Anda di halaman 1dari 64

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam hukum positif, alat bukti dan barang bukti merupakan dua hal yang

berbeda. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem

pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya

alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang yang dapat dipergunakan untuk

pembuktian.1

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara

jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat

(1) KUHAP disebutkan mengenai apa- apa saja yang dapat disita, yaitu:

a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian

diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak

pidana atau untuk mempersiapkannya;

c) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak

pidana;

d) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

1
Martiman Prodjohamidjojo, 2007 Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Yogyakarta: Judistira, hal. 19
2

e) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang

dilakukan.

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan

dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.

Alat bukti dalam bahasa belanda disebut dengan bewijsmiddelen yang berarti

alat-alat bukti yangdigunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa

hukum. Alat bukti yaitu segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu

perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai

bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya

suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.2 Hal ini berarti bahwa di luar

dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Sedangkan alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan

suatu tindak pidana, diaman alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan

pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu

tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Berbeda dengan barang bukti

yang tidak disebutkan atau dijelaskan secara speseifik didalam KUHAP, namun

dalam pasal 39 KUHAP menyebutkan barang-barang yang disita atau barang yang

dipergunakan untuk tindak pidana dapat dijadikan pengertian barang bukti. Barang

bukti berperan untuk memutuskan perkara dan menambah keyakinan hakim

mengenai kesalahan terdakwa. Menurut R. Subekti, pembuktian ialah meyakinkan

hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah

diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.

2
Eddy O.S. Hiariej, 2012 Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga, hal. 17
3

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, yang merupakan bagian terpenting di dalam acara pidana. Dalam

kasus ini pun hak asasi manusia sangat dipertaruhkan karena jika seseorang yang

didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan

alat bukti yang disertai keyakinan hakim, padahal itu tidak benar, maka dalam

hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan

hukum acara perdata yang cukup dengan kebenaran formal. Adapun pembuktian

adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang

memeriksa suatu perkara untuk memberikan kepastian mengenai kebenaran

peristiwa yang dikemukakan.3

Dalam Kasus tindak pidana pencabulan, yang memegang peranan sangat

penting adalah bukti visum yang merupakan salah satu dasar sebagai pembuktian

bahwa telah teradi suatu tidak pidana. Berdasarkan pembuktian ini mejadi alasan

bagi hakim dalam menjatuhkan suatu putusan dengan minimal dua alat bukti, sebab

visum merupakan salah satu alat bukti berbentuk surat. Meskipun banyak perkara

ini yang telah diputus oleh Pengadilan, akan tetapi hukumannya terkadang belum

maksimal dijatuhkan, mengingat beban psikis, traumatik yang harus ditanggung

oleh korban.

Tindak pidana pencabulan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

perhatian di kalangan masyarakat. Pemberitaan dikoran ataupun majalah sehingga

menimbulkan keresahan terutama bagi kaum perempuan sebagi objek sasaran.

Kejahatan ini semakin meningkat dipegaruhi beberapa faktor, yang sangat

membahayaka salah satunya adalah predator sex. Tindak pidana pemerkosaan ini

3
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. enerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 249
4

tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan

kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif

masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.

Terkait dengan pembuktian, negara Indonesia menganut teori pembuktian

Negative Weterlijke yang maksudnya adalah Hakim dalam menjatuhkan putusan

minimal menggunakan 2 alat bukti dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Teori

pembuktian tersebut mengacu kepada Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun alat

bukti yang dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP itu tetap mengacu terhadap

ketentuan Pasal 184 KUHAP yang berisikan 5 (lima) macam alat bukti yaitu

:Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa

Dari kelima macam alat bukti tersebut, yang perlu diterangkan adalah alat bukti

yang berupa “keterangan ahli”. Sebagaimana telah diterangkan, maka dalam ilmu

kedokteran forensik dikenal bukti-bukti selain saksi hidup (saksi mata), juga bukti-

bukti fisik. Untuk mengetahui dan mempelajari hubungan antara bukti fisik dengan

suatu kasus tindak pidana, diperlukan ahli (pakar) dalam bidang tersebut.4

Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat

membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah

dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait

dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan

yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Keterangan dokter

yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil

4
Soeparmono, 2016 keterangan ahli & visum Et Repertum dalam aspek hukum acara pidana, Mandar Maju,
Bandung hal.57
5

pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut

pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai suatu laporan tertulis dari

dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang

bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut

guna kepentingan peradilan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari

kebenaran materil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya

kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: "Tidak seorang pun dapat dijatuhi

pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut

undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat

bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.5

Kesulitan pembuktian tersebut juga timbul karena korban kejahatan tidak

segera melaporkannya kepada penyidik yang umumnya dikarenakan dicekam rasa

malu bahkan ada yang melaporkannya setelah berbulan-bulan dan dalam keadaan

hamil. Cara mengungkap suatu kasus pencabulan pada tahap penyidikan akan

dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti

yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi.6

Tindak pidana pencabulan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi

kesulitan utama yang sering muncul adalah soal pembuktian diakui atau tidak, baik

ditingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di

5
undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
6
Tolib Setiady,2009, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman,Alfabeta, Bandung, hal.10
6

pengadilan, sebab pembuktian tindak pidana perkosaan di pengadilan sangatlah

tergantung pada sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan

bukti-bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi tindak pidana pencabulan.

Proses peradilan hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran

materiil. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang sah untuk

mengungkap suatu perkara pada tahapan pendahuluan proses peradilan yaitu

penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan maupun pada tahap persidangan

perkara tersebut. Khususnya dalam tahap penyidikan, penyidik dalam melakukan

tugasnya dapat meminta bantuan kepada ahli dalam bidang yang tidak dikuasai

oleh penyidik. Salah satu bantuan itu dapat diperoleh dari keterangan saksi dan

keterangan ahli yang memang digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap

suatu kasus atau tindak pidana sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 184 Undang-

Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait

dengan alat bukti perkara pidana.

Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan gambaran berkaitan tentang

kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dari peristiwa tersebut dapat diperoleh

kebenaran yang dapat diterima oleh akal. Pembuktian mengandung arti bahwa

benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa lah yang bersalah

melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkanya. Pembuktian adalah

ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang


7

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa.7

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat

ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Masyarakat

mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum

masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum

karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat

mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah

untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi

manfaat atau kegunaan bagi masyarakat8

Masalah kejahatan pencabulan di Indonesia telah terakomodasi dalam sistem

perundang-undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Perkembangan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana

pencabulan diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Latar

belakang pemberlakuan undang-undang tersebut karena masih sering terjadinya

berbagai bentuk perilaku orang dewasa yang melanggar hak-hak anak di Indonesia

dalam berbagai aspek kehidupan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak diberlakukan

dalam rangka pemenuhan hak-hak anak dalam bentuk perlindungan hukum yang

meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas

7
Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Pradnya Paramitha. Jakarta, hal 11.
8
Sudikno Mertokusumo. 2012. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, hal 207.
8

perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tanpa

diskriminasi.

Tindak pidana pencabulan terhadap anak diatur dalam Pasal 81 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa “Ketentuan pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan

sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Melihat tingkat

perkembangan kasus pencabulan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat

dikatakan kejahatan pencabulan telah berkembang dalam kuantitas maupun

kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan pencabulan, hal ini dapat dilihat

dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan

menayangkan kasus-kasus pencabulan.

Sejak mulai saat penyidikan, dalam banyak hal tentang kasus kejahatan tidak

seksual dengan mudah dapat ditanggulangi begitu saja oleh pihak kepolisian RI

(penyidik), maka untuk mengungkap fakta fakta tersebut diperlukan ketiga ilmu

pengetahuan itu yang merupakan bagian dari kriminalistik. Banyak dijumpai kasus

perkara kejahatan yang tidak mudah terungkap siapa pelaku sebenarnya

(pelakugelap, pelaku misterius) disertai dengan cara-cara serta alat-alat yang

dipergunakan. Salah satu dari sekian banyak upaya dan sarana yang dilakukan oleh

para dokter, ahli atau dokter ahli kedokteran kehakiman (forensik) dalam

membantu menjernihkan suatu perkara pidana dari salah datu aspeknya adalah apa
9

yang disebut visum et repertum, yaitu yang dikenal dalam bidang ilmu kedokteran

forensik.9

Visum et repertum sebagai salah satu aspek peranan ahli dan/atau asalah satu

aspek keterangan ahli, maka keterkaitan antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

Keterangan ahli yang tertuang dalam suatu laporan hasil pemeriksaan adalah

perwujudan hasil-hasil yang dibuat berdasarkan atas ilmu dan teknik serta

pengetahuan dan pengalaman yang sebaik-baiknya dari ahli itu. Pengusutan

terhadap kasus pencabulan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa

penting peran visum et repertum, dimana visum et repertum merupakan surat

keterangan seorang dokter atau tenaga ahli lainnya yang sejenis yang berisi

kesimpulan suatu pemeriksaan yang telah dilakukannya sesuai dengan profesi dan

keahlian yang dimiliki.10

Kebutuhan akan keberadaan visum et repertum yang mengungkapkan

keparahan luka atau berat ringannya suatu luka sangat krusial dan signifikan.

Kesalahan dalam pembuatan Visum et repertum sebagai alat bukti sama halnya

dengan mempertaruhkan hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan pembuktian

tentang benar tidaknya seseorang melakukan perbuatan pencabulan yang yang

dituduhkan kepadanya merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana.

Kesalahan pembuktian sama halnya dengan mempertaruhkan nilai manusiawi

badan manusia. Kebenaran semu terlahir akibat kepalsuan Visum et repertum,

sehingga visum et repertum sangat diperlukan kebenarannya dalam hal

membuktikan tindak pidana pencabulan yang terjadi pada tahap penyidikan.

