S&D dan menyatakan tidak adanya kepastian sama sekali bahwa ketentuan-
14
ketentuan S&D dapat ditegakkan dalam praktek penyelesaian sengketa. Dalam penyelesaian

sengketa juga telah dikemukakan dalam kaitannya dengan metode interpretasi yang diterapkan

oleh para hakim, baik pada tingkatan Panel maupun Appellate Body. Dalam menginterpretasikan

ketentuan-ketentuan tersebut, para hakim cenderung untuk menerapkan metode penafsiran yang

lebih ketat. Sebagaimana dikemukakan oleh Mesir, misalnya, “developing countries have been
15
witnessing a trend towards stricter interpretation of S&D provisions.” hal ini tidak menutup

kemungkinan akan diberlakukan juga pada Indonesia pada saat siding Panel nantinya.

Indonesia sebagai negara anggota WTO juga memiliki kewenangan untuk malakukan

tuduhan anti dumping berupa pengenaan bea masuk anti dumping, tuduhan anti subsidi dalam

hal ini yaitu pengenaan bea masuk imbalan dan tindakan safeguard berupa pengenaan tarif, kuota

atau keduanya.16

Secara umum penerapan remedi perdagangan didesain untuk meratakan kembali lapangan

permainan (to level the playing field) yang sempat terganggu akibat adanya praktek dagang yang

curang yang dimainkan produsen asing atau akibat meningkatnya secara drastis kompetisi yang

14
Committee on Trade and Development, ‘Concerns Regarding Special and Differential Treatment Provisions in
WTO Agreements and Decisions,’ WT/COMTD/W/66, 16 February 2000, 31. Dikutip dari Nandang Sutrisno,
Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan Khusus dan Berbeda Bagi Negara
Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam Penyelesaian Sengketa, JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS
VOL. 16 OKTOBER 2009
15
General Council and Committee on Trade and Development, ‘Special and Differential Treatment for
Developing Countries in the Multilateral Trading System: Communication from Egypt,’ T/GC/W/109;
WT/COMTD/W/49, 5 November 1998, [93], Dikutip dari Nandang Sutrisno, Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World
Trade Organization tentang Perlakuan Khusus dan Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek
dan dalam Penyelesaian Sengketa, JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 16 OKTOBER 2009
16
Freddy Josep Pelawi, Op.Cit.

8
fair dengan produsen asing. Dengan kalimat lain, tindakan Anti Dumping dan Anti Subsidi

dimaksudkan untuk mengeliminasi keunggulan-keunggulan harga yang diperoleh kompetitor

asing melalui praktek perdagangan curang, sedangkan tindakan pengamanan (Safeguards)

didisain untuk memberikan kesempatan kepada industri domestik untuk melakukan penyesuaian

dan meminimalisasi dampak-dampak yang berupa destabilisasi akibat lonjakan impor.17

tindakan safeguard adalah bahwa tindakan tersebut diperlukan mengingat akibat terbukanya

pasar domestik sebagai konsekuensi dari konsesi-konsesi perdagangan sebagai komitmen

terhadap liberalisasi seringkali membawa dampak melonjaknya impor secara tibatiba dan dalam

jumlah yang tidak wajar. Hal ini merugikan atau berpotensi merugikan industri lokal, meskipun

harus diakui bahwa tidak ada unsurunsur kecurangan atau ketidakjujuran dalam praktek

perdagangan eksportir asing. Remedi perdagangan, dalam hal ini tindakan safeguard baik berupa

pengenaan bea masuk tambahan dan/atau pembatasan impor diperlukan untuk memberi

kesempatan kepada industri lokal untuk “bernafas” dari masifnya kompetisi asing. Selama masa

remedi, industri lokal akan memiliki kesempatan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian

dengan kondisi persaingan baru, baik dengan cara menambah permodalan atau pembelian mesin-

mesin baru, sehingga di akhir masa remedi industri lokal bisa bersaing dengan eksportir asing.