9
R. Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli Visum et repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung:
Mandar Maju, hal 17.
10
Sudarsono. 2007. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, hal 570.
10

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, yang merupakan bagian terpenting di dalam acara pidana. Dalam

kasus ini pun hak asasi manusia sangat dipertaruhkan karena jika seseorang yang

didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan

alat bukti yang disertai keyakinan hakim, padahal itu tidak benar, maka dalam

hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan

hukum acara perdata yang cukup dengan kebenaran formal. Adapun pembuktian

adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang

memeriksa suatu perkara untuk memberikan kepastian mengenai kebenaran

peristiwa yang dikemukakan.

Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan gambaran berkaitan

tentang kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dari peristiwa tersebut dapat

diperoleh kebenaran yang dapat diterima oleh akal. Pembuktian mengandung arti

bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa lah yang bersalah

melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkanya. Pembuktian adalah

ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa.11

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis meneliti dan mengangkat

permasalahan mengenai peranan visum et repertum dalam menentukan pelaku

utama pada tindak pidana perkosaan, oleh karena itu, penulis memilih judul : “

PERAN VISUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK

11
Martiman Prodjohamidjojo, 1984 Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Pradnya Paramitha , Jakarta, hal 11.
11

PIDANA PERBUATAN CABUL (STUDI PUTUSAN NOMOR : 6/Pid.Sus-

Anak/2022/PN. Rap)

1.2 Rumusan Masalah

Dengan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang masalah maka dapat

diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan Hukum terhadap tindak pidana cabul dalam putusan

Nomor 6/Pid.Sus/2022/PN.Rap ?

2. Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Sanksi Pidana

terhadap tindak pidana pencabulan terhadap wanita yang memiliki

kekurangan mental ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

a) Untuk mengetahui Penerapan Hukum PIdana terhadap Tindak

Pencabulan dalam putusan Nomor : 6/Pid.Sus/2022/PN.Rap

b) Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi Pertimbangan Hakim dalam

menjatuhkan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pencabulan dalam

putusan Nomor : 6/Pid.Sus/2022/PN.Rap

Manfaat Penelitian

a) Manfaat Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan ilmiah dan dapat dijadikan bahan referensi baik oleh siswa,

maupun akademis lainya yang berkaitan dengan fungsi Visum et repertum

dalam tindak pidana pencabulan.


12

b) Manfaat Secara Praktis Hasil penelitian ini selanjutnya dapat memberikan

masukan yang berarti dalam penerapan hukum di Indonesia khususnya

bagi hakim dalam penggunaan Visum et repertum.

Manfaat Secara Akademis Untuk memeuhi persyaratan dalam mencapai

Derajat Strata Satu (S-1) Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Labuhanbatu.
13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Peran Visum Et Repertum

2.1.1 Pengertian Visum Et Repertum

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran

Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa

Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata

bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya

penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan,

disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa

yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi

visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.12

Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik.

Mengenai disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan Ilmu Kedokteran

Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran

Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan

pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara

pidana maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu

Kedokteran Kehakiman adalahmembantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman

12
H.M.Soedjatmiko,2001 Ilmu Kedokteran Forensik, Malang: Fakultas Kedokteran UNIBRAW Malang, hal.1
14

dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu

pengetahuan kedokteran.13

Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983

pada pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman

disebut sebagai Visum et Repertum. Pendapat seorang dokter yang dituangkan

dalam sebuah Visum et Repertum sangat diperlukan oleh seorang hakim dalam

membuat sebuah keputusan dalam sebuah persidangan. Hal ini mengingat, seorang

hakim sebagai pemutus perkara pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan

ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kedokteran forensik ini.Dalam hal ini, hasil

pemeriksaan dan laporan tertulis ini akan digunakan sebagai petunjuk sebagaimana

yang dimaksud pada pasal 184 KUHAP tentang alat bukti. Artinya, hasil Visum

et Repertum ini bukan saja sebagai petunjuk dalam hal membuat terang suatu

perkara pidana namun juga mendukung proses penuntutan dan pengadilan.14

2.1.2 Jenis Visum Et Repertum

Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang

diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, Visum et Repertum di golongkan

menurut objek yang diperiksa sebagai berikut :15

a. Visum et repertum untuk orang hidup. Jenis ini dibedakan lagi dalam

1. Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak

peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih

lanjut.

13
R. Atang Ranoemihardja,1983 Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi kedua Bandung: Tarsito,
hal. 10

14
Undang undang KUHAP pasal 184
15
Njowito Hamdani, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, jakarta: Gramedia Pustaka Tama,,hal. 26
15

2. Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan

apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat

membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan visum

et repertum lanjutan.

3. Visum et repertum lanjutan . Dalam hal ini korban tidak memerlukan

perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain,

atau meninggal dunia.

b. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah). Pada pembuatan visum et

repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan

tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat

(outopsi).

c. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat

setelahdokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.

d. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai

melaksanakan penggalian jenazah.

e. Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat

pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.

f. Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang

ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah,

bercak mani, selongsong peluru, pisau.

Dalam penulisan skripsi ini, visum et repertum yang dimaksud adalah visum

et repertum untuk orang hidup, khususnya yang dibuat oleh dokter berdasarkan

hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana pencabulan.


16

2.1.3 Bentuk Umum Visum Et Repertum

Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok visum et repertum, maka

ditetapkan ketentuan mengenai susunan visum et repertum sebagai berikut :

1. Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO YUSTISIA”, artinya bahwa isi visum

et repertum hanya untuk kepentingan peradilan.

2. Di tengah atas dituliskan Jenis visum et repertum serta nomor visum et

repertum tersebut.

3. Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan :

a. Identitas peminta visum et repertum

b. Identitas surat permintaan visum et repertum

c. Saat penerimaan surat permintaan visum et repertum

d. Identitas dokter pembuat visum et repertum

e. Identitas korban/barang bukti yang dimintakan visum et repertum

f. Keterangan kejadian di dalam surat permintaan visum et repertum

4. Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa

yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti

5. Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa yang

dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti

6. Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa visum et

repertum ini dibuat atas sumpah dan janji pada waktu menerima jabatan

7. Di sebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta Cap

dinas dokter pemeriksa.


17

Dari bagian visum et repertum sebagaimana tersebut diatas, keterangan yang

merupakan pengganti barang bukti yaitu pada Bagian Pemberitaan. Sedangkan

pada Bagian Kesimpulan dapat dikatakan merupakan pendapat subyektif dari

dokter pemeriksa.16

2.1.4 Isi dari Visum Et Repertum

Ciri khas yang terdapat dalam visum et repertum adalah adanya kata pro

justitia di sudut sebelah kiri atas, yang merupakan persyaratan yuridis sebagai

pengganti materai. Selengkapnya isi visum et repertum meliputi :

a) Pendahuluan, memuat identitas dokter pemeriksa yang membuat visum et

repertum, identitas peminta visum et repertum, saat dan tempat dilakukannya

16 pemeriksaan dan identitas barang bukti yang berupa tubuh manusia,

b) Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan yang memuat segala sesuatu

yang dilihat dan diketemukan oleh dokter pada saat melakukan pemeriksaan,

c) Kesimpulan, memuat intisari dari hasil pemeriksaan yang disertai pendapat

dokter sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Dalam kesimpulan

diuraikan pula hubungan kausal antara kondisi tubuh yang diperiksa dengan

segala akibatnya,

d) Penutup, memuat pernyataan bahwa visum et repertum dibuat atas usmpah

dokter dan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya dan sebenarbenarnya

2.1.5 Prosedur Permohonan Visum Et Repertum

16
Wordpress,dewi37lovelight, Peranan Visum Et Repertum Dalam Penyidikan Di Indonesia Beserta Hambatan
Yang Ditimbulkan,dewi37lovelight.wordpress.com, Diakses Pada 18 mei 2022
18

Secara garis besarnya permohonan visum et repertum harus memperhatikan hal-

hal berikut :

a) Permohonan harus dilakukan secara tertulis oleh 14 pihak-pihak yang

diperkenankan untuk itu dan tidak diperkenankan dilakukan melalui lisan

maupun melalu pesawat telepon. Dokter tidak diperbolehkan serta-merta

melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka, seseorang yang

terganggu kesehatannya ataupun seseorang yang mati akibat tindak pidana

atau setidaknya patut disangka sebagai korban tindak pidana. Dokter yang

menolak permohonan yang dilakukan secara tertulis maka ia pun akan

dikenakan sanksi hukum.

b) Permohonan harus diserahkan oleh penyidik kepolisian bersamaan dengan

korban, tersangka dan juga barang bukti kepada dokter ahli kedokteran

kehakiman. Permohonan visum et repertum oleh aparat hukum kepada

dokter ahli kehakiman merupakan peristiwa di dalam lalu lintas hukum, oleh

karena permintaan dan juga pemenuhan dalam kaitannya dengan visum et

repertum tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

2.2.1 Pengertian Pembuktian

Tindak pidana sama pengertiannya dengan peristiwa pidana atau delik.

Menurut rumusan para ahli hukum dari terjemahan strafbaar feit yaitu suatu

perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang atau hukum,

perbuatan mana dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan.
19

Sehubungan dengan hal tersebut Andi Zainal Abidin Farid, menyatakan

bahwa: Delik sebagai suatu perbuatan atau pengabaian yang melawan hukum yang

dilakukan dengan sengaja atau kelalaian oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan.17

Pembuktian secara etimologi berasal dari kata “bukti” yang berarti sesuatu

yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata “bukti” jika mendapat awalan

“pe” dan akhiran “an” maka berarti “proses”, “perbuatan”, “cara membuktikan”,

secara terminologi pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya si

terdakwa dalam sidang pengadilan. Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan

pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang berperkara untuk

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam

suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang

diperiksa oleh hakim.18

Dengan demikian, agar suatu alat buktidapat diterima di Pengadilan, alat bukti

tersebut haruslah relavan dengan yang akan dibuktikan. Jika alat bukti tersebut

tidak relavan, pengadilan harus menolak bukti semacam itu karena menerima bukti

yang tidak relaavan akan membawa resiko tertentu bagi proses pencarian keadilan

yaitu :19

1) Membuang buang waktu sehingga dapat memperlambat proses peradilan

2) Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga praduga yang tidak

perlu

17
Andi ZainalAbidin Farid, 1987,Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni, hal.33
18
Abdul Manan,2008 Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. V, Jakarta:
kencana, hal. 227
19
Dr. Munir Fuady,S.H.,M.H, 2007,Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata Bandung : PT. citra aditya
bakti hal.25
20

3) Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak propesional, dengan

membesar besarkan yang sebenarnya kecil, atau mengecil ngecilkan yang

sebenarnya besar

4) Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional

Oleh karena itu sangatlah penting bagi Hakim dalm proses peradilan untuk

mengetahui dan cepat memutuskan apakah suatu alat bukti relevan atautidak

dengan fakta yang akan dibuktikannya.