Selain berdasarkan teori-teori ekonomi, remedi perdagangan juga bertumpu pada teori-teori non-

ekonomi, seperti teori keadilan distribusi (distributive justice) dan teori komunitarian

(communitarianism).18 Dalam perspektif keadilan distribusi, masyarakat mempunyai kewajiban

moral. Sikap Indonesia soal pembatasan impor hortikultura juga sama, demi menjaga keamanan,

kesehatan dan keselamatan. Pemerintah perlu mengatur impor hortikultura demi melindungi
17
William H. cooper, “Trade Remedy Law Reform in the 108th Congresds,” CRS Report for Congress, 22 Juli
2003, hlm. 2.dikutip dari Nandang Sutrisno, Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri
Dalam Negeri, JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007
18
Lihat Thomas M. Boddez and Michael J. Trebilcock, “The Case for Libarazing North American Trade Remedy,”
91995) 4 Minnesota Journal of Global Trade Remedy 1, hlm. 13-18, dikutip dari Nandang Sutrisno, Memperkuat
Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri, JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007

9
produksi hortikultura domestic.19 Indonesia menerapkan ketentuan tindakan safeguard

sebagaimana yang masuk didalam ketentuan WTO, demi melindungi produsen dan petani dalam

negeri atas barang-barang impor yang masuk ke dalam negeri.

Demikian dengan Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, ada

pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan

membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi

kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan

pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat

memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan

kebutuhan dan aspirasi setiap Negara anggota.20

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dalam proses penyelesaian sengketa Kedua Negara yaitu Indonesia dan Amerika Serikat

telah melakukan tahap konsultasi yaitu Delegasi Kementerian Perdagangan Amerika Serikat dan

Indonesia telah berunding mengenai kisruh pembatasan impor hortikultura di Jakarta pada 21

Februari 2013. Namun, pertemuan tersebut belum menemui titik terang. Pada tahap berikutnya

adalah pembentukan Panel. Pembentukan Panel ini sebagai upaya akhir ketika penyelesaian

secara bilateral gagal, fungsi utama panel adalah membantu penyelesaian secara obyektif dan

untuk memutuskan apah suatu subyek atau obyek perkara telah melanggar perjanjian cakupan

WTO.

19
http://industri.kontan.co.id/news/kuota-impor-daging-sapi-menuai-gugatan-di-wto,
diakses 25 Agustus 2013
20
http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=13&P=Multilateral&l=id
Diakses tanggal 12 mei 2013

10
Kebijakan Indonesia dalam membatasi import atas hortikultura dan daging sapi adalah telah

sesuai dengan ketentuan WTO melalui tindakan safeguard untuk melindungi petani local dalam

negeri, dan Indonesia sebagai Negara berkembang yang berhak atas ketentuan yang tercantum

didalam ketentuan Special And Differential Treatment (S&D).

11
DAFTAR PUSTAKA

Nandang Sutrisno, Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri,
JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007

Wto, WTO DISPUTE SETTLEMENT

Peter Van den Bosch, et.al, Pengantar Hukum WTO, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2010

Nandang Sutrisno, Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan Khusus
dan Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam Penyelesaian
Sengketa, JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 16 OKTOBER 2009

Freddy Josep Pelawi, artikel “PENYELESAIAN SENGKETA WTO DAN INDONESIA”, Jurnal Departemen
Perdagangan Republik Indonesia, (2006)

Pasal 4 DSU. Uraian mengenai status proses konsultasi berdasarkan system penyelesaian sengketa WTO,
lihat WTO website:http://www.wto.org/wto/dispute/bulletin.htm diakses tanggal 25 Agustus
2013

http://industri.kontan.co.id/news/kuota-impor-daging-sapi-menuai-gugatan-di-wto,
diakses 25 Agustus 2013

http://bisnis.liputan6.com/read/550858/Sengketa-Hortikultura-AS-versus-RI-Diputuskan-oleh-150-
Negara-WTO, diakses 25 Agustus 2013

http://www.neraca.co.id/harian/article/25680/Soal.Pembatasan.Impor.RIAS.Belum.Capai.Titik.Temu,
diakses 25 Agustus 2013

http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?
Name=MultilateralCooperation&IDP=13&P=Multilateral&l=id
Diakses tanggal 12 mei 2013

12

Anda mungkin juga menyukai