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, merupakan bagian yang gterpenting dalam hukum acara pidana.

Terdapat bagian yang juga tidak kalah pentingnya dalam hukum pembuktian yaitu

masalah pembagian beban pembuktian yang erat sebalah berarti a priori

menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampaui berat, dalam jurang

kekalahan. Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap

sebagai seseuatu pelanggaran hukum atau Undang-Undang yang merupakan

alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan

yang bersangkutan.20

2.2.2 Dasar Hukum Pembuktian

Dasar hukum pembuktian dalam hukum positif tercantum pada pasal 163 HIR,

pasal 283 RBg, dan pasal 1865 BW. Bunyi ketiga pasal tersebut pada hakikatnya

adalah sama yaitu:

“Barangsiapa meyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu

perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain,

maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”

20
Subekti,2008, Hukum Pembuktian,PT.Pradya Paramita, Jakarta, hal. 15
21

Perlunya pembuktian ini agar manusia tidak semaunya saja menuduh orang lain

dengan tanpa adanya bukti yang menguatkan tuduhannya. Adanya kewajiban

ini akan mengurungkan gugatan orang- orang yang dusta, lemah dan gugatan

yang asal gugat. Oleh karena itu, Imam Malik sebagai fuqaha’ tidak

membenarkan gugatan yang tidak nampak adanya kebenaran dan penggugatnya

tidak perlu diminta sumpahnya, karena semata-mata melihat qarinah-qarinah

secara lahiriyah.

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi dalam pembuktian

Dalam mencari kebenaran materil dalam suatu perkara pidana pencabulan

penyidik kepolisian melakukan suatu rangkain penyelidikan dan penyidikan

banyak mengalami kendala atau faktor yang mempengaruhi dalam mengungkap

suatu perkara pencabulan tetapi dengan adanya bukti dari pihak kedokteran rumah

sakit dengan mengeluarkan hasil visum et repertum sebagai salah satu alat bukti

telah terjadi tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh pelaku.

Untuk mengetahui Faktor- faktor yang mempengaruhi kekuatan

pembuktian visum et repertum dalam tindak pidana perkosaan adalah sebagai

berikut:21

1. Faktor Korban

Umumnya perbuatan pencabulan dilakukan dalam lingkungan tertutup dan

terbatas atau kalaupun terbuka hanya sedikit orang yang mau dijadikan saksi

atas kejadian tersebut, sehingga masalah pelecehan seksual seringkali

21
Journal of Lex Generalis (JLG) Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum (Wahyuningsih, Thalib &
Hambali) hal. 12 diakses 02 juni 2022 pkl. 14.35
22

mengakibatkan kerugian bagi korban dari pada si pelaku, bahkan tidak jarang

karena tekanan tertentu. Akan tetapi dari sisi kaadilan korban harus

mendapatkan keadilan hukum atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

2. Faktor Biaya Pemeriksaan

Peranan Visum et Repertum dalam pengungkapan tindak pidana perkosaan

pada tahap penyidikan, tentunya harus didukung dengan pemeriksaan bukti-

bukti lainnya agar dicapai kebenaran materiil yang sejati dalarn pemeriksaan

perkara tersebut. Terdapat keterbatasan hasil Visum et Repertum dalam

peranannya membantu penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana

pencabulan.

2.2.4 Teori teori sistem pembuktian

Secara teoris ada 4 (empat) mengenai system pembuktian yaitu :

a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata

(Conviction In Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap

perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan"

hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya

terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Kelemahan pada sistem

ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada

kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini

terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan

metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.22

22
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Ghana Indonesia, hal. 241
23

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang

Logis (Conviction In Raisone)

Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convitionin in raisone harus

dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus

“reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan

nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem

pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.23

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks

theode).

Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian

dan alat bukti yang sah menurut undang-undang, maka terdakwa tersebut bisa

dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni

hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh

nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti

yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam

sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan

perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana.

Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu

sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief

wettelijkbewijs theori system di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya

Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap

terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka dalam hal ini hakim hanya

merupakan alat perlengkapan saja.

23
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung : Citra Aditya, hal. 56
24

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative

wettelijk).

Berdasarkan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila

sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang undang itu ada,

ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.

Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakansebagai berikut : "hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah serta memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya".

Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut dapat disebut

dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-

undang sedangkan negatif, artinya bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat

cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh

menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan

terdakwa.24

2.3 Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencabulan

2.3.1 Pengertian tindak pidana

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang

hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat

24
M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 319
25

undangundang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah

peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Sedangkan tindak pidana menurut Simons (Kansil, 2001: 106) adalah

perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan mana dilakukan

oleh seseorang yang di pertanggungjawabkan, dapat disyaratkan kepada si

pembuatnya atau pelaku. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang

mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang

dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum

pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwaperistiwa

yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah

diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat

memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan

masyarakat.25

2.3.2 Unsur unsur tindak pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedahkan setidak-tidaknya dari dua

sudut pandang, yaitu sudut teoritis; dan sudut Undang-Undang. Teoritis artinya

berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya

Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana

itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan

perundang-undangan yang ada.

adapun unsur unsur tindak pidana sebagai betikut :26

25
Ilyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
sabagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hal: 18
26
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hal:79
26

a. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi

Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah melihatbagaimana

bunyi rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan dari batasan

tindak pidana oleh teoritisi yang telah dibicarakan di muka, yaitu: Moelijatno,

R.Tresna, Vos, Jonkers, dan Schravendijk. Menurut Moeljatno (Adami

Chazawi, 2002: 79), unsur tindak pidana adalah perbuatan, yang dilarang

(oleh aturan hukum) dan ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

b. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu

yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat pelanggaran.

Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, yaitu

mengenai tingkah laki/perbuatan walaupun ada perkecualian seperti Pasal 351

(penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang

dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantunkan; sama sekali tidak

dicantumkan mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab. Di samping

itu, banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai objek

kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat

diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:

1. Unsur tingkah laku;

2. Unsur melawan hukum;

3. Unsur kesalahan;

4. Unsur akibat konstitutif;

5. Unsur keadaan yang menyertai;

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;


27

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

9. Unsur objek hukum tindak pidana;

10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur itu, di antaranya dua unsur, yaitu kesalahan dan melawan

hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur

objektif. Unsur melawan hukum adakalanya bersifat objektif, misalnya melawan

hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian.27

2.3.3 Pengertian Tindak Pidana Pencabulan dan Jenisnya

Pengertian perbuatan cabul (ontuchtige handelingen) adalah segala macam

wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada

orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh

lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. KUHP menjelaskan perbuatan

cabul sebagai berikut:

“Segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang

keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: Cium-

ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb.

Persetubuhan masuk pula dalam pengertian cabul”28

Adapun beberapa jenis istilah tentang pencabulan yaitu sebagai berikut :

1. Exhibitionism : Yaitu sengaja memamerkan alat kelamin kepada orang

lain;

27
Pasal 362 KUHP (kitap undang undang hokum pidana)
28
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hal:80
28

2. Voyeurism : Yaitu mencium seseorang dengan bernafsu.

3. Fondling : Yaitu mengelus/meraba alat kelamin seseorang.

4. Fellatio : Yaitu memaksa seseorang untuk melakukan kontak mulut.

Menurut R. Soesilo, yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah peraduan

antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk

mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota

kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arriest Hoge

Raad 5 Februari 1912 (W, 9292). Dalam pengertian persetubuhan di atas

disimpulkan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan suatu persetubuhan jika alat

kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan sampai mengeluarkan

air mani yang dapat mengakibatkan kehamilan.29

Persetubuhan adalah persetuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki

dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu

bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan. Pengertian

“bersetubuh” pada saat ini diartikan bahwa penis telah penestrasi ke vagina30

Berdasarkan uraian diatas bahwa pengertian bersetubuh berdasarkan dengan

yang diungkapkan oleh R.Soesilo karena disini tidak disyaratkan terjadi

pengeluaran air mani dari penis laki-laki yang dapat menyebabkan kehamilan.

Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara pencabulan dan persetubuhan yaitu

jika seseorang melakukan persetubuhan itu sudah termasuk perbuatan cabul

sedangkan ketika seseorang melakukan perbuatan cabul, belum dikategorikan telah

melakukan persetubuhan karena suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu

29
R. Soesilo,2009, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor, hal:209
30
Leden Marpaung. 2008. Asas-Teori-Paktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hal:53
29

persetubuhan jika disyaratkan masuknya penis ke dalam vagina perempuan

kemudian laki-laki mengeluarkan air mani yang biasanya menyebabkan terjadinya

kehamilan sehingga jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka bukan dikategorikan

sebagai suatu persetubuhan melainkan perbuatan cabul. Selain itu perbuatan cabul

tidak menimbulkan kehamilan.

2.3.4 Unsur unsur Perbuatan Tindak Pidana Pencabulan

Untuk mengetahui unsur-unsur dari perbuatan cabul, penulis akan

menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal yang menyangkut dengan perbuatan

cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP sebagai

berikut:31

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul, diamcam karena melakukan perbuatan yang menyerang

kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”

Apabila rumusan Pasal 289 KUHP tersebut dirinci, akan terlihat unsur

unsurnya sebagai berikut:

1. Perbuatannya: Perbuatan cabul dan memaksa caranya dengan kekerasan

atau dengan ancaman kekerasan;

2. Objeknya: Seseoarang untuk melakukan atau membiarkan melakukan.

Adami Chazawi memberikan pengertian perbuatan memaksa sebagai

perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain

31
Pasal 289 KUHP
30

yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima

kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.32

Adapun yang dimaksud dengan kekerasan diutarakan oleh

R.Soesilosebagai “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil

secara tidak sah”. Sementara M.H.Tirtaamidjaja memberikan pengertian

kekerasan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang

agak hebat. Berdasarkan beberapa pendapat dari pakar di atas dapat disimpulkan

bahwa kekerasan merupakan setiap perbuatan yang ditujukan pada orang lain

dengan menggunakan kekutan badan yang besar dimana kekuatan itu

mengakibatkan orang lain tidak berdaya.33

2.4 Proses Pembuktian Tindak Pidana Pencabulan Dalam Tindak Pidana Pencabulan

Aparat kepolisian (penyidik) merupakan aparat Negara terdepan dalam

menangani proses pemeriksaan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.

Bidang peradilan, penyidik mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan

pelanggaran menurut ketentuan dalam undang-undang hukum acara. Oleh sebab

itu, penyidik dapat melakukan serangkaian tindakan penyidikan untuk mencari serta

mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi guna menenmukan tersangkanya sesuai dengan ketentuan Pasal

1 ayat (2) jo Pasal 6 KUHAP.

Upaya penyidik untuk melakukan pembuktian tentang suatu peristiwapidana,

harus benar-benar sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya selaku penyidik dan

dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana. Kewajiban penyidik untuk

segera melakukan tindakan penyidikan adalah berdasarkanpengaduan seseorang

32
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hal:78
33
Leden Marpaung. 2008. Asas-Teori-Paktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hal:52
31

yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban dalam peristiwa

pidana.

Tindak pidana pencabulan pada pokoknya merupakan delik biasa, akan tetapi

kebanyakan pencabulan terjadi diketahui oleh penyidik karena adanyalaporan dari

masyarakat atau orang tua korban itu sendiri. Kejahatan kesusilaan secara khusus

terdapat dalam Pasal-pasal KUHP yaitu Pasal 284 (perzinahan), Pasal 287

(bersetubuh dengan perempuan yang belum cukup umur 15 tahun), dan Pasal 293

(pencabulan terhadap orang yang belum dewasa) mensyaratkan delik aduan absolut.

Terlebih khusus Pasal 287 dan Pasal 293 KUHP, kedua pasal ini terkait dengan

pencabulan terhadap anak dibawah umur. Pasal 287 dan 293 pada ayat (2)

menegaskan bahwa penuntutan untuk pasal ini hanya dilakukan jika ada pengaduan.

Berdasarkan hal tersebut, selain di KUHP, delik pencabulan anak juga diatur

dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Undang-Undang No 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, pada Pasal 76E menyatakan

Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau

membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan

cabul.

Selanjutnya ditambahkan pada Pasal 82 Undang-Undang 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, pada Pasal 76E menyatakan:

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
32

lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah)

Delik pencabulan sebagaimana di atas dalam Undang-Undang Perlindungan

Anak, jelas tidak mensyaratkan pengaduan. Sehingga delik pencabulan dalam

Undang-Undang Perlindungan Anak bukan merupakan delik aduan. Hal ini dapat

dipahami sebagai bentuk perwujudan semangat terhadap perlindungan anak,

bahkan pembentuk undang-undang memberikan pemberatan terhadap pelaku. Delik

ini termasuk dalam delik biasa ( gewone delic). Konsekuensi dari delik biasa, yaitu

untuk melakukan proses hukum terhadap perkara-perkara yang tergolong delik

biasa tidak dibutuhkan pengaduan, namun karena keterbatasan aparat penegak

hukum setidaknya dibutuhkan laporan masyarakat atau pihak terkait untuk

melaporkan delik biasa ini34

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini diteliti mengenai salah

satu kasus pencabulan yang terjadi di wilayah hukum Polres Labuhanbatu,

sebagaimana diawali dengan adanya keluarga korban dugaan pencabulan yang

melaporkan terduga pelaku cabul, yang berinisial MMS usia 15 tahun yang

melakukan tindak pidana perbuatan cabul terhadap perempuan tidak berdaya, yang

beralamat di Dusun Tapian Nauli Desa Perbaungan Kec. Kualuh Hulu Kab.

Labuhanbatu Utara ke Polres Labuhanbatu Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

(UPPA) Sat Reskrim Polres Labuhanbatu. Kanit PPA Polres Labuhanbatu pada saat

dilakukan wawancara membenarkan jika pihaknya mengamankan pelaku cabul.

Dijelaskan dari keterangan ibu kandung korban, yang berinisial RS warga Dusun

Tapian Nauli Desa Perpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten

34
Beni Harefa, “Delik Pencabulan Anak Bukan Delik Aduan”, melalui www.beniharmoniharefa.blogspot.co.id,
diakses Senin, 06 juni 2022, Pukul 13.00 wib.
33

Labuhanbatu Utara dan korbannya berinisial NN berusia 31 tahun, dan terjadinya

tindak pidana cabul pada hari selasa, 08 maret 2022 pukul 10.00 wib.35

Pada hari Selasa, tanggal 08 maret 2022, korban sedang berada di dalam

rumahnya seorang diri, pada saati itu orang tua korban sedang pergi ke lading untuk

mencari berondolan yang kemudian mendapat telpon dari tetangganya dan

menyuruhnya cepat pulang kerumah karena anaknya telah diperkosa oleh terlapor,

kemudian orang tua korban bergegas untuk pulang kerumah dan setibanya dirumah

melihat anaknya sudah menangis akibat kejian tersebut, orng tua dan sejumlah

tetangganya melakukan peristiwa tersebut ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu

(SPKT) atau Unit Perlindunagn Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Labuhanbatu

untuk ditindaklanjuti atas perkara tersebut.36

Sehubungan dengan hal tersebut, penyidik Unit PPA Polrestabes Medan

langsung melakukan penyidikan terhadap terjadinya dugaan pencabulan yang

dilaporkan, yang diuraikan yakni sebagai berikut:

1. Tahap Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap tempat dimana diduga telah

terjadi pidana harus dianggap sebagai tempat kejadian perkara (TKP),

karena di tempat ini merupakan sumber keterangan yang penting dan bukti-

bukti yang dapat menunjukkan adanya hubungan antara korban, pelaku,

barang bukti serta TKP. Tujuan penanganan TKP adalah:37

35
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
36
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
37
Tasya Makalew, “Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan Cara Penanganannya”, melalui
www.tasyamakalewtm.blogspot.co.id, diakses Rabu, 15 Juni, Pukul 13.00 wib.
34

a. Menjaga agar TKP berada dalam keadaan sebagaimana pada saat

dilihat dan diketemukan petugas yang melakukan tindakan pertama di

TKP, serta memberikan pertolongan atau perlindungan kepada korban

atau anggota masyarakat bilamana diperlukan sambil menunggu

pengolahan TKP;

b. Melindungi agar barang bukti yang diperlukan tidak hilang, rusak,

tidak ada penambahan, atau pengurangan dan tidak berbeda letaknya

yang berakibat menyulitkan atau mengaburkan pengolahan TKP dan

pemeriksaan secara teknis ilmiah;

c. Untuk memperoleh keterangan dan fakta sebagai bahan penyidikan

lebih lanjut dalam menjajaki dan menentukan pelaku, korban, saksi-

saksi, barang bukti, modus operandi dan alat yang dipergunakan dalam

rangka mengungkap tindak pidana.

Hakekat penyidikan suatu tindak pidana adalah pembuktian yang

diperoleh melalui suatu proses yang menggunakan segi tiga pembuktian

sebagai pisau analisis. Segitiga pembuktian itu adalah Tempat Kejadian

Perkara (TKP)-Barang Bukti-Pelaku-Saksi. TKP menjadi titik sentral

segitiga tersebut karena menurut William Dienstein seorang pakar

Kriminalistik terkemuka, bahwa TKP tidak lain adalah babak terakhir dari

suatu peristiwa kejahatan, yang didalamnya pasti terdapat banyak bekas-

bekas yang dapat menjadi petunjuk atau bukti.38

2. Tahap Penggeledahan, Penangkapan, Penahanan, dan Penyitaan

38
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
35

Suatu kewenangan penyidik untuk memasuki tempat-tempat tertentu guna

mencari tersangka dan atau barang yang tersangkut dalam suatu tindak

pidana pencabulan untuk dijadikan barang bukti. Dalam KUHAP dikenal

ada tiga macam penggeledahan, antara lain :

a. Penggeledahan Rumah, yaitu tindakan penyidik untuk memasuki rumah

tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan

pemeriksaan atau penyitaan atau penangkapan (Pasal 1 butir (18)

KUHAP);

b. Penggeledahan Badan, yaitu tindakan penyidik untuk

mengadakanpemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari

benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk

disita (Pasal 1 butir (18) KUHAP);

c. Penggeledahan Pakaian, yaitu tindakan penyidik atau penyidik

pembantu untuk memeriksa pakaian yang digunakan oleh tersangka

pada saat itu termasuk barang yang dibawanya serta untuk mencari

barang yang dapat disita.39

3. Tahap Penyidikan

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah

penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana

terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil

penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada

tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau

39
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
36

diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat

penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan

bukti”.

Tahap penyidikan dapat dikatakan pula sebagai tahap penindakan.

Tahap penindakan dalam artian bahwa dalam tahap ini penyidik dapat

melakukan tindakan hukum yaitu upaya paksa. Hal penting yang dapat

dilakukan oleh pihak penyidik dalam tahap ini ialah penyidik dapat

melakukan panggilan atau penangkapan terhadap tersangka berikut juga

dengan barang bukti yang dapat disita secara langsung dari tersangka.

Berdasarkan hal tersebut, perlu diperhatikan untuk memulai melakukan

penyidikan haruslah didasarkan pada hasil penilaian terhadap informasi atau

data yang diperoleh. Sedangkan informasi atau data yang dilakukan untuk

melakukan penyelidikan dapat diperoleh melalui:40

a. Sumber-sumber tertentu yang dapat dipercaya.

b. Adanya laporan langsung kepada penyelidik dari orang yang

mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana.

c. Hasil berita acara yang dibuat oleh penyelidik.

Pemahaman tentang penyidikan telah disinggung dalam penjelasan di

atas, yaitu upaya untuk mencari dan mengungkap keterangan atau

informasi tentang peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana atau

peristiwa kejahatan yang diduga dilakukan oleh seseorang yang belum

diketahui identitas pelakunya.

40
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
37

Penyidik pada waktu melakukan pemeriksaan pertama kali di tempat

kejadian sedapat mungkin tidak mengubah, merusak keadaan di tempat

kejadian agar bukti-bukti tidak hilang atau menjadi kabur. Hal ini terutama

dimaksudkan agar sidik jari begitu pula bukti-bukti yang lain tidak hapus

atau hilang. Berdasarkan hal tersebut, sebagai bahan bukti, perlu keadaan

di tempat kejadian diabadikan dengan jalan membuat gambar atau foto.

Demikian pentingnya ketelitian dan kecermatan dalam melakukan

pemeriksaan di tempat kejadian.

Dimulainya Penyidikan dalam hal penyidik telah memulai melakukan

penyidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan perbuatan pidana,

penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Vide Pasal 109

ayat (1) KUHAP). Pemberitahuan dimulainya penyidikan dilakukan

dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), yang

dilampiri: laporan polisi, resume BAP saksi, resume BAP tersangka, berita

acara penangkapan, berita acara penahanan, berita acara penggeledahan

dan berita acara penyitaan.41

4. Tahap Pemeriksaan

Pemeriksaan pada kasus tindak pidana pencabulan ditekankan pada

pemeriksaan dari seorang ahli guna membuktikan terjadinya perbuatan yang

telah dilakukan oleh tersangka. Pemeriksaan keterangan ahli sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa: “ia akan

memberikan keterangan dan pendapatnya menurut pengetahuannya yang

sebaik-baiknya dalam bidang keahliannya”. Apabila seorang ahli menolak

41
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
38

memberikan keterangan yang diminta oleh penyidik disebabkan karena

harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan untuk

menyimpan rahasia, maka ia tidak dapat dituntut dan dihukum (dijatuhi

pidana).

Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik difokuskan sepanjang hal

yang meyangkut persoalan hukum. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan

penyidik ialah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan mengenai

peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka

yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan asas

akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan menusia yang

memiliki harkat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai

objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana

yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Pemeriksaan

tersebut ditujukan ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh

tersangka. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai dengan prinsip

hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent) sampai diperoleh

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.42

Tugas dari seorang dokter atau seorang dokter ahli di dalam membantu

aparat penegak hukum adalah sebagai salah satu tugas yang mewajibkannya

dilakukan olehnya di dalam menangani suatu kasus pencabulan, misalnya

dalam tugas memeriksa luka-luka pada kemaluan serta pada tubuh korban

pencabulan. Kewajiban tersebut dapat terlaksana apabila kepadanya telah

42
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
39

dilakukan permintaan (permohonan) oleh penyidik kepolisian menurut

prosedur yang berlaku.43

Ilmu kedokteran dalam tahap pemeriksaan di tingkat penyidikan guna

membuktikan perbuatan pencabulan yang terjadi sangat penting perannya,

sebagaimana berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara

sesuatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimbulkannya dari perbuatan

tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh, atau yang

menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya

seseorang, dimana terdapat akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi

tindak pidana pencabulan.44

2.5 Upaya Penegak Hukum Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencabulan Pada

Tahap Penyidikan

Pembuktian suatu delik pencabulan harus dilakukan dengan bantuan ilmu

kedokteran forensik, yang akan membuktikan adanya unsur-unsur dari pencabulan

sesuai dengan Pasal 285 KUHP. Upaya kedokteran forensik dalam membantu

menjernihkan dan membuat terang suatu kasus pencabulan yaitu dengan membuat

visum et repertum, sebagai hasil pemeriksaan. Kekuatan pembuktian suatu visum

et repertum pada kasus pencabulan punya pengaruh besar dalam menentukan

seseorang sebagai pelaku tindak pidana pencabulan tersebut, karena visum et

repertum diperlukan sebagai bukti untuk membuktikan adanya pencabulan itu

sendiri.

43
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
44
Arsyadi. Fungsi dan Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Perkara Pidana. Dalam Jurnal Ilmu Hukum
Legal Opinion. Edisi 2, Volume 2, Tahun 2014, hal 60.
40

Mengenai barang bukti berupa visum et repertum, dalam kasus pencabulanhal

ini dimintakan segera setelah diterimanya pengaduan oleh penyidik. Atas

pengaduan yang diterima, oleh penyidik kemudian dibuatkan Laporan Polisi yaitu

laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang adanya pemberitahuan yang

disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undangundang,

bahwa telah atau sedang terjadi peristiwa pidana. Setelah dibuat Laporan Polisi

kemudian dilakukan prosedur untuk memperoleh visum et repertum yang bertujuan

untuk mengetahui keadaan korban terutama terkait dengan pembuktian unsur-unsur

persetubuhan dan kekerasan/ancaman kekerasan dalam tindak pidana pencabulan.

Pembuatan visum et repertum harus dilakukan segera setelah diterimanya

pengaduan tindak pidana pencabulan agar keadaan korban tidak begitu banyak

mengalami perubahan dan dapat diketahui secepat mungkin setelah terjadinya

tindak pidana pencabulan.45

Secara garis besarnya permohonan visum et repertum harus memperhatikan hal-

hal sebagai berikut: 46

1. Permohonan harus dilakukan secara tertulis oleh pihak-pihak yang

diperkenankan untuk itu dan tidak diperkenankan dilakukan melalui lisan

maupun melalui pesawat telepon.

2. Permohonan visum et repertum harus diserahkan oleh penyidik bersamaan

dengan korban, tersangka dan juga barang bukti kepada dokter ahli

kedokteran kehakiman.

45
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
46
“Visum et repertum” melalui www.sutanmajolelo.blogspot.co.id, diakses Jumat, 17 Juni 2022, Pukul 12.10wib.
41

Mengenai hasil pemeriksaan terhadap korban pencabulan yang ada pada hasil

visum et repertum yang menyatakan bahwa pada diri korban pencabulanhanya

didapati tanda persetubuhan namun tidak didapati mengenai adanya tandatanda

kekerasan, dalam hal ini agar dapat ditemukan bukti-bukti adanya kekerasan

maupun ancaman kekerasan dalam tindak pidana pencabulan sehingga menjadi

terangnya suatu tindak pidana, upaya yang dilakukan penyidik adalah dengan

dilakukannya tindakan-tindakan sebagai berikut :

1. Pemanggilan tersangka dan korban

Terhadap tersangka dan korban dilakukan pemeriksaan yang bertujuan

untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keindentikkan tersangka dan

korban, dan barang bukti maupun unsur-unsur tindak pidana, sehingga

kedudukan suatu barang bukti didalam tindak pidana tersebut menjadi jelas.

Dalam pemeriksaan ini, digunakan teknik sebagai berikut :47

a. Interogasi yaitu salah satu cara pemeriksaan tersangka atau saksi

dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara mengajukan

pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka atau saksi

guna mendapatkan keterangan, petunjuk-petunjuk dan alat bukti

lainnya dan kebenaran keterlibatan tersangka.

b. Konfrontasi yaitu salah satu teknik pemeriksaan dalam rangka

penyidikan dengan cara mempertemukan satu dengan yang lainnya

47
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
42

(sesama tersangka, sesama saksi, dan tersangka dengan saksi) untuk

menguji kebenaran dan persesuaian keterangan masing-masing.

2. Pemeriksaan dan penyitaan benda benda yang didapat menjadi barang bukti

terjadinya tindak pidana pencabulan. Dalam penyidikan tindak pidana

pencabulan, benda-benda yang disita yang dapat menjadi barang bukti

pemeriksaan perkara tersebut seperti misalnya pakaian yang dikenakan

korban, terutama celana dalam yang sering terdapat noda darah atau sperma,

sprei (alas tempat tidur dilakukannya persetubuhan) yang terdapat bekas

sperma atau noda darah, alat yang digunakan pelaku untuk mengancam

korban seperti pisau, cerulit, parang atau senjata tajam lainnya, sisa

minuman atau obat-obatan yang digunakan pelaku yang mengakibatkan

korban tidak sadarkan diri atau tidak berdaya, atau benda lain yang terkait

dan dapat menjadi bukti terjadinya tindak pidana pencabulan. Benda-benda

tersebut seperti misalnya celana dalam korban biasa juga disertakan dalam

pembuatan visum et repertum untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium

yang hasilnya juga termuat dalam visum et repertum korban pencabulan.48

3. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP) berdasarkan ketentuan Pasal

34 ayat (1) huruf c KUHAP yang mengatur bahwa penyidik dapat

melakukan penggeledahan di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat

bekasnya. Upaya yang dilakukan penyidik dalam mengumpulkan bukti-

bukti pada pemeriksaan tindak pidana pencabulan di atas, khususnya untuk

menemukan bukti adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam

48
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
43

hal ini hasil visum et repertum tidak memuat keterangan tentang adanya

tanda kekerasan pada diri korban pencabulan. 49

2.6 Kedudukan Alat Bukti Visum Et Repertum Pada Tahap Penyidikan Dalam

Menangani Tindak Pidana Pencabulan

Pada dasarnya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian terhadap

peristiwa tindak pidana pencabulan sangat sulit untuk dibuktikan, hal ini seringkali

pelaku itu sendiri mengelak dalam hal perbuatannyanya. Alat bukti Visum Et

Refertum sangat penting dalam pembuktian tindak pidana pencabulan, dimana

visum et repertum bermanfaat untuk menemukan fakta-fakta dan mencari

kebenaran materiil dari tindak pidana pencabulan yang terjadi dan visum et

repertum dapat menentukan hubungan antara perbuatan dan akibat perbuatan.

Visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena

menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda Bukti). Seperti diketahui dalam

suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta

membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban merupakan Corpus Delicti.

maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau

diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et

repertum. Tentunya kedudukan seorang dokter di dalam penanganan korban

kejahatan dengan menerbitkan visum et repertum seharusnya disadari dan dijamin

netralitasnya, karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya

kebenaran.50

49
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
50
Dewi, “Peran Visum et repertum Dalam Penyidikan Tindak Pidana Di Indonesia Beserta Hambatan Yang
Ditimbulkan”, www.dewi37lovelight.wordpress.com, diakses Senin 20 Juni Pukul 14.50 wib.
44

Visum et repertum termasuk dalam alat bukti keterangan ahli yang terdapat

dalam Pasal 186 KUHAP dan alat bukti surat pada Pasal 187 huruf c. Visum et

repertum menjadi alat bukti keterangan ahli apabila dokter atau ahli forensik

memberikan keterangannya. Sedangkan visum et repertum dijadikan alat bukti surat

maka harus dibacakan dalam suatu pemeriksaan. Konsekuensi jika visum et

repertum tidak dibacakan dalam pemeriksaan maka visum tersebut tidak dapat

dipakai sebagai alat bukti.

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai

hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan.

Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu

kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum,

dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi

hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang

menyangkut tubuh dan jiwa manusia.51

Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif mengenai alat

bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan

dipergunakan untuk membuktikan kesalahan seseorang. Tindak pidana pencabulan

merupakan salah satu tindak pidana yang pelik pembuktiannya. Dikatakan

demikian oleh karena tempat terjadinya perkara sengaja ditentukan oleh pelaku

tindak pidana di tempat tertentu yang memungkinkan perbuatan yang dilakukan

tidak diketahui oleh orang lain, yang memungkinkan pihak yang melihat,

mendengar adanya pencabulan akan melaporkan kepada aparat penegak hukum

51
Amaria, “Visum et repertum”, www.tentangcintaku.wordpress.com, diakses Minggu, 26 Juni 2022, Pukul 23.57
wib.
45

yang berkompeten. Selanjutnya apabila perkara yang telah dilaporkan tersebut

ditindak lanjuti bahwa pihak pelapor akan berperan sebagai saksi.

Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan

bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan

bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1)

KUHAP. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap

pemeriksaan persidangan, terdapat pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP.

Permintaan visum et repertum antara lain bertujuan untuk membuat terang

peristiwa pidana yang terjadi. Oleh karena itu penyidik dalam permintaan tertulis

pada dokter menyebutkan jenis visum et repertum yang dikehendaki dengan

menggunakan format sesuai dengan kasus yang sedang ditangani.Visum et repertum

adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya

terhadap sesuatu, misalnya terhadap korban dan lain-lain dan ini dipergunakan

untuk pembuktian guna membuktikan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.52

Hasil pemeriksaan Visum et repertum yang menyatakan bahwa terdapat luka

robek lama total sampai dasar akibat kekerasan benda tumpul di selaput dara korban

atau saksi korban, maka luka tersebut dapat digolongkan sebagai luka ringan.

Dikatakan sebagai luka ringan karena luka yang dialami oleh korban atau saksi

korban tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan

atau mata pencahariannya, hanya keperawanannya sudah hilang. Luka ringan yang

dialami oleh saksi korban termasuk klasifikasi luka derajat pertama atau luka

golongan C. Hasil dari pemeriksaan korban dan menemukan terdapat jenis luka ini

menandakan bahwa telah terjadi suatu persetubuhan yang terjadi antara pelaku

52
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
46

dengan korban dan jenis luka pada korban juga telah memenuhi persyaratan standar

yang telah ditetapkan dari kriteria kedokteran maupun dari aspek hukum pidana

secara normatif limitatif.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulakn bahwa syarat Visum et repertum

supaya memiliki nilai pembuktian yang sah adalah:

1. Memenuhi syarat formil dan materiil Visum et repertum;

2. Diajukan oleh pihak yang tepat yaitu salah satunya Penyidik;

3. Hasil Visum et repertum mudah dimengerti oleh seseorang yang bukan

berprofesi sebagai dokter;

4. Isi Visum et repertum relevan dengan yang dimintakan.

Penilaian Visum et repertum yang diajukan oleh penyidik dapat dikatakan sesuai

dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, karena dianggap alat bukti surat dimana

termasuk salah satu alat bukti sah dari macam-macam alat bukti yang disebutkan

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Visum et repertum sebagai alat bukti surat juga

telah memenuhi syarat formal dan syarat materiil sebagai alat bukti autentik yang

sah serta telah memenuhi persyaratan standar atau kriteria kedokteran secara

normatif limitatif dalam hasil pemeriksaan yang menyatakan jenis luka pada saksi

korban, sehingga pelaku terbukti bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan

terhadap anak dan dikenai ancaman Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

dengan dikenai pidana penjara selama 5 (lima) tahun, serta denda sebesar

Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda
47

tersebut tidak dibayar oleh tersangka maka diganti dengan pidana penjara selama 1

(satu) bulan.53

Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah Ilmu yang menggunakan Ilmu Kedokteran

untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain

(perdata). Ilmu kedokteran kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan

kausalitas antara suatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimbulkannya dari

perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh, atau yang

menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang,

dimana terdapat akibat-akibat tersebut yang patut diduga telah terjadi tindak pidana.

Dokter ahli (forensik) akan membuat laporan berupa visum et repertum. Visum

tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis

untuk tujuan peradilan. Visum et repertum tidak memerlukan meterai untuk dapat

dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum.

Berdasarkan hal tersebut, visum et repertum berguna untuk menentukan kapan

saat terjadi luka dan apakah luka yang dimaksud itu diakibatkan oleh tindak

pencabulan atau tidak, diperlukan alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum. Salah satu cara memperjuangkan hak-hak korban pencabulan adalah

melalui pengumpulan bukti-bukti yang dapat melindungi korban, memperkuat

posisi korban, serta mengungkapkan tindak pidana pencabulan. Berbagai upaya

dilakukan dalam memperoleh bukti-bukti yang mengacu pada tindak pidana

pencabulan. Suatu berkas perkara pidana, ada atau tidak ada visum et repertum,

maka perkara yang bersangkutan tetap harus diperiksa dan diputus.

53
Hasil wawancara dengan Ibu IPDA Rostina Br Sembiring, S.H, Sebagai Kanit Idik IV Pelayanan Perempuan
dan Anak di Polres Labuhanbatu, Rabu, 15 Juni 2022
48

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna mendapatkan data yang

sesuai dengan penelitian, juga akan mempermudah pengembangan data data, sehingga

penyusun penulisan hukum ini sesuai dengan metode ilmiah.

Dalam menyusun penelitian ini penulis menggunakan metoe yuridis normative atau

penelitian doctrinal atau penelitian hukum memalui kepustakaan yaitu penelitian hukum yang

di lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut

kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungan

dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai peran visum et repertum dalam pembuktian tindak

pidana pencabulan.

3.1 Tempat dan Waktu penelitian

Tempat pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan Media Elektronik atau Media

Sosial. Dan waktu penelitian ini dimulai sejak November sampai dengan bulan Juni lebih

kurang selama 7 ( Tujuh ) bulan., dimulai memsukkan judul, pengolahan dan pengambilan data

yang meliputi penyajian dalam bentuk proposal skripsi, proses bimbingan, kemudian

dilanjutkan dengan Seminar Proposal dan terakhir Skripsi sebagaimana tebel dibawah ini :

- Polres Labuhanbatu

- Pengadilan Negri Rantauprapat


49

NO Waktu Jadwal Kegiatan Keterangan

1 23 November Masukkan judul dan 1. Muhammad Yusuf Siregar,

2021 penentuan dosen S.H.,M.H.

pembimbing 2. Wahyu Simon Tampubolon,

S.H.,M.H.

2 Konsultasi bab I dan II

3 Konsultasi bab III

4 Sempro

5 Bimbingan Bab IV

6 Bimbingan Bab V

7 Koordinasi tentang

Plagiasi Caker

3.2 Sumber Data

Penelitian ini didapatkan melalui data primer dan data sekunder. Data Primer data yang

peneliti peroleh langsung dari lapangan dengan melakukan wawancara kepada Ibu Rostina Br

Sembiring, S.H., sebagai Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak di Polres Labuhanbatu

mengenai pembuktian tindak pidana pencabulan dengan visum et repertum dalam tahap

penyidikan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan atau studi

literatur yang terdiri atas:

a. Bahan Hukum Primer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang


50

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Pelindungan Anak, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajeman

Penyidikan Tindak Pidana.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer yang berupa karya ilmiah, buku, serta yang berhubungan dengan

rumusan masalah ini

c. Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus hukum, internet, dan jurnal.

3.3 Cara Kerja

a. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, maka metode

pengumpulan data yang digunakan dalam studi pustaka, yaitu pengkajian informasi

tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber secara luas dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Adapun cara yang dilakukan yaitu

dengan mengidentifikasi data sekunder yang diperlukan, inventarisasi data yang sesuai

dengan rumusan masalah, mengutip berbagai macam undang-undang yang

berhubungan dengan penelitian.

b. Metode Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data sehingga dapat

digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti. Data yang terkumpul diolah

melalui pengolahan dengan cara berikut :


51

1. Identifikasi data, yaitu memeriksa data yang telah diperoleh untuk mengetahui

apakah data tersebut relevan dan sesuai dengan bahasan. Apabila terdapat data

yang salah, maka akan diperbaiki.

2. Klarifikasi data, yaitu data yang telah selesai diseleksi, kemudian diklarifikasi

sesuai dengan jenis dan hubungan dengan masalah penelitian.

3. Sistematisasi data, yaitu menempatkan data pada masing-masing bidang

pembahasan yang dilakukan secara sistematis, logis dan berdasarkan kerangka

pikiran.

3.4 Analisis

Setelah data telah tersusun secara sistematis, maka tahap selanjutnya adalah menganalisis

data. Analisis data ini menggunakan metode kualitatif yaitu mengungkapkan data dan

menguraikan data yang diperoleh dalam bentuk kalimat perkalimat yang disusun secara

terperinci, logis dan sistematis mengenai pokok bahasan sehingga akan mempermudah dalam

menarik suatu kesimpulan. Setelah semua data selesai diolah, kemudian dianalisis sesuai

dengan pokok bahasan yaitu Peran Visum Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana Cabul (Studi

Putusan Nomor : 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN. Rap)


52

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Penerapan Hukum Pidana Materil terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan

dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Rap

Hakim dalam memeriksa perkara pidana, berupa mencari dan membuktikan kebenaran

harus berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta memegang teguh surat

dakwaan yang dirumuskan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Apabila surat dakwaan tersebut

terdapat kekurangan atau kekeliruan, maka hakim akan sulit untuk mempertimbangkan dan

menilai serta menerapkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana.

Untuk membuktikan tepat atau tidaknya penerapan hukum pidana materil oleh hakim, terlebih

dahulu membahas tentang posisi kasus perkara yang Penulis teliti yaitu Putusan Nomor

6/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Rap, yaitu sebagai berikut :54

1. Posisi Kasus

Bahwa Anak MARSAL MARTOGI SITORUS Alias TOGI, pada hari Selasa tanggal

10 Maret 2022 sekira pukul 10.00 wib, atau setidak tidaknya pada waktu lain dalam

bulan Maret 2022, bertempat di Dusun Perpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu

Kabupaten Labuhanbatu Utara atau setidak – tidaknya pada suatu tempat lain yang

masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negri Rantauprapat “dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul”

54
Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Rap
53

Perbuatan yang dilakukan terdakwa yaitu dimana saat itu Anak MARSAL MARTOGI

SITORUS Alias TOGI melihat ibu kandung Nurmaida Br. Nababan yaitu saksi

Ruminta Br. Silaban pergi keluar rumah / mencari lidi ke kebun kelapa sawit di Areal

Dusun Tapian Nauli tersebut, lalu Anak MARSAL MARTOGI SITORUS Alias TOGI

pun sengaja datang kerumahnya saksi Nurmaida Br. Nababan, lalu Anak MARSAL

MARTOGI SITORUS Alias TOGI masuk kedalam rumahnya saksi Nurmaida Br.

Nababan dan Anak MARSAL MARTOGI SITORUS Alias TOGI melihat saksi

Nurmaida Br. Nababan Sendiri didalam kamarnya sehingga Anak MARTOGI

MARSAL SITORUS Alias TOGI pun bernafsu untuk melakukan perbuatan cabul

terhadap saksi Nurmaida Br. Nababan, lalu Anak MARSAL MARTOGI SITORUS

Alias TOGI langsung naik keatas tempat tidur saksi Nurmaida Br. Nababan, dan Anak

MARSAL MARTOGI SITORUS Alias TOGI pun secara paksa membuka bajunya

Nurmaida Br. Nababan saat itu, sehingga kondisi saksi Nurmaida Br. Nababan tanpa

busana bagian atas (separuh telanjang dada) dan Anak MARSAL MARTOGI

SITORUS Alias TOGI pun saat itu sudah membuka celana Panjang Anak MARSAL

MARTOGI SITORUS Alias TOGI namun Anak MARSAL MARTOGI SITORUS

Alias TOGI masih memakai celana pendek Anak MARSAL MARTOGI SITORUS

Alias TOGI memegang / mengisap kedua buah dada saksi Nurmida Br. Nababan, lalu

tiba – tiba dating tetangga saksi Nurmaida Br. Nababan dan tetangga tersebut masuk

kedalam rumah saksui Nurmaida Br. Nababan tersebut sehingga Anak MARSAL

MARTOGI SITORUS Alias TOGI pun berselimut dengan selimut warna cokelat

campur warna putih – putih sehingga tetangga / saksi tersebut langsung menunggui

Anak MARSAL MARTOGI SITORUS Alias TOGI dan hingga sampai datangnya

Orang tua Nurmaida Br. Nababan waktu itu, dan lalu Anak MARSAL MARTOGI

SITORUS Alias TOGI pun dibawa oleh orangtua Anak MARSAL MARTOGI
54

SITORUS Alias TOGI pulang kerumah dan Anak MARSAL MARTOGI SITORUS

Alias TOGI langsung dilarikan oleh orangtuanya kedaerah pekan baru dan hingga Anak

MARSAL MARTOGI SITORUS Alias TOGI ditangkap oleh pihak Kepolisian

Labuhanbatu di daerah Pekanbaru waktu penyidik dan Anak MARSAL MARTOGI

SITORUS Alias TOGI mengakui perbuatan Anak MARSAL MARTOGI SITORUS

Alias TOGI yang telah mencabuli saksi Nurmaida Br. Nababan waktu itu kepada

penyidik.

Bahwa berdasarkan Visum Et Repertum dari RSUD Rantauprapat

No.445/3193/RM-RSUD/2022, yang ditandatangani oleh Dr. Sugiono,SpOG pada

tanggal 14 maret 2022 yang telah melakukan pemeriksaan terhadap Saksi Nurmaida

Br. Nababan, dengan hasil sebagai berikut :

a. Kemaluan

- Tidak tampak robek pada selaput darah

b. Kesimpulan

- Selaput darah utuh

2. Dakwaan Penuntut umum

Dalam Perkara dengan terdakwa MARSAL MARTOGI SITORUS Alias TOGI, yang

mana Penasehat Hukum Anak telah mengajukan keberatan dan telah diputus dengan

putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Rap yaitu :

a. Menolak Keberatan Penasihat Hukum Anak

b. Menyatakan surat Dakwaan Nomor Register Perkara PDM-

30/L.2.18.3/Eoh.2/03/2022 tanggal 30 maret 2022 sah menuntut hukum dan dapat

dijadikan dasar pemriksaan perkara aquo


55

c. Memerintahkan Penuntut Umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara pidana

Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Rap atas nama Anak Marsal Martogi Sitorus

Alias Togi

d. Menangguhkan biaya perkara ini sampai putusan akhir

3. Tuntutan Penuntut Umum

Tuntutan Penuntut Umum dalam perkara dengan Putusan Nomor 6/Pid.Sus-

Anak/2022/PN.Rap pada pokoknya meminta agar majelis hakim yang memeriksa

dan mengadili memutuskan:

a. Menyatakan bahwa terdakwa Anak Marsal Martogi Alias Togi telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan

Perbuatan Cabul Dengan seseorang, Sedang Diketahuinya Bahwa Orang itu

Pingsan Atau Tidak Berdaya” sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal

290 KUHP Jo UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

sebagaimana dalam Dakwaan Kedua

b. Menjatuhkan pidana terhadap Anak Marsal Martogi Alias Togi berupa pidana

penjara selama 1 (satu) tahunn dan 4 (empat) bulan dikurangi selama terdakwa

berada dalam tahanan

c. Menetapkan barang bukti berupa:

- 1 (satu) buah selimut warna coklat campur putih – putih

Dirampas untuk dimusnahkan

d. Menetapkan agar terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima

ribu rupiah)
56

4. Amar Putusan

Mengadili

1. Menyatakan Anak Marsal Martogi Sitorus Alias Togi tersebut diatas terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan Perbuatan

Cabul” sebagaimana dalam Dakwaan Alternatif Kedua

2. Menjatuhkan Pidana kepada Anak oleh karena itu dengan Pidana Penjara selama 5

(lima) bulan

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Anak dikurangi

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

4. Menetapkan Anak tetap ditahan

5. Menetapkan barang bukti berupa

- 1 (sat) buah selimut warna coklat campur putih – putih

Dimusnahkan

6. Membebankan kepada Anak membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5000.00,- (lima

ribu rupiah)

5. Analisis Penulis

Dalam kasus yang dibahas oleh penulis untuk skripsi ini yaitu tentang

perbuatan tindak pidana cabul kepada seorang wanita yang memiliki kegangguan

mental atau keterbatasan fisik, dimana yang menjadi terdakwa adalah Anak Marsal

Martogi Alias Togi melakukan perbuatan pencabulan kepada saksi Nurmaida Br.

Nababan

Penerapan Hukum Pidana dalam perkara diatas, Jaksa Penuntut Umum

menerapkan Pasal 289 KUHP Jo UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Anak. Adapun alas an dan dasar Hukumnya berdasarkan hasil penelitian Penulis dapat
57

menarik kesimpulan bahwa Hakim memilih Pasal 289 KUHP Jo UU No. II tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Anak yaitu :

- Pertama yang menjadi korban adalah wanita berusia 31 tahun bilamana beliau

memiliki kegangguan mental

- Kedua terdakwa berusia 15 tahun, Artinya belum dewasa menurut KUHP,

dimana umur dewasa menurut KUHP yaitu umur 18 tahun, maka Hakim meilih

Pasal 290 KUHP Jo UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Selanjutnya, untuk membuktikan tepat atau tidaknya penerapan pasal yang

dilakukan oleh Majelis Hakim bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana pencabulan sebagaimana di atur dalam Pasal Pasal 290 KUHP

Jo UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, maka unsur-unsur tentang

tindak pidana tersebut harus terpenuhi seluruhnya.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di pemeriksaan persidangan dikaitkan

dengan pembuktian unsur dakwaan, maka menurut jaksa penuntut umum menggunakan

dakwaan alternatif yang di dakwakan kepada terdakwa tersebut dinyatakan terbukti

yaitu Pasal 290 KUHP Jo UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,

dengan unsur-unsur sebagai berikut:

1. Unsur Barang Siapa

Bahwa yang dimaksud barang siapa adalah siapa saja sebagai subjek

Hukum sebagai pendukumg hak dan kewajiban yang bersangkutan

berstatus mampu bertanggungjawabkan perbuatannya dari segi Hukum

Pidana.

2. Unsur Melakukan Perbuatan Cabul Dengan Seseorang


58

Bahwa yang dimaksud cabul ialah perbuatan yang melanggar kesopanan

dan kesusilaan dalam hal nafsu birahi misalnya cium-ciuman, meraba –

raba anggota kemaluan atau buah dada.

3. Unsur Padahal Diketahui Bahwa Orang Itu Pingsan Atau Tidak Berdaya

Bahwa berdasarkan fakta Hukum yang terungkap dipersidangan pada hari

Selasa tanggal 8 maret 2022 sekira pukul 10.00 wib. Bertempat di Dusun

Tapian nauli Desa Perpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten

Labuhanbatu Utara, Anak telah masuk kerumah saksi Ruminta Br. Silaban

dan satu ranjang dengan anaknya bernama saksi Nurmaida Br. Nababan

Dalam delik kesusilaan adanya kesengajaan dari seseorang pelaku harus di

tunjukkan pada akibat yang di kehendakinya. Dalam unsur kesengajaan (dolus)

terkandung elemen kehendak dan pelaku memiliki pengetahuan.

Bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 290 Ayat 1 KUHP Jo. Undang-

undang RI. Nomor 11 tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak telah terpenuhi

maka Anak haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

tindak pidana sebagaimana didakwaan dalam dakwaan alternative.

Bahwa dalam persidangan Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat

menghapuskan pertanggungjawaban pidana sebagai alasan pembenar dan atau alasan

pemaaf maka anak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, Karena anak

mampu bertanggungjawab maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Dalam menjatuhkan Pidana Penjara terhadap Anak Undang-undang RI. Nomor

11 tahun 2012 Tentang system Peradilan Pidana Anak menentukan pidana penjara yang

dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman

pidana penjara bagi orang dewasa dan minimum khusus pidana penjara tidak berlaku
59

bagi Anak (Vide Pasal 79 Ayat (2) dan Ayat 3 Undang – undang RI. Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.

Karena Anak masih berusia 15 (lima belas) tahun sehingga berdasarkan Undang

– Undang RI. Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, masih termasuk

dalam kategori anak maka Hakim akan mempertimbangkan hasil penelitian dari

Pembimbing Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Rantauprapat dimana faktor

penyebab anak melakukan perbuatan tersebut adalah karena pengaruh dari pergaulan

dan seringnya anak menonton film porno melalui handphonenya dan selain itu

kurangnya pengawasan dari orangtua Anak.

Bahwa sesuai dengan fakta yang terungkap didepan persidangan menurut

keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sendiri yang pada pokoknya

menerangkan bahwa benar terdakwa telah melakukan perbuatan cabul terhadap korban

Saudari Nurmaida Br. Nababan, dimana korban berusia 31 (tiga puluh satu) tahun yang

lahir pada tanggal 21 juli 1990, dengan demikian korban Nurmaida Br. Nababan

dikualifikasikan sebagai korban yang harus mendapatkan jaminan dan perlindungan

atas hak – haknya.

4.2 Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana terhadap Pelaku

Tindak Pidana Pencabulan dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Rap

Pengambilan keputusan sangatlah di perlukan oleh hakim untuk menetapkan

status seseorang terdakwa dalam persidangan. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

putusan setah proses pemeriksaan dan persidangan selesai maka harus mengambil

keputusan yang sesuai. Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi pidana, hakim

melakukan tindakan untuk membuktikan terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa

yang di ajukan kepadanya dengan melihat buktibukti yang ada (fakta persidangan) dan
60

di sertai keyakinannya setelah itu mempertimbangkan dan memberikan penilaian atas

peristiwa yang terjadi serta menghubungkan dengan hukum yang berlaku dan

selanjutnya memberikan suatu kesimpulan dengan menetapkan suatu sanksi pidana

kepada terdakwa.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rantauprapat yang memeriksa dan mengadili

terdakwa dalam perkara ini setelah men dengarkan keterangan dari saksi-saksi,

keterangan terdakwa, barang bukti di persidangan dan visum et repertum, di peroleh

fakta-fakta hukum sebagai berikut :

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 8 Maret 2022 sekitar pukul 10.00 wib.

Bertempat di Dusun Tapian Nauli Desa perpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu

Kabupaten Labuhanbatu Utara.

- Bahwa benar terdakwa menjelaskan cara terdakwa melakukan cabul, disaat

Anak melihat Ibu kandung Nurmaida Br. Nababan yaitu Ruminta Br. Silaban

pergi keluar dari rumahnya untuk mencari lidi dikebun kelapa sawit milik warga

masyarakat dan melihat hal tersebut lalu Anak langsung perginkerumahnya

Nurmaida Br. Nurmaida Br. Nababan dan sesampainya dirumah Nurmaida Br.

Nababan sedang sendirian didalam kamarnya lalu Anak mengajak Nurmaida

Br. Nababan untuk naik ke atas tempat tidurnya.

Kemudian setelah itu Anak mengangkat bajunya Nurmaida Br. Nababan

samapi keatas sedangkan Anak sudah membuka celana panjangnya dan hanya

mengenakan celana pendek lalu Anak memegang sambil menghisap kedua

payudara Nurmaida Br. Nababan sambil memasukkan tangannya kedalam

kemaluan Nurmaida Br. Nababan, Anak melakukan perbuatan tersebut sudah

2 (dua) kali diareal kebun kelapa sawit belakang rumah Anak dengan cara

mencium Nurmaida Br. Nababan lalu memegang payudaranya dan yang kedua
61

memegang payudaranya dan menghisapnya kemudian memasukkan jarinya

kedalam kemaluannya Nurmaida Br. Nababan, kejadian tersebut terjadi

dikarena Anak sering menonton film porno melalui handphone miliknya.

- Bahwa benar akibat perbuatan terdakwa sesuai hasil Visum Et Repertum Nomor

44/3193/RM-RSUD/2022, yang ditandatangani oleh Dr. Sugiono, SpOG pada

tanggal 14 maret 2022 yang telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi

Nurmaida Br. Nababan, dengan hasil sebagai berikut :

Kemaluan

- Tidak tampak robek pada selaput darah

Kesimpulan

- Selaput darah utuh

Setelah semua unsur-unsur tindak pidana berhasil di buktikan, maka selanjutnya Majelis

Hakim mempertimbangkan, alasan-alasan pengecualian, pengurangan atau penambahan

pidana yaitu :

1. Rechtvaardigingsgronden atau alasan pembenaran

- Daya paksa relatif (relative overmacht);

- Pembelaan darurat (noodweer)

- Menjalankan ketentuan undang-undang dan; dan

- Melaksanakan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang.

2. Schulduitsluitingsgronden atau alasan pemaaf

- Tidak mampu beratnggung jawab;

- Daya paksa mutlak (absolute overmacht);

- Pembelaan yang melampaui batas; dan

- Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah


62

Dalam perkara ini, Majelis Hakim menilai bahwa terdakwa Marsal Martogi Alias

Togi adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan

perbuatannya, serta tidak di temukan alasan pengecualian penuntutan, alasan pemaaf

maupun alasan pembenaran pada dirinya, sehingga tetap dinyatakan bersalah dan

bertanggungjawab atas perbuatannya.

Selanjutnya adapun pertimbangan-pertimbangan yang memberatkan dan

meringanakan terdakwa dalam perkara ini adalah:

Hal – hal Yang Memberatkan

- Perbuatan Anak dapat meresahkan masyarakat

Hal – hal yang meringankan

- Anak mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar proses

jalannya persidangan

- Anak masih ingin melanjutkan lagi sekolahnya

- Anak belum pernah dihukum

Majelis hakim setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas kemudian

menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa Marsal Martogi Alias Togi dengan pidana

penjara selama 6 (enam) bulan.


63

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Penerapan hukum pidana dalam Putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Rap oleh

Majelis Hakim yang menerapkan Pasal 290 Ayat 1 KUHP Jo. Undang-undang RI.

Nomor 11 tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak korbannya karena

terdakwa masih Anak dibawah umur

2. Pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap

terdakwa dalam putusan Nomor 6/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Rap telah terpenuhi oleh

perbuatan Anak

B. SARAN

1. Penulis berharap aparat kepolisian atau pihak-pihak yang peduli terhadap anak, baik

itu instansi pemerintah maupun swasta dapat memberi pemahaman lebih terhadap

anak, khususnya kepada wanita tentang perbuatan tindakan melanggar hukum yang

dapat terjadi pada dirinya dan cara pencegahannya apabila perbuatan tersebut

terjadi pada dirinya, sehingga apabila menggalami hal tersebut dapat melakukan hal

pencegahan dan tentu saja dapat melaporkan kepihak berwajib karena telah

mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang melanggar

hukum.

2. Penulis berharap orang tua lebih memberikan perhatian dan pemahamaan terhadap

anak supaya anak tidak terjerumus menjadi pelaku tindak pidana pencabulan yang
64

merusak masa depan. Pendekatan dari segi agama sangat diperlukan, karena dengan

begitu masyarakat mampu mengendalikan nafsunya untuk tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang salah, karena hal tersebut berpatokan pada nilai-nilai

agama.

Anda mungkin juga menyukai